Charisma Y.R BAB I BAB V .docx

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola kehidupan masyarakat dunia saat ini cenderung kembali ke alam
termasuk di bidang obat-obatan. Orang kini cenderung beralih ke tumbuhan obat
karena tumbuhan obat memiliki beberapa kelebihan yaitu tidak ada efek samping
bila digunakan secara benar, efektif untuk penyakit yang sulit disembuhkan
dengan obat kimia, harga murah, dan penggunaannya tidak memerlukan bantuan
tenaga medis (Karyasari, 2002).
Letak geografis, suhu, iklim dan kesuburan tanah suatu wilayah sangat
menentukan kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman. Pada tanaman yang
sama jenisnya, kandungan senyawa kimianya berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya.Beberapa jenis tanaman yang digunakan oleh masyarakat sebagai
obat-obatan tradisional diantaranya kunyit, temulawak, jahe daun - daunan dan
sebagainya. Selain itu, masyarakat menggunakan tumbuhan obat seringkali tidak
mengetahui kandungan kimia dari tumbuhan tersebut, sehingga dalam
menentukan jumlah dosis pemakaiannya masyarakat hanya mengandalkan pada
pengalaman dan perkiraan semata (Rohyani, 2015).
Menurut Harborne, (1987) tanaman
dapat dimanfaatkan sebagai obat
tradisional apabila tanaman tersebut mengandung senyawa kimia yang

mempunyai aktifitas biologis (zat bioaktif). Metabolit sekunder meliputi
alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, steroid dan saponin. Kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam suatu tanaman dapat diketahui dengan suatu metode
pendekatan yang dapat memberikan informasi adanya senyawa metabolit
sekunder. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah skrinning fitokimia.
Oleh karena itu, pada praktikum ini akan dilakukan uji fitokimia terhadap
tanaman yaitu daun rambusa, sebagai langkah awal untuk mengetahui kandungan
senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman lokal yang dapat berperan aktif dalam
penyembuhan penyakit.

1.2 Rumusan Masalah

1

Apa saja kandungan metabolit sekunder (Alkaloid, flavonoid, steroid,
terpenoid, tanin dan saponin) pada tanaman rambusa ?
1.3 Tujuan Praktikum
Mengetahui kandungan metabolit sekunder (Alkaloid, flavonoid, steroid,
terpenoid, tanin dan saponin) pada tanaman rambusa.
1.4 Manfaat Pratikum

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai ekstrak
Passiflora foetidayang mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder, yang
berguna sebagai obat-obatan. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat
menambah data pemanfaatan tanaman obat yang secara empiris maupun ilmiah
sebagai wujud pelestarian tanaman obat yang bersumber dari lingkungan
masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kajian Umum Tumbuhan
Passiflora foetidajuga dikenal dengan berbagai nama daerah seperti

ceplukan blungsun (Jawa) permot, rajutan, kaceprek atau ki leuleu’eur (Sunda),
timun dendang atau timun padang (Melayu) dan bibbi (Sulawesi Selatan).

2


Passiflora foetida atau yang sering dikenal dengan rambusa adalah sejenis
buah markisah yang mungil . Passiflora foetida diduga berasal dari berbagai
daerah di Amerika yang kini sudah menyebar ke seluruh daerah tropis di dunia
termasuk Asia Tenggara dan Hawai. Passiflora foetida umumnya tumbuh sebagai
tumbuhan herba liar di berbagai tempat yang tidak terawat, baik itu di daerah
hutan, pesisir pantai, sawah, ladang atau tanah -tanah terbuka tak terawat yang
mendapatkan penyinaran matahari penuh, namun tumbuhan ini juga suka hidup
pada tanah yang lembab. Passiflora foetida merupakan tumbuhan liar yang dapat
dimakan karena buah yang masak rasanya manis dan beraroma harum, namun
perlu diwaspadai karena buah yang masih muda beracun.
Salah satu jenis tumbuhan yang memiliki senyawa antioksidan yaitu
rambusa (Passiflora foetida) yang memiliki peran penting dalam pengobatan
berbagai kategori penyakit pada manusia (Yuldasheva et all., 2004).
Berikut klasifikasi tumbuhan rambusa berdasarkan sistem klasifikasi
menurut Cronquist (1991) dan ATG II (2009).
Kerajaan

: Plantae

Divisi


: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Bangsa

: Malpighiales

Suku

: Passifloraceae

Marga

: Passiflora

Jenis


: Passiflora foetida L.
Gambar 1. Tanaman Rambusa
Buah berbentuk anggur, tumbuhan ini termasuk tumbuhan merambat dengan

panjang 1,5-6 m. batang berbentuk silinder kuat, ditutupi dengan rambut lebat dan
lama kelamaan berkayu, sehingga tumbuhan ini tergolong dalam liana. Daunnya
berbentuk jantung yang bertaju 3 dengan ujung daun yang meruncing Kelopak
sebanyak 3 helai berwarna hijau berbentuk seperti jarum yang bercabang-cabang.
Mahkota bunga sebanyak 5 helai yang berwarna putih bersih dan pada bagian
dasarnya berwarna merah muda. Kepala sari berwarna kuning sebanyak 5 buah,
dimana dasar tangkai sarinya menyatu membentuk tabung berwarna merah muda.
Kepala putik berwarna hijau berjumlah 3 buah , dan bakal buahnya terletak di atas

3

perlekatan dasar tangkai sari. Bunganya memiliki daun pelindung (brachtea) yang
dapat menghasilakan enzim pencernaan yang bersifat lengket dan dapat menjebak
serangga.
Buahnya berupa buah buni berbentuk bulat agak memanjang berukuran

sebesar kelereng (diameter ± 2-3 cm), terbungkus oleh kelopak buah yang
berbentuk seperti jarum yang bercabang-cabang. Daging pembungkus biji
berwarna putih, bagian inilah yang dapat dimakan karena rasanya manis dan
aromanya harum. Bijinya berwarna hitam berbentuk pipih tepinya bergerigi
dengan ukuran panjang ±5 mm dan lebar ±2mm. Dalam 1 buah ini berisi biji
sebanyak ± 20-30 biji (Amela dan Hoc, 1998).
2.2

Kandungan Kimia Tumbuhan
Dornelas dan Vieira, 1994 mengemukakan bahwa terdapat beberapa

kandungan senyawa aktif pada Passiflora foetida

diantaranya linamarine,

harmaline, flavonoid C-glikosida, apigenin dan luteolin.
a. Flavonoid C-glikosida
Flavonoid C – glikosida merupakan flavonoid dengan struktur yang khas,
dimana ikatan gula dengan aglikonnya adalah ikatan karbon-karbon (C-C), yang
umum dijumpai adalah flavon-C-glikosida. Jenis gula yang terikat antara lain

adalah glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa.

Gambar 2. Struktur Flavanoid C-Glikosida
b. Harmaline
Harmaline atau 4,9-Dihydro-7-methoxy-1-methyl-3H-pyrido merupakan
salah satu senyawa yang terdapat dala tumbuhan yang berperan dalam proses
metabolisme, merupakan hormon pengatur tidur dan memiliki kandungan
antioksidan yang tinggi

4

Gambar 3. Struktur Harmaline
c. Linamarin
Linamarin adalah suatu senyawa yang ketika dikonsumsi lalu terurai di
dalam tubuh akan diubah menjadi hidrogen sianida. Linamarin termasuk golongan
glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian tanaman, terutama
terakumulasi pada akar dan daun. Linamarin sebagian besar terdapat dalam
tanaman Linum usitatissinum (linseed), Phaseolus lunatus (Java bean), Trifolium
repens (White clover), Lotus spp. (lotus), Dimorphotheca spp. (cape marigolds)
dan Manihot spp. (ubi kayu). Nama linamarin diberikan karena serupa dengan

yang diketemukan dalam tanaman rami (Linum spp.). Bila senyawa ini
dihidrolisa oleh asam atau enzim maka akan menghasilkan aceton + glukosa +
asam sianida. Linamarin larut dalam air dan hanya dapat hancur oleh panas di
atas suhu 1500 C (Nambisan B, 1999).

Gambar 4. Struktur Linamarin
d.

Apigenin
Apigenin merupakan senyawa flavonoid yang termasuk ke dalam

golongan flavon. Secara kimia apigenin didefinisikan sebagai senyawa 4 5,7- ,‫׳‬
trihidroksiflavon. Struktur kimianya disajikan pada diatas. Senyawa yang
mempunyai bobot molekul 270,2 ini dapat larut dalam alkohol panas dan
dimetilsulfoksida (DMSO). Titik didih dari senyawa ini adalah 345-350 °C dan
lebih baik disimpan pada suhu 4 °C. Apigenin merupakan kelompok senyawa
flavonoid yang dapat digunakan untuk pengobatan radang selaput lendir di hidung
dan tenggorokan. Secara umum apigenin memiliki aktivitas anti inflamasi dan

5


merupakan senyawa yang dapat digunakan sebagai obat penyakit hati serta
sebagai antispamodik.

Gambar 5. Struktur Apigenin
e. Luteolin
3, 4, 5,7-tetrahydroxyflavone atau luteolin-7-o-glukosida, adalah
flavonoid umum yang ada pada banyak jenis tanaman termasuk buah-buahan,
sayuran, dan tumbuhan obat. Manfaat luteolin dari flavonoid dikenal karena
banyak manfaat kesehatannya, seperti antioksidan dan zat antimikroba, terutama
bubuk luteolin. Tanaman yang kaya luteolin telah digunakan dalam pengobatan
tradisional Tiongkok untuk mengobati berbagai penyakit seperti hipertensi,
gangguan inflamasi, dan kanker.
Memiliki banyak efek biologis seperti anti radang, anti alergi dan
antikanker, fungsi luteolin baik sebagai antioksidan atau pro-oksidan secara
biokimia. Mekanisme aksi luteolin dapat dikaitkan secara fungsional satu sama
lain. Misalnya, aktivitas anti-inflamasi mungkin terkait dengan properti
antikanker. Sifat antikanker Luteolin dikaitkan dengan induksi apoptosis, dan
penghambatan proliferasi sel, metastasis dan angiogenesis.


Gambar 6. Struktur Luteolin
2.3

Manfaat Tumbuhan
Menurut Asir et all (2014) tanaman rambusa/Passiflora foetida memiliki

beberapa manfaat dalam bidang kesehatan diantaranya :
a. Mencegah penyakit anemia

6

Khasiat rambusa yang pertama yaitu mencegah penyakit anemia. Buah ini
mengandung cukup banyak zat besi yang mampu menjadi sumber penambah sel
darah merah dalam tubuh.
b. Antimutagen dan antitumor
Total senyawa fenol dalam daun Passiflora foetida juga memiliki berbagai
fungsi untuk menjaga kesehatan manusia, yaitu dapat bertindak sebagai
antimutagen dan antitumor.
c. Vitamin C dan kalsium
Vitamin C dan kalsiummerupakan dua hal penting bagi gigi serta gusi, dua

gizi tersebut ada dalam buah rambusa. Khasiat rambusa untuk gigi yaitu
membantu menguatkan gigi, sedangkan untuk gusi yaitu mencegah berbagai
macam infeksi mulut yang bisa menempel pada gusi.
d. Anti oksidan
Kegiatan antioksidan melalui pengikatan radikal bebas dari ekstrak daun
Passiflora foetida juga sangat tinggi sehingga konsumsi Passiflora foetida akan
mengurangi

jumlah

pembentukan

radikal

bebas

dan

mampu

memberi

perlindungan terhadap spesies oksigen reaktif serta mampu menurunkan
peroksidasi lipid akibat radikal bebas dalam tubuh.
2.4 Metode Fitokimia secara Umum
2.4.1 Uji Flavanoid
a. Metode Shinoda
Pada uji flavonoid dilakukan uji shinoda test (beberapa potong pita
magnesium ditambah HCl pekat). Apabila esktrak yang diperoleh ditambah
dengan shinoda test berwarna orange, merah atau biru maka sampel mengandung
senyawa flavonoid (Markham, K.R, 1988).

b. Metode uji menggunakan NaOH

7

Test NaOH di lakukan dengan cara sampel dalam alkohol ditambah dengan
2 - 4 NaOH 10%, apabila memberikan warna kuning maka reaksi positif,
sesuai dengan yang telah dilakukan (Setiawan, 2008)
c. Metode Uji Timbal Asetat (Pb-Asetat)
Uji Timbal Asetat: Sampel (100 mg) dilarutkan dalam 10 mL pelarut.
Sampel disaring, filtrat (2 mL) dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan 1
mL Pb asetat 10% dan dikocok. Apabila terjadi perubahan warna menjadi coklat
kekuningan berarti positif mengandung flavonoid (Tiwari et all, 2011).
d. Metode Bate Smith-Metchalf
Sebanyak 3 mL sampel diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih.
Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol kemudian disaring. Filtrat ditambahkan 0,5
ml HCl pekat kemudian dipanaskan pada penangas air, jika terjadi perubahan
warna merah tua sampai ungu menunjukkan hasil yang positif (Achmad, 1986)
e. Metode Wilstater
Filtrat ditambahkan 0,5 mL HCl dan logam Mg kemudian diamati perubahan
warna yang terjadi. Warna merah menunjukkan adanya senyawa Flavon, warna
merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru
diberikan oleh aglikon atau glikosida (Achmad, 1986).
f. Uji Golongan Polifenol
Isolat ditambahkan larutan FeCl3 10% dalam akuades. Reaksi positif jika
memberikan warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat (Harborne,
1987).
2.4.2 Alkaloid
a. Metode Mayer
Ambil 3ml filtrat dari setiap sampel lalu dituangkan ke dalam tabung reaksi
dan tambahkan beberapa tetes reagen Mayer. Adanya endapan putih menandakan
positif alkaloid (Evan, 1997).
b. Metode Frohde
Filtrat ditambahkan pereaksi Frohde (Pereaksi Frohdemengandung larutan
1% NH4 molibdat dalam H2SO4 pekat) menghasilkan warna kuning kehijauan
(Robbers, 1996)
c. Metode Wagner dan Lugol’s

8

Tuangkan3 ml filtrat ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan beberapa tetes
pereaksi Wagner dan Lugol, hasilnya diamati. Bagian kedua dari setiap filtrat
dipindahkan ke corong pemisah dan dibuat basa dengan ammonia encer. Larutan
basa masing-masing kemudian diekstraksi dengan volume kloroform yang sama.
Kemudian lapisan kloroform yang lebih rendah dipisahkan dari lapisan amonia
yang mengandung air. Lapisan berair dari masing-masing sampel diolah dengan
pereaksi Mayer , Wagner dan Lugol. Lalu amati hasilnya. (Akpagu Francis C,
2015)
d. Metode Picric Acid
1gr asam picric diambil dalam 100 ml air, lalu tambahkan kedalam ekstrak
tanaman dengan jumlah yang sesuai. Warna krem menunjukkanadanaya alkaloid
(Evan, 1997).
e. Metode Dragendroff
Ekstrak kasar ditambahkan 0,5 mLHCl2%, selanjutnya larutan dimasukkan
dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 2 – 3 tetes reagen Dragendorff, jika
terbentuk endapan jingga menandakan adanya alkaloid (Siti Khairul Bariyyah,
2013).
f. Uji Dragendorff-Meyer
Larutan uji hasil ekstraksi di tambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff yang
merupakancampuran Bi(NO3)2.5H2O dalam HNO3 dan larutan KI). Terbentuknya
endapan jingga sampai merah coklat menunjukkan positif alkaloid (Robinson, T,
1995)
g. Metode Bauchardat
Pereaksi bauchardat mengandung kalium iodida dan iood. Sampel ditambah
pereaksi Bauchardat menghasilkan endapan coklat merah lalu ditambah alkohol
endapannya larut (Robbers, 1996)
2.4.3 Tanin
a. Metode FeCl3
Filtrate ditambahkan larutan FeCl3 0,5 M shingga larutan menjadi biru
kehitaman kemudian ditambahkan larutan H2SO4 pekat, terbentuk endapan coklat
(Sudarmadji, S, 1989).
b. Metode Gelatin
Ekstrak ditambah dengan larutan gelatin. Jika terbentuk endapan putih,
menunjukkan adanya tanin (Bariyyah, Siti, 2013)
9

c. Metode Goldbeater’s Skin
Sepotong kecil Goldbeater’s Skin direndam dalam 2% HCl. Kemudian
dibilas dengan aquades. Selanjutnya masukkan dalam larutan uji selama 5 menit.
Lalu bilas kembali dengan aquades, setelah itu letakkan dalam FeSO4. Adanya
noda coklat atau kehitaman pada Goldbeater’s Skin menujukkan adanya tanin
dalam zat uji (Edward, 1961)
d. Metode Chanwitheesuk
Sebanyak 0,5 g sampel kering diekstraksi dengan 10 mL dietil eter selama
20 jam, kemudian disaring dan residu yang diperoleh dididihkan dengan 100 ml
akuades selama 2 jam,kemudian didinginkan dan disaring. Ekstrak yang diperoleh
ditambahkan dengan akuades hingga volume ekstrak 100 ml. Sebanyak 0,1 ml
ekstrak ditambahkan dengan 0,1 ml reagen Folin Calteu dan divortex,
ditambahkan dengan 2 mL Na2CO3 dan divortex lagi (Chanwitheesuk, 2004).
e. Metode Julkunen-Titto
Sebanyak 0,1 mL larutan ekstrak 200 mg/L dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan dibungkus dengan aluminium foil, kemudian ditambahkan 3 ml larutan
vanilin 4% (b/v) dalam MeOH dan divortex. Selanjutnya ditambahkan 1,5 ml HCl
pekat dan divortex lagi. Absorbansi dibaca pada λ 500 nm setelah campuran
diinkubasi selama 20 menit pada suhu kamar. Kandungan tanin terkondensasi
dinyatakan dalam mg katekin/kg ekstrak. (Suryanto dan Wehantouw, 2009)
f. Metode Uji Phenazone
Phenazon atau dengan nama IUPAC 1,5-dimethyl-2-phenyl-1,2-dihydro-3Hpyrazol-3-one, telah digunakan secara meluas untuk identifikasi tanin. Berikut
prosedur pengujiannya; sejumlah 0.5 gram Sodium Asam Fosfat Anhidrat
(HNa2O4P) ditambahkan ke dalam 5 mL ekstrak aqueous dari simplisia yang diuji.
Panaskan campuran, lalu disaring. Kedalam filtrat yang didapatkan ditambahkan
2% larutan phenazone. Akan terbentuk endapan bulkis yang kadang berwarna,
mengidentifikasikan zat uji mengandung tanin.(Biren at all, 2012)
2.4.4 Uji Saponin
a. Metode Forth
Sampel diuji kulatitatif menggunakan metode Forth. Timbulnya buih pada
uji Forth menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa
lainnya. Uji saponin ini menunjukkan hasil negatif dimana setelah dikocok dan
didiamkan selama 2-4 menit tidak menimbulkan buih (Suyani, H, 1991).

10

b. Metode de Silva dan G.R. Roberts
Sampel diekstraksi dengan IPA 50% pada temperatur 60-70 oC selama 16-18
jam. Rafinat diekstraksi dengan 150 mL IPA selama 2 jam. Ekstrak dievaporasi
dan diatur pH nya 4,5 dengan penambahan HCl, diekstraksi kembali dengan
pelarut butanol. Ekstrak dievaporasi hingga diperoleh padatan saponin (De Silva,
2004).
c. Metode L. Heng
Sampel diblender dengan dry ice dengan rasio 1:1 (b/b). Tepung didefatisasi
menggunakan heksana, direfluks selama 6 jam dan dikeringanginkan. 1 g defatted
pea flour diekstraksi dengan 100 mL etanol 70% selama 1 jam pada 25oC dalam
incubator shaker. Ekstrak disaring dan dievaporasi vakum pada 27oC, ditambah
aquadest (1:3 v/v) dan disentrifugasi. Supernatan dilewatkan pada kolom Sep-Pak
C18 dan dicuci dengan 15 ml

air, dielusi dengan 10 ml

metanol p.a dan

dikeringanginkan. Saponin yang didapat dilarutkan dalam 1 mL etanol 50% (v/v)
dan disentrifugasi (Li Heng, 2005).
d. Metode Simes (Uji Busa)
Simplisia sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisikan aquades 10 ml, dikocok dan ditambahkan satu tetes larutan asam klorida
2 N. Tabungreaksi tersebut didiamkan dan diperhatikan ada atau tidak adanya
busa stabil. Sampel mengandung saponin jika terbentuk busa (Suharto et all,
2012).
2.4.5 Terpenoid
a. Metode Salkowsky
5 ml ektrak dicampur dalam 2 ml kloroform dan ditambahkan beberpa tetes
H2SO4 dengan hati – hati untuk membentuk lapisan. Warna coklat kemerahan atau
coklat kehijauan yang terbentuk menunjukkan hasil positif untuk kehadiran
terpenoid (Mir at all, 2016)
b. Metode Liebermann Burchard
Sebanyak 2 mL sampel (±0,05% b/v) ditambah dengan pereaksi LibermanBurchard 1 mL. Adanya senyawa terpenoid ditujukan dengan terbentuknya warna
biru tua atau hijau kehitaman (Harbone, 1998).
2.4.6 Steroid

11

a. Metode Salkowsky
15 mg sampel dari masing-masing ekstrak dilarutkan dalam 2 ml kloroform
dan 3 ml asam sulfat pekat. Kemudian akan terbentuk dua lapisan, dimana lapisan
warna merah atau orange menunjukkan adanya senyawa steroid (Egwaikhide dan
Gimba, 2007).
b. Metode Liebermann-Burchard
2ml anhidrida asetat ditambahkan kedalam 0,5 ml ekstrak etanol dengan
penambahan masing-masing 2 ml H2S04. Warnanya berubah dari ungu menjadi
biru atau hijau yang menunjukkan adanya steroid (Mir at all, 2016).

BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1

Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu gelas beker 500 ml,

erlenmeyer 500 ml, corong kaca, cawan petri, batang pengaduk, tabung reaksi,

12

lumpang dan alu, rak tabung reaksi, neraca analitik, penjepit tabung reaksi,
spatula, gelas ukur 50 ml, penangas air, kompor listrik, pipet tetes.
3.2

Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu sampel daun rambusa,

EtOH 96%, CHCl3, H2SO4 pekat, pereaksi Dragendroff, aquades, NaOH 10%,
FeCl3, HCl dan kertas saring.
3.3

Tempat Dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan pada hari kamis 19 Oktober 2017, pukul 11.00-

13.00 di Laboratorium Bahan Alam Fakultas Sains, Universitas Cokroaminoto
Palopo.
3.4

Prosedur

3.4.1 Uji Flavanoid
Filtrat daun rambusa dipipet sebanyak 5 ml kemudian dimasukkan kedalam
tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan NaOH 10% sebanyak 5 tetes lalu kocok
sampai homogen , selanjutnya amati perubahan warna yang terjadi. Munculnya
warna kuning menunjukan adanya flavonoid (Lelaprakash, dkk, 2011)
3.4.2 Uji Alkaloid
Filtrat yang dipipet sebanyak 5 ml kedalam tabung reaksi dan ditambahkan
5 tetes pereaksi Dragendroff. Amati perubahan warna apabila berwarna merah
bata maka positif mengandung senyawa alkaloid (Murtadlo, dkk, 2013).
3.4.3 Uji Tanin
Ambil 5 ml filtratdaun rambusa lalu pindahkan kedalam tabung reaksi,
kemudian panaskan selama 5 menit lalu ditambahkan beberapa tetes FeCl 3. Amati
perubahan warna yang terjadi. Adanya tanin ditandai dengan perubahan warna
menjadi hijau kebiruan (Ergina, et all, 2014)

3.4.4 Uji Saponin
Ambil 5 ml filtrat daun rambusa lalu pindahkan kedalam tabung reaksi,
Selanjutnya tambahkan 10 ml air panas lalu dinginkan. Kemudian dikocok kuat
sampai terbentuk busa padat dan ditambahkan 3 tetes HCl 2 N, jika busa masih
tetap ada maka positif mengandung saponin.

13

3.4.5 Terpenoid
Sampel daun rambusa segar dicuci, lalu ditumbuk hingga halus selanjutnya
rendam 100 gr sampel bubuk kedalam 200 ml EtOH lalu diamkan selama 15
menit, setelah itu saring larutan sampel sehingga diperoleh residu dan maserat.
Selanjutnya pindahkan 1 ml ekstrak kedalam tabung reaksi lalu tambahkan 2ml
CHCl3, kemudian tambahkan 2-3 tetes H2SO4 dengan hati – hati. Adanya warna
coklat kemerahan atau coklat kehijauan menunjukkan adanya terpenoid (Usha
Veerachari1and A. K. Bopaiah, 2011)
3.4.6 Steroid
Ambil 5 ml filtratdaun rambusa lalu pindahkan kedalam tabung reaksi,
tambahkan 3 tetes H2SO4pekat untuk uji steroid. Amati perubahan warna yang
terjadi, apabila berwarna merah atau orange menandakan adanya steroid
(Egwaikhide and Gimba, 2007).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Tabel Pengamatan

14

Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan
No

Uji Fitokimia

Hasil

Keterangan

Terbentuk 2 lapisan :
Lapisan atas berwarna
1.

Flavonoid

merah bata
Lapisan bawah berwarna
kuning pucat
Terbentuk endapan

+

2.

Alkaloid

3.

Tanin

Hijau

+

4.

Saponin

Terbentuk busa

+

5.

Terpenoid

Merah Kehijauan

+

6.

Steroid

Merah Kehijauan

+

merah bata

+

Keteragan:
(-) : Tidak mengandung senyawa
(+) : Mengandung senyawa
4.3

Pembahasan

4.3.1 Flavonoid
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam
terutama pada jaringan tumbuhan tinggi. Senyawa ini merupakan produk
metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh tumbuhan
sebagai zat racun (Robinson, 1991).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan karena itu
menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak.
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida
dan aglikon flavonoid mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam
beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu, maka dalam
menganalisis flavonoid biasanya lebih baik bila memeriksa aglikon yang terdapat
dalam ekstrak tumbuhan yang telah

dihidrolisis sebelum mengidentifikasi

glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak (Harborne, 1967).

15

Pada praktikum ini identifikasi senyawa flavonoid

pada daun rambusa

dilakukan dengan cara mengambil filtrat daun rambusa lalu dipipet sebanyak 5
ml kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan NaOH
10% sebanyak 5 tetes lalu kocok sampai homogen, selanjutnya amati perubahan
warna yang terjadi jika berwarna kuning menandakan (+) mengandung flavonoid.
Pada praktikum ini diperoleh hasil bahwa daun rambusa mengandung
flavonoid (+) yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna, dimana pada
lapisan atas terbentuk warna merah bata sementara lapisan bawah berwarna
kuning pucat. Hal ini terjadi karena flavonoid termasuk dari senyawa fenol. Bila
fenol direaksikan dengan basa akan terbentuk warna yang disebabkan terjadinya
sistem konjugasi dari gugus aromatik (Markham, 1988).

Gambar 7. Reaksi Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi NaOH
4.3.2 Alkaloid
Alkaloid merupakan suatubasa organik yang mengandung unsur nitrogen
(N) pada umumnya berasal dari tanaman, yang mempunyai efek fisiologis kuat
terhadap manusia. Kegunaan senyawa alkaloid dalam bidang farmakologi adalah
untuk memacu sistem syaraf, menaikkan tekanan darah, dan melawan infeksi
mikrobial (Pasaribu, 2009).
Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari berbagai jenis tumbuhan.
Semua alkaloid mengandung atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan
bagian dari cincin heterosiklik (Ahmad, 1986). Alkaloid mempunyai kegiatan
fisiologi yang menonjol dan sering digunakan secara luas dalambidang
pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa yang mempunyai satu atau lebih atom
nitrogen biasanya dalam gabungan dan sebagian dari sistem siklik (Harbone,
1996).

16

Alkaloid dapat dideteksi dengan beberapa pereaksi pengendap. Pereaksi
Mayer mengandung kalium iodida dan merkuri klorida, dengan pereaksi ini
alkaloid akan memberikan endapan berwarna putih. Pereaksi Dragendorff
mengandung bismuth nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrat berair.
Senyawa positif mengandung alkaloid jika setelah penyemprotan dengan pereaksi
Dragendorff membentuk warna jingga (Sastrohamidjojo, 1996).
Pada praktikum ini identifikasi senyawa alkaloid dilakukan dengan cara
filtrat dipipet sebanyak 5 ml lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 5 tetes pereaksi Dragendroff. Amati perubahan warna apabila
berwarna merah bata maka positif mengandung senyawa alkaloid (Murtadlo, dkk.
2013).
Identifikasi alkaloid pada daun rambusa menunjukkan adanya senyawa
alkaloid yang ditandai dengan munculnya endapan merah bata. Hal ini sesuai
dengan penelitian dari Marliana, dkk (2005) yang menyatakan bahwa adanya
alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih dengan pereaksi Mayer dan
endapan merah dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Dragendorff dapat
mengendapkan alkaloid karena dalam senyawa alkaloid terdapat gugus nitrogen
yang memiliki satu pasang elektron bebas menyebabkan senyawa alkaloid bersifat
nukleofilik (basa).
Hasil psitif alkaloid pada uji Dragendroff ditadai dengan terbentuknya
warna merah bata sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid.
Pada pembuatan pereaksi Dragendroff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar
tidak terjadi reaksi hidrolisis membentuk ion bismutil (BiO +). Agar ion BiO+
tetap

berada

dalm

larutan,

maka

larutan

ditambah

asam

sehingga

kesetimbangan aka bergeseer kearah kiri. Selanjutnya ion Bi 3+ dari bismut nitrat
bereaksi dega kalium iodide membetuk endapan hitam bismut (III) iodida yang
kemudian melarut dalam kalium tetraiodobismutat. Pada uji alkaloid degan
pereaksi Dragendroff, nitrogen digunakan untuk membetuk ikatan kovalen
koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam. Reaksi pada uji Dragendroff
ditunjukkan pada gambar 8.

17

+

K+

K [BiI4]

Kalium – alkaloid
(endapan jingga)

+ K [BiI4]-

Orange

Gambar 8. Reaksi Senyawa Alkaloid dengan Pereaksi Dragendroff
4.3.3 Tanin
Tanin merupakan senyawa polifonel yang banyak terkandung dalam
berbagai jenis tanaman. Untuk melakukan identifikasi tanin dalam suatu simplisia
dapat dilakukan dengan berbagai metoda identifikasi. Proses identifikasi ini
bertujuan untuk mengetahui benar atau tidaknya suatu simplisia mengandung
tanin. Selain itu karena tanin sangat beraneka ragam jenisnya, maka dengan proses
identifikasi ini kita juga dapat meprediksi jenis tanin apakah yang dikandung
dalam simplisia yang diuji (Biren Shah dan Avinash Seth, 2012).
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk kepolimer mantap yang tidak larut dalam air. Secara
kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia
tumbuhan. Tanin terkondensasi hampir terdapat di dalam paku – pakuan dan
gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis
tumbuhan berkayu. Sebaliknya tanin yang terhidrolisis penyebarannya terbatas
pada tumbuhan berkeping dua (Harbrone, J.B, 1987)
Pada praktikum ini identifikasi senyawa tanin dilakukan dengan cara
mengambil 5 ml filtrat daun rambusa lalu pindahkan kedalam tabung reaksi,
kemudian panaskan selama 5 menit lalu ditambahkan beberapa tetes FeCl 3. Amati

18

perubahan warna yang terjadi. Adanya tanin ditandai dengan perubahan warna
menjadi hijau kebiruan.
Uji fitokimia dengan menggunakan FeCl3 digunakan untuk menentukan
apakah sampel mengandung gugus fenol. Adanya gugus fenol ditunjukkan
dengan warna hijau kehitaman atau biru tua setelah ditambahkan dengan FeCl 3,
sehingga apabila uji fitokimia dengan FeCl3 memberikan hasil positif
dimungkinkan dalam sampel terdapat senyawa fenol dan dimungkinkan salah
satunya adalah tanin karena tanin merupakan senyawa polifenol. Hal ini
diperkuat oleh (Harborne, 1987) cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol
sederhana yaitu menambahkan ekstrak dengan larutan FeCl3 1 % dalam air, yang
menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat. Terbentuknya
warna hijau kehitaman atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan
FeCl3 karena tanin akan membentuk senyawa kompleks dengan ion Fe 3+, seperti
yang terlihat pada gambar 9.

Gambar 9. Reaksi antara Tanin dan FeCl3
Hasil uji fitokimia ekstrak daun rambusa dengan FeCl 3 menghasilkan suatu
warna hijau kecoklatan, karena reaksi antara tanin dan FeCl3 membentuk senyawa
kompleks. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga di dalam ekstrak daun rambusa
mengandung senyawa polifenol yang diduga adalah senyawa tanin. Terbentuknya
senyawa kompleks antara tanin dan FeCl3 karena adanya ion Fe3+ sebagai atom
pusat dan tanin memiliki atom O yang mempunyai pasangan elektron bebas yang
bisa mengkoordinasikan ke atom pusat sebagai ligannya. Ion Fe 3+ pada reaksi di
19

atas mengikat tiga tanin yang memiliki 2 atom donor yaitu atom O pada posisi 4’
dan 5’ dihidroksi, sehingga ada enam pasangan elektron bebas yang bisa
dikoordinasikan ke atom pusat. Atom O pada posisi 4’ dan 5’ dihidroksi memiliki
energi paling rendah dalam pembentukan senyawa kompleks, sehingga
memungkinkan menjadi sebuah ligan (Sa’adah, 2010).
4.3.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan senyawa
aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel
darah merah (Harborne,1984). Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis
sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang
dapat menyebabkan keracunan pada ternak (Robinson, 1991).
Pada praktikum ini identifikasi senyawa saponin dilakukan dengan cara
mengambil ambil 5 ml filtrat daun rambusa lalu pindahkan kedalam tabung
reaksi, selanjutnya tambahkan 10 ml air panas lalu dinginkan. Kemudian dikocok
kuat sampai terbentuk busa padat dan ditambahkan 3 tetes HCl 2 N, jika busa
masih tetap stabil maka positif mengandung saponin.
Penambahan air panas hal ini dilakukan agar kandungan saponin tidak
berkurang bila suhu menurun. Filtrat yang dihasilkan kemudian dikocok secara
hingga terbentuk busa. Hal ini disebabkan saponin merupakan senyawa yang
bersifat seperti sabun, dimana memiliki gugus hidrofil dan hidrofob yang dapat
bertindak sebagai permukaan aktif dalam pembentukan busa (Fessenden, 1999)
Uji positif untuk saponin adalah dengan terbentuknya busa yang stabil.
Saponin dapat larut dalam air karena adanya gugus hidrofil (OH) yang dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air. Penambahan HCl dilakukan
untuk menguji kestabilan busa. Penambahan HCl dilakukan dalam jumlah yang
sedikit karena apabila ditambahkan dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan
permukaan aktif sabun.
Filtrat daun rambusa mengandung senyawa saponin yang ditandai dengan
terbentuknya busa yang bertahan lama serta tidak hilang setelah penambahan
HCl 2M. Timbulnya busa pada pengujian tersebut menunjukkan adanya
glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang

20

terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya dengan reaksi seperti
pada gambar 10.

.
Gambar 10. Reaksi Hidrolisis Saponin dalam Air
4.3.5 Terpenoid
Terpenoid adalah suatu senyawa alam yang terbentuk dengan proses
biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid
ditemui tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi, namun juga pada terumbu karang
dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, kerangka
terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena. Terpenoid
terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu
monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar
menguap, sampai ke senyawa yang tidak menguap, triterpenoid dan sterol serta
pigmen karotenoid. Masing-masing golongan terpenoid itu penting, baik pada
pertumbuhan dan metabolisme maupun pada ekologi tumbuhan (Harbone, 1996).
Pada praktikum ini identifikasi senyawa terpenoid dilakukan dengan metode
Salkowsky yaitu mengambil 5 ml ekstrak lalu dipindahkan kedalam tabung reaksi
lalu ditambahkan 2ml CHCl3, kemudian ditambahkan 2-3 tetes H2SO4 dengan hati
– hati. Adanya warna coklat kemerahan atau coklat kehijauan menunjukkan
adanya terpenoid.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa ekstrak daun rambusa mengandung
terpenoid yang ditandai dengan munculnya warna merah kehijauan pada saat
ditetesi H2SO4 pekat dan setelah didiamkan beberapa hari sampel berwarna coklat
21

kehijaun. Perubahan warna terjadi setelah larutan dsimpan beberapa hari, hal itu
disebabkan karena proses identifikasi senyawa metabolit sekunder dipengaruhi
oleh waktu reaksi, suhu, zat pereaksi dan konsentrasi.
Selain dengan metode Salkowsky identifikasi senyawa terpenoid juga dapat
dilakukan dengan metode Liebermann Burcharad. Prinsip

reaksi

dalam

mekanisme reaksi uji terpenoid dapat dilihat pada gambar 11 dimana terjadi
proses kondensasi atau pelepasan H2O dan penggabungan karbokation.
Reaksi ini diawali dengan proses asetilasi gugus hidroksil menggunakan asam
asetat anhidrida. Gugus asetil yang meupakan gugus pergi yang baik akan
lepas sehingga terbentuk

ikatan rangkap. Selanjutnya terjadi pelepasan

gugus hidrogen beserta

elektronnya,

mengakibatkan

ikatan rangkap

berpindah. Senyawa ini mengalami resonansi yang bertindak sebagai
elektrofil atau karbokation. Serangan karbokation menyebabkan

adisi

elektrofilik, diikuti dengan pelepasan hidrogen. Kemudian gugus hidrogen
beserta elektronnya dilepas akibatnya senyawa mengalami perpanjangan
konjugasi yang memperlihatkan munculnya cincin coklat (Siadi, 2012)

Gambar 11. Reaksi Terpenoid dengan Pereaksi Liebermann-Burchard

4.3.6 Steroid

22

Steroid memilki kerangka dasar terbentuk dari sistem cincin siklopentana
prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa metabolik sekunder
yang banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya
diperoleh dari senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Djamal,
1988).
Pada praktikum ini identifikasi senyawa untuk uji steroid dilakukan dengan
metode Salkowsky dengan cara mengambil 5

ml ekstrak lalu dipindahkan

kedalam tabung reaksi, tambahkan 3 tetes H 2SO4 pekat. Amati perubahan warna
yang terjadi, apabila berwarna merah atau orange menandakan adanya steroid.
Filtrat daun rambusa mengandung steroid yang ditandai dengan terjadinya
perubahan warna menjadi merah kehijauan. Uji positif adanya steroid apabila
terjadi perubahan warna menjadi merah atau orange, hal ini berdasarkan reaksi
Salkowsky yang menyatakan bila suatu steroid direaksikan dengan setetes asam
sulfat pekat akan menghasilkan warna merah bata (Robinson, 1995).
Menurut Fessenden (1999) uji Steroid dapat juga dilakukan dengan metode
Liebermann-Burchard dengan cara menyaring larutan yang telah dimaserasi
tujuan untuk memisahkan residu daun rambusa dari filtrat. Filtrat yang diperoleh
kemudian diuapkan. Penguapan berfungsi untuk menghilangkan pelarut eter yang
tersisa pada filtrat. Residu yang diperoleh dari penguapan kemudian ditambah
dengan asam asetat anhidrat dimana asam asetat anhidrat akan bereaksi dengan
steroid melalui reaksi asetilasi menghasilkan kompleks asetil steroid. Reaksi yang
terjadi dapat dilihat pada gambar 12.
O
CH 3

Gugus steroid

OH

C

+

CH 3

O
C

- CH3COOH

O

Steroid

O

C

senyawa kompleks
O

CH3

asetil steroid

Gambar 12. Reaksi steroid dengan pereaksi Liebermann-Burchard
Penambahan H2SO4 pekat bertujuan untuk mendekstruksi kompleks asetil
steroid. H2SO4 pekat lebih bersifat reaktif jika bereaksi dengan steroid
dibandingkan dengan asam asetat anhidrat. Hal ini dikarenakan kemampuan
H2SO4 yang lebih mudah masuk mengatasi efek sterik yang besar dari molekul
steroid sehingga senyawa kompleks yang dihasilkan lebih stabil dari kompleks
23

asetil steroid. Uji positif terhadap steroid dengan metode Liebermann-Burchard
adalah jika terbentuk larutan berwarna biru.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1

Kesimpulan
Berdasarkan tujuan praktikum dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun

rambusa positif mengandung flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, terpenoid dan
steroid.
5.2

Saran

24

Sebaiknya praktikan harus lebih teliti dalam mengamati perubahan warna
yang terjadi pada masing-masing pengujian karena ada banyak faktor yang
mempengaruhi hasil identifikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Karnunika
Asir, P. Joseph, S.Hemmalakshmi, S.Priyanga, and K.Devaki. 2014. In Vitro Free
Radical Scavenging Activity And Secondary Metabolites In Passiflora
Foetida L.Vol.6. No. 2. (Hal. 641)
Biren Shah dan Avinash Seth. 2012. Textbook of Pharmacognosy and
Phytochemistry. Elsevier Health Sciences : Amsterdam (Hal. 384)

25

C. Akpagu Francis, et all. 2016.Estimation of alkaloid, saponin and
flavonoidcontent in various extracts of Crocus sativa Vol.4. No. 5 (Hal. 491497)
Chanwitheesuk, A.; Teerawutgulrag A.; Rakariyatham N. 2004. Screening of
Antioxidant Activity and Antioxidant Compounds of Some Edible Plants of
Thailand. Food Chemistry.(Hal.92:491-497)
De Silva, U.L.L and G.R Roberts. 1972. Products From the seeds-Extractionand
Properties of Saponin. Vol.4. No.3 (Hal. 91-94)
Dornelas MC and MLC.Vieira.1994. Tissue culture studies on species of
Passiflora. Plant Cell Tissue and Organ Culture, (Hal. 36:211-217)
Edward P. Claus. 1961. PHARMACOHNOSY, Fourth Edition. Lea & Febiger :
Philadelphia. (Hal. 324-330)
Egwaikhide PA, Gimba CE.2007. Analysis of the Phytochemical Content and
Anti-microbical Activity of Plectranthus Glandulosis Whole Plant. Vol.2.
No.4 (Hal.135-138)
Fessenden, R. J., Fessenden, J. S..1999. Kimia Organik, Jilid 1, Edisi ketiga.
Erlangga : Jakarta
Harborne, A. 1998. Phytochemical methods a guide to modern techniques of plant
analysis: Springer Science & Business Media.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Penerbit ITB : Bandung. (Hal: 245-248)
Lelaprakash,G., et all. 2011. In Vitro Antimicrobial activity Of Momordica
Charantia Leaves. Pharmacophore. Vol.1. No. 4. (Hal.242-252)
L. Heng. 2005. Flavour Aspects Of Pea and its Protein Preparation in Relation to
Novel Protein Foods. Wageningen University : Netherland
Karyasari.2002. Materi Pelatihan Profesional Tanaman Obat. Kelas Profesional.
Penyakit dan Pengobatannya. Karyasari: Bogor
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid.Kosasih Padmawinata.
Mir, M Amine, et all.2016. Estimation of alkaloid, saponin and flavonoid,content
in various extracts of Crocus sativa. Vol.4 No.5 (Hal.171-174)
Nambisan B. 1999. Cassava Latex and Source as Linamarase for
Determination of Linamarin. Journal of Agricultural and Food Chemistry
(Hal. 372-373)
Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1997. Antioxidant properties of phenolic
compounds: reviews. Trends in Plant Science Vol.2. No. 4 (Hal.152-159)

26

Robbers, James E, et all. 1996.Pharmacognosy and pharmacobiotechnology.
Williams & Wilkins : United States of America.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB : Bandung
Sa’adah, L. (2010). Isolasi dan identifikasi senyawa tanin dari daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi l.). Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik
Ibrahim : Malang.
Siti Khairul Bariyyah, A. et all.2013. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Jambu Batu sebagai Antibakteri. Vol. 2 No.
3. (Hal. 150 -204).
Siadi. K. 2012. Ekstrak Bungkil Biji Jarak
Pagar
(Jatropa
curcas)
Sebagai Biopestisida Yang Efektif Dengan Penambahan Larutan
NaCl. Jurnal Mipa 35(2). (Hal.77-83)
Sudarmadji, S. 1989.Analisa Bahan Makanan dan Pertanian . Liberti: Yogyakarta
Suharto, M. A. P., Edy, H. J., Dumanauw, J. M. 2012. Isolasi dan identifikasi
senyawa saponin dari ekstrak methanol batang pisang ambon (Musa
paradisiaca var. sapientum L.).Vol.1. No.2 (Hal. 86-92)
Suryanto, E, Wehantouw F. 2009. Aktivitas Penangkap Radikal Bebas dari
Ekstrak Fenolik Daun Sukun (Artocarpus Altilis F.). ChemistryProgress.
(Hal. 2. 1-7)
Suyani, H. 1991. Kimia dan Sumber Daya Alam. PusatPenelitian Universitas
Andalas : Padang
Svehla.1990.Vogel
Buku
Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro
dan Semimikro. PT. Kalman Media Pustaka : Jakarta
Rohyani, I.S., Aryanti, E., Suripto. 2015. Kandungan Fitokimia Beberapa Jenis
Tumbuhan Lokal yang sering dimanfaatkan sebagai Bahan Baku Obat di
Pulau Lombok. Vol.1. No.2 (Hal. 388-391)
Tiwari, Prashant., et all. 2011. Phytochemical Screening and Extraction : A
Review. International Pharmaceutica Scienca. Vol. 1. No. 1(Hal. 98-106)
Usha Veerachari1and A. K. Bopaiah. 2011. Preliminary phyto-chemical
evaluation of the leaf extract of five Cassia SpeciesJ. Chem. Pharm.
Res.Vol.3 No.5. (Hal. 574-58)

27

LAMPIRAN
Lampiran 1. Bagan Kerja
1. Flavonoid

Filtrat daun
rambusa

28

- 5 ml filtrat daun rambusa
dipindahkan kedalam
tabung reaksi
- Ditambahkan 5 tetes
NaOH 10%
- Kocok sampai homogen

Adanya warna kuning menandakan

+ mengandung flavonoid.
2. Alkaloid

Filtrat daun
rambusa
- 5 ml filtrat daun
rambusa
dipindahkan
kedalam tabung
reaksi
- Ditambahkan 5 tetes
Adanya warna merah bata
menandakan + mengandung
alkaloid.
3. Tanin

Filtrat daun
rambusa
- 5 ml filtrat daun rambusa
dipindahkan kedalam
tabung reaksi
- Dipanaskan selama 5 menit
- Ditambahkan
tetes FeCl3

beberapa

29

Adanya tanin ditandai dengan
perubahan

warna

menjadi

hijau kebiruan.
4. Saponin

Filtrat daun
rambusa
- Ditambahkan 10 ml
air panas lalu
dinginkan
- Dikocok kuat
sampai terbentuk
busa padat
- Ditambahkan 3
Jika busa masih tetap ada maka
tetes HCl 2 N
positif mengandung saponin.

5. Terpenoid

Filtrat daun
rambusa
- 5 ml filtrat daun
rambusa dipindahkan
kedalam tabung
reaksi.
- Ditambahkan 2ml
CHCl3
- Ditambahkan 2-3 tetes
H2SO4

30

Adanya warna coklat kemerahan
atau coklat kehijauan menunjukkan
+ mengandung terpenoid.
6. Steroid

Filtrat daun
rambusa
- 5 ml
filtratdaunrambusadip
indahkankedalamtabu
ngreaksi
- Ditambahkan 2-3 tetes
Adanya warna merah atau orange
menandakan

+

mengandung

steroid.
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Maserasi sampel

Gambar 2. Sampel disaring

31

Ganbar 3. Ekstrak dipindahkan kedalam
tabung reaksi sebanyak 5 ml

Gambar 4. 5 ml ekstrak daun
rambusa

Gambar 6. Ditambahkan 2 ml CHCl3

Gambar 7. Ditambahkan 2-3 tetes
H2SO4

32