Penyelesaian perkara warsi benda agama di pengadilan agama bandung (Analisis Penetapan No.04/PDT.P/2013/PA.BDG)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat,

pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di Pengadilan Agama (Analisis Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Bapak Arip Purkon M.A, Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

3. Ibu Dr. Hj. Azizah, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis. 4. Bapak Dr. H. Yayan Sofyan, S. H, M. Ag, sebagai dosen pembimbing

akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Orang Tua saya Bapak Muntadi dan Ibu Sumarni, yang telah memberikan support kepada saya berupa doa’ serta dukungan moral dan materiil, dengan segenap kerendahan hati saya, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih.

6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan.

8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali yang memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan.

9. Semua kawan-kawan Peradilan Agama 2010, Adib, Ahmadi, Syauqi, Irfan serta semua kawan-kawan saya yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk kelancaran skripsi saya ini.

10.Semua kawan-kawan Darunnajah Angkatan 31, IBM Andhika, Reza Ramadhan, Ibnu Tsani, Akhirul Rasyimi, Sadad Anugrah, Nurul Fachri,


(7)

vi

serta semua kawan-kawan yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk kelancaran skripsi saya ini.

Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.

Ciputat, 8 Muharram 1437

21 Oktober 2015

Penulis


(8)

vii

ABSTRAK

Muhdi Abdul Aziz. NIM. 1110044100068.“Penyelesaian Perkara Waris Beda

Agama di Pengadilan Agama Badung (Analisis Penetapan

No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H./2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang waris beda agama dan analisis pertimbangan penetapan hakim dalam menetapkan perkara penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.. dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan perundang-undangan waris beda agama. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam, Ulama Madzhab (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali pada dasarnya tidak membolehkan waris beda agama, akan tetapi ada 2 orang murid Abu Hanifah yang membolehkan pewarisnya seorang murtad seperti yang akan dibahas dalam skrisi ini. Mereka berpedoman kepada atsar sahabat.

Sedangkan menurut Hukum Positif, Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan juga didalamnya diatur hukum Kewarisan seperti halnya yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur Waris bagi sesama umat Islam saja akan tetapi juga waris yang

berbeda agama dalam pasal 171 huruf (c)“Ahli waris adalah orang yang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli

waris”

Dalam penetapan Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali perkara Nomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Bahwa hakim dengan reinterpretasi/ijtihadnya berpendapat lain yang berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam dan Ulama Madzhab akan tetapi mengambil pendapat minoritas yaitu, pendapat dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Hakim, hakim melihat ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Karena seorang hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan.

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d. 2014


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk paling sempurna diberikan akal oleh Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Manusia juga merupakan makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi dengan sesamanya sehingga terjadilah suatu kelompok masyarakat, suku, bangsa, dan negara.

Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah yang tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dan hamba-Nya yang lazim disebut dengan hablun min Allah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut hukum Muamalat.

Hukum waris Islam di Indonesia didasarkan kepada hukum waris Islam yaitu Fiqh Mawaris atau cabang ilmu dari ilmu faraidh. Secara terminologis, ilmu faraidh adalah pengetahuan tentang tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.1

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya, yaitu:

1

Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal. 13


(10)

1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris. 2) Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris.

3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.2

Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berbeda agama adalah kafir. Adapun orang kafir boleh saja saling mewarisi di antara mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dalam hal ini tidak ada yang berpendapat dengan keumuman hadits selain al-Auza’i yang berpendapat “Orang Yahudi tidak dapat mewarisi orang Nasrani dan sebaliknya”. Demikian juga untuk seluruh penganut agama. Namun indikasi tekstual hadits ini berpihak kepada pendapat al-Auza’i.3

Semua orang di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab dengan non ahli kitab. Oleh karena itu ahli waris yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha tidak bisa mewarisi dari orang Islam, begitu juga sebaliknya.

ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح

ݐْب ورْماع ْݐاع ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹

ݔْݞالاع ََ ݚَلاص َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ْݐاع اݏاامْثع

اَ ا݇ااق امَلاساو

ثراي

(ݛراخبلا ݓاور( املْسمْلا رفااكْلا اَاو ارفااكْلا ملْسمْلا

4

2

Komite Fakultas Syariah, Hukum waris. Hal 3-4

3 Abu Umar Basyir, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari‟at Islam , (Solo: Rumah

Dzikir, 2006). hlm. 68

4

M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal 784.


(11)

3

Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”

Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan mengenai hal tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an terutama pada surah An-Nisa ayat 7,8,11,12, dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas, maksud arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan maupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah SAW melalui haditsnya. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.5

Permasalahan mengenai kewarisan Islam di Indonesia di atur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam yang cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli Waris, Besarnya Bahagian, Aul dan Rad, Wasiat, dan Hibah. Waris mewaris yang disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya menimbulkan berbagai macam masalah, salah satunya ialah masalah waris dari suatu perkawinan beda agama,

5

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaruan Hukum Hukum di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 2.


(12)

mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan antara dua orang yang memiliki keyakinan berbeda.

Dalam perkawinan beda agama, apabila seorang istri atau suami meninggal dunia maka hukum yang digunakan dalam pengaturan pewarisannya adalah hukum dari si pewaris (yang meninggal dunia). Hal ini dikuatkan dengan adanya Yurisprudensi MARI No.172/K/Sip/1974 yang menyatakan “Bahwa dalam sebuah sengketa waris, hukum waris yang dipakai adalah hukum si

pewaris”.

Ketentuan tentang waris beda agama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 ayat b dan c yaitu:

a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 ayat b)

b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. (pasal 171 ayat c).6

Pengadilan Agama Badung adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Termasuk

6


(13)

5

perkara waris yang berbeda agama. Namun demikian, dalam perkara ini Pengadilan Agama Badung telah memutuskan waris berbeda agama antara pewaris dan ahli waris adalah diperbolehkan.

Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Badung karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara waris berbeda agama. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang mengatakan bahwa waris berbeda agama adalah tidak diperbolehkan.

Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam skripsi ini adalah bagaimana penyelesaian perkara waris beda agama dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam hal ini sang anak yang beragama Islam mendapatkan harta warisan dari ibunya yang beragama Hindu yang terjadi di Badung Provinsi dan sang anak yang beragama Islam tersebut mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Badung.

Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di Pengadilan Agama: (Studi Putusan No.: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)”.

B. Identifikasi Masalah

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan berbagai macam suku dan agama. Secara resmi Indonesia hanya mengakui enam agama, yakni: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu tetapi mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dengan demikian maka secara otomatis hukum yang berlaku di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh


(14)

Hukum Islam. Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak.

Hubungan dan interaksi sosial antara manusia tersebut salah satunya dapat terwujud melalui suatu perkawinan. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.7

Perkawinan merupakan salah satu sebab timbulnya hubungan waris mewarisi. Hubungan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang meninggal dunia. Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan harta, baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak dan kewajibannya. Harta tersebut dikenal dengan istilah harta warisan.

Di Indonesia perkawinan tidak hanya dilakukan dengan orang yang seagama tapi tidak menutup kemungkinan perkawinan terjadi dengan orang yang berbeda agama. Perkawinan antara orang yang berbeda agama menurut hukum di Indonesia adalah dilarang. Akan tetapi, sering terjadi penyelundupan hukum, yang mengakibatkan terjadinya perkawinan beda agama. Sehingga ketika salah satu pihak meninggal dunia ataupun terjadi perceraian menimbulkan masalah hukum baru, yaitu kewarisan berbeda agama.

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak menerima

7

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 7


(15)

7

warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain, penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.8

Perbedaan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila pewaris dan ahli waris salah satunya beragama Islam dan yang lain bukan Islam. Perbedaan agama sebagai penghalang kewarisan diperhitungkan pada saat muwaris meninggal, karena pada saat itulah hak kewarisan untuk ahli waris mulai berlaku.

Jumhur ulama bersepakat menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi seorang Muslim lantaran lebih rendah statusnya dari pada orang Islam.9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan masalah

Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang diambil oleh penulis, maka penulis mebatasi masalah terkait penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Badung yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama Badung mengabulkan permohonan

8

Ahmad Azhar Bazhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, 1990), hlm. 16

9

Al-Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi


(16)

untuk perkara waris beda agama. Hambatan hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama adalah belum adanya unifikasi yang mengatur tentang waris karena dalam kenyataannya masih terdapat pluralisme hukum waris, sehingga dalam menyelesaikan masalah hak waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berbeda yaitu berdasarkan hukum agama atau adat.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana hukum kewarisan beda agama dalam perspektif ulama madzhab?

b. Bagaimana hukum kewarisan beda agama menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?

c. Apakah perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris beda agama sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum Positif?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama dalam perspektif ulama madzhab.

b. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.


(17)

9

c. Untuk mengetahui perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris beda agama telah sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum Positif.

2. Manfaat penelitian ini adalah:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama pembahasan hukum mengenai waris beda agama.

b. Agar masyarakat mengetahui pengaturan hak waris beda agama serta akibat hukum yang berlaku di Indonesia.

E. Studi Pustaka Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan penulis sebelumnya.

No Nama Penulis dan Judul Substansi Pembeda

1. Yatmi Wulansari, Peradilan Agama tahun 2009 Penolakan ahli waris menurut Hukum Islam dan KUHP

Dalam Skripsi ini membahas tentang takharuj atau mengundurkan diri menjadi ahli waris, takharuj dapat terjadi karena beberapa hal pertama, karena keridhoan diri sendiri

Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi ini membahas tentang hak penolakan ahli waris untuk mendapatkan harta waris dari si pewaris yaitu hak untuk menolak menjadi ahli


(18)

dan tanpa turut campur dari pihak lain. Kedua, mengundurkan diri karena mendapatkan jabatan yang diberikan dari pihak lain (suap). Sebenarnya walaupun

ahli waris

mengundurkan diri sedangkan pewaris masih meninggalkan hutang, maka ahli waris wajib melunasi hutang pewaris terlebih dahulu. Namun yang demikian harus ada kesepakatan dari pihak lain.

waris sedangkan skripsi yang diangkat penulis tentang penyelesaian perkara harta waris yang berbeda agama persamaannya adalah masih berhubungan dengan perkara waris.

2. Istiarini Cahyaningsih, 106044101408,

Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih Program Studi Perbandingan

Skripsi ini Menganalisa tentang pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara

No. 318/Pdt.

Penulis tidak menemukan bahasan maupun penelitian

yang menjadi


(19)

11

Madzhab Hukum, Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang Ahli Waris Beda Agama dan Perkara yang Diputus Secara Ultra Petita Perkara No. 318/Pdt. G/2006/Pa.Dpk).

G/2006/Pa.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita (pengadilan tidak dibenarkan memutuskan para penggugat melebihi apa yang diminta didalam surat gugatannnya) dan penetapan ahli waris beda agama serta hukum syara terhadap ahli waris beda agama dan murtad. Dalam skripsi ini penulis menitik beratkan kepada waris beda agama yang diputus secara ultra petita.

skripsi ini, yaitu tentang waris beda agama yang diputus di pengadian agama. Penulis lebih terfokus kepada penelitian waris beda agama yang diputus secara ultra petita (pengadilan tidak dibenarkan memutuskan para penggugat melebihi apa yang diminta didalam surat gugatannnya) bukan pada waris beda agama yang diputus di pengadian agama.


(20)

F. Kerangka Teori

1. Terdapat bermacam-macam pengertian Hukum Waris, antara lain adalah: a. Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta

kekayaan seseorang yang meninggal dunia.10

b. Kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang: yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya, dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.11

2. Ada 2 (dua) macam pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu:12

a. Pewarisan menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat.

b. Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair. 3. Syarat dan rukun kewarisan:13

a. Harus ada muwarris (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan condittio sine quanon (syarat mutlak/syarat yang harus ada).

10

Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Hal. 25

11

Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 2

12

Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 6

13


(21)

13

b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. c. Harus ada warits (ahli waris).

4. Penghalang Kewarisan

Ada bermacam-macam penghalang seseorang menerima warisan antara lain :

1. Karena Perbudakan. 2. Karena Pembunuhan. 3. Karena berlainan agama. 4. Karena murtad.

Selama ini, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu faktor yang menghambat seseorang mendapatkan waris dari orang tuanya. Tetapi pandangan itu tampaknya mulai ditinggalkan. Pengadilan telah membuat putusan progresif. Masyarakat Indonesia yang majemuk berpengaruh pada pola pembentukan keluarga. Seringkali ditemukan dalam satu keluarga, sesama saudara kandung memeluk agama yang berbeda. Mereka hidup rukun tanpa terusik oleh perbedaan keyakinan itu. Namun dalam praktik, kerukunan itu sering terganggu oleh masalah pembagian harta warisan. Perbedaan agama telah menjadi penghalang. Menurut ajaran Islam, salah satu hijab (penghalang) hak waris adalah perbedaan agama. Seorang anak yang menganut agama lain di luar agama orang tuanya yang Muslim dengan sendirinya terhalang untuk mendapatkan waris.14


(22)

G. Metode Penelitian

Dalam upaya medapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.15 Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.16 Jenis penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang berhubungan dengan waris beda agama.

2. Teknik Pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data berupa data primer dan data sekunder.

14

M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Cet. I, hal. 38- 40

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 19

16

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal.


(23)

15

a. Data Primer, penulis dapatkan dari hasil wawancara langsung hakim, petugas atau pegawai Pengadilan Agama Badung.

b. Data Sekunder, penulis dapatkan dari dari buku-buku, artikel atau tulisan serta putusan perkara waris beda agama di Pengadilan Agama Badung.

3. Teknik Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi putusan tentang perkara waris beda agama di Pengadilan Agama Badung pada tahun 2013, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok pembahasan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini memuat beberapa sub-bab, diantaranya adalah: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi pustaka terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Waris Beda Agama Menurut Ulama

Pada bab ini mengurai tentang landasan teoritis mengenai waris yang menyangkut tentang: pengertian waris, waris beda agama menurut Islam,


(24)

waris beda agama menurut ulama madzhab fiqh : Madzhab Hanafi, Madzhab

Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali, serta menurut Yusuf Qardhawi.

Bab III : Waris Beda Agama di Indonesia

Pada bab ini mengurai tentang: waris beda agama menurut KHI, waris menurut KUHP, dan waris menurut Hukum Adat.

Bab IV : Penetapan Pengadilan Agama Badung No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan Analisis Penulis

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang analisis penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg menurut hakim, pejabat pengadilan yang berwenang serta analisis penulis.

Bab V : Penutup

Pada bab ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab terdahulu yang mana didalamnya juga dikemukakan saran-saran sebagai jalan pemikiran penulis dalam rangka membantu mengemukakan jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan dalam penulisan skripsi ini.


(25)

17

BAB II

WARIS BEDA AGAMA MENURUT ULAMA A. Kewarisan menurut Ulama 4 Madzhab

Pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta bagaimana/berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna.1

Waris di dalam Al-quran terdapat dalam surat An-nisa: 11

ْ݈ثم راك َܖلل,ْمكدالْواا ݚف َ مكْݞصْݘي

....,ݐْݞاݞاثْݑ َْا ِظاح

ݒلا(

:ءاس

١١

(

Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak -anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan…”(Q.S. An-Nisaa‟: 11)

1. Rukun Kewarisan

Warisan mempunyai 3 rukun yaitu:

a. Orang yang mewariskan (muwarrits), yakni orang mati yang meninggalkan harta waris atau hak.

b. Orang yang mewarisi (warits), yakni orang yang berhak mendapatkan warisan.

1 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [

Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:


(26)

c. Yang diwarisi (al-Mauruts), yakni peninggalan/harta peninggalan. Al-mauruts dinamakan juga miraats dan irts, yaitu harta yang ditinggalkan oleh orang yang mewariskan atau hak-hak yang mungkin diwariskan.2

2. Syarat-syarat kewarisan :

a. Harus ada Muwarrits (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan conditio sine quo-non (baru ada masalah kewarisan apabila ada seseorang yang meninggal dunia). Bilamana tidak ada yang meninggal dunia maka belum disebut masalah kewarisan.

b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Yang mati (meninggal) itu dapat bermacam-macam pula bentuknya, antara lain:

1) Mati haqiqi (mati sejati), ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang dapat dibuktikan oleh panca indra atau pembuktian menurut ilmu kedokteran.

2) Mati hukmi (mati yang dinyatakan menurut keputusan hakim/pengadilan). Pada hakikatnya orang itu masih hidup, atau dua kemungkinan antara hidup dan mati menurut hukum dianggap telah mati.

2 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [

Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:


(27)

19

3) Mati takdiri ialah kematian bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemerkosaan, misalnya:

a) Kematian seorang bayi akibat pemukulan terhadap perut ibunya b) Atau pemaksaan ibunya meminum racun, dan tidak langsung

terhadap bayi yang mati.3

3. Adapun sebab-sebab warisan yang disepakati ada tiga yakni :

a. Kekerabatan atau nasab hakiki, Hanafiyyah menyebutkan ar-Rahim, yang dimaksudkan adalah kekerabatan hakiki. Yakni, setiap hubungan yang penyebabnya adalah kelahiran. Ini mencakup (keturunan) si mayit dan asal-usulnya juga anak dari asal-usul si mayyit.

b. Hubungan suami istri atau nikah yang sah, yang dimaksudkan adalah akad yang sah, baik disertai menggauli istri atau tidak. Ini mencakup suami dan istri.

c. Wala‟ adalah kekerabatan secara hukum yang dibentuk oleh syar’i karena memerdekakan budak.

d. Syafi’iyyah dan Malikiyah menambahkan sebab keempat yaitu representasi Islam. Representasi Islam (Muslim) mendapatkan warisan seperti nasab. Peninggalan orang Muslim atau sisa peninggalan diberikan kepada Baitul Mal sebagai warisan kepada orang-orang

3 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [

Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:


(28)

Muslim dalam bentuk ashabah, bukan karena kemaslahatan, jika tidak ada mewarisi karena tiga sebab di atas.4

4. Penghalang-penghalang warisan (mawaani‟ al-Irts)

Sebab-sebab adanya hak kewarisan yaitu adanya hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan. Tetapi, adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan.

Kata al-Mawani‟ beberapa penghalang adalah bentuk jamak dari Mani‟ Menurut Bahasa Mani‟ berarti penghalang diantara dua hal (menghalangi). Sedangkan menurut istilah, Mani‟ berarti sesuatu yang mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja ketiadaan sesuatu yang lain itu, tidak serta merta bermakna secara substansial. Kata yang mempunyai kesamaan arti dengan penghalang adalah kata halangan, yaitu menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana (maksud) atau terhentinya pekerjaan.5

Para fuqaha menyepakati tiga penghalang warisan yakni budak, membunuh, perbedaan agama. Hanafiyyah menyebutkan empat penghalang warisan yakni budak, membunuh, perbedaan agama dan perbedaan negara. Dua penyebab yang pertama menghalangi penyandangnya dari mewarisi yang lain dan dua penyebab terakhir menghalangi waris mewarisi 2 arah.

4

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 346-348.

5

A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), hal. 70


(29)

21

1. Pengahalang Pertama : Budak

Budak menurut bahasa berarti pengabdian, sedangkan menurut istilah adalah ketidakmapuan secara hukum yang menetap pada diri manusia. Penyebabnya pada asalnya adalah kafir. Kafir adalah penghalang warisan secara mutlak, baik status budak itu utuh atau tidak menurut pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah. Oleh karena itu, antara orang yang merdeka dan budak tidak bisa saling mewarisi. 2. Penghalang kedua : Membunuh

Fuqaha bersepakat bahwa membunuh adalah penghalang warisan. Sebab, dia mempercepat warisan sebelum waktunya dengan perbuatan yang dilarang oleh karena itu, dia di hukum karena melanggar apa yang dimaksudkan, supaya dia takut dengan apa yang dilakukannya.6

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai macam-macam pembunuhan yang menghalangi warisan:

Pendapat Hanafiyyah: adalah pembunuhan yang haram. Yakni pembunuhan yang terkait dengan kewajiban qishas dan kafarat. Mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah juga yang semacam pembunuhan salah.

Pendapat Malikiyyah : adalah pembunuhan sengaja karena amarah, baik langsung maupun karena sebab tertentu. Mencakup orang yang memerintah, orang yang menganjurkan, orang yang memberi

6

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 354.


(30)

fasilitas, orang yang bersama-sama membunuh, orang yang menaruh racun dalam makanan dan minuman, orang yang mengintai tempat saat terjadi pembunuhan, saksi palsu dan orang yang memaksa dengan sungguh-sungguh untuk orang yang terjaga darahnya.

Adapun pembunuhan karena salah tidak menghalangi warisan harta namun menghalangi warisan diyat.

Pendapat Syafi‟iyyah : orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh secara mutlak, baik langsung ataupun karena sebab, terpaksa ataupun tidak, hak atau tidak, orang yang mukallaf atau bukan mukallaf. Ini adalah pendapat yang paling luas.

Pendapat Hanabilah bahwa pembunuhan yang menghalangi warisan adalah pembunuhan karena tidak hak. Yaitu, pembunuhan, yang dijamin dengan qishash, diyat atau kafarat. Oleh karena, itu hal ini mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah.

3. Penghalang Ketiga : Perbedaan Agama

Berlainan Agama adalah berbeda agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang diwarisi dengan orang yang mewariskan.7 Perbedaan agama antara Muwarrits dan orang yang mewarisi karena Islam dan lainnya menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama madzhab empat. Semua ulama mengkelompokkan orang selain muslim adalah kafir. Orang kafir disini adalah pemeluk

7

Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 74


(31)

23

selain beragama Islam, baik beragama samawi atau beragama ardhi atau tidak beragama sekalipun (atheis). Bahwa mereka adalah orang-orang yang menentang Nabi Muhammad SAW.8

Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim, baik disebabkan kekerabatan atau hubungan suami istri karena sabda Nabi Muhammad SAW:

ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح

ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع

َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ

ݓاور( املْسمْلا رفااكْلا اَاو ارفااكْلا ملْسمْلا ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص

(ݛراخبلا

9

Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”

Petunjuk yang pasti dalam Al-qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam Al-Qur’an. Mengingat bahwa antara

8

Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 40

9

M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal 784.


(32)

hak kewarisan dengan hak perkawianan dekat hubungannya, maka dalam menghadapi hadits Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-Muslim terdapat perbedan pendapat dikalangan ulama.10

Nabi SAW sendiri telah mempaktikkan pembagian warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang saling waris mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Tholib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib. Sementara anaknya yang telah

masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, oleh beliau tidak diberi bagian

waris.11

َنأ ل ط ي أ نْ ِيلع نْ نْيسح نْ ِيلع ْنع ش نْ ا ْنع كل م ْنع ي ثَدح

ع ل ط أ ث مَنإ ْخأ

يصن ْك ت كل لف ل ق ٌيلع ْث ي ْمل ل ط ليق

ْعِشلا ْنم

)كل ملا ا (

١2

Artinya : “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa 'Aqil dan Thalib telah mewarisi harta dari Abu Thalib, sedang Ali tidak mewarisi hartanya. Ali

10

Fathur Rachman, Ilmu Waris,(Bandung: Al-Maarif,1975), hal. 97

11

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 108

12

M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik (Jakarta : Pustaka Azzam, 2005), 434


(33)

25

bin Husain berkata; "Maka dari itu, kami tidak mengambil bagian kami berupa tanah yang ada di lembah”.

4. Adapun warisan dari orang murtad, ada perbedaan pendapat:

a. Abu Hanifah mengatakan, ahli waris muslim mewarisi laki-laki murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang diperoleh saat murtad maka menjadi fa‟i Baitul Mal (harta yang disimpan oleh kaum muslimin). Perempuan murtad semua peninggalannya untuk ahli waris yang muslim.

b. Dua murid Abu Hanifah tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad. Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat Islam dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang muslim.

c. Mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah( mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak di warisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fa‟i (rampasan) untuk Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau pada saat murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi musuh umat Islam. Status hartanya seperti harta kafir harbi. Ini jika dia meninggal dalam keadaan murtad, kalau tidak maka hartanya diwakafkan. Oleh karena itu, jika dia kembali kepada Islam maka harta itu menjadi miliknya.13

13

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 354-360.


(34)

Adapun jika salah seorang suami murtad sebelum persetubuhan maka nikahnya menjadi batal seketika. Jika murtadnya setelah persetubuhan maka ada dua riwayat :

1. Dipercepat perpisahan keduanya. 2. Menunggu sampai selesai iddah.

Adapun kafir zindiq, adalah orang yang menunjukkan keislaman sementara dia menyembunyikan kekafiran. Hukum zindiq menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah adalah seperti orang murtad. Malikiyah mengatakan bahwa kafir zindiq diwarisi berbeda dengan orang murtad, Para ahli warisnya yang muslim juga mewarisinya, jika dia menunjukkan keislamannya.14

Kesimpulannya, murtad secara umum menghalangi pewarisan. Sebagian ulama menghitungnya sebagai penghalang khusus berbeda dengan perbedaan agama. Sebab, murtad mempunyai hukum khusus. Orang murtad tidak mewarisi siapa pun selain orang murtad secara mutlak, juga tidak diwarisi menurut pendapat mayoritas ulama selain Hanafiyyah. Sedang menurut dua orang muridnya Abu Hanifah, bisa diwarisi secara mutlak. Hartanya yang diperoleh pada waktu Islam sajalah yang diwarisi menurut Abu Hanifah.

B. Kewarisan Menurut Yusuf Qardhawi

14

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 360.


(35)

27

Seorang ulama kontemporer bernama Yusuf al-Qaraḍawi menjelaskan dalam bukunya Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah bahwa orang Islam dapat mewarisi dari orang non-Islam sedangkan orang non-Islam itu sendiri tidak boleh mewarisi dari orang Islam. Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi dengan harta peninggalan atau warisan yang dapat membantu untuk mentauhidkan Allah, taat kepada-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.15

Hal ini, didasarkan kepada surat Al-Maidah Ayat 5:

ا݋ْݘاݞْلا

َ݈حأ

مكال

ۿاابِݞَطلا

݋ااعاطاو

اݐيܖَلا

اݘتوأ

ا۹اا܂كْلا

݈ح

ْمكال

ْمكمااعاطاو

݈ح

ْمݖال

ۿااݒاصْحمْلااو

اݐم

ۿااݒمْ۰مْلا

ۿااݒاصْحمْلااو

اݐم

اݐيܖَلا

اݘتوأ

ا۹اا܂كْلا

ْݐم

ْمكلْباق

ااܕإ

َݐݕݘم܂ْݞاتآ

َݐݕارݘجأ

اݐݞݒصْحم

ارْݞاغ

اݐݞحفااسم

َاو

ݛܖخَ܂م

ݏاادْخاأ

ْݐاماو

ْرفْكاي

ݏااميإاب

ْداقاف

اطباح

ݔلاماع

اݘݕاو

ݜف

۽ارخݟا

اݐم

اݐيرسااخْلا

ملا(

۽دى۬

:

٥

(

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa yang kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amalan mereka dan di hari kiamat dia termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Al-Maidah: 5)

15

Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 850.


(36)

Pada ayat di atas memperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yang pada hakikatnya non muslim, yang nantinya ketika sang ahli kitab tersebut meninggal menimbulkan hukum baru yaitu kewarisan, pada hal ini kewarisan beda agama. Dengan perkataan lain kalau seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan non-Muslim yang Ahli al-kitab, maka seorang Muslim dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris yang non-Muslim yang Ahli al-kitab.

Istinbat hukum yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradawi dalam masalah waris beda agama adalah menafsiri hadits tentang larangan waris beda agama

dengan menggunakan hasil ta’wil-an dari ulama mazhab Hanafi terhadap hadits tentang tidak dibunuhnya orang Islam disebabkan membunuh orang kafir harbi. Dimana, lafaz kafir pada ḥadis larangan waris beda agama adalah masih bersifat umum, sehingga perlu adanya pentakhsisan, yaitu diartikan dengan kafir harbi. Selain itu, Yusuf Qaraḍawi memandang akan adanya kemaslahatan yang besar ketika orang Islam bisa mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang kafir zimmi, di antaranya dapat menarik hati orang-orang kafir zimmi untuk masuk Islam. Dimana yang dimaksud kafir disini adalah kafir harbi, jadi seorang muslim tidak mewarisi kafir harbi (kaum yang memerangi umat Islam secara nyata) disebabkan terputusnya hubungan mereka.16

16

Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 856-860.


(37)

30

BAB III

WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA

A. Hukum Waris Beda Agama menurut KHI

Dalam KHI, hukum kewarisan terdapat dalam Buku II yang terdiri dari 6 Bab dan 44 Pasal (dari pasal 171- 214) dengan rincian Bab I tentang Ketentuam Umum, Bab II tentang Ahli Waris, Bab III tentang Besarnya Bahagian, Bab IV tentang Aul dan Rad, Bab V tentang Wasiat, dan Bab VI tentang Hibah.1

Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam pasal 171 ayat (c), “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.

Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum. Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal 172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang

1

Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 98.


(38)

baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya”

Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada

garis-garis hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam

perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur’an.

Buku II tentang hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah penjelasan yang berupa pokok-pokoknya saja. Ini disebabkan karena garis-garis hukum yang dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Adapun untuk pengembangannya diserahkan kepada para hakim dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

Dengan demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada peraturan secara khusus tentang kewarisan beda agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya saja menjelaskan secara garis besar tentang kewarisan. Penjelasan tentang kewarisan beda agama sudah tercakup dalam pasal 171 ayat (c), yaitu bahwasanya perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi dan agama Islam merupakan syarat utama dalam memperoleh warisan.2

2

Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, hal. 99-101.


(39)

32

B. Waris menurut KUHP

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) yang berlaku di Indonesia adalah berasal dari BURGELIJK WETBOEK yang terdiri dari 4 buku, yakni :

1. Buku kesatu tentang orang, 2. Buku kedua tentang kebendaan, 3. Buku ketiga tentang perikatan, dan

4. Buku keempat tentang pembuktian dan daluarsa.3

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) mengandung lima (5) asas sebagai berikut :

1. Asas Hak Eigendon (hak milik) yang bersifat individualistis tetapi berdasarkan undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 dalam pasal 6 dikatakan bahwa hak milik adalah mempunyai fungsi sosial,

2. Asas kebebasan berkontrak (sesuai dengan pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH. Per,

3. Asas Netral dan tidak memihak,

4. Asas dalam lapangan Hukum Kekeluargaan yang bertindak dari wanita yang sudah bersuami, Suami dan istri mempunyai hak yang sama diatur dalam pasal 31 UU no. 1 Tahun 1974.

5. Asas Perkawinan Monogami (sesuai undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,4

3Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),


(40)

Adapun waris menurut KUHP diatur dalam buku kedua yang pertama-tama disebut dalam pasal 830 yakni: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jelasnya menurut pasal ini rumusan/definisi hukum waris, mencakup masalah yang begitu luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut ialah bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya berpindah kepada ahli warisnya.5

Pada dasarnya pewarisan merupakan proses berpindahnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat terdapat 3 unsur warisan, yakni:

1. Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut: Erflater, 2. Harta warisan, disebut: Erfenis,

3. Ahli Waris, disebut: Erfgenaam.6

Asas Pewarisan dalam Hukum Perdata (BW) ialah asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (pasal 830 KUH.Per), akan tetapi hukum perdata masih memiliki asas lain yaitu :

1. Asas Individual

4

Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat” (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 26

5

Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990), Hal. 11

6

Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990), Hal. 15


(41)

34

Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 852 jo. 852a yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami dan istri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya.

2. Asas Bilateral

Asas Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya, asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850,853,856 yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si meninggal diwarisi oleh Ibu dan Bapak serta saudara laki-laki maupun sudara perempuan.7

3. Asas Perderajatan

Asas Perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang jauh derajatnya.

Dalam KUHP ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Menurut pasal 838, karena putusan hakim telah :

7

Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung , 1983), hal. 14.


(42)

1. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si yang meninggal,

2. Telah memfitnah atau mengajukan pengaduan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih berat,

3. Dengan kekerasan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat gugatan atau menghalang-halangi si meninggal, 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat

wasiat si yang meninggal.8

Dalam KUHP perbedaan agama tidak menjadi suatu alasan seseorang tidak mendapatkan warisan karena selama masih mempunyai nasab dengan pewaris/keturunan, meskipun berbeda agama masih mempunyai hak waris tersebut.

C. Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah sebagian dari ilmu pengetahuan tentang hukum adat yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan. Sebagai ilmu pengetahuan ia memerlukan penguraian yang sistematis, yang tersusun bertautan antara satu dan yang lainnya.9

Prof. Soepomo merumuskan, hukum waris adat adalah hukum waris yang memuat peraturan-peraturan adat yang mengatur proses meneruskan serta

8

Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat” (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 32

9

Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung , 1983), hal. 14.


(43)

36

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada keturunannya.10

Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa "warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi".11

Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Secara teoritis garis keturunan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu sebagai berikut :

a. Sistem Kekeluargaan Patrilineal

Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan menurut garis bapak, dimana menurut sistem ini kedudukan laki-laki lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Contohnya : Masyarakat Batak, Bali, Nias, Sumba, dan lain-lain.

b. Sistem Kekeluargaan Matrilineal

Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu, dimana menurut sistem ini kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan laki-laki dalam hal pewarisan. Contoh : Masyarakat Minangkabau

10

Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 45

11

Athoilah, Fikih Waris, Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya, 2013), hlm. 2


(44)

c. Sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral

Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan berdasarkan garis bapak dan ibu, di mana menurut sistem ini kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pewarisan adalah seimbang atau sama. Contoh : Masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lain-lain.12

Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 3 Desember 1958 No. 200 K/Sip/1958. Menurut hukum adat Bali dalam membagi harta peninggalan itu lebih mengutamakan anak laki-laki, dalam agama Islam juga bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan yakni 2:1. Di Bali anak laki-laki yang tertua sering diwarisi harta warisan, tetapi dengan kewajiban wajib menghidupi adik-adiknya sampai mereka pada menikah.13

Namun dengan perkembangan zaman yang pesat dan banyaknya masyarakat yang menuntut ilmu di pesantren sedikit demi sedikit mulailah ajaran-ajaran Islam mulai berkembang contohnya dalam praktek pembagian warisan, mulai ada pergeseran dari mulai harta peninggalan yang seutuhnya di berikan kepada anak laki-laki mulai bergeser dengan adanya tata cara sistem kewarisan Islam yang membagi semua harta peninggalan dengan cara seadil-adilnya.

12

Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 35-36.

13

Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. ( Jakarta: PT. Rineka Cipta), 2006, hal. 97


(45)

38

Walaupun terdapat banyak juga yang dalam pembagian harta waris tetap menggunakan pembagian waris adat patrilinial.14

Berikut ini yang menjadi dasar-dasar pembagian hukum adat:

1. Adanya persamaan hak para ahli waris.

2. Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris. 3. Pembagian warisan dapat ditunda ataupun dibagikan hanya sebagian

saja.

4. Harta warisan tidak merupakan satu kesatuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.15

14

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V. (Jakarta : Rineka Cipta), 2002, Hal. 58

15


(46)

39

A. Kronologis Perkara

Para Pemohon (R. Agus Prabowo bin R. Soewarkoesno dan R. Mikro Sundoro bin R. Soewarkoesno) melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Bahwa ayah para Pemohon yakni R. Soewarkoesno lahir di Cilacap tanggal 9 April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama Ni Made Rai Ningsih, lahir di Singaraja tanggal 4 Februari 1947.

2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai berikut :

a. Ni Luh Eksi Sundari (sudah meninggal), anak pertama, perempuan, lahir tanggal 23Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning, Singaraja.

b. R. Agus Prabowo, anak kedua, laki-laki, lahir 11 Agustus 1968, agama Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung.

c. R. Endro Prakoso, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal 13 April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung.


(47)

40

d. R. Mikro Sundoro,anak keempat, laki-laki, lahir tanggal 28 Juni 1972, agama Islam, alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan.

3. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para Pemohon (Ni Made Rai Ningsih) meninggal lebih dahulu pada tanggal 29 Mei 2004 karena sakit, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012, bapak kandung para Pemohon (R. Soewarkoesno) meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 2010, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012 dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara.

4. Bahwa Ibu Pemohon yaitu, Ni Made Rai Ningsih meninggal dalam keadaan Hindu namun sebelumnya beragama Islam.

5. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah membuat surat wasiat.

6. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa :

a. Tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No.767, Gambar Situasi No. 1413/1978 tanggal 20 September 1978, atas nama Made Rai Ningsih,

b. Tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No. 768, Gambar Situasi


(48)

No. 176/1978 tanggal 26 Februari 1979, atas nama R. Soewarkoesno.

7. Bahwa Ni Luh Eksi Sundari telah berpindah agama ke agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan hukum Islam, maka Ni Luh Eksi Sundari tidak lagi menjadi ahli waris dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih.

8. Bahwa demikian juga dengan R. Endro Prakoso, di depan persidangan perkara Nomor 20/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut membuktikan bahwa R. Endro Prakoso tidak berhak lagi atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih.

B. Pertimbangan Hakim

Menimbang bahwa, Para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dalam hal mana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari R. Soewarkoesno yang juga telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alasan hak bagi ahli waris Ni Made Rai Ningsih dan ahli waris R. Soewarkoesno terhadap tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 767 tanggal 20


(49)

42

September 1979 atas nama Ni Made Rai Ningsih dan Sertifikat Hak Milik Nomor 768 tanggal 26 Februari 1979 atas nama R. Soewarkoesno.

Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan pewaris yang bernama R. Soewarkoesno beragama Islam, meskipun pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi kewenangan Pengadilan Agama Badung.

Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak

terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris.

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para saksi, Ni Made Rai Ningsih telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu meski sebelumnya beragama Islam, hal mana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal


(50)

171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai berikut :

Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam.


(51)

44

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin

Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al

Masruq Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265).

Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim memandang Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental.

Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang Majelis Hakim uraikan di atas.


(52)

Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P 6 diperoleh fakta hukum, ternyata Ni Made Rai Ningsih yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal 29 September 2004 dengan meninggalkan seorang suami bernama R. Soewarkoesno yang beragama Islam, dan 4 (empat) orang anak yakni Ni Luh Eksi Sundari beragama Hindu, R. Agus Prabowo beragama Islam, R. Endro Prakoso beragama Hindu, dan R. Mikro Sundoro beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih adalah R. Soewarkoesno, R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.

Menimbang, bahwa dalam kasus R. Soewarkoesno ini, Majelis Hakim menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari R. Soewarkoesno adalah, R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.

Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah Ni


(53)

46

Luh Eksi Sundari dan R. Endro Prakoso, tetap berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno.

Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar penetapan ini.

C. Penetapan Majlis Hakim

Menetapkan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menetapkan ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.

3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah).

D. Analisis Penulis

Kasus ini adalah permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno (almarhum) dan Ni Made Rai Ningsih (Almarhum) yang telah meninggal pada tanggal 29 Mei 2004 dan R. Sowarkoesno meninggal pada tanggal 10 Februari 2010. Perlu diketahui Pewaris selain meninggalkan ahli waris juga meninggalkan


(54)

harta berupa sebidang tanah seluas 250 m2 terletak di Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung sertifikat hak milik Ni Made Rai Ningsih dan tanah seluas 350m2 terletak di Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung sertifikat hak milik R. Soewarkoesno. Para pemohon memohon kepada majlis hakim untuk menetapkan/memutuskan bahwa R. Agus Prabowo bin R. Sowarkoesno umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten Badung dan R. Mikro Sundoro bin R. Sowarkoesno umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah adalah ahli waris yang sah dari almarhum R. Sowarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih.

Setelah mengikuti duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim berdasarkan penetapan No.4/pdt.P/2013/PA.Bdg. di Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali maka penulis akan memaparkan pandangan penulis terhadap kasus tersebut.

Pada penetapan perkara ini diketahui bahwa sang pewaris/ibu pemohon bernama Ni Made Rai Ningsih adalah bukan beragama Islam, pewaris beragama Hindu yang dapat dibuktikan dengan Keterangan Kematian Nomor 221/LT/SKK/IX/12 pada tanggal 17 September 2012 dan keterangan saksi-saksi.

Menurut pendapat majelis hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang


(55)

48

dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah.

Sedangkan menurut penulis sendiri mengenai perkara waris menurut hukum Islam faktor perbedaan agama, adalah sesuatu yang menjadi penghalang kewarisan/saling waris mewarisi dan bisa mendapatkan harta peninggalan dari ahli waris dengan jalan wasiat wajibah, bukan dengan jalan waris. Sesuai dengan Hadis Nabi SAW:

ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح

ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع

َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع

املْسمْلا رفااكْلا اَاو ارفااكْلا ملْسمْلا ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص

(ݛراخبلا ݓاور(

1

Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”

1

M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal 784.


(56)

Menurut pendapat Majlis Hakim, dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih

pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad

bin Ali dan Al Masruq (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265).

Ada beberapa pendapat ulama fiqh tentang warisan orang murtad, yang di wariskan kepada :

1. Hartanya otomatis menjadi fa’i bagi baitul mal dan menjadi milik

kaum muslimin. Ini pendapat Malik, Syafi’i, Ahmad dalam riwayat Ibnu Abbas RA, Rabiah, Abu Tsaur, dan Ibnu Mundzir.2

Mereka beralasan dengan dalil:

ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح

ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع ݐْݞاسح

2

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid 4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.


(57)

50

اكْلا ملْسمْلا ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع

ارفا

(ݛراخبلا ݓاور( املْسمْلا رفااكْلا اَاو

3

Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”

2. Semua hartanya diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim, baik harta yang dihasilkan sebelum murtad (semasa masih muslim) atau setelah murtad. Ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua orang murid Abu Hanifah, riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu

Bakar, Ali, Ibnu Mas’ud RA, pendapat sekelompok orang salaf antara

lain Al-Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al-Auza’i, Ats-Tsauri. Mereka berpegang pada dalil:4

a. Riwayat dari Zaid bin Tsabit, dia mengatakan: Abu Bakar mengutusku setelah sekembalinya dari kalangan murtad agar aku membagikan harta-harta mereka pada para pewaris mereka yang masih muslim. Demikian disebutkan oleh Ibnu Qudamah.

b. Mereka mengatakan: jika memang karena kemurtadannya seluruh harta bendanya berpindah tangan, maka ia hanya berpindah tangan

3

M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal 784.

4

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid 4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.


(58)

pada para ahli warisnya yang masih muslim, sebagaimana halnya jika ia meninggal dunia.

3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Abu hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang

diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul

Mal. Alasan mereka kemukakan sama seperti argumentasi pengusung pendapat kedua.

4. Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka

harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat

Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan Sa’id bin Abi Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut :

Orang yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga pemeluk agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana halnya kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir.

Sabda Nabi SAW:

ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح

َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9 dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama

Islam;

Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah

PEMOHON I dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut dikabulkan;

Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12 tersebut;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;

Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar penetapan ini;

Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang berkenaan dengan perkara ini;

MENETAPKAN

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;

3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah);

Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434 H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan

HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;

Hakim Anggota Ketua Majelis

ttd ttd ttd Panitera Pengganti ttd

Page 13 of 14

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Rincian biaya perkara :

1. Biaya administrasi Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Rp. 50.000,-3. Biaya panggilan Rp. 95.000,-4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. M e t e r a i Rp.

6.000,-J u m l a h Rp. 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Suasana didepan Pengadilan Agama Badung dan di depan ruang sidang

Pengadilan Agama Badung


(5)

(6)

Wawancara dengan Drs. H. KT. Madhuddin Djamal, SH. MM. Beliau

menjabat sebagai ketua Pengadilan Agama Badung