Praktik Pembuatan Perjanjian Internasion. docx
Praktik Pembuatan Perjanjian Internasional di Indonesia
A. Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional di Indonesia
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, praktiknya di Indonesia yakni
sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, yaitu:
1. Tahap Penjajakan
Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berunding mengenal kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional;
Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat
Jenderal) dapat sebagai inisiator untuk mengusulkan pembuatan perjanjian
internasional ke Negara mitra atau sebaliknya sebagai yang menerima usulan
pembuatan perjanjian internasional. Baik sebagai pihak yang mengusulkan atau
menerima usulan saling menjajaki pembuatan perjanjian internasional sesuai
dengan potensi yang dimiliki masing-masing pihak;
2. Tahap Perundingan
Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan
masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional;
3. Tahap Perumusan Naskah
Perumusan naskah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu
perjanjian internasional;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) mengkoordinasikan
penyusunan konsep perjanjian internasional berdasarkan masukan dari unit eselon
I. Apabila naskah perjanjian internasional tersebut melibatkan Kementerian lain
atau lembaga pemerintah lainnya, maka dapat dilakukan koordinasi inter
kementerian melalui surat menyurat atau mengadakan rapat inter kementerian;
Setelah
naskah
perjanjian
internasional
dirumuskan
dalam
bentuk draft/counter draft, kemudian dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan
Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional (HPI) dan/atau unit regional atau multilateral di Kementerian Luar
Negeri
untuk
diminta
tanggapan/masukan
dan/atau
disampaikan
ke counterpart melalui KBRI di Negara counterpart. Pada tahapan ini pihak
Indonesia dan pihak counterpart menyusun draft dan counter draft perjanjian
internasional;
4. Tahap Penerimaan
Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang
biasanya dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian
internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral,
proses
penerimaan
(acceptance/
approval) biasanya
merupakan
tindakan
pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional;
Hasil akhir dari penyusunan draft dan counter draft ini adalah suatu draft
finalperjanjian internasional yang jika diperlukan, diparaf oleh para pihak sebelum
ditandatangani;
5. Tahap Penandatanganan
Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral
untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati
oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai Negara pihak. Keterikatan
terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan ratification/
accession/ acceptance/ approval.
Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja
sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya
berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga
pemerintah, baik Departemen maupun non Departemen dilakukan tanpa
memerlukan surat kuasa (pasal 7 ayat 5);Seseorang yang mewakili Pemerintah
Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian
atau
mengikatkan
diri
pada
Powers (pasal 7 ayat 1).
Pada
perundingan
perjanjian
multilateral,
internasional
dalam
memerlukan Full
“Rules
of
Procedures” mensyaratkan adanya Surat Kepercayaan / Credentials (pasal 7 ayat
1) bagi delegasi yang menghadiri perundingan tersebut, maka instansi pemrakarsa
mengajukan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menerbitkan
Surat Kepercayaan dengan melampirkan nama, jabatan, dan kedudukan pejabat
dalam susunan pejabat tersebut. Hal ini mutlak diperlukan untuk menunjukkan
bahwa pejabat tersebut merupakan wakil yang ditunjuk secara sah oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) berkoordinasi dengan
Kementerian Luar Negeri dalam penyiapan (Full Powers) untuk penandatangan
perjanjian internasional. Bila secara substansi (draft final PI) dan prosedural (Full
Powers) telah selesai, maka perjanjian internasional tersebut dapat ditandatangani
oleh kedua belah pihak;
Perjanjian internasional berlaku setelah dilakukan penandatanganan, atau
perjanjian internasional tersebut berlaku setelah pertukaran Nota Diplomatik
(Pasal 15 ayat 1);
B. Praktik Ratifikasi di Indonesia
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur
di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian
internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Di Indonesia, pengesahan
perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem
campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang
atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undangundang diatur oleh Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sedangkan yang menangani
pengesahan/ratifikasi dalam bentuk keputusan presiden adalah Direktorat
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan :
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional
mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
materi sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan
presiden. Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya ada tiga peraturan yang
menjadi dasar yaitu : UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan
Peraturan Presiden.
C. Penyimpanan Naskah Perjanjian
Perjanjian Internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan Pasal 17 UU Perjanjian Internasional harus
disimpan di TREATY ROOM pada Direktorat Perjanjian Ekososbud Kementerian
Luar Negeri. Salinan Naskah Resmi perjanjian akan didaftarkan pada Sekjen PBB
sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB.
Contoh:
1. Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara
Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12
Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi
yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan
persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6
Tahun 1973;
2. The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
(Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi melalui UndangUndang No. 17 Tahun 1985, tetap memerlukan Undang-Undang No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan;
3. Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika
Tahun 1971) yang disahkan (diratifikasi) melalui Undang-Undang No. 8
Tahun 1996, masih memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika.
A. Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional di Indonesia
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, praktiknya di Indonesia yakni
sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, yaitu:
1. Tahap Penjajakan
Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berunding mengenal kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional;
Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat
Jenderal) dapat sebagai inisiator untuk mengusulkan pembuatan perjanjian
internasional ke Negara mitra atau sebaliknya sebagai yang menerima usulan
pembuatan perjanjian internasional. Baik sebagai pihak yang mengusulkan atau
menerima usulan saling menjajaki pembuatan perjanjian internasional sesuai
dengan potensi yang dimiliki masing-masing pihak;
2. Tahap Perundingan
Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan
masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional;
3. Tahap Perumusan Naskah
Perumusan naskah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu
perjanjian internasional;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) mengkoordinasikan
penyusunan konsep perjanjian internasional berdasarkan masukan dari unit eselon
I. Apabila naskah perjanjian internasional tersebut melibatkan Kementerian lain
atau lembaga pemerintah lainnya, maka dapat dilakukan koordinasi inter
kementerian melalui surat menyurat atau mengadakan rapat inter kementerian;
Setelah
naskah
perjanjian
internasional
dirumuskan
dalam
bentuk draft/counter draft, kemudian dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan
Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional (HPI) dan/atau unit regional atau multilateral di Kementerian Luar
Negeri
untuk
diminta
tanggapan/masukan
dan/atau
disampaikan
ke counterpart melalui KBRI di Negara counterpart. Pada tahapan ini pihak
Indonesia dan pihak counterpart menyusun draft dan counter draft perjanjian
internasional;
4. Tahap Penerimaan
Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang
biasanya dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian
internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral,
proses
penerimaan
(acceptance/
approval) biasanya
merupakan
tindakan
pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional;
Hasil akhir dari penyusunan draft dan counter draft ini adalah suatu draft
finalperjanjian internasional yang jika diperlukan, diparaf oleh para pihak sebelum
ditandatangani;
5. Tahap Penandatanganan
Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral
untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati
oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai Negara pihak. Keterikatan
terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan ratification/
accession/ acceptance/ approval.
Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja
sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya
berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga
pemerintah, baik Departemen maupun non Departemen dilakukan tanpa
memerlukan surat kuasa (pasal 7 ayat 5);Seseorang yang mewakili Pemerintah
Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian
atau
mengikatkan
diri
pada
Powers (pasal 7 ayat 1).
Pada
perundingan
perjanjian
multilateral,
internasional
dalam
memerlukan Full
“Rules
of
Procedures” mensyaratkan adanya Surat Kepercayaan / Credentials (pasal 7 ayat
1) bagi delegasi yang menghadiri perundingan tersebut, maka instansi pemrakarsa
mengajukan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menerbitkan
Surat Kepercayaan dengan melampirkan nama, jabatan, dan kedudukan pejabat
dalam susunan pejabat tersebut. Hal ini mutlak diperlukan untuk menunjukkan
bahwa pejabat tersebut merupakan wakil yang ditunjuk secara sah oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) berkoordinasi dengan
Kementerian Luar Negeri dalam penyiapan (Full Powers) untuk penandatangan
perjanjian internasional. Bila secara substansi (draft final PI) dan prosedural (Full
Powers) telah selesai, maka perjanjian internasional tersebut dapat ditandatangani
oleh kedua belah pihak;
Perjanjian internasional berlaku setelah dilakukan penandatanganan, atau
perjanjian internasional tersebut berlaku setelah pertukaran Nota Diplomatik
(Pasal 15 ayat 1);
B. Praktik Ratifikasi di Indonesia
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur
di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian
internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Di Indonesia, pengesahan
perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem
campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang
atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undangundang diatur oleh Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sedangkan yang menangani
pengesahan/ratifikasi dalam bentuk keputusan presiden adalah Direktorat
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan :
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional
mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
materi sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan
presiden. Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya ada tiga peraturan yang
menjadi dasar yaitu : UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan
Peraturan Presiden.
C. Penyimpanan Naskah Perjanjian
Perjanjian Internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan Pasal 17 UU Perjanjian Internasional harus
disimpan di TREATY ROOM pada Direktorat Perjanjian Ekososbud Kementerian
Luar Negeri. Salinan Naskah Resmi perjanjian akan didaftarkan pada Sekjen PBB
sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB.
Contoh:
1. Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara
Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12
Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi
yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan
persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6
Tahun 1973;
2. The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
(Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi melalui UndangUndang No. 17 Tahun 1985, tetap memerlukan Undang-Undang No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan;
3. Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika
Tahun 1971) yang disahkan (diratifikasi) melalui Undang-Undang No. 8
Tahun 1996, masih memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika.