Filsafat Positivisme Post Positivisme Da

Filsafat Positivisme, Post Positivisme Dalam
Pendidikan Indonesia
Posted on October 29, 2012
Filsafat Pendidikan
Filsafat Positivisme, Post Positivisme Dalam Pendidikan Indonesia

Oleh :
Andi Prabowo, S.Pd.
MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya tawuran
antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung
anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan
pelajar adalah bukti bahwa pendidikan telah gagal membentuk akhlak anak didik. Pendidikan
selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui
pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan

nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa banyak lulusan pendidikan
memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di Indonesia
masih perlu perbaikan karena sekarang ini yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal
mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan
dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab
orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses
dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi
pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi
`barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri,
pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila
harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan
kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang
berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan
karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.

Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk
membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani
dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan
dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat

jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya.
Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata,
pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai
manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu
Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani
mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi pendidikan sebagai berikut, Filsafat
pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang
melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap
proses pendidikan. Di samping itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya
serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan; Filsafat pendidikan dapat
membentuk azas yang khas menyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan lain-lain.
Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam arti
menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh
sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela
tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk
membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia
pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik untuk
pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di
sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain,

dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun
batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang membahas
mengenai “Filsafat Positivisme dan Post Positivisme dalam pendidikan”
B.
1.
2.
3.
4.

Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Filsafat Positivisme?
Bagaimana Filsafat Positivisme terhadap Pendidikan Indonesia?
Apa yang dimaksud dengan filsafat post positivisme?
Bagaimana filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Filsafat Positivisme
2. Memahami bagaimana filsafat positivisme terhadap pendidikan Indonesia
3. Memahami apa yang dimaksud dengan filsafat post positivisme
4. Mengetahui bagaimana filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Positivisme
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive
dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan. Dalam

filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual,
nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu sematamata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas
dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak
mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui
lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik
fakta-fakta.
Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya
hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya
mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalamanpengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman
batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August
Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
Dalam perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana
statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah

urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
2.2 Filsafat positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu
membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak
hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual.
Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir,
berolah raga, dan berolah rasa.
Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik dari
segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi
pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan
itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan
mewujudkan generasi kreativ yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi
lebih baik dan berdaya saing.
2.3 Pengertian Filsafat Post Positivsme
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai

“post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt
(Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin
menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak
bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas

dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis
pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat
dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya
bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara
mendalam.
Asumsi Dasar Post-Positivsme

1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti
empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif
melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa
berubah.
5. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan.
2.4 Filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan
ide-ide positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan
sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan. Filsafat
Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian atau hal-hal yang dapat
dibuktikan secara empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan antara yang dilihat dan
dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberikan
dampak yang positip, dilihat bukan hanya dari materi dalam pembelajaran melainkan ada juga

dari perilaku dari guru, keluarga, dan lingkungan serta emosi anak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat positivisme merupakan filsafat dimana menekankan hal-hal yang berfokus kepada data
yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan
dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitannya filsafat positivisme pada
pendidikan di Indonesia mengarahkan kepada hal yang baik, baik dari segi intlektual dan
memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan
terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada
sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif

yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
Filsafat Post Positivisme muncul merupakan filsafat yang hadir sebagai pengkritisi dari apa yang
diungkapkan oleh filsafat positivisme, Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya
bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara
mendalam.

DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung
Suparlan Suharsono. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2095576-pengertianpositivisme/#ixzz212vDuDVH

Share this:


Twitter



Facebook


This entry was posted in Uncategorized by andiprab0w0. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

The Twenty Eleven Theme. | Create a free website or blog at WordPress.com.

Follow

Follow “andiprab0w0's Blog”
Get every new post delivered to your Inbox.
Build a website with WordPress.com