Penyelesaian kewarisan ahli waris pengganti dan munasakhah di pengadilan agama (Analisis Penetapan Nomor: 108/Pdt.P/2014/PA.JB)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

Dede Umu Kulsum

NIM : 1110044100004

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Dede Umu Kulsum. NIM 1110044100004. Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama (Analisis Putusan Nomor 108/Pdt.P/2014/PA.JB). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. Ix + 72 halaman + 120 halaman lampiran.

Skripsi yang berjudul Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama (Analisis Putusan Nomor 108/Pdt.P/2014/PA.JB) ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan bagaimana penetapan hakim terhadap ahli waris pengganti dan munasakhah. Karena pada saat ini didapatkan beberapa kasus munasakhah dibagikan bagian ahli warisnya menggunakan ahli waris pengganti.

Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian hukum normatif (pustaka) dan penelitian yuridis empiris (Penetapan No: 108/Pdt.P/2014/PA. JB).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penetapan Hakim terhadap kasus ahli waris pengganti dan munasakhah tidak ditetapkan secara rinci, mana yang ahli waris, ahli waris pengganti dan munasakhah, dan hakim tidak menetapkan ahli waris yang seharusnya sebagai munasakhah.

Kata Kunci : Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama.

Pembimbing : Ibu Sri Hidayati, MA,. Daftar Pustaka : Tahun 1973 s.d Tahun 2011


(6)

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada alm. Ayahanda Ahmad Madabighi dan Ibunda Ipah Latifah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, S. Ag, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Kamarusdiana S,ag M.H dan Ibu Hj. Sri Hidayati, M.A., selaku


(7)

3. Ibu Hj. Sri Hidayati, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Abdullah Abduh dan Aden Muhammad Qosim yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat sahabat seperjuangan penulis : Wardhatul Jannah, Erwin Hikmatiar, Defi Uswatun Hasanah, Restia Gustiana, Nisa Oktaviani, Nurul Hikmah. 8. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010. Teman-teman

Kajian Peradilan Agama kelas A. Teman- teman KBPA (Keluarga Besar Peradilan Agama) dari adik kelas sampai kakak-kakak kelas yang telah lebih dulu menjadi sarjana. Teman-teman Guru TPQ Al-Muhajirun, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.

Ciputat, 01 Maret 2015


(9)

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan & Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penulisan dan Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan... 10

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG AHLI WARIS, AHLI WARIS PENGGANTI DAN MUNASAKHAH A. Waris dan Ahli Waris ... 12

B. Ahli Waris Pengganti ... 30


(10)

C. Dasar Hukum Penetapan dan Analisa ... 62

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran-saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(11)

A. Latar Belakang Masalah

System waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarits), setelah yang bersangkutan wafat, kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak yang terkait denagn harta peninggalan si mayit.

Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektif tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dengan baik.1

Bentuk dan system hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan, sedangkan system kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada system menarikan garis keturunan.

1


(12)

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Quran dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtidah atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka.2

Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma-norma.3

Segolongan fuqaha tabi’in dan imam-imam fiqih dan hadits, diantaranya Sa’id ibn Musayyab, Adh-Dhahhak, Thaus, Hasan Al-Bishri, Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali, Ishaq ibn Rahawaih, Ibnu Jarir dan ibnu Hazm. Berpendapat: “Bahwasanya wasiat untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat pusaka adalah wajib ditetapkan dalam firman Allah” (QS. Al-Baqarah: 180).4

Tata aturan pembagian harta pusaka antara para waris, adalah manifestasi dari pengakuan adanya hak milik perorangan, baik terhadap harta bergerak, maupun terhadap harta yang tidak bergerak, dan suatu manifestasi pula bahwasannya harta milik seseorang setelah mati, berpindah

2

Eman, Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet. II, h. 11

3

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet. Keenam, h. 1.

4

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris ‘Hukum Pembagian


(13)

kepada ahli warisnya, dan harus dibagi secara adil, baik lelaki maupun perempuan, baik anak kecil maupun dewasa apabila telah terpenuhi syarat-syarat menerima pusaka.5

Masalah ahli waris pengganti juga telah lama menjadi perdebatan di kalangan hakim, akademisi, dan praktisi. Bahkan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung 2009 di Palembang ada sesi khusus yang membahas masalah ini. Salah satu perdebatan yang selama ini muncul, apakah penentuan ahli waris pengganti bersifat wajib atau tentatif.

Konsep ahli waris pengganti muncul belakangan, dan sering dihubungkan dengan gagasan Prof. Hazairin. Gagasan itu kemudian diakomodir dan tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 185 KHI menyebutkan ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Pengecualiannya adalah pasal 173 KHI.6

Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman pasca Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya tidak lain dari pada melaksanakan fungsi Peradilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan.7

5

Ibid., h. 6.

6

Ahmad Munawir, Kedudukan Ahli Waris Pengganti, diakses pada 01 April 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d3c22960a85/kedudukan-ahli-waris-pengganti-harus-jelas. H. 3

7

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 191.


(14)

Al-Quran juga telah menetapkan siapa saja yang berhak untuk menerima warisan, yang dikenal dengan istilah ashabul furud atau dzawil furudh yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam al-Quran), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang, kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd dan ‘aul. Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam al-Quran hanya ada enam, yakni : ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Orang-orang yang berhak menerima bagian-bagian tersebut adalah : suami, bapak, kakek, dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu, isteri, anak perempuan, cucu perempuan pancar laki-laki-laki-laki dan seterusnya kebawah, ibu, nenek dari pihak bapak, nenek dari pihak ibu, saudara perempuan sebapak, dan saudara perempuan seibu.8

Setelah adanya Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI, para hakim sudah tidak lagi menggunakan kitab-kitab fiqih dalam memutuskan perkara yang sedang mereka tangani, tetapi menggunakan KHI sebagai pedoman untuk memutuskan perkara, termasuk perkara waris. Secara keseluruhan pasal-pasal yang tertera di dalam KHI khususnya masalah waris, semuanya mengutip dari ketentuan-ketentuan faraidh yang digunakan oleh seluruh umat Islam. Karena permasalahan waris adalah sudah merupakan ketetapan yang telah tertulis dalam al-Quran dan al-Hadits yang merupakan pedoman umat Islam.

Adanya Pasal 185 tentang Ahli Waris Pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam ayat (1) yang berbunyi : “Ahli Waris yang meninggal lebih

8

Suparman Usman dan Yusuf Somawija, Dasar-Dasar Fiqih Mawaris (Serang :


(15)

dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”9

Dalam Fiqih adanya ketentuan ahli waris Munasakhah yaitu ialah memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum pembagian harta peninggalan dilaksanakan.10 Tidak adanya peraturan munasakhah di dalam KHI timbul keingintahuan penulis untuk menganalisa penetapan Hakim mengenai Ahli waris Pengganti dan Munasakhah. karena sering terjadi di Indonesia bahwa lamanya pembagian warisan.

Penetapan Nomor 108. Pdt. P/1992/PA.JB. dalam penetapan ini bagaimana hakim menetapkan Ahli waris dan Ahli waris pengganti.

Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya secara lebih mendalam dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul :

“PENYELESAIAN KEWARISAN AHLI WARIS PENGGANTI DAN MUNASAKHAH DI PENGADILAN AGAMA ( Analisa Putusan No. 108 PdtP/2013/PA. JB)

9

Undang-undang Republik Indonesia No 1 tentang, Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2011), h. 295.

10


(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Terkait putusan mengenai masalah kewarisan yang ada di Indonesia cukup banyak dan dengan berbagai macam permasalahannya, maka dari itu untuk mempermudah dan memperjelas pokok pembahasannya penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skripsi ini hanya fokus pada “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama” (Analisa Putusan No. 108/ Pdt. P/ 2013/ PA.JB )

2. Rumusan Masalah

Dalam rumusan masalah skripsi ini adalah: Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama” (Analisa Putusan No. 108/ Pdt. P/ 2013/ PA.JB) berdasarkan teori antara munasakhoh

dan ahli waris pengganti berbeda. Istilah ahli waris pengganti yang sudah ada dalam KHI Pasal 185 tidak terdapat dalam fiqih-fiqih kewarisan Islam, hal tersebut baru adanya di Negara Indonesia, yang belum ada dalam KHI yaitu Munasakhah sedangkan adanya ditemukan dalam fiqih. karena sering terjadi di Indonesia lamanya pembagian waris.

Sejauh yang penulis ketahui bahwa umat Islam haruslah merujuk kepada hukum Islam yang berlaku, adapun pertimbangan lain adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

Dari latar belakang yang penulis jelaskan dan masalah pokok diatas dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut:


(17)

a. Bagaimana ketentuan ahli waris, ahli waris pengganti, dan

Munasakhah ?

b. Bagaimana hakim menyelesaikan kewarisan ahli waris pengganti dan

munasakhah pada penetapan nomor 108/Pdt.P/2014/PA. JB ?

c. Apa dasar Hukum Hakim dalam menetapkan ahli waris pengganti pada penetapan nomor 108/Pdt.P/2014/PA. JB ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ahli waris pengganti dan munasakhah.

b. Untuk mengetahui bagaimana hakim memutuskan ahli waris pengganti dan munasakhah di Pengadilan Agama.

c. Untuk mengetahui apakah sama dasar dan landasan hukum untuk memutuskan ahli waris pengganti dan munasakhah.

1. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi besar keilmuan bagi yang berminat untuk mengkaji.


(18)

b. Agar mengetahui lebih luas apa saja yang menjadi pertimbangan hakim-hakim di Indonesia dalam memutuskan suatu perkara. c. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat pada umumnya dan

penulis khususnya.

D. Studi Kajian Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu pada skripsi ini terkait pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh:

1. Nurul Fajri, pada tahun 2013, dengan judul penelitian : “Ahli waris Pengganti dan Munasakhah (Perbandingan dan Studi Putusan Pengadilan Agama)” didalam penelitian ini ia menjelaskan pengertian dan perbedaan ahli waris pengganti dan munasakhoh serta perbandingan antara keduanya, bagaimana pula landasan yuridis Hakim di dalam menetapkan ahli waris pengganti. Dan menganalisa dua putusan, analisa putusan pertama yaitu terdapat kekeliruan dalam putusan hakim.

2. Jejen Sukrillah, pada tahun 2013, dengan judul penelitian skripsi “Status Hukum Ahli Waris Pengganti (Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Putusan Nomor.0037/Pdt .P/2011/PA JS)”. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bagaimana posisi ahli waris pengganti dalam Hukum Islam dan alasan yuridis terhadap dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara No. 0037/Pdt.P/2011/PA.JS.


(19)

Setelah melakukan analisa dari studi kajian terdahulu, penulis merasa bahwa pembahasannya berbeda dengan judul penulis. “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama (Analisa Putusan No 108. Pdt. P/2014/PA. JB)”. Didalam penelitian skripsi ini penulis memaparkan bagaimana ketentuan ahli waris pengganti dan

munasakhah serta analisis penetapan Hakim mengenai penyelesian ahli waris pengganti dan munasakhah.

E. Metode Penulisan dan Penelitian

Salah satu karya ilmiah adalah upaya yang sistematis dalam penyusunannya dengan menggunakan data yang objektif. Penelitian juga bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang berguna dan menambah perkembangan ilmu pengetahuan juga agar usaha tersebut dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan menggunakan metode ilmiah:

1. Metode Pendekatan

Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskkriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh penjelasan yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti.

Metode Deskriptif analisis adalah metode yang menggambarkan dan memberikan analisis terhadap kenyataan dilapangan. Sumber utama penelitian kualitatif adalah objek di lapangan, selain itu juga data tambahan berupa dokumen, dan penelitian kepustakaan lainnya.


(20)

2. Data Penelitian

Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang berkaitan dengan masalah yang akan diketengahkan untuk dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan. Bahan-bahan yang digunakan : Buku-buku, Arsip-arsip yang mendukung dan kamus.

3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.

Data yang penulis gunakan dan dapatkan berupa putusan Pengadilan Agama tentang pembagian ahli waris No 108. Pdt. P/108/PA. JB.

b. Teknik Analisis Data

Analisa data dalam skripsi ini adalah kualitatif-normatif yakni pengumpulan data dari berbagai dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi, putusan dengan teori fiqih, KHI serta Undang-undang mengenai kewarisan.

F. Sistematika Penulisan

Mengenai teknik penelitian penulisan skripsi ini, penulis mengikuti dari buku pedoman penulisan skripsi. Adapun sistematika penulisan untuk


(21)

menggambarkan gambaran yang jelas, terdiri dari empat bab antara lain sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan pendahuluan dengan uraian yaitu mengungkapkan latar belakang penulisan skripsi, merumuskan identifikasi permasalahan, menunjukan maksud dan tujuan dari penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori dan mengungkapkan metedologi yang dipergunakan sebagai kerangka menuju uraian yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua, pembahasan tentang penjelasan beberapa teori tentang ahli waris, ahli waris pengganti, dan munasakhoh.

Bab ketiga, menguraikan dan menjelaskan kronologi perkara, permohonan para pemohon, analisa putusan dan dasar hukum.

Bab keempat, yaitu merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian tulisan karya ilmiah ini, penutup dalam bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan untuk kemudian penulis memberi saran-saran, juga dipergunakan dalam penulisan skripsi yaitu library research ditulis dalam daftar pustaka, serta lampiran-lampiran data.


(22)

BAB II

KETENTUAN AHLI WARIS, AHLI WARIS PENGGANTI DAN MUNASAKHAH

A. Waris dan Ahli Waris

1. Beberapa Pengertian Waris

a. Al-mirats dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-miratsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.11 Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda dan nonharta benda misalnya, Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Naml ayat 16













































Artinya: dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".

11


(23)

Maksudnya Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu pengetahuannya dan kitab Zabur yang diturunkan kepadanya.

mawarisa sulaimanu dauda” (dan sulaiman telah mewarisi daud)

dan hadits “al-ulama Warasatul Anbiya’I” (Ulama adalah ahli waris para nabi). Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang ditinggal itu berupa harta, uang, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.12

b. Waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu,iritsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka peninnggalan mayit kepada ahli warisnya.13

c. Mawaris adalah jama’ dari Mirats. Maka yang dimaksud dengan irats, demikian pula irts, wirts, wiratsah dan turats yang maknanya dengan mauruts, ialah harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.

d. Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh waris disebut muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka dinamakan warits.

12

H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.1 (Jakarta: Kencana, 2006), h. 205

13


(24)

e. Al-faraidh secara etimologi kata “faraid” merupakan jama’ dari

Faridhah. Kata ini diambil dari “fardhu” fardhu dalam istilah ulama fiqih Mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara untuk waris.14

Masalah-masalah mawaris didalam syariat Islam adalah salah satu dari pembahasan-pembahasan ilmu yang terpenting.

Fuqoha Islam telah memperkatakan pembahasan-pembahasan dalam masalah-masalah yang berpautan dengan mirats, sehingga sebagian mereka menulis buku-buku sendiri untuk masalah-masalah ini, bahkan mereka menjadikannya suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya : Ilmu Mawarits atau Ilmu Faraidh.

f. Al-tirkah tarikah atau tirkah, dalam pengertian bahasa searti dengan mirats atau harta peninggalan atau harta yang ditinggalkan.15

Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seorang pemilik harta mawarits sesudah meninggalnya, yang ditinggalkan oleh si mayit secara mutlak. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan pada harta, bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati. Adapun hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau dalam pengertian harta, misalnya : hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal ditanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman. Menurut madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali, peninggalan itu meliputi semua harta dan hak yang

14

Hasbi Ash-shiddieqy, Fiqhul Mawaris, hokum-hukum warisan dalam syari’at Islam,

Cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 17-18.

15


(25)

ditinggalkan oleh si mayit, baik hak harta benda maupun hak bukan harta benda.16

Syariat Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat sistematis, teratur, dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Di dalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum. Syariat Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang sesudah ia meninggal dunia yang harus diterima oleh seluruh kerabat dan nasabnya, dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal. Al-Qur’an telah menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan kewarisan untuk dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 171 :

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

16


(26)

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda miliknya maupun hak-haknya.

e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

2. Ahli Waris dan Dasar Hukum

Ahli waris atau orang-orang yang berhak menerima pusaka menurut hukum Islam adalah:

1. Suami dan isteri, yakni apabila suami meninggal dunia, maka isteri mendapat pusaka, begitu juga jika isteri meninggal dunia, maka suami mendapat pusaka.17

2. Ibu dan bapak, jika anak meninggal dunia, maka ibu bapaknya mendapat pusaka anaknya itu.18

3. Anak (laki-laki atau perempuan), jika ibu atau bapak meniggal dunia, maka anaknya mendapat pusaka.19

Mereka ini selalu mendapat pusaka, tidak terhalang oleh siapapun. Selain dari pada itu ada lagi orang-orang yang mendapat pusaka, tetapi jika ada syarat-syaratnya, yaitu:

17

Q.S An-nisa (4) Ayat: 12

18

Q.S An-nisa (4) Ayat: 11

19


(27)

4. Nenek (bapak dari bapak, ibu dari ibu, atau ibu dari bapak), nenek itu mendapat pusaka, bila tak ada bapak atau ibu. Tetapi jika bapak atau ibu masih hidup, maka nenek tidak mendapat pusaka.Adapun ibu dari bapak ibu, maka tiada mendapat pusaka.

5. Cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-laki). Cucu itu mendapat pusaka, bila tak ada anak laki-laki, tetapi jika anak laki-laki msih hidup, maka cucu tidak dapat mendapat pusaka.

6. Saudara kandung (seibu-sebapak), laki-laki- perempuan. Saudara itu mendapat pusaka bila tak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, atau bapak.Kalau salah seorang diantara mereka masih hidup, maka saudara itu tidak mendapat puasaka.20

7. Saudara sebapak, laki-aki atau perempuan. Ia mendapat pusaka, bila tak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak atau saudara kandung laki-laki.

8. Saudara seibu (laki-laki atau perempuan). Ia mendapat pusaka, bila tak ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu bapak, atau nenek.

9. Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki. Ia mendapat pusaka, bila tak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, nenek laki-laki, saudara kandung atau saudara sebapak. Apabila salah seorang diantara mereka masih hidup, maka ia tidak mendapat pusaka.21

20

Q.S An-nisa (4) Ayat: 12

21


(28)

10. Anak laki-laki dari saudara sebapak laki-laki. Ia mendapat pusaka, bila tak ada orang-orang yang termaktub dalam nomor 9.

11. Paman (saudara bapak) kandung laki-laki. Ia mendapat pusaka, bila tak ada orang yang temaktub dalam nomor 9 dan 10.

12. Paman (saudara bapak) yang sebapak laki-laki. Ia mendapat pusaka bila tak ada orang-orang yang termaktub dalam nomor 9,10, dan 11. 13. Anak laki-laki dari paman kandung. Ia mendapat pusaka bila tak ada

orang yang termaktub dalam nomor 9,10,11 dan 12.

14. Anak laki-laki dari paman sebapak. Ia mendapat pusaka bila tak ada orang yang termaktub dalam nomor 9,10,11,12 dan 13.

15. Mu’tiq (orang yang memerdekakan hamba sahaya), laki-laki atau perempuan. Ia mendapat pusaka dari hamba yang telah dimerdekakanya, bila tak ada ahli warisnya yang tersebut dari nomor 1 sampai 14, (Hal ini tidak ada di Indonesia).22

Berdasarkan uraian tentang ahli waris tersebut, maka jumlah ahli waris laki-laki yaitu lima belas :23

(1) anak, (2), cucu sampai kebawah, (3) bapak, (4) nenek sampai keatas, (5) saudara sekandung, (6)saudara sebapak, (7)saudara seibu, (8) anak saudara kandung laki-laki, (9)anak saudara sebapak laki-laki, (10) paman kandung, (11)paman sebapak, (12)anak paman kandung

22

H. Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, Cet.V, (Jakarta: PT. Hidakarya

Agung, 1989), h. 10-12

23


(29)

laki-laki, (13)anak paman sebapak laki-laki, (14) suami, (15)orang yang memerdekakan.

Sedangkan ahli waris perempuan yaitu berjumlahsepuluh :24

(1)anak perempuan, (2) cucu perempuan sampai kebawah, (3) ibu, (4)nenek perempuan dari pihak ibu, (5) nenek perempuan dari pihak bapak, (6)saudara kandung perempuan, (7)saudara sebapak perempuan, (8) saudara seibu perepuan, (9) isteri, (10) orang yang memerdekakan.

Ahli waris yang merupakan pengembangan pemahaman dari yang tersurat dalam ayat mawaris berarah kebawah disebut bunuwwah,dan merupakan pengembangan makna dari kata aulad. Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan aulad itu berjenis dua yaitu baik yang lelaki maupun yang perempuan.Yang lelaki, ibn, dikembangkan kepada para keturunannya terus kebawah yaitu ibnu ibn, dan seturusnya ibnu ibnu ibn

berkelanjutan tanpa terhenti asalkan terpancar lelaki tidak disela garis keturunan perempuan.Sedang yang perempuan, bint, dikembangkan kepada para keturunan terus kebawah yaitu bintu ibn dan seterusnya bintu ibnu ibn

berkelanjutan tanpa terhenti asalkan berpancar lelaki tidak disela dengan garis keturunan perempuan.25

Keturunan yang lelaki diperhitungkan derajat keturunannya berurutan menduduki ketentuan dan hak-hak yang berlaku untuk anak lelaki (ibn).Ibnu sulb dihitung dengan bergaris keturunan derajat pertama, cucu dihitung

24

Ibid, h. 12-13

25

Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta


(30)

dengan derajat dua, dan anak cucu dihitung dengan derajat seterusnya.26

Dalam ketentuan dimana yang berderajat sedikit (misalnya pertama) masih ada, maka yang berderajat lebih banyak (misalnya dua atau tiga) tertutup (mahjub), karena dalam kedudukannya sebagai ahli waris mereka menjadi ahli asabah binafsih.Berbeda dengan yang perempuan derajat bawah atau banyak mungkin saja tampil bersama dengan yang berderajat atasnya yang lebih sedikit, sebagai ahli waris yang memperoleh haknya masing-masing. Jadi ketentuan lelaki hanya dalam dua kemungkinan, kalau tidak tertutup ia akan tampil sebagai ahli asabah binafsih.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah Waris dasar dan sumber utama waris dari hukum Islam, sebagai hukum agama adalah nash atau teks yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah Nabi (Hadits). Ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut

1. Ayat-ayat Al-Qur’an a. QS. An-Nisa ayat 7-14























































Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik

26


(31)

sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. ( Q.S An-Nisa (4) : 7 )





































































































































Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya


(32)

mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebutb diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisaa (4 ):11 Ibu dapat sepertiga, dan selebihnya buat bapak sebagai ashabah, jika simayit tidak meninggalkan anak laki-laki, cucu laki-laki, dan tidak meninggalkan lain-lain warits.

Sebab turunnya ayat ini adalah sebagai berikut:

Dari jabir, dia berkata: Istri Sa’d ibnu Rabi’ datang kepada Rasulallah SAW. Dengan membawa kedua anak perempuannya yang dari Sa’d, lalu katanya: wahai Rasulallah kedua perempuan ini adalah anak Sa’d ibnu Rabi’. Ayah keduanya mati terbunuh sebagai syahid waktu berperang bersama engkau di uhud. Dan paman keduanya telah mengambil harta keduanya, sehingga dia tidak lagi meninggalkan harta bagi keduanya.Sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta. Maka kata beliau: “Allah akan memutusi perkara itu.” Lalu turunlah ayat warisan ini. Maka Rasulallah SAW. pun mengirim utusan kepada paman dari keduanya agar dia menghadap kepada beliau, lalu kata beliau: “Berikan kepada kedua anak perempuan Sa’d ini dua pertiga, dan kepada


(33)

ibu keduanya seperdelapan; dan sisanya untukmu” HR lima orang ahli hadits kecuali an-Nasa’i.27

Bagian-bagian waris yang dapat diperoleh oleh suami yang ditinggal mati oleh isterinya dan sebaliknya bagian isteri yang ditinggal mati oleh suaminya dijelaskan dalam surat an-Nisaa ayat 12 sebagai berikut:

































































































































































27


(34)

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisaa (4): 12)

Dalam ayat kewarisan dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan Allah yang wajib dijalankan. Dalam ayat tersebut pun memberikan peringatan dan ancaman dengan menegaskan bahwa bagian-bagian yang


(35)

ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah, yakni ketentuan-ketentuanNya yang tidak boleh dilanggar. Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam surat an-Nisaa ayat 13 dan 14. Sebagai berikut:









































Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar”. (Q.S An-Nisa (4) 13)



























Artinya: “dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya kedalam api neraka sedang ia kekal didalamnya; dan baginya siksa yang menghinakannya”. (QS. an-Nisaa (4): 14)


(36)

2. Hadits-hadits Nabi

ﻮُﺳَر ﻰﻀَﻗ : ﱡﻲِﻠَﻋ ل ﺎَﻗ ﱠﻟا ُل

ِﮫْﯿِﺑَﺎِﻟ ِﮫْﯿِﺧَأ َنْوُد ِﮫﱢﻣُاو ِﮫْﯿِﺑَﺎِﻟ ُهﺎَﺧَأ ُثِﺮَﯾ ُﻞُﺟَّﺮﻟا ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﮫ

Artinya: Telah berkata Ali “Rasulallah SAW telah hukumkan, bahwa seorang mewarisi saudaranya seibu sebapak, tidak saudaranya sebapak. (Tirmidzie)

Maksudnya: Kalau seorang meninggalkan saudara laki-laki seibu sebapak dan saudara laki-laki sebapak, maka saudara seibu sebapaklah yang jadi ahli waris, tidak saudara sebapak.

ْﻟا ﱠﻞَﮭَﺘْﺳاَذِا (دواد ﻮﺑا) َثِّرُو ُدْﻮُﻟْﻮَﻤ

Artinya: Apabila saudara (bernyawa) anak yang lahir, maka dia diberi pusaka. (Abu Dawud)

َﻋ َا ﻦ ِﺑ ُﺑ ﻰ َﺮ ْﯾَﺪ َة َا ّن َّﻲِﺒﻨّﻟا ْﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫَّﻠﻟا ﻰَﻠَﺻ َﺟ َﻌ َﻞ ِةﱠﺪَﺠْﻠِﻟ اَذِا ُسُﺪﱡﺴﻟا َﻟْﻢ َﯾُﻜ ْﻦ ُد ْو َﻧَﮭ ُا ﺎ ﱡم (دواد ﻮﺑا)

Artinya:Dari Buraidah: bahwasannya Nabi SAW telah beri bagi nenek seperenam, apabila tidak dihalangi dia oleh ibu. (Abu Dawud)28

28

A. Hasan, Al-Fara’id ilmu pembagian Waris, Cet. XIII, (Surabaya: Pustaka


(37)

3. Syarat-syarat Mewarisi dan Penghalang untuk Mewarisi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal pusaka-mempusakai adalah sebagai berikut:

1. Matinya muwarits

Apabila yang meninggal itu betul-betul telah meninggal, atau karena putusan hakim dengan ijtihadnya bahwa orang itu telah meninggal karena sudah lama pergi tidak karuan tempatnya, dan menurut keyakinannya tidak mungkin jika orang tersebut masih hidup pada masa itu, yaitu setelah ditinjau dari beberapa jurusan dan keadaan. Prinsip yang demikian sama dengan pasal 830 B.W. yang berbunyi “pewaris hanya berlangsung karena kematian”.

2. Hidupnya warits

Orang yang akan mewaris, nyata-nyata benar-benar hidup sepeninggal si mayat, atau karena keputusan hakim, bahwa orang itu sepeninggal mayat masih dalam keadaan hidup berdasarkan keyakinannya setelah ditinjau dari beberapa segi tidak mungkin orang itu telah mati. Dalam hal ini maka jika terjadi dua orang meninggal bersama-sama dalam satu waktu yang sama, atau mati berturut-turut tetapi tidak diketahui mana yang lebih dulu meninggalnya, maka kedua orang tersebut diantara salah satunya tidak dapat mewarisi terhadap yang lain. Demikian menurut pendapat Jumhur Ulama29

29

Moh, Anwar. Faraidl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-masalahnya,


(38)

Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, bahwa orang yang mati bersama-sama atau berturut-turut tetapi tidak diketahui mana yang lebh dahulu meninggal, adalah saling mewaris. Cara mewaris mereka ialah masing-masing dari mereka mewaris dari yang lain pada pokok hartanya sendiri, bukan harta yang diperoleh daripada harta yang lain.30

3. Tidak ada Sebab Penghalang Menerima Waris

Apabila telah diketahui benar-benar bahwa orang itu memang termasuk golongan ahli waris yang berhak menerimanya sebagaimana ketentuan dalam faraid, dan tidak ada penghalang-penghalang menerima waris seperti, membunuh pewaris, berbeda agama dengan pewaris dan karena perbudakan.

Adapun kriteria dan sebab-sebab seseorang menerima waris ada tiga hal, yakni:

1. Hubungan kekerabatan (al-qarabah)

Kata kerabat berasal dari kata qariibun, artinya adalah karib atau

dekat. Istilah lain untuk kata kerabat adalah saudara (bahasa Indonesia), dulur atau baraya (bahasa Sunda).

Dalam hukum keluarga, yang dimaksud dengan “kerabat adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat/karib dengan seseorang karena pertalian darah, perkawinan atau pendakuan”. Kerabat

30


(39)

karena pertalian darah disebut kerabat sedarah, kerabat karena pertalian perkawinan disebut kerabat semenda, dan kerabat karena pendakuan disebut kerabat angkat. 31

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu:

a. Furu’, yaitu anak turunan si mayit.

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit. c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit

melalui garis menyamping seperti saudara kandung, seayah atau seibu.

2. Hubungan Perkawinan (al-musaharah)

Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan isteri. Yaitu perkawinan yang syarat dan rukunya terpenuhi, baik secara agama maupun administratif.

3. Hubungan karena sebab al-wala’

Al-Wala’, yaitu hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang dilakukan, makah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang pertama disebut dengan wala’ al-‘ataqah atau

usubah sababiyah dan yang kedua disebut wala’ al-muwalah, yaitu

wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong

31

Otje Salman S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Cet.II, (Bandung: PT Refika Aditama: 2006), h. 29


(40)

dengan yang lain melakukan suatu perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut mu’tiq, jika perempuan mu’tiqah. Wali penolong disebut maula dan orang yang ditolong disebut dengan mawali.32

B. Ahli Waris Pengganti

1. Pengertian Ahli Waris Pengganti

Mewaris berdasarkan pergantian, yakni pewarisan dimana ahli waris mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.

Adapun yang dimaksud dengan ahli waris pengganti menurut Sajuti Thalib adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang pada mulanya akan diperoleh dari orang yang digantikannya itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Orang yang digantikannya ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. 33

Menurut Al-Yasa Abu Bakar dalam bukunya Ahli Waris Sepertalian Darah, Ahli waris pengganti dalam hukum adat adalah orang-orang yang hubungannya dengan pewaris diselingi oleh ahli waris, tetapi

32

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet 2. H.

34-35.

33

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2004,


(41)

telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Sebab, sekiranya ahli waris itu masih hidup tentu kehadiran ahli waris pengganti tidak perlu diperhitungkan.34 Misalnya hubungan kakek-cucu, diselingi oleh anak. Cucu akan menjadi ahli waris pengganti apabila anak telah meninggal terlebih dahulu dari pada kakek. Sekiranya anak masih hidup, maka cucu tidak akan menjadi ahli waris. Saudara tidak akan menjadi ahli waris pengganti bagi ayah, karena dia merupakan ahli waris langsung. Keturunan saudara dianggap menjadi ahli waris pengganti bagi saudara.

Ismuha memberikan arti yang berbeda. Menurut beliau, penggantian tidak saja seperti yang didefinisikan di atas, tetapi juga mencakup orang-orang yang karena perurutan menjadi berhak setelah orang-orang yang di atasnya tidak ada lagi.35 Menurut Ismuha, cucu dan saudara laki-laki seayah seperti dalam aturan fiqih itu, telah termasuk ke dalam ahli waris karena penggantian (beliau menggunakan istilah penggantian tempat). Kelihatannya Ismuha ingin menyamakan ahli waris penerus dengan ahli waris pengganti.

Ahli waris pengganti itu mengambil alih saham yang seharusnya menjadi hak dari orang yang digantikannya. Jadi ahli waris pengganti tidak mewarisi karena dirinya sendiri, dia selalu mengambil alih hak yang seharusnya menjadi saham dari orang (ahli waris) yang menghubungkan dia dengan pewaris.

34

Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Madzhab (Jakarta: INIS, 1998), h. 52.

35


(42)

Beberapa pendapat yang timbul mengenai adanya ketentuan ahli waris pengganti pada Rakernas Mahkamah Agung di Palembang :

Diskusi hangat itu diawali oleh gagasan Hakim Agung Habiburahman yang menggugat ketentuan ahli waris pengganti yang nota bene selalu dilekatkan kepada Hazairin sebagai penggagas teori kewarisan bilateral yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Islam Indonesia.

Ketentuan ahli waris pengganti tersebut pernah digulirkan oleh Habiburrahman pada Rakernas 2009 di Palembang. “Saya melihat Hazairin sebagai anak hukum adat yang menginduk kepada Van Vollenhoven dan Snouck Hourgronje. Di bukunya, Hazairin mengaku sebagai mujtahid tetapi tulisan-tulisannya tidak mencerminkan layaknya mujtahid,” kata Habiburrahman mengungkapkan latar belakang idenya.36

Kontan saja gagasan tersebut menuai respon beragam. Mukhsin Asyrof, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palembang, menyebut ketentuan ahli waris pengganti memang tidak diatur dalam fikih, sama halnya dengan beberapa ketentuan lainnya seperti wasiat wajibah. “Saya kira ketentuan ahli waris pengganti ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada para ahli waris. Kenapa kita tidak mengkaji pemahaman Hazairin dan temukan kelemahan dan mungkin kesalahan dari teorinya ketimbang mengkritisi kehidupan pribadinya,” tanya Mukhsin Asyrof.

Ada juga yang mempertanyakan apakah ketentuan ahli waris pengganti ini merupakan penemuan hukum ataukah penciptaan hukum.

36

Ahmad Munawir, ketentuan ahli waris pengganti, diakses pada 11Maret 2015 dari


(43)

Dari hal inilah akar masalah bisa ditelusuri. Demikian kata Abd. Halim Syahran, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak.37

Ahli waris kelompok terakhir ini, kedudukan dan bagiannya memang tidak dijelaskan dalam al-Quran. Kedudukan mereka sebagai ahli waris dan bagiannya dapat dipahami melalui perluasan pengertian waris yang disebutkan dalam al-Quran, pengertian anak diperluas ke cucu, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara dan seterusnya. Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi ahli waris, mereka dapat disebut ahli waris penganti, ahli waris karena penggantian itu mengambil alih saham yang seharusnya menjadi hak dari orang yang digantikan.38

Ahli Waris Pengganti ada dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 yang berbunyi :

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.

2. Bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 185 diatas menunjukan bahwa ahli waris yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, ia menggantikan kedudukan orang tuanya (penerima warisan seandainya ia masih hidup) dalam menerima harta peninggalan pewaris. Dalam keadaan demikian, kedudukannya menjadi ahli waris pengganti. Sebagaimana dalam BW

37

Ibid, h.3

38

Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Madzhab. h. 80.


(44)

yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling. Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu), walaupun tidak seperti

plaastvervulling dalam BW, hal ini sejalan dengan doktrin Hazairin dan cara succesior dan prinsip representasi yang dipakai oleh golongan Syi’ah. Namun demikian, dalam pasal 185 ayat (2) tersebut bagian ahli waris pengganti dibatasi, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang diganti.39

Menurut garis pokok pergantian seperti yang berlaku di Indonesia, maka ahli waris ialah setiap orang dalam sekelompok keutamaan dengan syarat, bahwa antara dia dengan si pewaris tidak ada penghubung atau tidak ada lagi penghubung yang masih hidup, yakni penghubung yang

tidak ada lagi itu mestilah dalam sistem individual telah mati sebelum saat pembagian harta dan dalam sistem kollektif telah mati terdahulu dari si pewaris.

Tidak ada penghubung ialah antara si pewaris dengan anaknya, atau antara si pewaris dengan ayah atau ibunya.

Tidak ada penghubung yang masih hidup ialah misalnya antara cucu si pewaris dengan si pewaris manakala anak si pewaris yang menjadi penghubung dalam keturunan itu telah mati, atau antara piut si pewaris dengan si pewaris manakala anak si pewaris dan cucu si pewaris yang menjadi penghubung dalam keturunan itu telah mati. Sebaliknya dalam dua contoh itu masih ada lagi penghubung yang masih hidup jika anak si pewaris itu belum mati sehingga cucu itu tidak berhak menajdi ahli waris

39

Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(45)

atau anak itu memang sudah mati tetapi cucu itu masih hidup, maka piut itu bukan ahli waris, tetapi ahli waris ialah cucu itu.40

Jadi ahli waris pengganti tidak mewarisi karena dirinya sendiri, dia selalu mengambil alih hak yang seharusya menjadi saham dari ahli waris yang menghubungkan dia dengan pewaris.Tentang sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dengan ahli waris langsung yang digantikannya, dari segi bagian yang mereka terima, tidak ada petunjuknya secara pasti dalam al-Quran atau hadits Nabi.Dalam hal ini Allah SWT menyerahkan penyelesaiannya kepada akal manusia.

2. Ahli Waris Pengganti Menurut Fiqih

Cucu perempuan yaitu anak perempuan dari anak laki-laki kalau tidak anak laki-laki lain yang masih hidup mendapat setengah bagian dari harta warisan. Dua atau lebih cucu perempuan mendapat 2/3 bagian. Kalau ada anak laki-laki, cucu perempuan tidak mendapat bagian sama sekali.

Dengan demikian dalam hukum tidak ada ketentuan pergantian warisan (plaatvervulling), artinya cucu perempuan tadi tidak menggantikan ayahnya yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si peninggal warisan (pewaris).41

40

Hazairin, Hukum Kewarisan Islam Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta:

P.T. Tintamas Indonesia, 1982, cet. Keenam), h. 22.

41

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan


(46)

Jika seorang cucu perempuan bersama anak perempuan dari pewaris, maka cucu perempuan mendapat 1/6 bagian dari harta warisan (lihat gambar I):

GAMBAR I

P Keterangan gambar:

B laki-laki

B= anak perempuan A

Jika ada dua atau lebih anak perempuan, maka mereka mendapat 2/3 bagian, dan cucu perempuan tidak mendapat apa-apa (lihat gambar II)

GAMBAR II

P Keterangan Gambar:

A= Cucu perempuan dari anak laki-laki B dan C = anak perempuan

B C A

Jika ada anak laki-laki cucu perempuan juga tidak mendapat bagian sama sekali (lihat gambar III)


(47)

GAMBAR III P

Keterangan Gambar: A= cucu dari anak laki-laki

B B= anak laki-laki

A

3. Dasar Hukum Ahli Waris Pengganti

Dalam Al-Quran Allah SWT menerapkan hubungan darah antara ayah bersama ibu di satu pihak dan anak-anak di lain pihak sebagai hubungan yang amat khusus dan paling akrab.42Hal ini sesuai dengan penjelasan

Al-Quran surat An-Nisa: ayat 11. Hubungan pertalian darah ini dirinci dalam Al-Quran dengan dua istilah. Pertama, istilah al-aqrabun (keluarga dekat), yang biasanya selalu ditempatkan setelah istilah al-walidani (dua orang tua). Kedua istilah ulul qurba (keluarga jauh).

Sesuai dengan maknanya dalam istilah kekeluargaan yang selalu ada arti perhubungan yang ada didalamnya selalu ada perbandingannya, maka

alwalidani dan al-aqrabun menurut al-Quran dalam satu sisi merupakan pewaris yang sama kedudukannya. Al-walidani

Kemudian sebagai pangkal dari garis pokok pergantian adalah surat an-Nisa : 33

42


(48)











































Artinya :bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(An-Nisa (4) : 33) Ayat diatas diterjemahkan oleh mayorotas ulama, sebagaimana dalam Al-Qur’an Departemen Agama. Sedangkan Prov. Hazairin menerjemahkannya sebagai berikut :

Dan untuk setiap orang itu (aku) Allah telah mengadakan mawali bagi harta peninggalan ayah dan emak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan bagi keluarga seperjanjianmu, karena itu berikanlah kepada mereka bagian-bagian kewarisannya 43

Dalam ayat di atas tergambar dengan jelas bahwa nashibahum (bagian mereka) menurut perintah Allah dalam ayat itu harus diberikan kepada

43

Moh, Dja’far, Moh. Polemik Hukum Waris, (Jakarta: Kencana Mas Publishing Hous,


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

• Bahwa Pasal 171 huruf (c) dan Pasal 174 KHI menentukan bahwa ahli waris adalah

orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris, sehingga orang yang tidak memiliki hubungan darah atau tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan pewaris, maka tidak dapat dinyatakan sebagai ahli waris ;

• Bahwa Pasal 185 ayat (1) KHI menentukan bahwa, ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 KHI. Bahwa ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI ini dapat melebar kemana-mana yang dapat menimbulkan persoalan lebih rumit lagi, karena itu Mahkamah Agung dalam Rakernas tahun 2010 dan 2011 membatasi bahwa ahli waris pengganti hanya sampai cucu dalam garis lurus ke bawah ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis menyimpulkan bahwa PEMOHON V (Pemohon 5), PEMOHON XVI (Pemohon 16), PEMOHON XXXIV (Pemohon 34), PEMOHON XLII (Pemohon 42), PEMOHON XLV (Pemohon 45), PEMOHON LVIII (Pemohon 58), PEMOHON LXI (Pemohon 61), dan PEMOHON LXVI (Pemohon 66), tidak memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan almarhumah PEWARIS, sehingga tidak termasuk ahli waris dari almarhumah PEWARIS ;

Menimbang, bahwa PEMOHON LXVII bin PEMOHON LXVI (Pemohon 67) dan PEMOHON LXVIII (Pemohon 68), tidak dapat mewaris secara langsung kepada almarhumah PEWARIS, sebab ketika almarhumah PEWARIS meninggal dunia, ibu kandung Pemohon 67 dan Pemohon 68 yang bernama SAUDARA XIII PEWARIS (saudara kandung almarhumah) masih hidup ;

Menimbang, bahwa demikian pula PEMOHON VI (Pemohon 6), PEMOHON VII (Pemohon 7), dan PEMOHON VIII (Pemohon 8), PEMOHON XXXI (Pemohon 31), SAUDARA PEMOHON XXXIdan PEMOHON XLIII (Pemohon 43), tidak dapat mewaris secara langsung kepada almarhumah PEWARIS, karena ketika almarhumah PEWARIS meninggal dunia ayah kandung Pemohon 6, Pemohon 7 dan Pemohon 8 yang bernama ANAK II DARI SAUDARA I PEWARIS, ibu kandung Pemohon 31 yang bernama ANAK I SAUDARA IV PEWARIS, dan ayah kandung Pemohon 43 yang bernama ANAK II DARI SAUDARA VI PEWARIS (keponakan almarhumah) masih hidup ;

Menimbang, bahwa setentang PEMOHON I (Pemohon 1), PEMOHON II (Pemohon 2), PEMOHON III (Pemohon 3), dan PEMOHON IV (Pemohon 4) sebagai anak-anak dari ANAK I DARI SAUDARA I PEWARIS dan cucu dari SAUDARA I PEWARIS, demikian pula PEMOHON XVII (Pemohon 17), PEMOHON XVIII (Pemohon 18), PEMOHON XIX

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

(Pemohon 19), PEMOHON XX (Pemohon 20), PEMOHON XXI (Pemohon 21) dan

PEMOHON XXII (Pemohon 22) sebagai anak-anak dari ANAK IV DARI SAUDARA III PEWARIS dan cucu dari SAUDARA III PEWARIS , Majelis berpendapat bahwa permohonannya tidak dapat diterima, sebab pertama, karena ayah/ibu kandung dan nenek/ kakek para Pemohon yang menghubungkannya dengan almarhumah PEWARIS telah meninggal lebih dahulu, dan kedua karena saudara kandung (PEMOHON XII dan SAUDARA XIII PEWARIS) dan para keponakan almarhumah PEWARIS, masih hidup ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis menyimpulkan bahwa yang menjadi ahli waris dan ahli waris pengganti dari almarhumah PEWARIS adalah 2 (dua) orang saudara kandungnya yakni PEMOHON XII dan SAUDARA XIII PEWARIS, dan 46 orang keponakannya yang nama-namanya sebagaimana tertera dalam diktum amar penetapan ini ;

Menimbang, bahwa apabila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak (kalalah), sedang ia mempunyai 2 orang saudara perempuan kandung dan 46 orang keponakan sebagai anak-anak dari saudara laki-laki kandung dan saudara perempuan kandung, maka saudara perempuan kandung tersebut bersama-sama dengan keponakannya mewaris secara bersama-sama (vide Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam dan Al-Quran surat An-Nisaa ayat 176);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas ada alasan bagi Majelis dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk mengabulkan permohonan para Pemohon sebagian dan menyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) selain dan selebihnya ;

Menimbang, bahwa hal-hal yang tidak cukup dipertimbangkan dalam pertimbangan ini dinyatakan dikesampingkan ;

Menimbang, bahwa karena perkara ini merupakan perkara volunter, maka beralasan untuk membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada para Pemohon;

Mengingat Undang-Undang dan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini;

MENETAPKAN

1 Mengabulkan permohonan para Pemohon sebagian;

2 Menetapkan PEWARIS telah meninggal dunia pada tanggal 09 Juni 2007 ; 3 Menetapkan :

1 PEMOHON XII (saudara kandung/Pemohon 12);

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

2 SAUDARA XIII PEWARIS (saudara kandung) ;

3 ANAK II DARI SAUDARA I PEWARIS (keponakan) ; 4 PEMOHON IX (keponakan/Pemohon 9) ;

5 PEMOHON X (keponakan/Pemohon 10) ; 6 PEMOHON XI (Keponakan/Pemohon 11) ; 7 PEMOHON XIII (keponakan/Pemohon 13) ; 8 PEMOHON XIV (keponakan/Pemohon 14) ; 9 PEMOHON XV (keponakan/Pemohon 15) ; 10 PEMOHON XXIII (keponakan/Pemohon 23) ; 11 PEMOHON XXIV (Keponakan/Pemohon 24) ; 12 PEMOHON XXV (keponakan/Pemohon 25) ; 13 PEMOHON XXVI (keponakan/Pemohon 26) ; 14 PEMOHON XXVII (keponakan/Pemohon 27) ; 15 PEMOHON XXVIII (keponakan/Pemohon 28) ; 16 PEMOHON XXIX (keponakan/Pemohon 29) ; 17 PEMOHON XXX (keponakan/Pemohon 30) ; 18 ANAK I SAUDARA IV PEWARIS (keponakan) ; 19 PEMOHON XXXII (keponakan/Pemohon 32) ; 20 PEMOHON XXXIII (keponakan/Pemohon 33) ; 21 PEMOHON XXXV (keponakan/Pemohon 35) ; 22 PEMOHON XXXVI (keponakan/Pemohon 36) ; 23 PEMOHON XXXVII (keponakan/Pemohon 37) ; 24 PEMOHON XXXVIII (keponakan/Pemohon 38) ; 25 PEMOHON XXXIX (keponakan/Pemohon 39) ; 26 PEMOHON XL (keponakan/Pemohon 40) ; 27 PEMOHON XLI (keponakan/Pemohon 41) ;

28 ANAK II DARI SAUDARA VI PEWARIS (keponakan) ; 29 PEMOHON XLIV (keponakan) ;

30 PEMOHON XLVI (keponakan/Pemohon 46) ; 31 PEMOHON XLVII (keponakan/Pemohon 47) ; 32 PEMOHON XLVIII (keponakan/Pemohon 48) ; 33 PEMOHON XLIX (keponakan/Pemohon 49) ; 34 PEMOHON L (keponakan/Pemohon 50) ; 35 PEMOHON LI (keponakan/Pemohon 51) ; 36 PEMOHON LII (keponakan/Pemohon 52) ; 37 PEMOHON LIII (keponakan/Pemohon 53) ; 38 PEMOHON LIV (keponakan/Pemohon 54) ; 39 PEMOHON LV (keponakan/Pemohon 55) ;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

40 PEMOHON LVI (keponakan/Pemohon 56) ;

41 PEMOHON LVII (keponakan/Pemohon 57) ; 42 PEMOHON LIX (keponakan/Pemohon 59) ; 43 ANAK II SAUDARA X PEWARIS (keponakan) ; 44 PEMOHON LX (keponakan/Pemohon 60) ; 45 PEMOHON LXII (keponakan/Pemohon 62) ; 46 PEMOHON LXIII (keponakan/Pemohon 63) ; 47 PEMOHON LXIV (keponakan/Pemohon 64) ; 48 PEMOHON LXVI (keponakan/Pemohon 65) ;

Sebagai ahli waris dan ahli waris pengganti dari almarhumah PEWARIS ;

4 Menetapkan :

1 PEMOHON LXVI (suami/Pemohon 66) ; 2 PEMOHON LXVII (anak/Pemohon 67) ; 3 PEMOHON LXVIII (anak/Pemohon 68) ;

Sebagai ahli waris dari almarhumah SAUDARA XIII PEWARIS yang telah meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 2011 ;

5 Menetapkan :

1 PEMOHON I (anak/Pemohon 1) ; 2 PEMOHON II (anak/Pemohon 2) ; 3 PEMOHON III (anak/Pemohon 3) ; 4 PEMOHON IV (anak/ Pemohon 4) ;

Sebagai ahli waris dari almarhum ANAK I DARI SAUDARA I PEWARIS, yang telah meninggal dunia pada tanggal 18 November 2001 ;

6 Menetapkan ;

1 PEMOHON V (isteri/Pemohon 5) ; 2 PEMOHON VI (anak/Pemohon 6) ; 3 PEMOHON VII (anak/Pemohon 7) ; 4 PEMOHON VIII (anak/Pemohon 8) ;

Sebagai ahli waris dari almarhum ANAK II DARI SAUDARA I PEWARIS, yang telah meninggal dunia pada tanggal 8 Agustus 2013 ;

7 Menetapkan ;

1 PEMOHON XVI (suami/Pemohon 16) ; 2 PEMOHON XVII (anak/Pemohon 17) ; 3 PEMOHON XVIII (anak/Pemohon 18) ; 4 PEMOHON XIX ( anak/Pemohon 19) ;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

5 PEMOHON XX (anak/Pemohon 20) ;

6 PEMOHON XXI (anak/Pemohon 21) ; 7 PEMOHON XXII (anak/Pemohon 22) ;

Sebagai ahli waris dari almarhumah ANAK IV DARI SAUDARA III PEWARIS, yang telah meninggal dunia pada tanggal 29 September 1995 ;

8 Menetapkan ;

1 PEMOHON XXXI (anak/Pemohon 31) ; 2 SAUDARA PEMOHON XXXI (anak) ;

Sebagai ahli waris dari almarhumah ANAK I SAUDARA IV PEWARIS, yang telah meninggal dunia pada tanggal 19 Mei 2009 ;

9 Menetapkan

1 PEMOHON XLII (isteri/Pemohon 42) ; 2 PEMOHON XLIII (anak/Pemohon 43) ;

sebagai ahli waris dari almarhum ANAK II DARI SAUDARA VI PEWARIS ;

10 Menyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) selain dan selebihnya ;

11 Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sejumlah Rp 216.000,- (dua ratus enam belas ribu rupiah);

Demikianlah dijatuhkan penetapan ini pada hari Senin tanggal 18 Agustus 2014 M., bertepatan dengan tanggal 22 Syawal 1435 H oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, yang terdiri dari Drs. H. Badruddin, M.H., sebagai Hakim Ketua Majelis, Drs. Azwar, S.H., M.E., dan Drs. H.M. Ridwan Ustha E, M.H, masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan mana diucapkan oleh Ketua Majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum didampingi para Hakim Anggota, dibantu Hj. Nisrin, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri kuasa Para Pemohon ;

Hakim Ketua Majelis,

ttd

Drs. H. Badruddin, M.H.

Hakim Anggota, Hakim Anggota,

ttd ttd

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Drs. Azwar, S.H., M.E.I. Drs. H.M. Ridwan Ustha E, M.H.

Panitera Pengganti,

ttd

Hj. Nisrin, S.H., M.H.

Perincian Biaya : 1. Pendaftaran = Rp. 30.000,-

2. Biaya Proses = Rp. 75.000,- 3. Biaya Penggilan = Rp.

100.000,-4. Redaksi = RP. 5.000,-

5. Materai = Rp. 6.000,-

Jumlah = Rp. 216.000,- (dua ratus enam belas ribu rupiah)

Untuk salinan sesuai dengan aslinya Jakarta _______________________ Oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat

ELIAKIM SIHOTANG, S.H.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id