Demokrasi politik yang saat ini terjadi

Demokrasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari nilai-nilai Pancasila, terutama
pada nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan dan nilai keadilan, nilai persatuan, serta nilai
kerakyatan.
Menjelang pilpres 2014 saat ini, suhu perpolitikan kian panas. Mesin-mesin politik mulai
bergerak dan bermanuver untuk menjatuhkan lawan politik. Demokrasi politik kian hangat.
Partai politik memperebutkan kursi kekuasaan dalam pemilu legislatif 2014. Artis pun ikut diajak
berpolitik demi mendulang suara untuk partai politik.
Sistem demokrasi langsung dan berbiaya tinggi semakin menyuburkan perilaku pragmatis di
kalangan partai politik yang mengutamakan jalan pintas untuk kepentingan kekuasaan semata.
Paradigma itu telah menggembosi nilai-nilai luhur Pancasila yang mengusung prinsip ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.
Demokrasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari nilai-nilai Pancasila, terutama
pada nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan dan nilai keadilan, nilai persatuan, serta nilai kerakyatan. Perilaku elite politik banyak yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Faktanya, banyak terjadi kekuasaan koruptif oleh elite
politik. Partai politik digunakan untuk membuka akses mencari uang dari anggaran negara.
Padahal, partai politik dibentuk untuk sebuah organisasi kekuasaan demi kesejahteraan bangsa
Indonesia. Parpol yang pertama ada di Indonesia adalah De Indische Partij yang pada 25
Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara
ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai kemerdekaan dan kebebasan serta perbaikan nasib bagi bangsa Indonesia.
Dalam setiap pemilihan pemimpin atau presiden dan calon legislatif, sudah dapat dipastikan
bahwa pertarungan untuk mencitrakan partai dan pemimpinya dalam upaya meraih simpatisan
dari rakyat pasti dilakukan. Kampanye dan pencitraan melalui berbagai slogan, simbol, dan

program kegiatan yang nista dan penuh kebohongan perlu diwaspadai oleh masyarakat dan
bangsa Indonesia.
Pertama, politik uang mesti terjadi dalam pertarungan pilpres 2014. Kita tidak dapat melepaskan
diri dari adanya money politics dalam setiap pemilu. Sudah menjadi rahasia umum bila
permainan politik uang pasti digunakan dalam sistem demokrasi dan perpolitikan di Indonesia.
Karena itu, politik uang sejatinya telah melanggar nilai-nilai Pancasila. Pancasila dalam sila
Ketuhanan Yang Maha Esa telah mengajarkan manusia dalam berpolitik untuk selalu jujur dan
amanah, tidak melanggar nilai-nilai agama dalam berpolitik.
Kedua, dana kampanye. Dalam pertarungan pilpres 2014, sejatinya partai politik harus
transparan dan akuntabel dalam dana kampanye. Sebab dana kampanye itu biasanya diambilkan
dari anggaran negara. Para elite politik parpol yang duduk dalam kekuasaan negara dapat
mengakses uang negara untuk kepentingan parpol. Kita lihat saja fakta di lapangan, banyak elite
politik yang melakukan praktik korupsi dari uang negara. Hal itu tak lain untuk memenuhi

kebutuhan parpol. Fenomena itu menegaskan bahwa berdirinya partai politik telah jauh dari
nilai-nilai Pancasila dan telah melukai nilai kemanusiaan dan kerakyatan bangsa Indonesia.
Dalam sila pertama, telah dijelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan landasan kuat
bagi kehidupan umat beragama di Indonesia. Keimanan harus dijadikan petunjuk dalam
berpolitik sehingga sebagai bentuk praksis adalah tegaknya keadilan yang merata untuk semua
rakyat.

Dalam sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak dapat ditafsirkan lain selain
bahwa partai politik da elite politik ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban dalam
berperilaku, baik secara individual maupun dalam kehidupan kolektif di ranah politik.
Penyimpangan dari sikap adil dan beradab adalah bentuk pengkhianatan terbuka pada sila kedua.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, sikap perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan.
Perubahan itu juga berdampak pada parpol di Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu
yang bebas dan kuasa penuh tanpa konsiderasi terhadap kesatuan, yaitu kepentingan masyarakat
dan bangsa. Parpol secara terus terang mengejar pencapaian kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan yang tidak peduli pada kepentingan umum.
Anggota parpol yang duduk dalam pemerintahan dan legislatif bukan berfungsi sebagai wakil
rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan perilaku parpol yang sudah amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam Pancasila diperparah lagi dengan sikap dan perilaku
banyak anggotanya, yakni terkait dengan perilaku yang koruptif. Anggota parpol menunjukkan
sikap dan perilaku sesuai dasar kebebasan penuh-mutlak seperti dalam pandangan Barat dan
tidak menghiraukan harmoni dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila.
Sila keempat berupa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan
secara bijak melalui sistem musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Di
luar cara-cara ini, sila kerakyatan yang mengandung prinsip demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah menjadikan bangsa ini kelinci percobaan politik
yang tunamoral.
Dalam perpolitikan di Indonesia, demokrasi bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk parpol. Hal itulah yang menimbulkan kekacauan

dalam berpolitik. Suara-suara rakyat hanyalah untuk kepentingan parpol. Setelah partai politik
menang, rakyat yang memilihnya nasibnya tidak diperhatikan. Hal itu jelas melanggar nilai-nilai
luhur Pancasila.
Sila kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang ditegakkan oleh
elite politik dan partai politik hanyalah isapan jempol. Aspirasi rakyat Indonesia dalam menuntut
keadilan pada wakil rakyatnya di DPR hanya lips service belaka. Elite politik dan parpol yang
dipilih rakyat telah lupa akan nasib keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi konstituennya.
Angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang semakin tinggi adalah bukti bahwa elite
politik dan partai politik tidak memahami sila keadilan ini dan tidak pernah perduli secara

sungguh-sungguh melalui program pemerintah yang berpihak pada masyarakat Indonesia yang
termarjinalkan dalam sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan partai politik belum memenuhi rasa
keadilan bagi seluuh rakyat Indonesia yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian, kita berharap pada pendiri partai politik dan tokoh partai politik, elite politik
harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai sumber utama dalam etika politik
dan sistem demokrasi di Indonesia. Dengan selalu menegakkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam perpolitikan di Indonesia, kita berharap kesejahteraan
dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai dan diimplementasikan oleh elite
politik dan parpol. Semoga!**