Filsafat Ilmu topik topik epistemologi (1)

TOPIK-TOPIK EPISTEMOLOGI
(Book Review)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A.

Disusun oleh:
Rifqi Aulia Rahman

(1320411182)

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

I.


BELIEF, INQUIRY, AND MEANING ; Charles Shander Pierce
Sebagai pengantar, akan dijelaskan sejarah dan latar belakang singkat munculnya

epistemologi/teori di atas. Dulunya, hegemoni kefilsafatan memang diemban dan
dikuasai penuh oleh filsuf eropa. Dimulai sejak era filsafat klasik, modern, hingga
postmodern. Masing-masing fase pada jaman tersebut mempunyai kiblat dan tokoh.
Dalam hal teori, pemikiran dan gagasan, hampir tidak ada filsuf yang setuju 100%
dengan filsuf sebelumnya. Semuanya saling merespon bahkan mencounter. Nah
hegemoni filsuf Eropa yang seakan menjadi poros berpikir bagi ilmuwan sedunia ternyata
mendapat tanggapan tidak sepihak dari filsuf amerika. Berangkat dari pembebasan benua
Amerika oleh Colombus, seiring berlalunya masa, muncul istilah era filsafat kontemporer
yang disandangkan kepada tokohnya, di antaranya Charles S.Pierce, John Dewey, dan
William James.
Judul di atas merupakan alur, fase dan proses berpikir ilmiah yang digagas oleh
Charles Shanders Pierce, seorang filosof asal Amerika. Dia memotret ihwal keilmuwan
yang dibawa oleh orang Eropa yang masuk ke dataran Amerika sejak masa Colombus,
tepatnya selama 250 tahun (1600-1850). Dia mengkritik keras pemikiran filsafat modern
yang didalangi oleh Rene Descartes dengan semboyannya corgito ergo sum, pierce tidak
setuju bahwa segala sesuatu harus dan bisa diragukan, karena ada terminolog “belief”

yang semua orang pasti punya dasar itu. Juga kepada David Hume dan Immanuel Kant.
Dia mencounter gagasan-gagasan filsuf tersebut dengan mencoba teori darwin untuk
kemudian dibuktikan kepada nenek moyangnya di Eropa bahwa dia mampu survive
dalam kondisi lingkungan yang baru, bahkan akan melampaui masa kejayaan kebudayaan
di Eropa.
Pierce melontarkan teori yang diawali dari belief (yakin/percaya). Percaya di sini
tidak sekedar mencakup hal-hal yang bersifat teologis-metafisik, seperti percaya kepada
Tuhan, Kitab suci, dan lain sebagainya. Namun juga masuk ranah profanitas, artinya
sesuatu yang ada dalam diri manusia, seperti tingkah laku sehari-hari, budaya, cara
berpikir, dsb.

1

Sebagai pemeluk agama tertentu, penulis cenderung ingin menyoroti salah satu
dari tahap berfikir ‘belief’ ini. Percaya atau yakin di sini menempati tahap pertama dalam
metode berpikir Pierce. Pertanyaan yang lantas muncul, kenapa justru yakin yang
menjadi pijakan awal dalam proses pencarian dan penyelidikan ilmiah? Dan kenapa tidak
berpikir bahwa ‘yakin’ lah yang berada di titik finish untuk menyudahi rentetan pencarian
itu? Menurut asumsi penulis, ada argumen-argumen yang merespon penyangkalan tadi.
-


‘yakin’ inilah bukti yang menunjukkan kerendahan hati manusia, bahwa mereka
itu lemah, hanya mengetahui setetes air dari bengawan yang begitu luas.
Makanya, yakin di sini menjadi pondasi asasi dalam tahap berfikir, dengan
maksud mereka hanya mengetahui sesuatu yang dalam jangkauan radar berpikir

-

mereka. Di luar itu, mereka dengan ‘kerendahan hatinya’ meyakininya saja.
Jikalau yakin ini menjadi puncak dari sistem pencarian tersebut, kecenderungan
yang terjadi adalah kukuhnya dogma-dogma yang bersandar kepada hal yang
metafisik, dan ini menjadi sesuatu yang berlawanan dengan mindset dan cara
berfikir ilmiah. Implikasinya adalah mandeg dan stagnannya ranah empirispositivis dan kalau itu benar terjadi, ilmu yang telah ada jadi pari purna, karena
tak ada yang merespon apalagi mengkritik. Ilmu yang ada jadi absolut, karena
tidak ada koreksi, verifikasi, dan penemuan-penemuan baru lanjutan.
Ketika hal yang sebenarnya dalam jangkauan cara berpikir ilmiah mampu

dianalisis menjadi sesuatu yang dikultuskan, maka masuk pada tahap yang kedua yaitu
habbits of mind, seseorang cenderung menganggap pemahamannya mengenai kitab suci
-misalnya-


adalah mutlak, dogmatis, tidak terbantahkan, dan menyelesaikan segala

perkara. Otomatis ketika masing-masing orang bergeming mengkultuskan penafsirannya
sendiri-sendiri dan ditambah dengan seringnya berkomunikasi dengan kondisi di luar
yang mungkin saja banyak yang berseberangan, muncul lah keraguan dalam dirinya.
Masuk pada tahap doubt. Seseorang akan meragukan apa yang telah dipahaminya. Akan
mencurigai pemahaman dogmatis yang didapat dari orang lain maupun oleh
pemahamannya

sendiri.

Kalau

itu

terus

diupayakan,


timbul

inisitaif

untuk

menindaklanjuti, yakni dengan inqury, riset. Dia akan mencari-cari bagaimana
sebenarnya produk pemahaman yang telah diketahui, menelusuri asal-usul paradigma
dogmatisnya. Tentunya dengan metode dan cara berpikir ilmiah, untuk selanjutnya
2

ditemukan dari penjelajahan itu suatu makna atau konklusi ilmiah yang bersifat relative
(tidak absolut, menerima keberadaan interpretasi orang lain) dan dapat dikoreksi,
direspon bahkan diperbaiki oleh generasi selanjutnya.
Inilah jalan dan alur berpikir ilmiah menurut Pierce. Dia menegaskan bahwa
kesimpulan dari inqury pun tidak merupakan capaian yang final, dan mungkin akan terus
disusul oleh capaian-capaian selanjutnya yang lebih sesuai dengan kondisi pada masa
tersebut. Ini yang disebutnya dengan istilah process of philoshopy.
II.


REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN
Menurut Kuhn, sedikitnya ada 4 fase dalam konstalasi keilmuan. Yaitu Pra ilmu –

Normal Science – Anomali – Revolution of science - ….Sebenarnya kalau dilanjutkan,
fase-fase tersebut tidak akan ada muaranya, karena setelah ilmu itu direvolusi, jadilah
produk dari proses revolusi dan selanjutnya timbul anomali lagi dari produk revolusi, dan
begitu seterusnya.
Yang menarik untuk disoroti lebih jauh di sini – menurut penulis – adalah dua
konsep dari rantai fase di atas yaitu Normal science and Anomali. Normal science
merupakan produk awal keilmuan empiris dan ilmiah. Seperti kita kenal sekarang ini,
bahwa ilmu biasa adalah ilmu yang parsial, berdiri sendiri, tidak bertautan dengan
disiplin keilmuan yang lain, langsung diambil dari sumber primer baik kitab suci maupun
alam, seperti fikih, tauhid, biologi, geografi, dan lain sebagainya. Kalau ilmu-ilmu ini
dipelajari seseorang, mungkin yang akan terjadi di otak adalah terkotak-kotak nya akal
kita untuk menyimpan itu di bagian sini dan sana. Yang menjadi problem adalah ketika
masing-masing teori dalam keilmuan itu saling bertubrukan dan berlawanan arah,
padahal sama-sama empirik dan dapat dibuktikan. Kan bisa saja objek alam nya sama
tapi cara pandangnya berbeda, dan hal itu sangat memungkinkan tidak sejalannya visi
antar disiplin keilmuan. Bahkan, hal itu diperparah ketika teori yang final untuk satu
masalah tertentu ternyata tidak lantas cocok dan dapat diterapkan untuk masalah yang

sama pada kurun waktu yang berbeda.
Inilah yang disebut Anomali dalam rantai keilmuan Kuhn. Apakah ilmu itu akan
selalu berhukum positif-dogmatis bagi realitas yang sangat dinamis?? Ternyata tidak.
3

Seiring dengan perkembangan ikhwal realitas, tuntutan untuk menggali sifat asli dari
ilmu itu sendiri mutlak dilakukan. Yaitu relativitas, ilmu harus mampu menjawab masalah
lalu, kini dan yang akan datang. Tidak lantas memaksakan dogma-dogma ilmu klasik
untuk menyelesaikan semua perkara. Banyak pertanyaan yang muncul perihal
pengetahuan ‘biasa’ itu karena tingkat complicated nya zaman sekarang. Salah satunya
adalah sensitivitas dan responsifitas dari paradigma ilmuwan itu sendiri, apakah mereka
menyadari betul adanya anomali? Lantas bagaimana respon mereka terhadap anomali
yang merupakan fakta di lapangan, apakah ilmu -dengan relativitasnya- menanggapinya
dengan mengubah paradigma kolot menjadi humanis misalnya? Ataukah mereka tetap
memaksakan norma-norma normal science untuk diaplikasikan kepada masalah-masalah
yang ada (walaupun tidak lagi compatible)?? Kalau seperti itu masalahnya, yang perlu
diubah bukan materi keilmuan yang telah ada, bukan pula menggusur dan menggeser
ilmuwannya. Namun paradigma, sudut pandang, dan kerangka berpikir nya yang harus
direcovery ulang. Wawasan yang luas, progresif dan tanggap terhadap perubahan,
menjadi tuntutan.

III.

KETERUJIAN TEORI ; Ian G Barbour ;
Menyambung pembahasan lebih lanjut, yang kali ini mengambil sari hikmah dari

kajian Ian G. Barbour. Hal yang membuat penulis tertarik untuk menelusuri lebih jauh
adalah dalam aspek perumusan teori sains yang menurut Ian ada 3, yaitu deduksi,
induksi, dan imajinasi kreatif. Untuk penjelasan mengenai deduksi dan induksi, barang
tentu, sudah banyak dibahas dalam disiplin-disiplin ilmu lain. Tetapi yang menjadi ciri
khas dari penemuan Ian dalam kasus mendialogkan agama dan sains, adalah aspek
imajinasi kreatif.
Imajinasi kreatif ini merupakan daya intuitif yang menjembatani antara nalar
deduksi dan induksi ketika keduanya terjadi missed atau bertabrakan. Dalam kasus seperti
wanita karir bahkan wanita sebagai pemimpin, di masa sekarang ini sudah menjadi realita
yang tidak bisa disanggah. Mungkin kalau kita menarik nalar deduksi agama dari ayat
Tuhan misalnya, Arrijalu qowwamuna alannisa...jelas, ayat ini akan bertubrukan dengan
premis-premis khusus yang ada. Bahwa wanita sekarang sudah berusaha merangkak naik
secara independen baik dari segi pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya. Apalagi
4


ditambah isu-isu feminis dan gender yang berkoar-koar tak henti-hentinya. Karenanya
penalaran yang di luar rasio – walaupun dalam konteks keilmuan – pun menjadi urgen.
Dalam hal ini imajinasi kreatif menjadi solusi. Kalau menilik kasus wanita tadi, cara
menalar imajinasi kreatif seumpama begini, wanita itu bebannya berat dan susah, karena
dia yang mengasuh anak dari dalam kandungan sampai setelah lahir, membesarkan dan
mendidik anak dengan kasih sayang, masih mau mengembangkan kemampuan
intelektualnya dengan bersekolah sampai berjenjang-jenjang, juga mau diajak kompromi
dalam hal ekonomi dengan berdagang, berkarir di kantor-kantor, dan lain sebagainya.
Dari argumen imajinatif tersebut, otomatis memunculkan rasa simpati bahkan empati
kepada mereka. Yang pada akhirnya, dogma-dogma penafsiran yang kaku dan semenamena pun jadi luwes nan humanis.
Kemudian penulis jadi berpikir dan beranalogi kepada keilmuan lain. Misal dalam
ranah hukum, seorang pengadil atau hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara
seadil-adilnya. Artinya, dia tidak hanya expert dalam hal pasal-pasal hukum (teori
deduktif), tetapi juga lihai berimajinasi terhadap realita objek hukum yang ada. Semisal
ada pencuri 5 ekor ayam diadili. Maka jangan sampai hukuman pencuri 5 ekor ayam
sama dengan 10 ayam. Kemudian jangan hanya mengadili si pencuri hanya berdasarkan
pasal-pasal yang ada. Buat apa gunanya keberadaan hakim di pengadilan kalau hanya
membacakan pasal-pasal, cukup petugas pencatat saja kalau hanya begitu. Hakim di situ
bukan hanya menguasai pasal hukum, tetapi harus kompeten berimajinasi tentang
keadilan. Jadi data-data yang didapat dan dirumuskan bukan hanya bagaimana dan apa

motif mencuri, melainkan juga kenapa dia mencuri?apakah dia mencuri itu karena
tekanan kondisi-sosial yang lebih luas di masyarakat?bagaimana tingkat depresi rakyat
kecil dalam skala nasional? Dan sebagainya...
IV.

INTER-SUBJEKTIF MENJADI SOLUSI ; Ian G Barbour
Dalam tuturan singkat ini, penulis ingin membuka celah-celah paradigma dengan

suatu ungkapan :
Nash al-Qur’an itu suci, objektif , mutlak dan pasti benar, tetapi kalau nash itu sudah ada
yang membunyikan, menyuarakan, dibuat argumentasi dan ditulis (seperti penulis saat
5

ini), nash al-Qur’an yang keluar dari mulut dan tergores oleh tinta seseorang, sudah tidak
objektif lagi, karena proses membicarakan dan menuliskan pasti penuh interpretasi dalam
akal pikiran orang tersebut, dan makna yang menjadi produk dari penafsiran seseorang
akan sangat subjektif. Kenapa subjektif??karena seseorang akan memaknai sesuatu yang
ditangkap dari nash sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya saat itu, dan
kemungkinan dalam waktu semenit kemudian muncul penafsiran lain dari pikirannya
sendiri. Maka tidak aneh ketika melihat Imam Syafi’i mempunyai Qoul Qadim dan

Jadid, padahal dari akal pikiran yang sama.
Kalau ingin lebih mengena lagi, penulis akan mengubah arah ke ideologi negara (yang
dianggap lebih “suci” dari ideologi agama)...yaitu demokrasi. Mungkin ideologi bentuk
kenegaraan ini sangat mulia karena bertujuan menjunjung rakyat pada level tertinggi
kedaulatan. Itu dalam tataran teoretis yang objektif. Namun, ketika demokrasi disuarakan
oleh cades, cabub, cagub, caleg, dan cal-cal yang lain, hati-hati terhadap pemaknaan
demokrasi yang mulia itu. Bisa jadi ide itu berubah total menjadi sangat feodalis dan
permisif seketika dengan dalih memprioritaskan suara rakyat. Dan begitu seterusnya.
Hal yang ingin disampaikan penulis sebenarnya adalah tawaran dari Ian untuk
mempertimbangan kebenaran solutif antara yang objektif (sakral, tidak ada daya tawar,
dan mutlak benar adanya) dan yang subjektif (interpretatif, pemihakan, dll), yaitu
kebenaran inter-subjektif, kebenaran yang mempercayai adanya objektivitas yang murni
namun menampung berbagai subjektivitas yang ada, kemudian mempertimbangkannya
sebagai upaya untuk mendekati kebenaran universal.
V.

MEREDUKSI FANATISME SAINTIS-AGAMAWAN ; Holmes Rolston III
Dalam resume tematik ini, penulis menyoroti urgensi dari proses penyelidikan

Holmes,
-

Aspek pertama yang dibahas adalah Sains, yang berasumsi, berkiblat dan identik
dengan objektifitas, empirisme dan positivisme. Dengan maksud, ketika ada
buah/teori yang diperoleh dari usaha ilmiah, dianggap pasti benar dan masuk akal
karena bisa dibuktikan. Dari pernyataan ini saja sudah agak dikotomis kalau boleh
dikatakan bahwa yang tidak faktual dan tidak bisa dibuktikan secara empiri
6

adalah tidak ilmiah, tidak masuk akal, dan bahkan hal yang tidak bisa dibenarkan.
Terlebih ketika sang ilmuwan yang over science-minded menganggap kebenaran
-

ilmiah adalah satu-satunya kebenaran.
Pembahasaan yang kedua adalah Ilmu Agama, yang dianggap sangat subjektif,
kebenarannya berdasarkan keyakinan dan intuisi yang transenden, dan tidak boleh
tersentuh oleh campur tangan dan kepentingan manusia (usaha ilmiah), karena
kesucian tidak boleh larut dan tercampur dengan ranah profanitas.
Nah dari ungkapan-ungkapan itulah muncul gagasan Rolston untuk menelusuri

lebih lanjut dan detail, bagaimana proses dan pencapaian metode ilmiah dan agama
tersebut. Hasil yang diperoleh mungkin bisa jadi peredam keegoisan masing-masing
pihak yang merasa super power dan memiliki kebenaran mutlak. Sains dengan hegemoni
kebenaran empirisnya ternyata setelah ditelusuri lebih dalam, ditemukan aspek-aspek
yang absurd dalam proses pembuahan teorinya, di antaranya ialah dalam hal objektivitas
dan logika jika-maka. Okelah, dua aspek tersebut akan sangat bagus jika diaplikasikan
dalam ilmu alam dan eksak. Namun, hal itu akan menjadi berbeda penilaiannya ketika
yang dihadapi adalah ilmu sosial-kemanusiaan, karena manusia itu dinamis-progresif dan
sangat subjektif (karena mungkin observer mengamati dirinya sendiri yang juga
manusia). Maka tidak menutup kemungkinan ada hal-hal yang empiris sebagai akibat,
namun tidak ditemukan penyebabnya.
Begitu juga agama sebagai ilmu, yang konon tidak boleh tersentuh oleh
penyelidikan ilmiah, ternyata dalam realita peradaban keberagamaan yang ditemukan
Rolston, banyak yang saling melebur antara dualisme profan-transendental. Budaya
manusia yang beragama sekarang ini, justru lebih cenderung menuntut dibuktikannya
teori keyakinan secara kasat mata. Alhasil, agama sudah tidak menjadi sakral lagi ketika
sudah memuai dalam kemasan produk budaya manusia.
Beberapa pernyataan di atas, jelas sangat membuka celah-celah paradigma masingmasing pihak untuk tidak – meminjam istilah roston – blik atau kolot bahkan arogan
dalam merespon penafsiran baru yang lebih sesuai dengan konteks perubahan jaman. Dan
akhirnya, semipermeable menjadi sorotan signifikan dalam penelitiannya, karena kedua
ranah sains-agama yang sama-sama merupakan hasil interpretasi manusia, tidak mampu
7

berdiri sendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Keduanya saling menunjang untuk
mendekati kebenaran hakiki. Agama (yang menurutnya bertujuan menemukan makna)
harus dapat dibuktikan juga melalui aspek sebab akibat dan dengan metode ilmiah.
Sementara itu, sains (yang menurutnya bertujuan mencari sebab akibat dari realitas) harus
juga mempunyai makna dalam kehidupan manusia sebagai peneliti kealaman.
VI.

PRODUK PENALARAN YANG ‘KUNO’ ; Josef Van Ess
Seorang peneliti dari Jerman ini coba menguak secara detail keterkaitan antara

logika dalam teologi dan hukum Islam dengan logika Yunani kuno. Upaya tersebut
dilakukan olehnya karena munculnya statmen yang menyatakan bahwa logika dalam
teologi dan hukum Islam sama sekali tidak terpengaruh dan tidak tertarik dengan logika
‘sekuler’ Yunani, kecuali pandangan sekte Mawardi. Dan peneliti ini, agaknya tidak
terlalu percaya dengan asumsi tersebut. Maka, dilakukanlah penelitian.
Hasil yang diperolehnya mungkin akan sedikit mencengangkan untuk sebagian
kelompok Islam ekstrimis, karena semua kajian keislaman, entah itu Tauhid, fikih, bahasa
Arab, dll yang sudah menjadi produk keilmuwan/ilmiah pasti mengacu kepada logika
Yunani. Hal ini dibuktikan oleh Van Ess dalam beberapa manuskrip teologi dan fikih,
yang mendasarkan penalaran dan cara berpikir kajiannya kepada logika Aristoteles dan
Stoik. Konsep seperti premis mayor-minor dan jika-maka ,secara sadar ataupun tidak,
dipungut ‘mentah-mentah’ dari konsep logika Yunani. Bukan hanya itu, Van Ess juga
menemukan persamaan bahasa-bahasa logika antara kedua peradaban tersebut.
Menurut penulis, menilik sejarah peradaban Arab (baik sebelum masuknya Islam
atau sesudahnya), Islam (arab) memang tidak mengenal konsep logika-logika seperti
definisi, pemetaan, deduksi-induksi, analogi dan sebagainya, karena kebudayaan yang
nampak dalam sejarah Islam Arab hanya berkutat pada roman, sastra, mistis, dan yang
menyerupai. Oleh karenanya, hipotesis Van Ess menjadi sangat relevan dengan adanya
bukti-bukti seperti itu. Kemudian yang menjadi Urgen dalam pembahasan ini adalah
mengapa Islam (dari masa awal-sampai sekarang) justru mengutip ‘mentah-mentah’
logika Yunani yang klasik seperti itu??..padahal peradaban barat (yang diwakili oleh
Yunani) sendiri, sebagai pencetus, sudah beralih kepada logika baru yang progresif,
8

dinamis, dan responsif terhadap perkembangan jaman??.. inilah yang menjadi
kekhawatiran Van Ess, bahwa orang Islam kok masih mau saja terjebak dalam logika
kuno yang membuat mereka menjadi defent and attact, yang justru merugikan mereka
sendiri ketika siklus perkembangan jaman ini begitu cepatnya berganti??..
VII.

KOMPARASI PENALARAN ARAB-EROPA ; Muhammad Abied Al-Jabiry
Sebelum pembahasan tentang produk epistemologi yang dimunculkan Abied

dalam bentuk Bayani, Burhani, dan Irfani, penulis lebih tertarik menyoroti latar belakang
dari kemunculannya. Penelitian yang difokuskan untuk mencari persamaan nalar Barat
(eropa,Yunani) dan Arab agaknya menjadi penting untuk dipaparkan sekaligus
perbedaannya. Sedikitnya ada 3 aspek yang perlu diperbincangkan, namun barangkali
bisa dirangkum dalam dua aspek saja
-

Cara pandang terhadap Akal, Alam , dan Tuhan
Menurut nalar Arab, alam atau realita kehidupan, menjadi petunjuk primer dalam
usaha menyingkap keberadaan Tuhan. Akal, dalam hal ini hanya sebatas media
interpretasi alam. Karenanya, objek dan prioritas yang dituju dalam upaya
penyingkapan segala sesuatu adalah Tuhan. Padahal meraka tahu, bahwa Tuhan
adalah zat yang tidak masuk dalam ruang dan waktu, tak terbatas, dan absolut.
Kenapa justru titik pencapaian usaha manusiawi mereka malah diarahkan kepada
sesuatu yang jelas dan pasti tidak mampu mereka capai. Ibarat mencari sesuatu,
tahap pencariannya langsung diarahkan ke barangnya, tidak mempedulikan buktibukti dan password lain yang mendukung ditemukannya barang tersebut. Apalagi
dalam hal ini, barang yang dicari pun belum jelas. Kalaupun ditemukan, apa
memang itu barang yang dicari??...
Sementara nalar Eropa memandang bahwa akal lah yang memberi petunjuk dan
penafsiran primer dalam menyingkap alam, untuk selanjutnya diarahkan sebagai
media untuk mendekati kebenaran absolut Tuhan. Metode penalaran ini jauh
berbeda dari yang pertama, karena main-point dalam usaha pencarian kebenaran
diarahkan untuk mengungkap gejala realitas/alam. Dan usaha dari mereka tidak
main-main, hampir semua ilmu alam dan realitas kehidupan manusia mereka

9

kuasai. Mereka terus termotivasi untuk meneliti dan mengungkap fenomenafenomena yang belum diketahuinya.
Kemudian kalau kita gali dari ranah yang lain, cara pandang di atas bisa tersemai
pula dalam keberadaan akhlaq dan ilmu. Nalar arab jelas mengedepankan
Akhlaq, yang konon disebutnya etika ilahiyah, daripada ilmu. Karena menurut
mereka, ilmu tanpa didasari akhlaq akan sia-sia dan tak akan sampai (tak
diterima) kepada Tuhan. Sementara itu nalar barat berkebalikan, mereka
melandasi akhlaqnya dengan pengetahuan-pengetahuan empiris, bukti-bukti
ilmiah, dan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Namun yang terjadi sekarang, kalau penulis boleh berasumsi, di satu sisi Arab
dengan nalar yang kolot terhadap hal-hal transenden, suci, irrasional, mistis dan –
malangnya – belum bisa tercapai, tetap tidak mau terbuka terhadap realita-realita
tantangan global yang ada di depan matanya. Yang ada, mereka dan pengikutnya
hanya sebagai penikmat produk dari barat, bahkan mereka secara tidak sadar
disetir oleh arus kemajuan barat. Sementara di sisi lain, barat dengan nalarnya,
mungkin karena keasyikan dengan usaha pencarian empiris yang tak
-

berpenghujung, lupa bahwa ada hal lain yang lebih abadi di luar itu.
Rasionalitas dan realitas
Kalau mengacu kepada zaman awal dulu, baik arab (masa awal Islam) maupun
eropa (peradaban filsafat), keduanya mengakui bahwa manusia mencari ketentuan
hukum atau pembenaran bagi suatu kasus setelah sebuah peristiwa terjadi. Artinya
peristiwa itu sebagai referensi utama dalam menentukan kasus sebuah hukum.
Kita tahu bahwa dalam Islam ada istilah asbab nuzul/wurud dalam setiap ada
regulasi yang turun, baik al-Qur’an maupun hadis. Tetapi masalah timbul ketika
masuk ke masa selanjutnya, muncul disiplin ilmu fikih yang menghasilkan lebih
kepada teori dan asumsi daripada pertimbangan realitas dan aktivitas. Dan dalam
proses asumsi, para fuqaha tidak terikat dengan kemungkinan realistis, tetapi
kepada kemungkinan rasional. Hal ini juga terjadi dalam disiplin ilmu matematika
dalam kebudayaan eropa.

VIII. MENAFSIRKAN KEHENDAK TUHAN; Muhammad Abou Khalid al-Fadl

10

Kalau boleh dikata, semua sumber hukum Islam sekarang ini terfokus pada
teks/nash, baik teks al-Qur’an, Hadis, Ijma, Qiyas, dll. Secara urutan, al-Qur’an sebagai
dasar segala sumber hukum menempati posisi awal, kemudian hadis sebagai penjelas dan
pengkondisi teks al-Qur’an di masyarakat, kemudian ijma sahabat nabi ketika masa
beliau telah lewat, dan begitu seterusnya. Yang perlu digarisbawahi adalah ketika teksteks itu sampai kepada kita, pemaknaan, interprestasi, dan rasionalitasnya menjadi
perdebatan panjang kaum ulama. Mayoritas ulama menyamakan pemahaman dan
pemaknaan teks dengan masa-masa sebelumnya, dengan dalih bahwa teks/nash itu suci,
tidak bisa dimaknai sesukanya. Padahal realita yang dihadapi pada masa itu dengan
sekarang sangat jauh berbeda. Kayaknya mereka juga lupa, bahwa apa yang diketahuinya
sebagai suci itu kan juga hasil dari untaian panjang interpretasi ulama-ulama sebelumnya.
Hal itulah yang menjadi salah satu pendorong peneliti dari Kuwait, Khalid, untuk
merumuskan metode hermeneutika dalam hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam
selama ini memasukkan segala jenis pengaplikasian yang otoriter. Dan itu merupakan
produk dari penafsiran/interpretasi seseorang terhadap teks. Hal yang coba ditelusurinya
adalah bagaimana teks suci dan objektif, yang merupakan wakil dari kehendak Tuhan,
yang memuat hukum-hukum universal, itu tidak terintervensi oleh pendapat seseorang?
Hal yang harus diperhatikan menurutnya ada 3, yaitu Autentisitas, penetapan
makna, dan perwakilan. Yang ingin disoroti penulis adalah yang terakhir, perwakilan.
Karena persoalan untuk mewakili kehendak Tuhan ini tidak main-main. Memang
kehendak Tuhan secara murni tidak dapat diwakili oleh siapa pun. Namun, Tuhan
menjanjikan sendiri konsep yang ada pada manusia, yaitu khilafah. Sosok perwakilan,
dalam hal ini penulis memahaminya sebagai mujtahid, dituntut untuk selalu objektif
terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Menghindarkan otoritarianisme pada diri
pribadinya sehingga kehendak Tuhan yang lewat dalam tutur dan tulisannya tidak
semena-mena menurut ambisi dirinya. Sehingga dalam kasus ini, Khalid menawarkan
lima standar yang menjadi syarat bagi wakil, yaitu jujur, kesungguhan, komprehensif,
rasional dan rendah hati.
IX.

AL MAQASID ASSYARI’AH ; Jasser Auda

11

Pada kesempatan kali ini penulis berusaha mencerap beberapa poin penting hasil dari
penelitian Jasser Auda terkait dengan Maqasid shariah, di antaranya:
Latar belakang yang diusung dalam penelitiannya mengacu kepada dua fenomena
menggemparkan akhir-akhir ini, yaitu violence dalam pemahaman agama dan
keterbelakangan pengetahuan intelektual masyarakat muslim berdasarkan survei dari HDI
(Human Development Index). Dalam penjelasan latar belakang itu, masalah yang ikut
menjadi biang keladi terhadap dua fenomena tadi adalah pandangan terhadap disiplin
ilmu Fikih yang disetara-padankan al-Qur’an-Hadis. Hal inilah yang menjadi gejala
mayoritas masyarakat muslim dunia. Fikih ini dipandang mereka sakral, suci dan
dogmatis serta harus diterima apa adanya. Oleh karenanya, materi yang dipaparkan di
dalam kajiannya tidak dirunut dari pertanyaan semacam ‘mengapa’, tetapi hanya apa dan
bagaimana, semisal pemaknaan Jihad dalam fikih hanya sebatas definisi, tipologitipologi, dan sebagainya, tidak dituntaskan sedalam-dalamnya mengapa jihad
didefinisikan dan dikelompokkan seperti itu. Nah, itu problem pertama. Selanjutnya
setelah didalami sedetail-detailnya oleh Jasser, ditemukan bahwa tujuan aplikasi regulasi
Fikih adalah personal/individual, tidak memandang kemaslahatan sosial, nah ini problem
kedua. Barangkali mereka lupa, bahwa fikih itu juga disiplin keilmuwan yang, walaupun
ia mendasarkan pokok kajiannya kepada al-Qur’an dan hadis, juga merupakan
interpretasi dari seseorang secara subjektif.
Selanjutnya, solusi apa yang ditawarkan Jasser kepada Fikih? Ia memaparkan,
kalau memang fikih masih dianggap ilmu, cara berpikir dan logika nya harus mempunyai
sistem yang mampu mengontrol alur interpretasi materi kajiannya, tidak semena-mena
menjastifikasi pernyataan-pernyataan dengan otoritas yang tanpa batas. Jasser membagi
aspek dalam sistem berfikir fikih itu menjadi enam, dan kesemuanya bukan tipologi yang
parsial dan terpisah, namun menyatu-padu dan tidak dapat berdiri sendiri. Aspeknya yaitu
cognitive, wholeness, openness, inter-relatedness, multi-dimentionality, purposefullness.
Semua aspek tadi sangat urgen, namun penulis hanya menyoroti satu aspek saja, yaitu
multi-dimensi.
Aspek ini sangat krusial adanya dalam menyapa setiap ilmu, terutama yang ada
sangkut pautnya terhadap regulasi seperti fikih. Multi-dimensional dimaksudkan satu saja
12

permasalahan dalam bidang fikih, penyelesaian dan penentuan kasus nya harus didalangi
oleh berbagai macam sudut pandang disiplin keilmuwan. Kalau pun terpaksa
digambarkan alur berpikirnya, multi-dimensional ini bukan hanya linear dengan jikamaka umpamanya, tetapi memungkinkan terjadi gerak zig-zag, spiral, dan bahkan
siklikal. Jadi, ada banyak argumentasi yang mendasari suatu pemahaman, kita ambil
contoh permasalahan dalam negara ini, misalnya membumbungnya harga beras, jikalau
akal sehat kita masih bersahabat dengan metode berpikir yang multi-dimensional, kita
mampu berimajinasi untuk merespon masalah itu mulai dari petani, keahlian mereka
dalam bertani, swadaya tani, budaya bertani yang tereduksi, sawah, pupuk, regulasi
tentang pupuk, perusahaan penggilingan padi, kebijakan impor dan ekspor pemerintah
terhadap beras, perda dan perpu tentang harga beras, dan banyak hal lain yang turut
menikam pemahaman dan persepsi mengenai naiknya harga beras.
Kemampuan berimajinasi yang multi-dimensional seperti itu sangat dibutuhkan
untuk kasus tersebut. Karena kalau salah dalam antisipasi suatu masalah yang disebabkan
kurang jernihnya sudut pandang, solusi dari masalah justru menjadi tangga dan media
untuk menjemput masalah berikutnya. Yang ada masalah-masalah itu malah semakin
menumpuk, untuk menyebutnya bukan lagi dengan deret hitung tapi sudah sampai
kepada deret ukur. Dan hal ini sudah disuri-tauladankan oleh pendahulu-pendahulu
bangsa kita dalam lagu dolanan Jawa, cuplikan baitnya seperti ini:
“e...dayohe teko...e...beberno kloso...e...klosone bedah...e...tambalen jadah...e...jadahe
mambu...e...pakakne asu...”, dan seterusnya.

13