Gerhana Equinox dan Kengerian yang Tak T

Gerhana, Equinox, dan Kengerian yang Tak Tepat1
Oleh: Ismail Al-‘Alam
(Anggota Dewan Penyelia DISC Masjid UI)
Maret 2016 baru saja berlalu. Di dalamnya, kita mengalami dua peristiwa langka yang
melibatkan pusat tata surya, yakni gerhana matahari total di tanggal 9 dan equinox di tanggal 21.
Kita sudah sama tahu pengertian gerhana matahari total sehingga tak perlu dibahas di sini, sedangkan pengertian equinox adalah peristiwa di mana matahari berada persis di atas garis khatulistiwa. Ia terjadi dua kali dalam setahun, dan mengakibatkan suhu udara mengalami peningkatan. Siapa saja yang tinggal di Jadetabek, misalnya, kala equinox akan merasakan siang hari yang
lebih gerah dari biasanya --yang memang sudah gerah.
Perasaan takjub menghampiri kita lantaran gerhana memang peristiwa di luar kebiasaan
sehari-hari. Dua pewarta dari salah satu saluran televisi, yang meliput gerhana itu di dua kota
berbeda, menyampaikan laporannya sambil mengucap takbir dan tasbih dengan suara sengau karena terharu. Sebaliknya, perasaan ngeri pada equinox mungkin menghampiri sebagian dari kita.
Kompas.com (19/03/2016) melansir berita tentang beredarnya desas-desus mengerikan yang akan terjadi pada manusia kala equinox:
…suhu diperkirakan mencapai 40 derajat celsius. Publik diminta beradaptasi dengan mengonsumsi air 3 liter sehari, memperbanyak makan sayuran, dan mandi
sesering mungkin. Gambaran dampak equinox itu mengerikan sebab manusia bisa
pingsan, terserang heat stroke, dan mengalami kegagalan fungsi organ tertentu.
Suhu bisa naik hingga 9 derajat celsius.
Masih di dalam artikel yang sama, dua ilmuwan memberi penjelasan yang menenangkan kita.
Kepala Lembaga Penelitian Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, berkata bahwa
equinox tiada memberi dampak berarti pada kita. Selain dia, Deputi Bidang Meteorologi Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Yunus S Swarinoto menerangkan equinox
bukan fenomena heat wave atau gelombang panas seperti di Afrika dan Timur Tengah, yang dapat mengakibatkan peningkatan suhu secara besar dan bertahan lama.
Kalangan sekular akan menganggap hal ini sebagai peristiwa bendawi belaka, sehingga

perasaan takjub atau ngeri justru harus diubah menjadi pendorong bagi penelitian ilmu-ilmu alam. Sebagai seorang muslim, kita mestinya tidak mengalami persoalan itu. Kita bisa tetap menyalurkan rasa takjub dengan benar dalam bentuk salat sunnah gerhana dan zikir sambil melakukan penelitian astronomi, jika itu menjadi keahlian kita. Penulis tidak hendak berbicara lebih jauh soal hubungan Islam dan sains; edisi IX dari buletin ini sudah menerbitkan tulisan sahabat penulis, Yogi Theo Rinaldi, berjudul Islam di Antara Takhayul dan Sekularisme yang membahas
tema itu. Tulisan ini hendak menyoroti sisi yang belum banyak diperbincangkan: jika Islam sudah memiliki cara pandang yang menjadikan umatnya memiliki kesiapan menghadapi dan mengkaji fenomena alam, apakah kaum muslimin mempelajarinya sehingga perasaan takjub (atau ngeri) yang timbul sudah berdasarkan cara pandang yang benar? Sebuah temuan empirik hasil kajian
1

Tulisan ini pernah dimuat di buletin at-Tafakkur, DISC Masjid UI, no. 12, Jumadil Akhir 1437 H.

dua ilmuwan sosial yang akan penulis rujuk di bawah bisa membantu kita menjawab pertanyaan
ini, kemudian merefleksikannya.
Keamanan Eksistensial
Ada buku menarik berjudul Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide. Penulisnya dua ilmuwan sosial dari dua kampus mentereng di Amerika Serikat (AS), yakni Pippa
Norris dari Universitas Harvard dan Ronald Inglehard dari Universitas Michigan. Keduanya hendak menguji teori-teori sekularisasi awal yang dirumuskan para filsuf dan begawan ilmu sosial,
seperti Durkheim, Spencer, Marx, dan Weber (Norris dan Inglehard, 2011: 3). Gagasan umum
dari teori-teori tersebut adalah bahwa peralihan masyarakat dari keadaan agraris ke keadaan industrialis, yang mengharuskan mereka menguasai teknologi dan birokrasi modern, membuat agama tak lagi diperhitungkan di ruang publik. Jika masyarakat pada keadaan agraris amat membutuhkan sosok berwibawa yang bisa menjelaskan kejadian-kejadian alam dengan dalil agama, mereka tak lagi memerlukan itu ketika sudah hidup dalam keadaan industrialis, sebab yang mereka
butuhkan adalah orang-orang yang menguasai sains dan teknologi (Norris dan Inglehart, 2011: 79). Masyarakat dunia tengah menuju ciri seragam di masa depan, yakni modern dan sekular.
Norris dan Inglehart mempercayai tesis di atas, namun ia ternyata terlalu sederhana dan
hanya menggambarkan semangat para perumusnya, yang rata-rata hidup di ujung abad 19 dan awal abad 20. Di tahun 1970-an, Barat justru mengalami gelombang desekularisasi, di mana agama dalam bentuknya yang baru dan lebih berwajah kebatinan (baca: New Age) kian semarak dijalani oleh masyarakat, sedangkan agama dalam bentuknya yang lama (yakni Gereja) tetap sepi
peminat. Fenomena ini amat merangsang kedua sarjana tersebut untuk melakukan penelusuran
empiris guna memperkuat dan memperkaya teori-teori sekularisasi awal. Dengan pendekatan
yang lebih canggih dari sebelumnya, mereka hendak menunjukkan bahwa wajah sekularisasi tidaklah seragam, dan bahwa agama tidak serta-merta runtuh dalam garis lurus sejarah. Mereka
mafhum bahwa pandangan dan kajian yang lebih bernuansa lebih diperlukan dari teori-teori lawas itu, dan di sinilah mereka mengajukan pendekatan baru, yakni pendekatan keamanan eksistensial (existential security).

Pendekatan keamanan eksistensial adalah pendekatan lintas disiplin yang mengkaji keadaan batin suatu masyarakat berdasarkan ukuran-ukuran empiris, seperti kesiapan atau ketaksiapan menghadapi bencana alam, wabah penyakit baru yang mematikan (seperti HIV/AIDS), angka
kelahiran dan kematian mempengaruhi demografi, kesempatan menjangkau pendidikan, kesanggupan memperoleh air bersih, dan jurang ekonomi antara si kaya dan si miskin. Untuk mengukurnya, Noris dan Inglehart menetapkan variabel-variabel yang amat rinci dan mengumpulkan
data yang amat melimpah baik dari beberapa lembaga dunia seperti PBB dan Bank Dunia maupun melalui penelitian langsung. Mereka mengajukan hipotesis bahwa masyarakat di negara-negara kaya memang semakin sekular, namun secara umum, dunia ini menjadi semakin religius
(Norris dan Inglehart, 2011: 25).
AS menjadi contoh yang menarik. Sekalipun mendaku sebagai polisi dunia, mahaguru
demokrasi, dan pusat segala kecanggihan ekonomi, AS justru masih bersetia pada Protestantisme
dengan segala bentuk denominasinya. Norris dan Inglehart menunjukkan bahwa hal tersebut lantaran di sana kesenjangan ekonomi masih menganga, perasaan terancam oleh serangan terorisme
masih menghantui, dan kehadiran imigran dari negara-negara religius seperti Timur Tengah

(Islam) dan Amerika Latin (Katolik) yang membantu kegiatan ekonomi juga masih terus terjadi.
Serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon tahun 2001 mengentalkan religiusitas ini. Presiden
AS kala itu, George W. Bush, tampil menjadi seorang Protestan fundamentalis yang bahkan memasangkan angka ayat Bibel tertentu di senjata pasukan militer AS yang melakukan “perang salib” ke Afghanistan.
Wajah paling sekular dari masyarakat, dalam temuan Norris dan Inglehart, adalah negaranegara Skandinavia yang berhasil mengatasi keamanan eksistensial itu. Kehidupan politik dan
ekonomi mereka cenderung stabil, dengan persebaran penduduk yang pas dan persoalan-persoalan kesehatan yang bisa diatasi (Norris dan Inglehart, 2011: 67). Sedangkan yang paling religius,
kita bisa tebak, adalah “negara-negara dunia ketiga” yang masih miskin secara ekonomi, terbelakang di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan sebagainya. Pada akhirnya, mereka merumuskan tiga hal yang mempengaruhi mentalitas masyarakat: kelangkaan (scarcity), ketakpastian
(uncertainty), dan ketakberdayaan (powerlessness).
Sikap Yang Benar
Apa yang bisa kita ambil dan bisa kita kritik dari kajian di atas? Kita bahas yang perlu dikritik terlebih dahulu: agama dalam pengertian mereka, sebagaimana pandangan umum dalam ilmuwan sosial sekular, hanya suatu gejala kebudayaan manusia yang tak ada sangkut paut sama
sekali dengan Tuhan, apalagi hukum Tuhan yang harus dijalankan. Sebagai muslim, kita tidak
butuh pandangan semacam ini, sebab ia hanya membantu ilmuwan yang memang ragu pada kebenaran agamanya sendiri. Sedangkan yang bisa kita ambil darinya adalah suatu temuan empiris

yang tak bisa dielakkan, bahwa manusia di dunia modern ini ternyata lebih sering menaik-turunkan sikap keberagamaannya berdasarkan pertimbangan keamanan eksistensial. Dalam Islam, temuan empiris seperti ini bisa menjadi sumber informasi berharga, namun ia bukan gambaran utuh dari hakikat manusia dan masyarakat.
Seorang muslim hakikinya beragama karena kepasrahan dan kesadaran penuh akan kebenaran agamanya, bukan pada keadaan yang memberi ketenangan atau keterancaman. Jika mengaitkannya dengan gerhana dan equinox di awal, kita bisa menginsyafi bahwa cara kita memandang alam raya mestilah dengan pengenalan bahwa itu semua merupakan ayat (petunjuk) Allah.
Matahari kala gerhana atau equinox, atau matahari dalam keadaannya yang “biasa-biasa saja”,
bumi dan seisinya, juga sehamparan fenomena alam raya ini semua adalah ayat-ayat Allah bagi
kaum yang berpikir. Allah bukan cuma menunjukkan kekuasaan-Nya kala gerhana atau equinox,
tapi juga di setiap waktu dan tempat.
Jika mengaitkannya dengan persoalan keamanan eksistensial yang lebih luas, kita diperintahkan untuk berikhtiar dengan segala daya yang kita mampu dan tahu, yang diperoleh dengan
menuntut ilmu, lalu bertawakkal pada Allah. Tugas kita adalah melatih batin untuk sampai pada
kesadaran itu, kemudian berpegang pada pandangan Islam dalam setiap kegiatan keilmuan dan
urusan sehari-hari, dan menghindari sikap beragama yang berdasarkan untung-rugi keamanan
eksistensial saja. Sikap beragama yang keliru seperti itu bisa membuat muslim yang awam atau
orang kafir mengira bahwa Islam tak ada beda dengan agama lain, yakni tempat pelarian yang
menenangkan di saat dunia sedang gawat darurat.
Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka
Norris, Pippa dan Ronald Inglehart. 2011. Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide.
New York: Cambridge University Press.