Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisiha pdf

REFORMASI HUKUM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL DI INDONESIA
Affan Muhammad Andalan
affan.muhammad.andalan-2014@fh.unair.ac.id
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Abstrak
Dalam era yang sangat dinamis sekarang ini, dunia industri dituntut berjalan lebih adaptif
agar semakin maju dan tidak malah mendatangkan kerugian. Adapun salah satu hal yang
menjadi tantangannya ialah bagaimana perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan
semudah mungkin dengan tetap memberi rasa keadilan bagi para pihak. UU No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dirasa belum mampu
sepenuhnya menjadi solusi atas hal tersebut. Oleh karenanya, melalui karya tulis ini penulis
mencoba

menguraikan

tentang

perselisihan

hubungan


industrial

beserta

cara

penyelesaiannya serta urgensi dari dilakukannya reformasi hukum di bidang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial demi terciptanya hubungan industrial yang rukun dan
produktif sehingga dapat memajukan perekonomian.
Kata kunci: Reformasi Hukum, Perburuhan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Pengadilan Hubungan Industrial, Indonesia
Abstract

In this very dynamic era, the industrial world must be more adaptive in order to be survived.
One of the challenge is to create a proper resolution for industrial relation dispute so that it
promotes justice to the parties. Law No. 2 Year 2004 considered not perfect yet to be the
solution. Therefore, the legal reform in industrial relation dispute resolution must be done

in order to establish the harmony and productive industrial relation that gives positive impact

towards the economy.

Key words : Legal Reform, Labour, Industrial Relation Dispute Resolution, Industrial
Relation Court, Indonesia
Pendahuluan
Dalam dinamika dunia industri, buruh dan pengusaha mempunyai hubungan yang
menarik karena cukup berbeda dengan yang lainnya. Hubungan keduanya bisa diibaratkan
seperti dua sisi pada keping logam. Di satu pihak, tampak kesan hubungan hukum yang tidak
seimbang karena secara sosial ekonomi kondisi pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan
buruh/pekerja. Akibatnya terdapat kerentanan yang berpotensi menimbulkan perbedaan
pendapat bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Di lain pihak hubungan saling
membutuhkan antara buruh dengan pengusaha merupakan awal bagi terciptanya hubungan
kerjasama antara buruh dengan pengusaha1.
Terjadinya perselisihan antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha merupakan
suatu hal yang tidak mudah untuk dicegah2, karena perselisihan bisa terjadi tanpa suatu
pelanggaran. Misalnya: Rasionalisasi akibat robotisasi; perbedaan penafsiran terhadap suatu
ketentuan hukum yang berlaku; Kaum buruh/pekerja menuntut kenaikan upah 50%; Atau
menuntut supaya diberikan tunjangan kesehatan bagi keluarganya.
Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak
buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak

selalu dapat dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan terjadinya wanprestasi
oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi. Ditambah lagi kondisi dalam

R. Herla a g Perda a Wiratra a , dkk., Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditinjau dari
Pri sip Fair Trial & Hak Asasi Ma usia , “ura aya: U i ersitas Airla gga,
7. h. 5.
2
Aloysius U iyo o, Asas-Asas Huku Per uruha , Jakarta: PT RajaGrafi do Persada,
4, h. 7.

1

masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan hubungan
kerja3.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka menjadi penting hadirnya suatu instrumen
hukum untuk mengatur cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial demi
terciptanya hubungan industrial yang rukun, produktif sehingga dapat memajukan
perekonomian. Pasca reformasi bergulir, Indonesia memiliki tiga paket UU Perburuhan,
yaitu: UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial.
Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 2004, dinyatakan bahwa peraturan perundangundangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini
dinilai belum mencerminkan asas cepat, tepat, adil dan murah dalam penyelesaian
perselisihan itu sendiri. Adapun dengan berlakunya undang-undang ini, terjadi sebuah
fenomena yang di kemudian hari turut mendapat kritik dari para ahli hukum perburuhan
yakni terkait dengan berdirinya institusi peradilan baru. Pengadilan Hubungan Industrial
yang lahir dari UU PPHI (dan bukan dari undang-undang tersendiri) dipandang mengandung
kecacatan. Terlebih mekanisme seperti ini memungkinkan perlindungan bagi buruh yang
hakikatnya dilakukan oleh negara/pemerintah menjadi bergeser dan menyudutkan posisi
buruh.
Seiring dengan perkembangan hukum perburuhan mengenai penyelesaian
perselisihan hubungan industrial tersebut, maka perlu ditinjau kembali sejauh mana
instrumen hukum yang tersedia dapat memberikan solusi yang seadil-adilnya bagi para pihak
yang berselisih, dalam hal ini buruh dan pengusaha. Demi mewujudkan hubungan industrial
yang rukun dan produktif sehingga dapat memajukan perekonomian dengan tetap

3

Ibid.


menghormati hak-hak yang melekat dalam diri para pihak, kiranya diperlukan suatu
reformasi hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia.
Perselisihan Hubungan Industrial
Sebuah perselisihan hubungan industrial dapat terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan
pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang
saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja, syarat-syarat
kerja dan kondisi kerja. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perselisihan
hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha4.
Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi
dalam suatu hubungan kerja5. Pertama, perselisihan hak (rechtsgeschillen), yaitu jika
masalah yang diperselisihkan termasuk bidang hubungan kerja, maka yang diperselisihkan
adalah mengenai hal yang diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian
kerja Bersama, peraturan perusahaan, atau dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Suatu perselisihan hak bisa terjadi karena perbedaan pelaksanaan suatu aturan, dan perbedaan
perlakuan terhadap suatu aturan, atau perbedaan penafsiran terhadap suatu aturan. Kedua,
perselisihan kepentingan (belangengecshillen), yaitu tidak adanya persesuaian paham
mengenai perubahan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, biasanya berupa
tuntuan perubahan atau perbaikan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Misalnya
dalam pembaruan suatu Perjanjian kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja. Tuntutan kenaikan upah, tuntutan diberikannya tunjangan kemahalan, tunjangan anak

dan sebagainya yang sebelumnya tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, atau Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama di perusahaan yang bersangkutan.

4
5

Ibid. h. 128.
Ibid.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial memperluas pengertian perselisihan hubungan industrial dengan mendefinisikan
perselisihan hubungan industrial sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/buruh
dalam suatu perusahaan.
Lebih lanjut di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI), masing-masing perselisihan diberikan batasan dalam rangka
proses penyelesaian. Masing-masing perselisihan menyebutkan6:
Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,

akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama.
Misalnya: Berdasarkan Perjanjian Kerja upah buruh adalah Rp10.000.000,- pada suatu saat
ia dibayarkan upahnya sebesar Rp7.500.000,- maka terjadilah perselisihan hak berupa
tuntutan pembayaran upah Rp2.500.000,- lagi. Contoh lain misalnya Serikat Buruh
menafsirkan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama berhak cuti dengan upah penuh,
sedangkan pengusaha menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama buruh tidak berhak
cuti dengan upah yang tetap dibayar.
Perselisihan kepentingan, adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syaratsyarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Misalnya: Tuntutan Serikat Buruh akan kenaikan upah sebesar 50% atau

Ujang Charda S., Model Pe yelesaia Perselisiha Hu u ga I dustrial dala Huku Kete agakerjaa
setelah Lahirnya Undang-U da g No or Tahu
4 , Jurnal Wawasan YURIDIKA, Vol. 1, No. 1, Maret
2017, h. 9.
6

tuntutan buruh akan tunjangan anak, istri, dan lain sebagainya yang sebelumnya tidak pernah
diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak. Misalnya: Buruh menolak untuk diputuskan hubungan kerjanya,
karena pesangonnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau nilainya masih
lebih rendah daripada perhitungan undang-undang.
Perselisihan

antar Serikat

Pekerja, sebagai

perselisihan antar

Serikat

Pekerja/Serikat Buruh dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak
dan kewajiban keserikatpekerjaan7. Misalkan: Perselisihan antar Serikat Pekerja/Buruh
menyangkut siapa diantara mereka yang berhak mewakili kaum buruh/pekerja menghadapi
pengusaha dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama.

Pembedaan pengertian perselisihan perburuhan tersebut dimaksudkan untuk
membedakan kewenangan lembaga perselisihan dalam menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial8. Mediasi diberi kewenangan 4 (empat) macam perselisihan hubungan
industrial, yaitu mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu
perusahaan. Sedangkan Konsiliasi diberikan wewenang menyelesaikan 3 (tiga) macam
perselisihan hubungan industrial, yaitu: perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan.
Kemudian Arbitrase diberi kewenangan menyelesaikan 2 (dua) macam perselisihan hubugan
industrial, yaitu: perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di
dalam suatu perusahaan. Akhirnya Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung
7
8

Aloysius Uwiyono, Op.Cit., h. 131.
Ibid.

Republik Indonesia diberi kewenangan menyelesaikan 4 (empat) macam perselisihan
hubungan industrial, yaitu mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu

perusahaan.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan perburuhan tidak hanya
menyangkut perselisihan hak dan kepentingan, tetapi juga sudah berkembang kepada
perselisihan antar serikat buruh9. Dengan memerhatikan sifat-sifat hubungan perburuhan,
diharapkan fungsi lembaga-lembaga yang telah disahkan mengenai Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Industrial) dapat berjalan dengan baik, dalam arti membuat suasana
hubungan industrial yang disharmoni, penuh curiga, ketidakpercayaan, dan saling menang
sendiri, menjadi harmoni yaitu tercipta suatu kondisi dan keadaan di mana antara buruh dan
majikan menjadi mitra yang baik, sehingga buruh tenang dalam bekerja dan majikan tentram
dalam berusaha (Industrial Peace).
Perselisihan yang terjadi pada prinsipnya diselesaikan oleh pihak-pihaknya sendiri
secara musyawarah. Apabila tidak terselesaikan, maka perlu bantuan pihak lain. Namun
demikian, juga tetap berdasarkan musyawarah. Pihak ketiga dalam penyelesaian perselisihan,
dapat melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Proses penyelesaian perselisihan oleh pihak
ketiga di luar Pengadilan menurut UU No. 2 Tahun 2002 dalam hal ini adalah hanya satusatunya melalui Arbitrase yaitu suatu proses penyelesaian di mana seseorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih, dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri
Tenaga Kerja untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.


9

Ibid. h. 142.

Terhadap putusan arbitrase ini dapat diajukan pembatalannya ke Mahkamah Agung dengan
syarat: ada tipu muslihat, ada data yang dipalsukanm bertentangan dengan undang-undang,
dan arbiter melampaui kewenangannya10.
Penyelesaian perselisihan hubugan industrial melalui Pengadilan dilaksanakan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial yaitu suatu proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan
negeri. Di pengadilan hubungan industrial, perselisihan hubungan industrial akan diperiksa
dan diputus oleh hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc yang pengangkatannya
atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
Sebagai prasyarat untuk proses di Pengadilan Hubungan Industrial, maka suatu
perkara perburuhan harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi. Mediasi
dan Konsiliasi pada hakikatnya dua lembaga yang sama tetapi diperankan oleh instansi yang
berbeda. Mediasi diperankan oleh pemerintah sedang Konsilisasi diperankan oleh pihak
swasta dengan kewenangan yang berbeda. Mediasi berwenang menyelesaian 4 (empat)
macam perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan. Konsiliasi
berwenang menyelesaikan macam perselisihan yaitu perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh di suatu
perusahaan11.
Sedangkan mengenai perselisihan yang ditangai disebutkan: Mediator berkewajiban
memberi anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih, untuk semua jenis perselisihan
hubungan industrial. Konsiliator wajib memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang
berselisih, untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Mengenai proses
10
11

Ibid. h. 143.
Ibid. h. 144.

penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga melalui pengadilan dalam hal ini melalui
pengadilan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri. Di pengadilan hubungan industrial, perselisihan hubungan
industrial akan diperiksa dan diputus oleh hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc
yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha12.

Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004
Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 mendefinisikan Pengadilan Hubungan
Industrial sebagai pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan negeri yang
berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial. Dalam penjelasannya, diuraikan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial berada
pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan
pada Mahkamah Agung13.
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada
lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka
kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah
Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

12
13

Ibid.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung14.
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang,
yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang
pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi
buruh. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung15.
Dalam proses peradilan umum, yang menerapkan hukum acara perdata, sebelum
sidang dimulai hakim biasanya menawarkan perdamaian (lembaga dading). Dalam hal ini
hakim hanya berfungsi sebagai fasilitator, tidak ikut mencampuri pokok perkara. Apabila
perdamaian tidak tercapai, baru kemudian sidang dilanjutkan. Lain halnya dengan proses
yang terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial, hakim harus aktif mengupayakan terjadinya
perdamaian, sehingga apabila para pihak telah mufakat untuk berdamai, maka hal tersebut
dijadikan putusan oleh hakim. Dalam hal ini jelas perbedaannya dengan lembaga dading,
karena dalam Pengadilan Hubungan Industrial telah menerapkan Alternative Dispute
Resolution (ADR) yang memungkinkan hakim lebih aktif (Alternative Dispute Resolution
Connect to Court)16.

Pengadilan Hubungan Industrial juga menerapkan prinsip Sederhana, Cepat, dan
Murah. Sederhana, karena dalam mengajukan gugatan sebaiknya dilakukan secara lengkap
dan jelas mengenai identitas dari pihak-pihak yang berperkara, dalil-dalil yang konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan gugatan (posita )

14

Ibid.
Ibid.
16
Aloysius Uwiyono, Op.Cit, h. 150.
15

dan jelas gugatan itu sendiri (petitum). Di samping itu, perlu juga dicantumkan bukti-bukti
yang lengkap, karena prosesnya sama persis dengan penyelesaian hukum acara perdata
karena menggunakan proses gugat menggugat. Menurut UU No. 2 Tahun 2004 majelis hakim
wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Proses ini
relative sama dengan yang terjadi di Inggris, Regional Tribunal Offices prosedurnya didesain
cepat, misalnya hanya 14 hari untuk proses hearing. Murah, karena dalam proses beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,- (serratus lima
puluh juta rupiah) (Pasal 58)17.
Walaupun proses yang terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial ini sudah
memenuhi prinsip-prinsip Sederhana, Cepat dan Murah, namun demikian ada beberapa
masalah yang berkaitan dengan gugatan yaitu, gugatan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hanya mempunyai tenggang waktu satu tahun sejak diterimanya
atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal 82)18.
Kelemahan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa substansi dari UU PPHI belum sepenuhnya
memberi keadilan khususnya bagi buruh. Berkaitan dengan hal tersebut, kerancuan dapat
menyebabkan dalam praktek seringkali terjadi yang pada awalnya adalah sebuah perselisihan
hak, kemudian beralih menjadi perselisihan PHK, dimana PHK dianggap menjadi upaya

17
18

Ibid. h. 151.
Ibid.

yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah buruh dalam
memperjuangkan haknya19.
Sebelum jauh membahas mengenai pengaturan acara persidangan dan seterusnya,
sebenarnya secara mendasar ada yang kurang tepat dengan diberlakukannya mekanisme
peradilan itu sendiri.

Mulanya, tanggungjawab dipikul oleh negara/pemerintah dalam

perlindungan buruh (Departemen Tenaga Kerja, atau dinas-dinas dibawahnya). Namun
sekarang diserahkan pada kekuasaan yudisial melalui Pengadilan Hubungan Industrial itu
sendiri. Bagi mayoritas buruh yang notabene tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan
yang mumpuni untuk menempuh proses beracara di persidangan, tentu ini sangat tidak
menguntungkan dan semakin menyudutkan mereka ke posisi yang lebih lemah.
Meskipun demikian, dalam konstruksi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak
asasi manusia, peran pemerintah yang kuat diperlukan dalam rangka pemajuan hak asasi
manusia, khususnya hak-hak buruh. Hal ini mengingat posisi buruh yang lemah (secara
struktural) dalam hubungan ketenagakerjaan, sehingga buruh sangat berpotensi dilanggar
hak-hak normatifnya oleh pengusaha atau pemilik modal. Dalam hubungan asimetris antara
buruh dan pengusaha/pemodal maka sangatlah diperlukan intervensi negara, khususnya
pemerintah untuk bisa lebih memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia
sebagaimana mandat UUD 1945 Pasal 28I ayat (4)20.
Hal ini disebabkan UU No. 2 Tahun 2004 juga masih memiliki sejumlah kelemahankelemahan pula, antara lain21:
1. Mediasi dan konsiliasi tidak diposisikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution) namun diposisikan sebagai ”mekanisme antara” yang harus
ditempuh oleh para pihak yang berselisih sebelum mereka menempuh jalur Pengadilan
19

R. Herlambang Perdana Wiratraman, dkk., Op.Cit., h. 29.
Ibid. h. 30.
21
Ibid. h. 31-32.
20

Hubungan Industrial melalui gugatan (Pasal 5). Pasal 83 ayat (1) menyebutkan bahwa
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika
pengajuan gugatan tidak dilampiri penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
2. Penggunaan istilah ”mediasi” dan ”konsiliasi” kurang tepat dan tidak relevan dengan
praktik yang dimaksud. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 pengertian mediasi disamakan dengan
konsiliasi. Yang dimaksud dengan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah
dimana pihak luar yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim
atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator
hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan
kepadanya. Dalam sengketa dimana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan
kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya sehingga
jalannya penyelesaian sengketa tetap berlangsung seimbang.
3. Pasal 1 ayat (12) dan Pasal 1 ayat (13) mengamanatkan pejabat tertentu untuk menjadi
mediator atau konsiliator. Artinya, mereka dipilih bukan berdasarkan kehendak atau seleksi
para pihak yang berselisih. Ini berdampak pada seringnya terjadi ketidaksepakatan antara
para pihak sehingga belum bisa mewujudkan rasa adil. Ketimpangan akan semakin
bertambah-tambah ketika perselisihan kemudian berlanjut ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
4. Meskipun ada “garansi” sebagaimana yang tercantum pada pasal 58 , namun dengan rumit
dan panjangnya jalur yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, buruh lagi-lagi akan dirugikan. Sebut saja adanya biaya (resmi dan tidak resmi)
yang harus dikeluarkan. Sedangkan pengusaha tidak akan terlalu diberatkan dengan
ketentuan yang semacam itu mengingat tingkat pendidikan dan kemapanan yang dimiliki.
Selain adanya pergeseran paradigma penyelesaian persoalan hubungan industrial dari
ranah publik, kecacatan lain yang terdapat dalam UU PPHI ini sebagai mana dikemukakan

oleh M. Hadi Shubhan ialah cacat hukum berdirinya Pengadilan Hubugan Industrial itu
sendiri serta cara pelaksanan atau eksekusi putusan PHI22. Seperti halnya institusi peradilan
lain di Indonesia, seharusnya PHI berdiri dengan didasarkan oleh undang-undang khusus
tentangnya. Dengan tercantumnya ketentuan-ketentuan mengenai PHI dalam UU PPHI tidak
serta-merta membuat kewajiban adanya UU PHI itu sendiri menjadi gugur. Selain itu,
masalah yang tak jarang dihadapi saat pelaksanaan putusan PHI ialah majelis hakim jarang
sekali menerapkan uang paksa dalam implementasi putusan. Dengan demikian, pihak yang
enggan melaksanakan suatu putusan tidak mendapat sanksi.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa adanya urgensi atas harmonisnya
hubungan buruh dan pengusaha demi terciptanya hubungan industrial yang rukun, produktif
sehingga dapat memajukan perekonomian. Hal tersebut dapat ditempuh dengan membuat
suatu instrumen hukum yang berkeadilan yang mengatur dengan komprehensif cara-cara
penyelesaian ketika terjadi perselisihan antara buruh dan pengusaha.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial telah menjelaskan tentang apa-apa yang dimaksud dengan perselisihan hubungan
industrial beserta cara penyelesaiannya. Namun demikian, masih terdapat kelemahankelemahan dalam undang-undang tersebut yang menyebabkan kebanyakan perselisihan
hubungan industrial berakhir merugikan pihak buruh/pekerja. Di antaranya ialah paradigma
perlindungan hukum yang bergeser dari pemerintah dan mekanisme peradilan yang
menyulitkan buruh.
Oleh sebab itu, diperlukan suatu reformasi hukum di bidang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam UU PPHI yang

“a , I i Tiga Ke a ata dala UU PPHI http://www.rmol.co/read/2015/09/30/219228/Ini-TigaKecacatan-Dalam-UU-PPHI-, diakses 10 Juli 2017.
22

masih mengandung kerancuan atau kelemahan sebagaimana telah diuraikan di atas harus
diperbaiki serta dilengkapi. Dasar hukum berdirinya Pengadilan Hubungan Industrial juga
perlu diperjelas. Selain itu, perlu adanya penerapan uang paksa agar para pihak menghormati
pelaksanaan putusan.
Khusus mengenai Pengadilan Hubungan Industrial, diskursus yang berkembang di
antara para ahli hukum perburuhan ialah untuk menggunakan kuasa peradilan atau badan
pengadilan administratif semu sebagai pengganti dari PHI itu sendiri. Badan ini kemudian
harus dipastikan keberadaannya di setiap daerah agar terjangkau dan tidak menyulitkan
buruh dalam urusan biayanya. Putusan yang diterbitkan oleh kuasa peradilan ini selanjutnya
dapat didaftarkan ke pengadilan umum agar dapat dieksekusi. Adapun untuk mendirikan
badan ini harus dilakukan melalui mekanisme pembuatan undang-undang yang mengaturnya
secara khusus.
BUKU
Uwiyono, Aloysius, dkk., “Asas-Asas Hukum Perburuhan”, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014.
JURNAL
S., Ujang Charda, “Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hukum
Ketenagakerjaan setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004”, Jurnal Wawasan
YURIDIKA, Vol. 1, No. 1, Maret 2017.

Wiratraman, Herlambang P., dkk., “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditinjau
dari Prinsip Fair Trial & Hak Asasi Manusia”, Universitas Airlangga Surabaya, 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4356)
REFERENSI
1.

Sam,

”Ini

Tiga

Kecacatan

dalam

UU

http://www.rmol.co/read/2015/09/30/219228/Ini-Tiga-Kecacatan-Dalam-UU-PPHI-,
diakses 10 Juli 2017.

PPHI”