Dari Lokal ke Internasional. doc
Globalisasi & Konflik Etnis
2
Dari Lokal ke Internasional:
Mengamati Gejala Internasionalisasi
Lebih banyak negara di dunia yang terlahir sebagai
negara heterogen, terdiri lebih dari satu etnis,
dibandingkan dengan yang terlahir sebagai negara
homogen. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara
batas-batas teritorial dengan batas-batas kultural.
Masalah-masalah ini secara mudah memicu tumbuhnya
nasionalisme etnis yang dapat berkembang menjadi
konflik etnis jika sentimen etnis tersebut tidak dikelola
secara benar oleh pemerintah nasional. Entitas sebuah
negara dikukuhkan dengan perjanjian internasional,
sementara aktor-aktor sosial yang berada di berbagai
negara melakukan interaksi sosial, ekonomi dan
budaya. Namun sifat perbatasan (border) yang porous
menyebabkan sebuah negara tidak bisa dengan mudah
menghindar dari masuknya aliran barang, berita
maupun manusia, termasuk mudahnya konflik nasional
merembet ke negara lain.
Seringkali juga meningkatnya intensitas konflik etnis di
sebuah negara merupakan hasil dari peristiwa di luar
batas negara yang peristiwa tersebut tidak dapat
dikontrol oleh pemerintah nasional. Nasionalisme etnis
dapat menjadi faktor penganggu bagi kristalisasi nilainilai kesadaran nasionalisme di tingkat negara (civic
nationalism).
Banyak
negara
pasca-kolonial
menghadapi
masalah
integrasi
nasional
yang
bersumber pada pertikaian etnis yang belum
13
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
terselesaikan,
bahkan
setelah
negara
yang
bersangkutan bertahun-tahun lepas dari penjajahan.
Konflik berbasis etnis selama ini dikenal sebagai konflik
nasional yang berada di ranah domestik. Keberagaman
etnis dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya
menghasilkan konflik etnis, dan tidak setiap konflik
etnis menghasilkan kekerasan. Pemerintah di setiap
negara memperlakukan konflik etnis sebagai urusan
dalam negeri yang penyelesaiannya dilakukan melalui
cara-cara yang dikehendaki masing-masing pemerintah
nasional. Cara-cara yang ditempuh bervariasi, mulai
cara-cara politik/persuasif sampai pendekatan militer.
Alasan utama yang mendasari mengapa konflik etnis
diperlakukan ‘hanya’ sebatas masalah nasional tidak
terlepas dari sistem Westphalian yang menempatkan
doktrin kedaulatan sebagai dasar bertindak setiap
negara semenjak lebih dari tiga abad.
Doktrin kedaulatan tersebut menghendaki integritas
kewilayahan (teritori) sebagai faktor yang harus
dijunjung
tinggi.
Hal
tersebut
mengakibatkan
domestikasi konflik etnis; artinya konflik etnis hanya
boleh menjadi urusan negara dan negara berupaya
semaksimal mungkin mencegah
agar konflik etnis
tidak menjadi masalah internasional. Tidak ada satu
negara pun yang membiarkan konflik etnis berkembang
menjadi ‘bola liar’ di tingkat internasional. Konflik etnis,
dengan demikian menjadi salah satu isu keamanan
manusia
non-konvensional
yang
telah
mencuri
perhatian masyarakat internasional. Sifat transnasional
konflik etnis menjadi salah satu bahan kajian baru
dalam
studi
hubungan
internasional.
Pada
14
Globalisasi & Konflik Etnis
kenyatannya, amat sulit bagi beberapa kasus konflik
etnis domestik untuk tidak bermutasi menjadi konflik
internasional karena beberapa sebab. Berubahnya sifat
konflik tersebut secara nyata merupakan ancaman bagi
stabilitas dalam sistem internasional. Banyak konflik
etnis menjadi dilema keamanan bagi negara-negara
tetangga dan menjadi keprihatinan kolektif sehingga
memerlukan
tindakan
kolektif
pula
untuk
mengelolanya.
Berkembangnya interdependensi, globalisasi, dan
interakasi antarmanusia, antarperadaban, dan relatif
semakin dekatnya jarak antarberbagai tempat di dunia
menyebabkan isu-isu domestik tidak dapat ditampung,
diisolasi maupun disembunyikan dari pengamatan
khalayak internasional.
Perkembangan ini telah
meresahkan setiap pemerintah nasional yang memiliki
masalah dengan konstituennya di tingkat nasional.
Konflik antara negara dan masyarakat yang pada
awalnya hanya menjadi ‘konsumsi domestik’ telah
berubah menjadi masalah internasional, yang secara
potensial dapat berpengaruh pada proses resolusi
konflik. Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik etnis,
seperti gerakan-gerakan pemisahan diri dan diaspora
tidak lagi dapat dikategorikan semata dalam aktor
domestik karena kegiatan mereka yang melintas batas
negara. Mereka telah menjadi salah satu aktor
internasional baru yang layak mendapat perhatian.
Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa beberapa
gerakan etno-nasionalis telah menjalin dukungan dan
kerjasama dengan organisasi teroris internasional.
Bahkan dalam beberapa kasus, konflik etnis telah
memicu,
dan
berkembang
menjadi
konflik
15
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
antaranegara
sehingga
memerlukan
diplomatik dalam menghadapinya.
aktivitas
Berkembangnya
masalah
lokal/nasional
menjadi
masalah internasional merupakan gejala yang terjadi
sejak hampir tiga dasawarsa terakhir. Apakah gejala
yang dapat diamati dari sebuah konflik etnis di
peringkat nasional berkembang menjadi konflik
internasional yang dapat berdampak destruktif bagi
stabilitas sistem? Benar bahwa tidak semua konflik
etnis berdimensi
internasional karena terdapat
beberapa kasus konflik etnis yang dapat dihindarkan
dari proses pelebaran sehingga tidak sampai
mengganggu stabilitas sistem. Berubahnya sifat konflik
dari masalah nasional menjadi konflik yang menarik
perhatian internasional dapat diamati melalui beberapa
variabel yang dapat diperlakukan sebagai indikator.
Melalui beberapa variabel indikator dapat diamati
apakah sebuah konflik etnis di tingkat nasional telah
mengalami proses internasionalisasi.
Bagian ini berupaya mengidentifikasi dan menguraikan
beberapa faktor yang dapat dilihat sebagai ukuran
bahwa telah terjadi perubahan sifat sebuah konflik, dari
lokal menjadi internasional. Konflik etnis menginternasionalisasi bila memenuhi sedikitnya kriteriakriteria berikut ini:
1.
Terdapat dukungan dari pihak luar/eksternal yang
berasal dari:
a.
Ethnic kin dan diaspora
16
Globalisasi & Konflik Etnis
Ethnic kin (kerabat sesama etnis) dan diapora
merupakan aliansi etnis yang berpengaruh kuat pada
proses internasionalisasi konflik etnis. Saudara sesama
etnis adalah sumber dukungan utama bagi sekelompok
etnis yang sedang bertikai. Terdapat kecenderungan
keberpihakan dari sebuah kelompok etnis kepada
kelompok etnis lain yang terdepresi pada sebuah
wilayah di luar wilayah yang dihuni oleh etnis
simpatisan tersebut. Nepotisme etnis1 ini merupakan
gejala yang wajar dan alamiah.
Dukungan yang
diberikan berdasarkan faktor genetik oleh blood
brothers berdampak signifikan bagi etnis yang sedang
menghadapi pertikaian, baik dengan negara (konflik
vertikal) maupun dengan kelompok etnis lain (konflik
horizontal).2
Menurut teori nepotisme etnis a la
Berghe, terdapat kecenderungan predisposisi perilaku
yang bersifat umum ‘untuk berfihak pada organisme
1
Istilah ‘nepotisme etnis’ untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Pierrre L. van den Berghe pada awal 1980-an. Berghe
mengemukakan bahwa berbagai bentuk enisitas yang ada
dikelompokkan berdasar pada seleksi kekerabatan (kin) dan
etnisitas didefinisikan berdasar persamaan keturunan Lebih jauh,
Berghe menjelaskan, ‘ethnic and racial sentiments are extension
of kinship sentiments. Ethnocentrism and racism are thus
extended forms of nepotism – the propensity to favor kin over
nonkin’ (Vanhanen 1999, 1).
2
Dukungan yang diberikan dapat berupa instrumental maupun
afeksi (Suhrke dan Noble, 1981 dalam Heraclides 2001, 370).
Keterlibatan instrumental dapat berwujud pemberian bantuan
ekonomi, dukungan politik, pertimbangan strategis, prestise dan
pengaruh internasional, dan hal-hal yang berkaitan dengan politik
domestik.
Sementara itu, pertimbangan-pertimbangan afektif
melibatkan unsur-unsur seperti identitas etnis, agama, ideologi,
ketidakadilan sejarah dan iredentisme.
17
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang memiliki hubungan biologis dengan si aktor’.
Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin kuat
preferensi perilakunya. Dengan demikian terdapat
kecenderungan favoritisme dalam perilaku mendukung
konflik berbasis etnis. Hal ini relevan dengan
interpretasi politik Darwinian yang berakar pada teori
evolusi sosiobiologis mengenai seleksi kekerabatan
(Vanhanen 1999, 1-2).
Dalam konflik etnis pemisahan diri, dukungan bagi
ethnic kin diberikan ketika ethnic kin mendapat represi
dari pihak (negara/rejim/aktor) lain. Pada umumnya
pihak pemberi dukungan pada ethnic kin di tempat lain
berpegang pada prinsip conventional wisdom. Prinsip
ini tidak memungkinkan sebuah negara yang
mengalami konflik etnis serupa di negaranya sendiri
memberi dukungan pada ethnic kin yang hendak
memisahkan diri dari negara induknya (Saideman
2001, 2). Prinsip ini masih dipertahankan sebagai
sebuah norma standar, namun di sisi lain prinsip ini
sering sulit untuk dipatuhi oleh para aktor. Komunitas
diaspora3 merupakan kelompok etnis yang bermigrasi
3
Secara etimologi, kata diaspora berasal dari bahasa Yunani
' berarti biji-biji yang tersebar (Anthias, 1998: 560).
Definisi diaspora secara luas mencakup kelompok pengungsi
politik, penduduk asing (alien residents), pekerja tamu/asing
(guest workers), imigran, orang yang terusir (expellees), minoritas
etnis dan rasial, komunitas bangsa asing (overseas communities).
Istilah
diaspora
digunakan
oleh
kaum
yang
merasa,
mempertahankan,
dan
menghidupkan
kembali
ikatanikatan/hubungan dengan tanah leluhurnya (Shuval 2002, 41).
Secara lebih teperinci, Safran (1991, 83-84 dalam Tsagarousianou
2004, 3) mengajukan definisi diaspora, yang meliputi karakteristik
sebagai berikut:
18
Globalisasi & Konflik Etnis
dan menetap di luar wilayah negara induknya (home
country) yang secara potensial dapat berperan ganda,
sebagai pihak yang membantu resolusi konflik dengan
peran intervensi konstruktifnya maupun pihak yang
membantu meningkatkan intensitas aspek kekerasan
(violence) di negara induk. Beberapa masyarakat
diaspora pada awalnya datang sebagai pengungsi atau
pencari suaka, seperti yang dapat ditemui di kalangan
diaspora Sri Lanka di Jerman dan Inggris. Perang, status
yang tidak jelas dan rasa tidak aman di negara induk
merupakan beberapa pemicu untuk menjadi diaspora.
Zunzer (2004, 13) menekankan bahwa diaspora
memiliki potensi untuk menjadi pihak yang dapat
membantu transformasi konflik etnis berkepanjangan
(protracted). Diaspora dapat menjalankan perannya
melalui,
“…supporting the conflicting parties as they
argue about ways to achieve a negotiated
settlement and empowering them, in the
medium term, to initiate a sustainable process
for overcoming the conflict causes by
a. Komunitas asal yang tersebar dari tanah airnya ke dua
negara atau lebih; mereka terpisah dari lokasi geografisnya
namun dipersatukan oleh visi,memori atau mitos tentang
tanah leluhurnya;
b. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan pernah dapat
diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya saat ini, dan
karenanya membentuk komunitas otonom untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan cultural sendiri;
c. Mereka dan keturunannya akan kembali jika kondisi
memungkinkan;
d. Mereka mempertahankan dukungan bagi tanah leluhurnya;
kegiatan tersebut mampu berlangsung karena didukung oleh
solidaritas dan kesadaran komunal.
19
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
themselves. This in turn means that conflict
prevention and conflict transformation activities
are interdependent and must involve key state
and civil society actors.”
Zunzer melihat bahwa peran positif diaspora, dalam
berbagai kasus konflik etnis, sebagai agen perdamaian
perlu mendapat perhatian. Diaspora memiliki potensi
dalam transformasi konflik melalui peran sosio-ekonomi
dan politik yang signifikan. Konflik etnis di Sri Lanka,
misalnya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dialektik di antara diaspora Sri Lanka (yang sebagian
besar terdiri dari kaum Tamil dan sebagian kecil
Sinhala), host country (tempat tinggalnya) dan home
country (negara asalnya) dan LTTE 4. Mereka tidak
hanya merespon setiap perkembangan yang terjadi di
Sri Lanka tetapi juga memberikan dukungan ekonomi
dan politik melalui jalur-jalur dan jejaring formal dan
informal. Diaspora Sri Lanka generasi ketiga yang pada
umumnya lebih terpelajar mendukung transformasi
LTTE dari organisasi militer murni menjadi organisasi
politik. Diaspora Sri Lanka di London memberi
LTTE kerap diambil sebagai salah satu contoh “sukses” gerakan
pembebasan karena organisasi pemberontak ini dianggap sebagai
salah satu organisasi yang paling canggih dan mematikan di
dunia. Kelompok ini mampu secara efektif mengontrol wilayah
timur laut Sri Lanka, menjalankan pemerintahan virtual di
Semenanjung Jaffna sampai dengan tahun 1995. LTTE juga terbukti
mampu melakukan perlawanan terhadap pemerintah melalui
berbagai spektrum konflik gerilya, seperti melakukan pembunuhan
terpilih sampai berbagai aksi terorisme sampai serangan besar
berukuran battalion. Pemerintah Kolombo terbukti sering tidak
mampu mengalahkan LTTE secara militer karena kekuatan dan
militansi para pejuang LTTE yang tidak sebanding dengan
kekuatan tentara Sri Lanka (SLAF-Sri Lanka Armed Forces). (Lihat
Byman, et al 2001; Wyland, 2004).
4
20
Globalisasi & Konflik Etnis
sumbangan penting atas menurunnya aktivitas LTTE di
Inggris setelah kaum diaspora berhasil mempengaruhi
pemerintah Inggris sehingga undang-undang antiterorisme disetujui oleh parlemen Inggris. Undangundang tersebut berdampak pada larangan segala
bentuk kegiatan LTTE di Inggris (Zunzer 2004, 20).
Selain berperan positif, ikatan etnis lintas batas negara
dapat menjadi faktor pencipta ketidakamanan.
Diaspora sering berperan sebagai sponsor bagi
keberhasilan
pemberontakan
terhadap
negara.
Berbagai pemberontakan di belahan dunia mana pun,
seperti di Algeria, Azerbaijan, Mesir, Sri Lanka, India,
Indonesia, Kosovo, Turki, Irlandia Utara, Israel, Rwanda,
Rusia, menerima berbagai bentuk dukungan dari
komunitas migrant mereka masing-masing dalam
bentuk uang, senjata maupun dukungan non-fisik
seperti dukungan diplomatik dan penggalangan lobilobi internasional. Dukungan diaspora inilah yang
menyebabkan pemberontak mampu meningkatkan
kapabilitas perjuangannya memungkinkan mereka
untuk
bertahan
dari
serangan-serangan
balik
(counterinsurgency) yang dilakukan pemerintah.
Salah satu bentuk dukungan dari diaspora bagi
keberhasilan perjuangan LTTE adalah keberhasilan
diaspora dalam memberikan label pada diri mereka
sebagai ‘victim diaspora’ (Wyland 2004, 413) dan
memanfaatkan etos demokrasi liberal di beberapa
negara
Barat
bagi
didirikannya
kantor-kantor
perwakilan LTTE, seperti Eelam House di London, yang
berfungsi sebagai markas besar LTTE di luar Sri Lanka
(Byman 201, 44). Padatnya aktivitas politik diaspora
21
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Tamil di berbagai tempat, terutama mereka yang
tinggal di negera-negara Barat, mantan presiden Sri
Lanka J.R. Jayewardene memberi mereka sebutan
sebagai ‘the world’s most powerful minority’ (Wyland
2004, 415).
Sebagai kelompok yang tinggal jauh dari tanah
leluhurnya, diaspora memiliki kesempatan dan
keleluasaan yang lebih besar dalam menentukan
pilihan politiknya dibandingkan jika mereka tinggal di
tanah leluhur. Demikian pula dalam mengambil posisi
politik yang dikehendaki, diaspora memiliki lebih
banyak pilihan. Dalam kaitan dengan perannya sebagai
‘mediator’ etnis, menurut Wyland (2004, 418), diaspora
memiliki potensi untuk berperan penting dalam
keberhasilan perjuangan kemerdekaan berbasis etnis,
karena:
“In the diaspora, it became possible to explore
and express Tamil cultural, linguistic, and
religious identity as never before. Associations
were formed, both with an eye toward
facilitating integration in the host country as
well as toward maintaining ties with the
homeland, namely through supporting the quest
for Tamil independence. Migration from Sri
Lanka has resulted in Tamil identity-building
from abroad as well as material support for the
creation of a separate Eelam.”
Diaspora etnis memberi dukungan materi dan nonmateri bagi aktivitas politik yang termobilisasi
(Carment dan James, nd, np). Contohnya, para elit
Tamil memanfaatkan identitas diaspora dan berhasil
memobilisasi mereka yang tinggal di berbagai negara,
22
Globalisasi & Konflik Etnis
yang perjuangannya berpengaruh pada dinamika
konflik di Sri Lanka. Cara-cara yang digunakan oleh
diaspora tersebut antara lain: (a) pertukaran informasi
diantara sesama komunitas Tamil melalui koran, radio,
internet,
dan organisasi etnis; (b) menyebarkan
kesadaran atas perjuangan Tamil melalui pawai,
konferensi dan berbagai lobi ke pejabat-pejabat negara;
(c) penggalangan dana, baik melalui cara-cara legal
maupun ilegal. Propaganda yang dilakukan terus
menerus
tentang penderitaan kaum Tamil telah
mampu membangkitkan rasa bersalah pada diaspora
Tamil.
Kegiatan-kegiatan
ini
berdampak
pada
keberlanjutan perjuangan kemerdekaan di Sri Lanka
(Wyland 2004, 18). Sama halnya dengan diaspora
Siprus, Yunani, Turki, pada umunya mereka seringkali
bersikap nasionalis bahkan chauvinis bila berhadapan
dengan hal-hal yang menyangkut kepentingankepentingan politik di tanah leluhur. Demikian pula
dengan diaspora Yahudi yang mendukung terbentuknya
negara Israel dan diaspora Irlandia yang mendukung
berdirinya negara Irlandia (Anthias 1998, 567).
b.
Negara
Negara masih merupakan kekuatan dominan dalam
politik internasional dan negara merupakan salah satu
aktor pendukung proses internasionalisasi konflik etnis.
Keterlibatan negara sebagai pihak ketiga dalam konflik
etnis di suatu negara bukanlah sebuah kenyataan baru.
Sebuah negara yang terlibat dalam konflik etnis dapat
berperan sebagai pihak pendamai maupun sebagai
pihak yang memperkeruh konflik.
23
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Sekali pun banyak aktor-aktor non-negara memberi
dukungan pada salah satu kelompok etnis yang
bertikai, dukungan yang mereka berikan tidak melebihi
skala dan jumlah dukungan yang diberikan oleh negara.
Pada era Perang Dingin, dukungan negara membawa
dampak besar pada efektivitas perjuangan kelompok
etnis. Penelitian Byman et al (2001, 10) menunjukkan
bahwa
negara
merupakan
sponsor
penting
pemeliharaan konflik etnis dengan memberikan
bantuan militer, politik dan kegiatan logistik, baik
dalam skala terbatas maupun besar. Salah satu
contohnya adalah Libya yang secara aktif membantu
Gerakan Aceh Merdeka. Dukungan tersebut setidaknya
terjadi sampai dengan tahun 1991. Terbatasnya jumlah
personel
dan
logistik
yang
didapatkan
GAM,
menyebabkan organisasi ini tidak memiliki potensi
berkembang untuk menjadi konflik internasional.
Salah satu bentuk dukungan negara yang mampu
mengubah bentuk konflik lokal menjadi internasional
adalah dukungan India pada LTTE. Intervensi India atas
masalah etnis Sri Lanka menyebabkan terganggunya
keseimbangan power di Asia Selatan. Intervensi India
pada krisis etnis di Sri Lanka selama tahun 1980-an,
salah satunya disebabkan oleh kekhawatiran India atas
berkembangnya sentimen pemisahan diri di Tamil
Nadu, wilayah India yang berdekatan dengan Sri Lanka.
Selain itu India mulai merasa terganggu dengan
membanjirnya pengungsi Tamil dari wilayah Jaffna
menuju India.
Kedua negara tersebut berusaha
menyelesaiakan masalah Tamil secara diplomatik
maupun
militer.
New
Delhi
dan
Colombo
menandatangani Perjanjian Perdamaian pada Juli 1987
24
Globalisasi & Konflik Etnis
(Indo-Sri Lankan Peace Accord). Berdasarkan Perjanjian
tersebut militer India memiliki kewenangan untuk
memadamkan pemberontakan Tamil Eelam. Intervensi
militer India tersebut berdampak pada permusuhan
LTTE terhadap India. Oposisi LTTE pada aliansi New
Delhi-Colombo ditunjukkan dengan pembunuhan tiga
tokoh penting, yaitu Deputi Menteri Pertahanan Sri
Lanka Ranjan Wijerante; Perdana Menteri India, Rajiv
Gandhi; dan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa
(Chalk 2003, 134).
Amerika Serikat juga terlibat dalam konflik etnis bagi
pemisahan
diri
Kosovo
dari
Yugoslavia
yang
menyebabkan munculnya krisis di Balkan. Atas nama
menghentikan pembersihan etnis di Kosovo oleh
penguasa
Yugoslavia,
Slobodan
Milosevic,
AS
melancarkan intervensi kemanusiaan, yang disebut
Amerika sebagai “a just and necessary war” dan “the
new interventionism” (Chomsky 1999, 3-4). Konflik
Kosovo tidak saja melibatkan AS, tetapi juga organisasi
internasional seperti NATO dan PBB. Dalam kaitan ini,
konflik Kosovo tidak bisa lagi sekedar dipandang
sebagai konflik etnis lokal yang terjadi antara etnis
Albania (di Kosovo) versus Yugoslavia yang didominasi
oleh etnis Serbia, namun sifat konflik telah bermutasi
menjadi konflik internasional karena keterlibatan aktoraktor internasional sebagai pihak ketiga. Dengan
terlibatnya berbagai aktor eksternal, “intervensi
kemanusiaan” AS di Kosovo menjadi salah satu episode
aksi AS yang paling kontroversial dalam sejarah perang
AS.5
Intervensi AS dan NATO ke Kosovo merupakan pelanggaran
terhadap Doktrin Powel atau disebut The White House sebagai
5
25
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Deklarasi kemerdekaan Eritrea dari Etiopia pada Juli
1991 merupakan salah satu contoh keberhasilan
gerakan pemisahan diri yang melibatkan aktor
eksternal setelah melalui perang selama tiga puluh
tahun. Konflik pemisahan diri Eritrea menyebabkan
terlibatnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris,
Perancis dan PBB.6 Internasionalisasi konflik Eritrea
sudah bermula sejak tahun 1940an. Indikator
internasionalisasi sudah dapat diamati sejak awal,
ketika melibatkan empat negara pemain kunci di
Tanduk Afrika dan ketika Four Powers7 gagal
disepakatinya
cara
penyelesaian
konflik.
Internasionalisasi konflik di Tanduk Afrika tersebut
mulai menarik super power maupun dunia internasional
pada umumnya. Baik Eritrea maupun Ethiopia sangat
bergantung pada bantuan militer dua super power: AS
mendukung Ethiopia dan Uni Soviet mendukung Eritrea,
walaupun AS sebenarnya menghendaki federasi Eritrea
“anti-Powell Doctrine”. Doktrin ini merupakan pernyataan yang
pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Collin Powell ini
menyatakan bahwa “the United States should use military force
only after exhausting all other alternatives and then only
decisively to achieve clearly defined political objectives” (Daalder
dan O’Hanlon 1999, 133)
Pada akhir tahun 1950, Majelis Umum PBB meloloskan resolusi
390A (V) menyatakan bahwa Eritrea harus “constitute an
autonomous unit federated with Ethiopia under the sovereignty of
Ethiopian Crown” (Taras dan Ganguly 2002, 216).
6
Four Powers adalah sebutan untuk empat negara yang terlibat
dan berkepentingan secara langsung di Tanduk Afrika, yaitu
Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Perancis.
7
26
Globalisasi & Konflik Etnis
ke dalam Ethiopia. Perang tiga puluh tahun antara
Eritrea-Ethiopia
disebabkan
karena
komplikasi
kepentingan
negara-negara
besar
tersebut.
Berakhirnya konflik Eritrea-Ethiopia bersamaan dengan
berakhirnya Perang Dingin. Kasus ini membuktikan
bahwa internasionalisasi konflik domestik berpengaruh
pada durasi waktu yang panjang atas konflik tersebut.
2. ‘Menghasilkan’ pengungsi
Pengungsi8, yang merupakan korban kekerasan politik
di negaranya, merupakan salah satu indikator yang
dapat diidentifikasi sebagai faktor internasionalisasi
konflik etnis. Pertikaian etnis di sebuah negara secara
signifikan dapat meningkatkan jumah pengungsi ke
negara lain dan kedatangan pengungsi di tempat baru
tersebut secara potensial dapat menimbulkan berbagai
konflik baru yang berdimensi ekonomi, sosial maupun
politik. Sejak tahun 1980an pengungsi lebih banyak
8
Definisi Pengungsi (refugee) telah ditetapkan oleh Konvensi
Jenewa tahun 1951. Menurut Konvensi tersebut, yang termasuk
dalam karegori pengungsi adalah mereka yang: “Owing to a wellfounded fear of being persecuted for reasons of race, religion,
nationality, membership of a particular social group or political
opinion, is outside his country of nationality and is unable or,
owing to such fear is unwilling to avail himself of the protection of
that country; or who, not having a nationality and bring outside
the country of his former habitual residence as a result o such
events, is unable or, owing to such fear is unwilling to return to it”
(Skehan 2008; Fortin 2000; Newland 1993). Konvensi Pengungsi
yang diselenggarakan oleh Organisasi Persatuan Afrika pada tahun
1969 menerima definsi yang dibeikan oleh PBB tersebut, namun
menambahkan bahwa pengungsi adalah “a person who had to flee
his or her country “owing to external aggression, occupation,
foreign domination, or events seriously disturbing public order…”
(Newland 1993, 144).
27
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
dihasilkan oleh konflik etnis daripada oleh bencana
alam atau konflik-konflik lain (Weiner 1996 dalam
Saideman 2001, 3). Konflik etnis yang berdampak pada
mengalirnya pengungsi terjadi di banyak tempat,
seperti Vietnam, Armenia, Azerbaijan, Burma, Ethipia,
Georgia, Sri Lanka, dan Yugoslavia. Mengalirnya
pengungsi menarik perhatian aktor eksternal dan
mereka berusaha untuk mencari cara terbaik untuk
mengatasinya.
Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain
yang disebabkan karena ketidakamanan di negara
induk lebih banyak membawa dampak negatif
terutama bagi populasi negara induk, seperti
menurunnya standar hidup, penularan penyakit,
perdagangan
gelap,
kecenderungan
terjadinya
kejahatan, dan berbagai dampak negatif lainnya.
Mengalirnya pengungsi juga membebani negara tujuan
karena pengungsi memerlukan makanan, tempat
tinggal, dan pakaian yang harus dipenuhi oleh negara
tujuan. Beban menjadi lebih berat bagi negara-negara
miskin, seperti datangnya pengungsi Albania ke
Macedonia. Ilmuwan politik seperti Aristide Zolberg dan
Astri Suhrke berpendapat bahwa pengungsi adalah
kelompok “istimewa”. Menurut mereka,
“…Refugee status is privilege or entitlement,
giving those who qualify access to certain
scarce resources or service outide their own
country, such as admission into another
country ahead of a long line of claimants,
legal protection abroad, and often some
material assistance from public or private
28
Globalisasi & Konflik Etnis
agencies” (Zolberg at al 1989, 3 dalam
Newland 1993, 144).
Sejak berakhirnya Perang Dingin, negara-negara maju
lebih banyak didatangi oleh pengungsi dari negara
miskin yang mengalami konflik etnis, seperti yang
terjadi di Eropa. Negara-negara maju di Eropa, menjadi
tujuan utama pengungsi dari wilayah-wilayah konflik di
Eropa Timur seperti Yugoslavia. Negara-negara
etnokratik seperti Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, Israel
dan Myanmar memiliki kecenderungan mengalirkan
lebih banyak pengungsi ke negara-negara sekitarnya
karena kelompok etnis lain, selain etnis dominan
memiliki potensi untuk mengalami asimilasi paksa
(forced assimilation), pengusiran dan penganiayaan,
dan lebih buruk lagi, pembersihan etnis (ethnic
cleansing). Perebutan sumber (alam, kekuasaan) dan
kekhawatiran etnis dominan untuk tidak memperoleh
sumber-sumber tersebut merupakan faktor terpenting
yang menjadi penyebab kesewenang-wenangan rejim
etnokratik yang dapat menjadi penyebab konflk etnis.
Rejim etnokratik mengingkari kewajiban dalam
melindungi
warga
negara,
sehingga
persoalan
perlindungan warga negara menjadi tanggungjawab
pihak lain.
Pengungsi
dapat
mengakibatkan
terganggunya
keamanan negara penerima. Datangnya pengungsi
secara
potensial
juga
dapat
mengakibatkan
berubahnya keseimbangan demografi. Lebih jauh,
negara penerima pengungsi sangat rentan terhadap
terjadinya konflik antarwarga negara (civil war), seperti
29
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang dinyatakan oleh Salehyan dan Gleditsch (2006,
338), bahwa:
“…refugees and conflict by arguing that
refugees facilitate the spread of rebel networks
and negative externalities to receiving areas…
countries that experience an influx of refugees
from neighboring states are significantly more
likely to experience civil wars themselves. Thus
population movements are an important factor
contributing to the regional clustering of
violence and the diffusion of conflict.”
Konflik
etnis yang menyebabkan melimpahnya
pengungsi ke negara lain merupakan masalah
keamanan yang memerlukan manajemen kolektif.
Pengungsi yang mencari perlindungan di tempat lain
sebagai hasil konflik etnis di negaranya, dapat
disebabkan karena negara tidak bersedia melindungi
warga negaranya dan karena ketidakmampuan negara
dalam melakukanya, yang dua hal ini harus dibedakan.
Rejim etnokratik yang melepaskan tanggungjawab
perlindungan etnis minoritasnya memiliki masalah atas
compliance terhadap hukum internasional yang
berkonsekuensi pada pemberian sanksi; Sementara
negara lemah yang tidak mampu melindungi warganya
sendiri merupakan pihak yang perlu mendapat bantuan
internsional.
3. Melibatkan PBB dalam resolusi konflik etnis
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
merupakan
organisasi internasional yang memiliki tanggung jawab
dalam mencari jalan keluar atas berbagai konflik etnis
30
Globalisasi & Konflik Etnis
yang terjadi. Peran PBB sebagai badan dunia
penyelesai konflik etnis selama ini dianggap kurang
efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai persoalan, baik
substansi maupun teknis. Terdapat dua hal penting
dalam melihat keterlibatan PBB dalam resolusi konflik
etnis.
Pertama,
PBB
seringkali
mengalami
kesulitan
menempatkan diri sebagai pendamai karena harus
berhadapan dengan berbagai kepentingan yang
tumpang tindih dari aktor-aktor yang terlibat dalam
konflik etnis. Lebih jauh lagi, resolusi konflik etnis tidak
jarang menemui jalan buntu ketika dihadapkan pada
kepentingan negara-negara besar. Keterlibatan negara
besar seringkali justru mempersulit resolusi konflik
etnis. Diplomasi PBB dalam menangani berbagai konflik
etnis seringkali juga mengalami kegagalan, selain
karena campur tangan negara besar, juga karena
berkaitan dengan masalah kedaulatan, yang berakibat
pada penolakan negara atas campur tangan asing
untuk urusan konflik etnis yang masih dipandang
sebagai urusan dalam negeri. Pasal 2 (7) Piagam PBB
menyatakan bahwa PBB tidak memiliki otoritas untuk
melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang
terjadi di dalam yurisdiksi domestik sebuah negara.
PBB juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta
negara lain untuk intervensi dalam penyelesaian
masalah dalam negeri sebuah negara berdaulat. Prinsip
non-intervention masih menjadi pegangan kuat bagi
PBB untuk membatasi tindakannya.
Sebagai lembaga internasional yang beranggotakan
entitas politik berdaulat, PBB juga seringkali merasa
31
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
enggan terlibat dalam menyelesaikan kasus-kasus
konflik etnis. Keengganan PBB sebagai penyelesai
konflik etnis, seperti yang diutarakan oleh Pierre van
den Burghe, bahwa, “The UN is first and foremost an
organization of states, not of nations, and since most
states are, in fact threatened by the claims of nations,
it is little wonder that the UN is pro-state and antination” (dikutip dari Ryan 1995, 155 dari Kuper 1981,
161). Atas dasar alasan tersebut tidak mengherankan
bila PBB memiliki alasan untuk tidak berperan aktif
dalam konflik penyelesaian etnis.
Kedua, sekalipun PBB sulit berposisi tegas dalam
urusan konflik etnis, namun tidak jarang berbagai
persoalan konflik etnis mengharuskan PBB untuk
terlibat, baik sebagai penjaga perdamaian, mediator
maupun manajemen pemberian bantuan pada hal-hal
yang terkait dengan konflik etnis. Idealnya PBB adalah
pihak ketiga yang dapat diterima pihak-pihak yang
bertikai sebagai pendamai. Jika diukur secara kualitatif,
keterlibatan PBB bervariasi, mulai dari keterlibatan
secara intensif maupun partial. Hal tersebut tergantung
pada beberapa faktor seperti tingkat kekerasan konflik,
lokasi, pihak yang berkonflik, keterlibatan pihak ketiga,
posisi penguasa, dan sebagainya.
Meningkatnya tuntutan kepada PBB untuk menangani
berbagai masalah keamanan dunia menyebabkan
meningkatnya peran PBB untuk terlibat dalam
beberapa kasus konflik etnis. Beberapa konflik etnis
yang melibatkan PBB secara intensif dapat ditemukan
dalam misi-misi perdamaian di banyak negara, yang
32
Globalisasi & Konflik Etnis
melibatkan PBB dalam perannya sebagai peacekeeper,
peacemaker dan peacebuilder.
Dalam menjalankan tugas-tugas administratifnya di
berbagai negara, peran PBB sebagai peacekeeper
(penjaga perdamaian) dijalankan melalui operasi
penjaga perdamaian (peacekeeping operations) dengan
menghadirkan secara fisik pasukan militer asing. Target
operasi ini adalah menghentikan peperangan antara
pihak yang berkonflik, terutama melucuti senjata dan
menghentikan baku tembak antarpara tentara pihak
yang berkonflik. Cara demikian ditempuh agar tercipta
situasi damai bagi negosiasi politik dan operasi
pemulihan keamanan. Berbeda dengan peacekeeper,
peacemaking (pencipta perdamaian) merupakan upaya
penyelesaian konflik oleh pihak ketiga dengan
melibatkan aktivitas politik dan diplomatik yang
bertujuan membawa para pemimpin dari pihak yang
bertikai mencapai kesepakatan melalui negosiasi
perdamaian. Metoda yang digunakan dapat berbentuk
arbitrasi,
mediasi
dan
fasilitasi.
Sedangkan
peacebuilding adalah kegiatan jangka panjang yang
berdimensi sosial-ekonomi dan kultural, ditujukan
terutama untuk anggota masyarakat dari pihak-pihak
yang bertikai agar masyarakat dapat mengubah
perilaku, persepsi dan citra negatif atas pihak lawan
(Taras dan Ganguly 2002, 94-97).
Peran-peran di atas dapat dilakukan oleh pihak ketiga
siapa pun, termasuk PBB. Sepanjang tahun 1948
sampai dengan 2008, PBB menjalankan banyak misi
perdamaian, diantaranya adalah PBB UNAMID (Darfur);
UNMIS (Sudan); UNMIL (Liberia); MINURSO (Sahara
33
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Barat); UNAMET, UNTAET, UNMIT (Timor Leste);
UNMOGIP (Jammu dan Kashmir); UNFICYP (Siprus
Yunani dan Siprus Turki); UNOSOM (Somalia); UNOMUR
(Uganda-Rwanda); UNOMIG (Georgia); UNMIK(Kosovo);
UNMEE
(Ethiopia
dan
Eritrea)
(http://www.un.org/Depts/dpko/list/list.pdf.
Akses
04/02/09).
Sekalipun PBB telah berupaya menjadi pihak ketiga
dalam penyeleseaian konflik etnis di berbagai wilayah,
PBB memiliki keterbatasan dalam menjalankan
perannya. Hal tersebut menjadi sasaran kritik banyak
pihak yang melihat bahwa PBB tidak berhasil
menjalankan perannya dengan baik. Kekerasan etnis
yang berlangsung terus menerus di Bosnia, Rwanda
dan Somalia merupakan sedikit contoh kegagalan PBB
menjalankan fungsinya. Betts (dalam Taras dan
Ganguly 2002, 94) menyatakan bahwa kegagalan pihak
ketiga, termasuk PBB dalam misi-misi resolusi konflik
disebabkan
karena
pada
umumnya
mereka
menjalankan fungsi monitoring gencatan senjata
(cease-fire) yang belum tercipta pada saat mereka
menjalankan fungsi monitoring tersebut. Dengan kata
lain, para pelaku misi perdamaian melakukan
pemantauan perdamaian pada situasi damai yang
sebenarnya tidak pernah ada, atau belum tercipta di
wilayah tersebut. Dalam kasus Bosnia, Rwanda dan
Somalia, PBB gagal melaksanakan tugasnya karena
terdapat “destructive misconception”, sebuah praduga
yang keliru atas terdapatnya perdamaian yang
sesungguhnya tidak pernah terjadi. Hal tersebut
disebabkan karena sesungguhnya ‘perdamaian’ yang
diasumsikan para peacekeepers belum tercipta. Betts
34
Globalisasi & Konflik Etnis
kemudian menganjurkan untuk dilakukanya operasi
peace enforcement dalam konflik etnis untuk
meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa tidak
banyak yang mereka peroleh dengan cara bertikai.
Keterbatasan-keterbatasan PBB
dalam merespon
persoalan keamanan dunia mendorong badan dunia ini
untuk mengambil langkah nyata. Di tengah-tengah
krisis harapan dan tingginya tuntutan pada PBB untuk
berperan lebih efektif dalam masalah keamanan, PBB
memberikan respon positif. Salah satu upaya rasional
dan koheren PBB dalam merespon keamanan
internasional adalah Laporan Sekretaris Jendral PBB,
Boutros Boutros Ghali pada tahun 1992 yang berjudul
An Agenda for Peace. Sekali pun tidak dimaksudkan
sebagai solusi komprehensif atas berbagai persoalan
keamanan dunia, Laporan ini memuat rencana PBB
dalam
menjalankan
berbagai
perannya
dalam
mengatasi
masalah-masalah
keamanan
terasuk
himbauan untuk menambah dana bagi pasukanpasukan PBB. Laporan tersebut dianggap sebagai
langkah berani karena selama ini PBB dipandang tidak
memiliki kapabilitas memadai dalam mengatasi
berbagai masalah keamanan internasional, termasuk
ketidakberdayaan PBB dalam mengambil inisiatif
diplomasi preventif, peacemaking dan peacekeeping
(Roberts 1993, 208-210).
4. Berkaitan dengan terorisme internasional
Konflik etnis yang melibatkan unsur kekerasan
seringkali menggunakan cara-cara terorisme untuk
mencapai tujuannya. Fakta ini bukan merupakan hal
35
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang baru karena banyak kasus membuktikan hal
tersebut. Tidak saja konflik etnis yang terjadi di negara
sedang berkembang (LTTE, Jammu-Kashmir), hal serupa
yang terjadi di negara maju pun (IRA, Basque)
menggunakan taktik yang sama. Sekalipun demikian
tidak berarti semua konflik yang menggunakan taktik
terorisme internasional diidentifikasikan dengan konflik
yang berdimensi terorisme internasional.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat kaitan
erat antara kelompok-kelompok pemberontak etnis
dengan terorisme internasional. Hubungan antaraktor
non-negara yang melakukan kegiatan yang melibatkan
unsur kekerasan (violence) sangat kompleks dan
terbukti meningkat setelah Perang Dingin. Seperti yang
dinyatakan oleh Oehme III (2008, 81) terdapat
hubungan dan keterkaitan antara teroris, pemberontak
dan kriminal yang membentuk konvergensi. “Kekuatan”
ini terutama muncul dan tumbuh subur pada situasi
“security gap”, yaitu sebuah kondisi yang terjadi di
antara masa pasca konflik dan masa rekonstruksi.
Beberapa kelompok pemberontak etnis menggunakan
atau memanfaatkan jaringan teroris internasional untuk
mencapai tujuannya. Misalnya kelompok MILF (Moro
Islamic Liberation Front) dan MNLF (Moro National
Liberation Front) yang bekerjasama dengan Abu Sayyaf,
salah satu jaringan Al Qaedah di Asia Tenggara. MILF
dan MNLF berjuang menuntut penentuan nasib sendiri
dari Pemerintah Filipina. MILF bermaksud mendirikan
negara Islam tersendiri, sementara MNLF menghendaki
otonomi lebih besar dari pemerintah. Abu Sayyaf
muncul di Filipina pada tahun 1990-an, sebagian
36
Globalisasi & Konflik Etnis
pejuangnya adalah anggota MNLF dan sebagian lagi
merupakan veteran perang Afghanistan. Ditengarai Abu
Sayyaf menerima dana dari Osama bin Laden melalui
Mohammed Jamal Khalifa, saudara ipar Osama yang
memiliki beberapa organisasi kedermawanan (charity)
di Filipina Selatan. Menurut laporan Manila Chronicle,
mereka banyak melatih para pejuang Abu Sayyaf. MILF
dan MNLF menyangkal adanya keterkaitan tersebut,
namun hal ini sulit dibuktikan (Niksch 2002, 4).
Keterlibatan Abu Sayyaf dalam perjuangan pemisahan
diri di Filipina, sebagian juga dipicu oleh dukungan
Presiden Arroyo dalam ‘War on Terror’ menyebabkan
pemerintah AS bergerak menempatkan sekitar 650
personel militer di Filipina. Keterlibatan pihak eksternal
dalam konflik pemisahan diri menjadikan konflik ini
bertransformasi menjadi konflik internasional. Apalagi
pihak eksternal yang terlibat adalah kekuatan global.
Pada umumnya konflik-konflik yang mengalami proses
difusi dan eskalasi lebih sulit diselesaikan.
5. Terdapat elemen iredentisme
Iredentisme merupakan topik yang tidak populer dalam
ilmu hubungan internasional. Gerakan ini sering
dikesampingkan karena dianggap sebagai bagian dari
gerakan pemisahan diri (secessionism) sehingga tidak
pernah mendapat penjelasan yang memadai. Selain itu
gerakan ini dipandang anarchronistic (ketinggalan
zaman), berbeda dengan secessionism yang dapat
ditemukan penjelasannya dalam filsafat politik modern
tentang
hak
penentuan
nasib
sendiri
(selfdetermination). Iredentisme berasal dari kata “terra
irredenta” yang berarti tanah tak tertebus. Istilah ini
37
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
pertama kali digunakan untuk menggambarkan wilayah
berbahasa Italia yang berada di bawah kekuasaan
Austria selama paruh kedua abad ke sembilan belas.
Italia harus berperang melawan Austria untuk
memperoleh wilayah tersebut (Chazan 1991).
Iredentisme mencakup pengertian keinginan sebuah
wilayah bergabung dengan wilayah/negara lain. Pada
dasarnya
iredentisme
muncul
karena
terdapat
keinginan dari salah satu pihak negara yang
berdekatan untuk ‘melindungi’, ‘menyelamatkan’ atau
‘membebasakan’ saudara se-etnisnya yang menjadi
minoritas di wilayah negara tetangganya tersebut.
Ikatan emosional yang kuat antara satu kelompok etnis
yang terpaksa terpisah menjadi dua negara yang
berbeda menyebabkan terjadinya dorongan melakukan
iredentisme. Iredentisme dapat memperburuk konflik
mayoritas-minoritas
dengan
memperkuat
saling
kecurigaan dan permusuhan yang dapat memicu
terjadinya tindakan kekerasan maupun perang.
Berdasar
pada
argument
tersebut,
Ben-Israel
menyatakan
iredentisme
merupakan
ekspresi
nasionalisme yang agresif expansionis, berdasarkan
pada "atavistic feelings for territory and for kith and
kin" (Ben-Israel 1991, 33).
Kasus lain menunjukkan bahwa iredentisme tidak selalu
berbasis etnis. Ide pembentukan sebuah negara Islam
(daulah islamiyah) di Asia Tenggara menghasilkan
gerakan-gerakan pemisahan diri di berbagai negara
Asia Tenggara. Kaum minoritas muslim di Filipina,
Thailand, dan Myanmar serta beberapa gerakan radikal
berbasis agama di Malaysia dan Indonesia menjadi
38
Globalisasi & Konflik Etnis
aktor-aktor utama pelaku iredentisme. Iredentisme
Islam Asia Tenggara berbasis ideologi, bukan etnis. Lain
halnya dengan iredentisme yang terjadi di Eropa,
seperti Jerman, Italia, Yunani, Spanyol, Rusia dan
Polandia berbasis sejarah, yang merupakan perpaduan
antara keinginan etnis untuk bersatu dengan upaya
untuk mempertemukan kembali antara negara pada
masa lalu (historic states) dengan batas-batas historis
(historic boundaries), yang seringkali tidak berkaitan
dengan batas-batas etnisitas. Hal ini juga terjadi di
Afrika, seperti pada kasus penyatuan Eritrea oleh
Ethiopia pada tahun 1952, yang dilihat sebagai
“kembali ke negara induk”, bukan aneksasi (Neuberger
1991, 101).
Bentuk iredentisme yang lain adalah iredentisme yang
dilakukan oleh negara (state-sponsored irredentism)
menjadi salah satu penyebab krisis masa pasca-Perang
Dingin. Ambisi Slobodan Milosevic untuk membangun
Serbia Raya dengan cara ekspansi teritorial ke wilayah
Bosnia dan pemusnahan etnis non-Serbia, merupakan
salah satu contoh iredentisme pasca-Perang Dingin.
Minoritas non-Serbia harus ‘mengganti’ identitas
mereka menjadi Serbia. Instabilitas di Balkan setelah
disintegrasi Yugoslavia merupakan salah satu bukti
bahwa ambisi teritorial pemimpin berdampak pada
ketidakamanan sistem. Iredentisme di Balkan menjadi
salah satu agenda keamanan AS, semakin memperjelas
dimensi internasional konflik etnis. Beberapa kasus
iredentisme tersebut membuktikan bahwa masalah ini
menjadi isu penting dalam hubungan internasional
karena potensinya yang menyebabkan efek instabilitas
yang mengganggu sistem.
39
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Beberapa indikator yang telah disebutkan di atas
menunjukkan bahwa konflik etnis bukan lagi sekedar
bahasan politik nasional namun telah berkembang
menjadi isu internasional. Variabel indikator tersebut
hanyalah beberapa saja di antara banyak variabel yang
dapat dijadikan petunjuk transformasi konflik etnis ke
ranah global. Beberapa isu lintas batas negara seperti
hak azasi manusia, krisis sumber daya alam dan
lainnya yang dapat meningkatkan intensitas konflik
etnis di tingkat nasional, juga menjadi faktor penting
dalam
proses
transformasi
konflik
ke
tingkat
internasional.
40
2
Dari Lokal ke Internasional:
Mengamati Gejala Internasionalisasi
Lebih banyak negara di dunia yang terlahir sebagai
negara heterogen, terdiri lebih dari satu etnis,
dibandingkan dengan yang terlahir sebagai negara
homogen. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara
batas-batas teritorial dengan batas-batas kultural.
Masalah-masalah ini secara mudah memicu tumbuhnya
nasionalisme etnis yang dapat berkembang menjadi
konflik etnis jika sentimen etnis tersebut tidak dikelola
secara benar oleh pemerintah nasional. Entitas sebuah
negara dikukuhkan dengan perjanjian internasional,
sementara aktor-aktor sosial yang berada di berbagai
negara melakukan interaksi sosial, ekonomi dan
budaya. Namun sifat perbatasan (border) yang porous
menyebabkan sebuah negara tidak bisa dengan mudah
menghindar dari masuknya aliran barang, berita
maupun manusia, termasuk mudahnya konflik nasional
merembet ke negara lain.
Seringkali juga meningkatnya intensitas konflik etnis di
sebuah negara merupakan hasil dari peristiwa di luar
batas negara yang peristiwa tersebut tidak dapat
dikontrol oleh pemerintah nasional. Nasionalisme etnis
dapat menjadi faktor penganggu bagi kristalisasi nilainilai kesadaran nasionalisme di tingkat negara (civic
nationalism).
Banyak
negara
pasca-kolonial
menghadapi
masalah
integrasi
nasional
yang
bersumber pada pertikaian etnis yang belum
13
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
terselesaikan,
bahkan
setelah
negara
yang
bersangkutan bertahun-tahun lepas dari penjajahan.
Konflik berbasis etnis selama ini dikenal sebagai konflik
nasional yang berada di ranah domestik. Keberagaman
etnis dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya
menghasilkan konflik etnis, dan tidak setiap konflik
etnis menghasilkan kekerasan. Pemerintah di setiap
negara memperlakukan konflik etnis sebagai urusan
dalam negeri yang penyelesaiannya dilakukan melalui
cara-cara yang dikehendaki masing-masing pemerintah
nasional. Cara-cara yang ditempuh bervariasi, mulai
cara-cara politik/persuasif sampai pendekatan militer.
Alasan utama yang mendasari mengapa konflik etnis
diperlakukan ‘hanya’ sebatas masalah nasional tidak
terlepas dari sistem Westphalian yang menempatkan
doktrin kedaulatan sebagai dasar bertindak setiap
negara semenjak lebih dari tiga abad.
Doktrin kedaulatan tersebut menghendaki integritas
kewilayahan (teritori) sebagai faktor yang harus
dijunjung
tinggi.
Hal
tersebut
mengakibatkan
domestikasi konflik etnis; artinya konflik etnis hanya
boleh menjadi urusan negara dan negara berupaya
semaksimal mungkin mencegah
agar konflik etnis
tidak menjadi masalah internasional. Tidak ada satu
negara pun yang membiarkan konflik etnis berkembang
menjadi ‘bola liar’ di tingkat internasional. Konflik etnis,
dengan demikian menjadi salah satu isu keamanan
manusia
non-konvensional
yang
telah
mencuri
perhatian masyarakat internasional. Sifat transnasional
konflik etnis menjadi salah satu bahan kajian baru
dalam
studi
hubungan
internasional.
Pada
14
Globalisasi & Konflik Etnis
kenyatannya, amat sulit bagi beberapa kasus konflik
etnis domestik untuk tidak bermutasi menjadi konflik
internasional karena beberapa sebab. Berubahnya sifat
konflik tersebut secara nyata merupakan ancaman bagi
stabilitas dalam sistem internasional. Banyak konflik
etnis menjadi dilema keamanan bagi negara-negara
tetangga dan menjadi keprihatinan kolektif sehingga
memerlukan
tindakan
kolektif
pula
untuk
mengelolanya.
Berkembangnya interdependensi, globalisasi, dan
interakasi antarmanusia, antarperadaban, dan relatif
semakin dekatnya jarak antarberbagai tempat di dunia
menyebabkan isu-isu domestik tidak dapat ditampung,
diisolasi maupun disembunyikan dari pengamatan
khalayak internasional.
Perkembangan ini telah
meresahkan setiap pemerintah nasional yang memiliki
masalah dengan konstituennya di tingkat nasional.
Konflik antara negara dan masyarakat yang pada
awalnya hanya menjadi ‘konsumsi domestik’ telah
berubah menjadi masalah internasional, yang secara
potensial dapat berpengaruh pada proses resolusi
konflik. Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik etnis,
seperti gerakan-gerakan pemisahan diri dan diaspora
tidak lagi dapat dikategorikan semata dalam aktor
domestik karena kegiatan mereka yang melintas batas
negara. Mereka telah menjadi salah satu aktor
internasional baru yang layak mendapat perhatian.
Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa beberapa
gerakan etno-nasionalis telah menjalin dukungan dan
kerjasama dengan organisasi teroris internasional.
Bahkan dalam beberapa kasus, konflik etnis telah
memicu,
dan
berkembang
menjadi
konflik
15
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
antaranegara
sehingga
memerlukan
diplomatik dalam menghadapinya.
aktivitas
Berkembangnya
masalah
lokal/nasional
menjadi
masalah internasional merupakan gejala yang terjadi
sejak hampir tiga dasawarsa terakhir. Apakah gejala
yang dapat diamati dari sebuah konflik etnis di
peringkat nasional berkembang menjadi konflik
internasional yang dapat berdampak destruktif bagi
stabilitas sistem? Benar bahwa tidak semua konflik
etnis berdimensi
internasional karena terdapat
beberapa kasus konflik etnis yang dapat dihindarkan
dari proses pelebaran sehingga tidak sampai
mengganggu stabilitas sistem. Berubahnya sifat konflik
dari masalah nasional menjadi konflik yang menarik
perhatian internasional dapat diamati melalui beberapa
variabel yang dapat diperlakukan sebagai indikator.
Melalui beberapa variabel indikator dapat diamati
apakah sebuah konflik etnis di tingkat nasional telah
mengalami proses internasionalisasi.
Bagian ini berupaya mengidentifikasi dan menguraikan
beberapa faktor yang dapat dilihat sebagai ukuran
bahwa telah terjadi perubahan sifat sebuah konflik, dari
lokal menjadi internasional. Konflik etnis menginternasionalisasi bila memenuhi sedikitnya kriteriakriteria berikut ini:
1.
Terdapat dukungan dari pihak luar/eksternal yang
berasal dari:
a.
Ethnic kin dan diaspora
16
Globalisasi & Konflik Etnis
Ethnic kin (kerabat sesama etnis) dan diapora
merupakan aliansi etnis yang berpengaruh kuat pada
proses internasionalisasi konflik etnis. Saudara sesama
etnis adalah sumber dukungan utama bagi sekelompok
etnis yang sedang bertikai. Terdapat kecenderungan
keberpihakan dari sebuah kelompok etnis kepada
kelompok etnis lain yang terdepresi pada sebuah
wilayah di luar wilayah yang dihuni oleh etnis
simpatisan tersebut. Nepotisme etnis1 ini merupakan
gejala yang wajar dan alamiah.
Dukungan yang
diberikan berdasarkan faktor genetik oleh blood
brothers berdampak signifikan bagi etnis yang sedang
menghadapi pertikaian, baik dengan negara (konflik
vertikal) maupun dengan kelompok etnis lain (konflik
horizontal).2
Menurut teori nepotisme etnis a la
Berghe, terdapat kecenderungan predisposisi perilaku
yang bersifat umum ‘untuk berfihak pada organisme
1
Istilah ‘nepotisme etnis’ untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Pierrre L. van den Berghe pada awal 1980-an. Berghe
mengemukakan bahwa berbagai bentuk enisitas yang ada
dikelompokkan berdasar pada seleksi kekerabatan (kin) dan
etnisitas didefinisikan berdasar persamaan keturunan Lebih jauh,
Berghe menjelaskan, ‘ethnic and racial sentiments are extension
of kinship sentiments. Ethnocentrism and racism are thus
extended forms of nepotism – the propensity to favor kin over
nonkin’ (Vanhanen 1999, 1).
2
Dukungan yang diberikan dapat berupa instrumental maupun
afeksi (Suhrke dan Noble, 1981 dalam Heraclides 2001, 370).
Keterlibatan instrumental dapat berwujud pemberian bantuan
ekonomi, dukungan politik, pertimbangan strategis, prestise dan
pengaruh internasional, dan hal-hal yang berkaitan dengan politik
domestik.
Sementara itu, pertimbangan-pertimbangan afektif
melibatkan unsur-unsur seperti identitas etnis, agama, ideologi,
ketidakadilan sejarah dan iredentisme.
17
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang memiliki hubungan biologis dengan si aktor’.
Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin kuat
preferensi perilakunya. Dengan demikian terdapat
kecenderungan favoritisme dalam perilaku mendukung
konflik berbasis etnis. Hal ini relevan dengan
interpretasi politik Darwinian yang berakar pada teori
evolusi sosiobiologis mengenai seleksi kekerabatan
(Vanhanen 1999, 1-2).
Dalam konflik etnis pemisahan diri, dukungan bagi
ethnic kin diberikan ketika ethnic kin mendapat represi
dari pihak (negara/rejim/aktor) lain. Pada umumnya
pihak pemberi dukungan pada ethnic kin di tempat lain
berpegang pada prinsip conventional wisdom. Prinsip
ini tidak memungkinkan sebuah negara yang
mengalami konflik etnis serupa di negaranya sendiri
memberi dukungan pada ethnic kin yang hendak
memisahkan diri dari negara induknya (Saideman
2001, 2). Prinsip ini masih dipertahankan sebagai
sebuah norma standar, namun di sisi lain prinsip ini
sering sulit untuk dipatuhi oleh para aktor. Komunitas
diaspora3 merupakan kelompok etnis yang bermigrasi
3
Secara etimologi, kata diaspora berasal dari bahasa Yunani
' berarti biji-biji yang tersebar (Anthias, 1998: 560).
Definisi diaspora secara luas mencakup kelompok pengungsi
politik, penduduk asing (alien residents), pekerja tamu/asing
(guest workers), imigran, orang yang terusir (expellees), minoritas
etnis dan rasial, komunitas bangsa asing (overseas communities).
Istilah
diaspora
digunakan
oleh
kaum
yang
merasa,
mempertahankan,
dan
menghidupkan
kembali
ikatanikatan/hubungan dengan tanah leluhurnya (Shuval 2002, 41).
Secara lebih teperinci, Safran (1991, 83-84 dalam Tsagarousianou
2004, 3) mengajukan definisi diaspora, yang meliputi karakteristik
sebagai berikut:
18
Globalisasi & Konflik Etnis
dan menetap di luar wilayah negara induknya (home
country) yang secara potensial dapat berperan ganda,
sebagai pihak yang membantu resolusi konflik dengan
peran intervensi konstruktifnya maupun pihak yang
membantu meningkatkan intensitas aspek kekerasan
(violence) di negara induk. Beberapa masyarakat
diaspora pada awalnya datang sebagai pengungsi atau
pencari suaka, seperti yang dapat ditemui di kalangan
diaspora Sri Lanka di Jerman dan Inggris. Perang, status
yang tidak jelas dan rasa tidak aman di negara induk
merupakan beberapa pemicu untuk menjadi diaspora.
Zunzer (2004, 13) menekankan bahwa diaspora
memiliki potensi untuk menjadi pihak yang dapat
membantu transformasi konflik etnis berkepanjangan
(protracted). Diaspora dapat menjalankan perannya
melalui,
“…supporting the conflicting parties as they
argue about ways to achieve a negotiated
settlement and empowering them, in the
medium term, to initiate a sustainable process
for overcoming the conflict causes by
a. Komunitas asal yang tersebar dari tanah airnya ke dua
negara atau lebih; mereka terpisah dari lokasi geografisnya
namun dipersatukan oleh visi,memori atau mitos tentang
tanah leluhurnya;
b. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan pernah dapat
diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya saat ini, dan
karenanya membentuk komunitas otonom untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan cultural sendiri;
c. Mereka dan keturunannya akan kembali jika kondisi
memungkinkan;
d. Mereka mempertahankan dukungan bagi tanah leluhurnya;
kegiatan tersebut mampu berlangsung karena didukung oleh
solidaritas dan kesadaran komunal.
19
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
themselves. This in turn means that conflict
prevention and conflict transformation activities
are interdependent and must involve key state
and civil society actors.”
Zunzer melihat bahwa peran positif diaspora, dalam
berbagai kasus konflik etnis, sebagai agen perdamaian
perlu mendapat perhatian. Diaspora memiliki potensi
dalam transformasi konflik melalui peran sosio-ekonomi
dan politik yang signifikan. Konflik etnis di Sri Lanka,
misalnya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dialektik di antara diaspora Sri Lanka (yang sebagian
besar terdiri dari kaum Tamil dan sebagian kecil
Sinhala), host country (tempat tinggalnya) dan home
country (negara asalnya) dan LTTE 4. Mereka tidak
hanya merespon setiap perkembangan yang terjadi di
Sri Lanka tetapi juga memberikan dukungan ekonomi
dan politik melalui jalur-jalur dan jejaring formal dan
informal. Diaspora Sri Lanka generasi ketiga yang pada
umumnya lebih terpelajar mendukung transformasi
LTTE dari organisasi militer murni menjadi organisasi
politik. Diaspora Sri Lanka di London memberi
LTTE kerap diambil sebagai salah satu contoh “sukses” gerakan
pembebasan karena organisasi pemberontak ini dianggap sebagai
salah satu organisasi yang paling canggih dan mematikan di
dunia. Kelompok ini mampu secara efektif mengontrol wilayah
timur laut Sri Lanka, menjalankan pemerintahan virtual di
Semenanjung Jaffna sampai dengan tahun 1995. LTTE juga terbukti
mampu melakukan perlawanan terhadap pemerintah melalui
berbagai spektrum konflik gerilya, seperti melakukan pembunuhan
terpilih sampai berbagai aksi terorisme sampai serangan besar
berukuran battalion. Pemerintah Kolombo terbukti sering tidak
mampu mengalahkan LTTE secara militer karena kekuatan dan
militansi para pejuang LTTE yang tidak sebanding dengan
kekuatan tentara Sri Lanka (SLAF-Sri Lanka Armed Forces). (Lihat
Byman, et al 2001; Wyland, 2004).
4
20
Globalisasi & Konflik Etnis
sumbangan penting atas menurunnya aktivitas LTTE di
Inggris setelah kaum diaspora berhasil mempengaruhi
pemerintah Inggris sehingga undang-undang antiterorisme disetujui oleh parlemen Inggris. Undangundang tersebut berdampak pada larangan segala
bentuk kegiatan LTTE di Inggris (Zunzer 2004, 20).
Selain berperan positif, ikatan etnis lintas batas negara
dapat menjadi faktor pencipta ketidakamanan.
Diaspora sering berperan sebagai sponsor bagi
keberhasilan
pemberontakan
terhadap
negara.
Berbagai pemberontakan di belahan dunia mana pun,
seperti di Algeria, Azerbaijan, Mesir, Sri Lanka, India,
Indonesia, Kosovo, Turki, Irlandia Utara, Israel, Rwanda,
Rusia, menerima berbagai bentuk dukungan dari
komunitas migrant mereka masing-masing dalam
bentuk uang, senjata maupun dukungan non-fisik
seperti dukungan diplomatik dan penggalangan lobilobi internasional. Dukungan diaspora inilah yang
menyebabkan pemberontak mampu meningkatkan
kapabilitas perjuangannya memungkinkan mereka
untuk
bertahan
dari
serangan-serangan
balik
(counterinsurgency) yang dilakukan pemerintah.
Salah satu bentuk dukungan dari diaspora bagi
keberhasilan perjuangan LTTE adalah keberhasilan
diaspora dalam memberikan label pada diri mereka
sebagai ‘victim diaspora’ (Wyland 2004, 413) dan
memanfaatkan etos demokrasi liberal di beberapa
negara
Barat
bagi
didirikannya
kantor-kantor
perwakilan LTTE, seperti Eelam House di London, yang
berfungsi sebagai markas besar LTTE di luar Sri Lanka
(Byman 201, 44). Padatnya aktivitas politik diaspora
21
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Tamil di berbagai tempat, terutama mereka yang
tinggal di negera-negara Barat, mantan presiden Sri
Lanka J.R. Jayewardene memberi mereka sebutan
sebagai ‘the world’s most powerful minority’ (Wyland
2004, 415).
Sebagai kelompok yang tinggal jauh dari tanah
leluhurnya, diaspora memiliki kesempatan dan
keleluasaan yang lebih besar dalam menentukan
pilihan politiknya dibandingkan jika mereka tinggal di
tanah leluhur. Demikian pula dalam mengambil posisi
politik yang dikehendaki, diaspora memiliki lebih
banyak pilihan. Dalam kaitan dengan perannya sebagai
‘mediator’ etnis, menurut Wyland (2004, 418), diaspora
memiliki potensi untuk berperan penting dalam
keberhasilan perjuangan kemerdekaan berbasis etnis,
karena:
“In the diaspora, it became possible to explore
and express Tamil cultural, linguistic, and
religious identity as never before. Associations
were formed, both with an eye toward
facilitating integration in the host country as
well as toward maintaining ties with the
homeland, namely through supporting the quest
for Tamil independence. Migration from Sri
Lanka has resulted in Tamil identity-building
from abroad as well as material support for the
creation of a separate Eelam.”
Diaspora etnis memberi dukungan materi dan nonmateri bagi aktivitas politik yang termobilisasi
(Carment dan James, nd, np). Contohnya, para elit
Tamil memanfaatkan identitas diaspora dan berhasil
memobilisasi mereka yang tinggal di berbagai negara,
22
Globalisasi & Konflik Etnis
yang perjuangannya berpengaruh pada dinamika
konflik di Sri Lanka. Cara-cara yang digunakan oleh
diaspora tersebut antara lain: (a) pertukaran informasi
diantara sesama komunitas Tamil melalui koran, radio,
internet,
dan organisasi etnis; (b) menyebarkan
kesadaran atas perjuangan Tamil melalui pawai,
konferensi dan berbagai lobi ke pejabat-pejabat negara;
(c) penggalangan dana, baik melalui cara-cara legal
maupun ilegal. Propaganda yang dilakukan terus
menerus
tentang penderitaan kaum Tamil telah
mampu membangkitkan rasa bersalah pada diaspora
Tamil.
Kegiatan-kegiatan
ini
berdampak
pada
keberlanjutan perjuangan kemerdekaan di Sri Lanka
(Wyland 2004, 18). Sama halnya dengan diaspora
Siprus, Yunani, Turki, pada umunya mereka seringkali
bersikap nasionalis bahkan chauvinis bila berhadapan
dengan hal-hal yang menyangkut kepentingankepentingan politik di tanah leluhur. Demikian pula
dengan diaspora Yahudi yang mendukung terbentuknya
negara Israel dan diaspora Irlandia yang mendukung
berdirinya negara Irlandia (Anthias 1998, 567).
b.
Negara
Negara masih merupakan kekuatan dominan dalam
politik internasional dan negara merupakan salah satu
aktor pendukung proses internasionalisasi konflik etnis.
Keterlibatan negara sebagai pihak ketiga dalam konflik
etnis di suatu negara bukanlah sebuah kenyataan baru.
Sebuah negara yang terlibat dalam konflik etnis dapat
berperan sebagai pihak pendamai maupun sebagai
pihak yang memperkeruh konflik.
23
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Sekali pun banyak aktor-aktor non-negara memberi
dukungan pada salah satu kelompok etnis yang
bertikai, dukungan yang mereka berikan tidak melebihi
skala dan jumlah dukungan yang diberikan oleh negara.
Pada era Perang Dingin, dukungan negara membawa
dampak besar pada efektivitas perjuangan kelompok
etnis. Penelitian Byman et al (2001, 10) menunjukkan
bahwa
negara
merupakan
sponsor
penting
pemeliharaan konflik etnis dengan memberikan
bantuan militer, politik dan kegiatan logistik, baik
dalam skala terbatas maupun besar. Salah satu
contohnya adalah Libya yang secara aktif membantu
Gerakan Aceh Merdeka. Dukungan tersebut setidaknya
terjadi sampai dengan tahun 1991. Terbatasnya jumlah
personel
dan
logistik
yang
didapatkan
GAM,
menyebabkan organisasi ini tidak memiliki potensi
berkembang untuk menjadi konflik internasional.
Salah satu bentuk dukungan negara yang mampu
mengubah bentuk konflik lokal menjadi internasional
adalah dukungan India pada LTTE. Intervensi India atas
masalah etnis Sri Lanka menyebabkan terganggunya
keseimbangan power di Asia Selatan. Intervensi India
pada krisis etnis di Sri Lanka selama tahun 1980-an,
salah satunya disebabkan oleh kekhawatiran India atas
berkembangnya sentimen pemisahan diri di Tamil
Nadu, wilayah India yang berdekatan dengan Sri Lanka.
Selain itu India mulai merasa terganggu dengan
membanjirnya pengungsi Tamil dari wilayah Jaffna
menuju India.
Kedua negara tersebut berusaha
menyelesaiakan masalah Tamil secara diplomatik
maupun
militer.
New
Delhi
dan
Colombo
menandatangani Perjanjian Perdamaian pada Juli 1987
24
Globalisasi & Konflik Etnis
(Indo-Sri Lankan Peace Accord). Berdasarkan Perjanjian
tersebut militer India memiliki kewenangan untuk
memadamkan pemberontakan Tamil Eelam. Intervensi
militer India tersebut berdampak pada permusuhan
LTTE terhadap India. Oposisi LTTE pada aliansi New
Delhi-Colombo ditunjukkan dengan pembunuhan tiga
tokoh penting, yaitu Deputi Menteri Pertahanan Sri
Lanka Ranjan Wijerante; Perdana Menteri India, Rajiv
Gandhi; dan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa
(Chalk 2003, 134).
Amerika Serikat juga terlibat dalam konflik etnis bagi
pemisahan
diri
Kosovo
dari
Yugoslavia
yang
menyebabkan munculnya krisis di Balkan. Atas nama
menghentikan pembersihan etnis di Kosovo oleh
penguasa
Yugoslavia,
Slobodan
Milosevic,
AS
melancarkan intervensi kemanusiaan, yang disebut
Amerika sebagai “a just and necessary war” dan “the
new interventionism” (Chomsky 1999, 3-4). Konflik
Kosovo tidak saja melibatkan AS, tetapi juga organisasi
internasional seperti NATO dan PBB. Dalam kaitan ini,
konflik Kosovo tidak bisa lagi sekedar dipandang
sebagai konflik etnis lokal yang terjadi antara etnis
Albania (di Kosovo) versus Yugoslavia yang didominasi
oleh etnis Serbia, namun sifat konflik telah bermutasi
menjadi konflik internasional karena keterlibatan aktoraktor internasional sebagai pihak ketiga. Dengan
terlibatnya berbagai aktor eksternal, “intervensi
kemanusiaan” AS di Kosovo menjadi salah satu episode
aksi AS yang paling kontroversial dalam sejarah perang
AS.5
Intervensi AS dan NATO ke Kosovo merupakan pelanggaran
terhadap Doktrin Powel atau disebut The White House sebagai
5
25
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Deklarasi kemerdekaan Eritrea dari Etiopia pada Juli
1991 merupakan salah satu contoh keberhasilan
gerakan pemisahan diri yang melibatkan aktor
eksternal setelah melalui perang selama tiga puluh
tahun. Konflik pemisahan diri Eritrea menyebabkan
terlibatnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris,
Perancis dan PBB.6 Internasionalisasi konflik Eritrea
sudah bermula sejak tahun 1940an. Indikator
internasionalisasi sudah dapat diamati sejak awal,
ketika melibatkan empat negara pemain kunci di
Tanduk Afrika dan ketika Four Powers7 gagal
disepakatinya
cara
penyelesaian
konflik.
Internasionalisasi konflik di Tanduk Afrika tersebut
mulai menarik super power maupun dunia internasional
pada umumnya. Baik Eritrea maupun Ethiopia sangat
bergantung pada bantuan militer dua super power: AS
mendukung Ethiopia dan Uni Soviet mendukung Eritrea,
walaupun AS sebenarnya menghendaki federasi Eritrea
“anti-Powell Doctrine”. Doktrin ini merupakan pernyataan yang
pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Collin Powell ini
menyatakan bahwa “the United States should use military force
only after exhausting all other alternatives and then only
decisively to achieve clearly defined political objectives” (Daalder
dan O’Hanlon 1999, 133)
Pada akhir tahun 1950, Majelis Umum PBB meloloskan resolusi
390A (V) menyatakan bahwa Eritrea harus “constitute an
autonomous unit federated with Ethiopia under the sovereignty of
Ethiopian Crown” (Taras dan Ganguly 2002, 216).
6
Four Powers adalah sebutan untuk empat negara yang terlibat
dan berkepentingan secara langsung di Tanduk Afrika, yaitu
Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Perancis.
7
26
Globalisasi & Konflik Etnis
ke dalam Ethiopia. Perang tiga puluh tahun antara
Eritrea-Ethiopia
disebabkan
karena
komplikasi
kepentingan
negara-negara
besar
tersebut.
Berakhirnya konflik Eritrea-Ethiopia bersamaan dengan
berakhirnya Perang Dingin. Kasus ini membuktikan
bahwa internasionalisasi konflik domestik berpengaruh
pada durasi waktu yang panjang atas konflik tersebut.
2. ‘Menghasilkan’ pengungsi
Pengungsi8, yang merupakan korban kekerasan politik
di negaranya, merupakan salah satu indikator yang
dapat diidentifikasi sebagai faktor internasionalisasi
konflik etnis. Pertikaian etnis di sebuah negara secara
signifikan dapat meningkatkan jumah pengungsi ke
negara lain dan kedatangan pengungsi di tempat baru
tersebut secara potensial dapat menimbulkan berbagai
konflik baru yang berdimensi ekonomi, sosial maupun
politik. Sejak tahun 1980an pengungsi lebih banyak
8
Definisi Pengungsi (refugee) telah ditetapkan oleh Konvensi
Jenewa tahun 1951. Menurut Konvensi tersebut, yang termasuk
dalam karegori pengungsi adalah mereka yang: “Owing to a wellfounded fear of being persecuted for reasons of race, religion,
nationality, membership of a particular social group or political
opinion, is outside his country of nationality and is unable or,
owing to such fear is unwilling to avail himself of the protection of
that country; or who, not having a nationality and bring outside
the country of his former habitual residence as a result o such
events, is unable or, owing to such fear is unwilling to return to it”
(Skehan 2008; Fortin 2000; Newland 1993). Konvensi Pengungsi
yang diselenggarakan oleh Organisasi Persatuan Afrika pada tahun
1969 menerima definsi yang dibeikan oleh PBB tersebut, namun
menambahkan bahwa pengungsi adalah “a person who had to flee
his or her country “owing to external aggression, occupation,
foreign domination, or events seriously disturbing public order…”
(Newland 1993, 144).
27
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
dihasilkan oleh konflik etnis daripada oleh bencana
alam atau konflik-konflik lain (Weiner 1996 dalam
Saideman 2001, 3). Konflik etnis yang berdampak pada
mengalirnya pengungsi terjadi di banyak tempat,
seperti Vietnam, Armenia, Azerbaijan, Burma, Ethipia,
Georgia, Sri Lanka, dan Yugoslavia. Mengalirnya
pengungsi menarik perhatian aktor eksternal dan
mereka berusaha untuk mencari cara terbaik untuk
mengatasinya.
Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain
yang disebabkan karena ketidakamanan di negara
induk lebih banyak membawa dampak negatif
terutama bagi populasi negara induk, seperti
menurunnya standar hidup, penularan penyakit,
perdagangan
gelap,
kecenderungan
terjadinya
kejahatan, dan berbagai dampak negatif lainnya.
Mengalirnya pengungsi juga membebani negara tujuan
karena pengungsi memerlukan makanan, tempat
tinggal, dan pakaian yang harus dipenuhi oleh negara
tujuan. Beban menjadi lebih berat bagi negara-negara
miskin, seperti datangnya pengungsi Albania ke
Macedonia. Ilmuwan politik seperti Aristide Zolberg dan
Astri Suhrke berpendapat bahwa pengungsi adalah
kelompok “istimewa”. Menurut mereka,
“…Refugee status is privilege or entitlement,
giving those who qualify access to certain
scarce resources or service outide their own
country, such as admission into another
country ahead of a long line of claimants,
legal protection abroad, and often some
material assistance from public or private
28
Globalisasi & Konflik Etnis
agencies” (Zolberg at al 1989, 3 dalam
Newland 1993, 144).
Sejak berakhirnya Perang Dingin, negara-negara maju
lebih banyak didatangi oleh pengungsi dari negara
miskin yang mengalami konflik etnis, seperti yang
terjadi di Eropa. Negara-negara maju di Eropa, menjadi
tujuan utama pengungsi dari wilayah-wilayah konflik di
Eropa Timur seperti Yugoslavia. Negara-negara
etnokratik seperti Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, Israel
dan Myanmar memiliki kecenderungan mengalirkan
lebih banyak pengungsi ke negara-negara sekitarnya
karena kelompok etnis lain, selain etnis dominan
memiliki potensi untuk mengalami asimilasi paksa
(forced assimilation), pengusiran dan penganiayaan,
dan lebih buruk lagi, pembersihan etnis (ethnic
cleansing). Perebutan sumber (alam, kekuasaan) dan
kekhawatiran etnis dominan untuk tidak memperoleh
sumber-sumber tersebut merupakan faktor terpenting
yang menjadi penyebab kesewenang-wenangan rejim
etnokratik yang dapat menjadi penyebab konflk etnis.
Rejim etnokratik mengingkari kewajiban dalam
melindungi
warga
negara,
sehingga
persoalan
perlindungan warga negara menjadi tanggungjawab
pihak lain.
Pengungsi
dapat
mengakibatkan
terganggunya
keamanan negara penerima. Datangnya pengungsi
secara
potensial
juga
dapat
mengakibatkan
berubahnya keseimbangan demografi. Lebih jauh,
negara penerima pengungsi sangat rentan terhadap
terjadinya konflik antarwarga negara (civil war), seperti
29
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang dinyatakan oleh Salehyan dan Gleditsch (2006,
338), bahwa:
“…refugees and conflict by arguing that
refugees facilitate the spread of rebel networks
and negative externalities to receiving areas…
countries that experience an influx of refugees
from neighboring states are significantly more
likely to experience civil wars themselves. Thus
population movements are an important factor
contributing to the regional clustering of
violence and the diffusion of conflict.”
Konflik
etnis yang menyebabkan melimpahnya
pengungsi ke negara lain merupakan masalah
keamanan yang memerlukan manajemen kolektif.
Pengungsi yang mencari perlindungan di tempat lain
sebagai hasil konflik etnis di negaranya, dapat
disebabkan karena negara tidak bersedia melindungi
warga negaranya dan karena ketidakmampuan negara
dalam melakukanya, yang dua hal ini harus dibedakan.
Rejim etnokratik yang melepaskan tanggungjawab
perlindungan etnis minoritasnya memiliki masalah atas
compliance terhadap hukum internasional yang
berkonsekuensi pada pemberian sanksi; Sementara
negara lemah yang tidak mampu melindungi warganya
sendiri merupakan pihak yang perlu mendapat bantuan
internsional.
3. Melibatkan PBB dalam resolusi konflik etnis
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
merupakan
organisasi internasional yang memiliki tanggung jawab
dalam mencari jalan keluar atas berbagai konflik etnis
30
Globalisasi & Konflik Etnis
yang terjadi. Peran PBB sebagai badan dunia
penyelesai konflik etnis selama ini dianggap kurang
efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai persoalan, baik
substansi maupun teknis. Terdapat dua hal penting
dalam melihat keterlibatan PBB dalam resolusi konflik
etnis.
Pertama,
PBB
seringkali
mengalami
kesulitan
menempatkan diri sebagai pendamai karena harus
berhadapan dengan berbagai kepentingan yang
tumpang tindih dari aktor-aktor yang terlibat dalam
konflik etnis. Lebih jauh lagi, resolusi konflik etnis tidak
jarang menemui jalan buntu ketika dihadapkan pada
kepentingan negara-negara besar. Keterlibatan negara
besar seringkali justru mempersulit resolusi konflik
etnis. Diplomasi PBB dalam menangani berbagai konflik
etnis seringkali juga mengalami kegagalan, selain
karena campur tangan negara besar, juga karena
berkaitan dengan masalah kedaulatan, yang berakibat
pada penolakan negara atas campur tangan asing
untuk urusan konflik etnis yang masih dipandang
sebagai urusan dalam negeri. Pasal 2 (7) Piagam PBB
menyatakan bahwa PBB tidak memiliki otoritas untuk
melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang
terjadi di dalam yurisdiksi domestik sebuah negara.
PBB juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta
negara lain untuk intervensi dalam penyelesaian
masalah dalam negeri sebuah negara berdaulat. Prinsip
non-intervention masih menjadi pegangan kuat bagi
PBB untuk membatasi tindakannya.
Sebagai lembaga internasional yang beranggotakan
entitas politik berdaulat, PBB juga seringkali merasa
31
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
enggan terlibat dalam menyelesaikan kasus-kasus
konflik etnis. Keengganan PBB sebagai penyelesai
konflik etnis, seperti yang diutarakan oleh Pierre van
den Burghe, bahwa, “The UN is first and foremost an
organization of states, not of nations, and since most
states are, in fact threatened by the claims of nations,
it is little wonder that the UN is pro-state and antination” (dikutip dari Ryan 1995, 155 dari Kuper 1981,
161). Atas dasar alasan tersebut tidak mengherankan
bila PBB memiliki alasan untuk tidak berperan aktif
dalam konflik penyelesaian etnis.
Kedua, sekalipun PBB sulit berposisi tegas dalam
urusan konflik etnis, namun tidak jarang berbagai
persoalan konflik etnis mengharuskan PBB untuk
terlibat, baik sebagai penjaga perdamaian, mediator
maupun manajemen pemberian bantuan pada hal-hal
yang terkait dengan konflik etnis. Idealnya PBB adalah
pihak ketiga yang dapat diterima pihak-pihak yang
bertikai sebagai pendamai. Jika diukur secara kualitatif,
keterlibatan PBB bervariasi, mulai dari keterlibatan
secara intensif maupun partial. Hal tersebut tergantung
pada beberapa faktor seperti tingkat kekerasan konflik,
lokasi, pihak yang berkonflik, keterlibatan pihak ketiga,
posisi penguasa, dan sebagainya.
Meningkatnya tuntutan kepada PBB untuk menangani
berbagai masalah keamanan dunia menyebabkan
meningkatnya peran PBB untuk terlibat dalam
beberapa kasus konflik etnis. Beberapa konflik etnis
yang melibatkan PBB secara intensif dapat ditemukan
dalam misi-misi perdamaian di banyak negara, yang
32
Globalisasi & Konflik Etnis
melibatkan PBB dalam perannya sebagai peacekeeper,
peacemaker dan peacebuilder.
Dalam menjalankan tugas-tugas administratifnya di
berbagai negara, peran PBB sebagai peacekeeper
(penjaga perdamaian) dijalankan melalui operasi
penjaga perdamaian (peacekeeping operations) dengan
menghadirkan secara fisik pasukan militer asing. Target
operasi ini adalah menghentikan peperangan antara
pihak yang berkonflik, terutama melucuti senjata dan
menghentikan baku tembak antarpara tentara pihak
yang berkonflik. Cara demikian ditempuh agar tercipta
situasi damai bagi negosiasi politik dan operasi
pemulihan keamanan. Berbeda dengan peacekeeper,
peacemaking (pencipta perdamaian) merupakan upaya
penyelesaian konflik oleh pihak ketiga dengan
melibatkan aktivitas politik dan diplomatik yang
bertujuan membawa para pemimpin dari pihak yang
bertikai mencapai kesepakatan melalui negosiasi
perdamaian. Metoda yang digunakan dapat berbentuk
arbitrasi,
mediasi
dan
fasilitasi.
Sedangkan
peacebuilding adalah kegiatan jangka panjang yang
berdimensi sosial-ekonomi dan kultural, ditujukan
terutama untuk anggota masyarakat dari pihak-pihak
yang bertikai agar masyarakat dapat mengubah
perilaku, persepsi dan citra negatif atas pihak lawan
(Taras dan Ganguly 2002, 94-97).
Peran-peran di atas dapat dilakukan oleh pihak ketiga
siapa pun, termasuk PBB. Sepanjang tahun 1948
sampai dengan 2008, PBB menjalankan banyak misi
perdamaian, diantaranya adalah PBB UNAMID (Darfur);
UNMIS (Sudan); UNMIL (Liberia); MINURSO (Sahara
33
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Barat); UNAMET, UNTAET, UNMIT (Timor Leste);
UNMOGIP (Jammu dan Kashmir); UNFICYP (Siprus
Yunani dan Siprus Turki); UNOSOM (Somalia); UNOMUR
(Uganda-Rwanda); UNOMIG (Georgia); UNMIK(Kosovo);
UNMEE
(Ethiopia
dan
Eritrea)
(http://www.un.org/Depts/dpko/list/list.pdf.
Akses
04/02/09).
Sekalipun PBB telah berupaya menjadi pihak ketiga
dalam penyeleseaian konflik etnis di berbagai wilayah,
PBB memiliki keterbatasan dalam menjalankan
perannya. Hal tersebut menjadi sasaran kritik banyak
pihak yang melihat bahwa PBB tidak berhasil
menjalankan perannya dengan baik. Kekerasan etnis
yang berlangsung terus menerus di Bosnia, Rwanda
dan Somalia merupakan sedikit contoh kegagalan PBB
menjalankan fungsinya. Betts (dalam Taras dan
Ganguly 2002, 94) menyatakan bahwa kegagalan pihak
ketiga, termasuk PBB dalam misi-misi resolusi konflik
disebabkan
karena
pada
umumnya
mereka
menjalankan fungsi monitoring gencatan senjata
(cease-fire) yang belum tercipta pada saat mereka
menjalankan fungsi monitoring tersebut. Dengan kata
lain, para pelaku misi perdamaian melakukan
pemantauan perdamaian pada situasi damai yang
sebenarnya tidak pernah ada, atau belum tercipta di
wilayah tersebut. Dalam kasus Bosnia, Rwanda dan
Somalia, PBB gagal melaksanakan tugasnya karena
terdapat “destructive misconception”, sebuah praduga
yang keliru atas terdapatnya perdamaian yang
sesungguhnya tidak pernah terjadi. Hal tersebut
disebabkan karena sesungguhnya ‘perdamaian’ yang
diasumsikan para peacekeepers belum tercipta. Betts
34
Globalisasi & Konflik Etnis
kemudian menganjurkan untuk dilakukanya operasi
peace enforcement dalam konflik etnis untuk
meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa tidak
banyak yang mereka peroleh dengan cara bertikai.
Keterbatasan-keterbatasan PBB
dalam merespon
persoalan keamanan dunia mendorong badan dunia ini
untuk mengambil langkah nyata. Di tengah-tengah
krisis harapan dan tingginya tuntutan pada PBB untuk
berperan lebih efektif dalam masalah keamanan, PBB
memberikan respon positif. Salah satu upaya rasional
dan koheren PBB dalam merespon keamanan
internasional adalah Laporan Sekretaris Jendral PBB,
Boutros Boutros Ghali pada tahun 1992 yang berjudul
An Agenda for Peace. Sekali pun tidak dimaksudkan
sebagai solusi komprehensif atas berbagai persoalan
keamanan dunia, Laporan ini memuat rencana PBB
dalam
menjalankan
berbagai
perannya
dalam
mengatasi
masalah-masalah
keamanan
terasuk
himbauan untuk menambah dana bagi pasukanpasukan PBB. Laporan tersebut dianggap sebagai
langkah berani karena selama ini PBB dipandang tidak
memiliki kapabilitas memadai dalam mengatasi
berbagai masalah keamanan internasional, termasuk
ketidakberdayaan PBB dalam mengambil inisiatif
diplomasi preventif, peacemaking dan peacekeeping
(Roberts 1993, 208-210).
4. Berkaitan dengan terorisme internasional
Konflik etnis yang melibatkan unsur kekerasan
seringkali menggunakan cara-cara terorisme untuk
mencapai tujuannya. Fakta ini bukan merupakan hal
35
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
yang baru karena banyak kasus membuktikan hal
tersebut. Tidak saja konflik etnis yang terjadi di negara
sedang berkembang (LTTE, Jammu-Kashmir), hal serupa
yang terjadi di negara maju pun (IRA, Basque)
menggunakan taktik yang sama. Sekalipun demikian
tidak berarti semua konflik yang menggunakan taktik
terorisme internasional diidentifikasikan dengan konflik
yang berdimensi terorisme internasional.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat kaitan
erat antara kelompok-kelompok pemberontak etnis
dengan terorisme internasional. Hubungan antaraktor
non-negara yang melakukan kegiatan yang melibatkan
unsur kekerasan (violence) sangat kompleks dan
terbukti meningkat setelah Perang Dingin. Seperti yang
dinyatakan oleh Oehme III (2008, 81) terdapat
hubungan dan keterkaitan antara teroris, pemberontak
dan kriminal yang membentuk konvergensi. “Kekuatan”
ini terutama muncul dan tumbuh subur pada situasi
“security gap”, yaitu sebuah kondisi yang terjadi di
antara masa pasca konflik dan masa rekonstruksi.
Beberapa kelompok pemberontak etnis menggunakan
atau memanfaatkan jaringan teroris internasional untuk
mencapai tujuannya. Misalnya kelompok MILF (Moro
Islamic Liberation Front) dan MNLF (Moro National
Liberation Front) yang bekerjasama dengan Abu Sayyaf,
salah satu jaringan Al Qaedah di Asia Tenggara. MILF
dan MNLF berjuang menuntut penentuan nasib sendiri
dari Pemerintah Filipina. MILF bermaksud mendirikan
negara Islam tersendiri, sementara MNLF menghendaki
otonomi lebih besar dari pemerintah. Abu Sayyaf
muncul di Filipina pada tahun 1990-an, sebagian
36
Globalisasi & Konflik Etnis
pejuangnya adalah anggota MNLF dan sebagian lagi
merupakan veteran perang Afghanistan. Ditengarai Abu
Sayyaf menerima dana dari Osama bin Laden melalui
Mohammed Jamal Khalifa, saudara ipar Osama yang
memiliki beberapa organisasi kedermawanan (charity)
di Filipina Selatan. Menurut laporan Manila Chronicle,
mereka banyak melatih para pejuang Abu Sayyaf. MILF
dan MNLF menyangkal adanya keterkaitan tersebut,
namun hal ini sulit dibuktikan (Niksch 2002, 4).
Keterlibatan Abu Sayyaf dalam perjuangan pemisahan
diri di Filipina, sebagian juga dipicu oleh dukungan
Presiden Arroyo dalam ‘War on Terror’ menyebabkan
pemerintah AS bergerak menempatkan sekitar 650
personel militer di Filipina. Keterlibatan pihak eksternal
dalam konflik pemisahan diri menjadikan konflik ini
bertransformasi menjadi konflik internasional. Apalagi
pihak eksternal yang terlibat adalah kekuatan global.
Pada umumnya konflik-konflik yang mengalami proses
difusi dan eskalasi lebih sulit diselesaikan.
5. Terdapat elemen iredentisme
Iredentisme merupakan topik yang tidak populer dalam
ilmu hubungan internasional. Gerakan ini sering
dikesampingkan karena dianggap sebagai bagian dari
gerakan pemisahan diri (secessionism) sehingga tidak
pernah mendapat penjelasan yang memadai. Selain itu
gerakan ini dipandang anarchronistic (ketinggalan
zaman), berbeda dengan secessionism yang dapat
ditemukan penjelasannya dalam filsafat politik modern
tentang
hak
penentuan
nasib
sendiri
(selfdetermination). Iredentisme berasal dari kata “terra
irredenta” yang berarti tanah tak tertebus. Istilah ini
37
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
pertama kali digunakan untuk menggambarkan wilayah
berbahasa Italia yang berada di bawah kekuasaan
Austria selama paruh kedua abad ke sembilan belas.
Italia harus berperang melawan Austria untuk
memperoleh wilayah tersebut (Chazan 1991).
Iredentisme mencakup pengertian keinginan sebuah
wilayah bergabung dengan wilayah/negara lain. Pada
dasarnya
iredentisme
muncul
karena
terdapat
keinginan dari salah satu pihak negara yang
berdekatan untuk ‘melindungi’, ‘menyelamatkan’ atau
‘membebasakan’ saudara se-etnisnya yang menjadi
minoritas di wilayah negara tetangganya tersebut.
Ikatan emosional yang kuat antara satu kelompok etnis
yang terpaksa terpisah menjadi dua negara yang
berbeda menyebabkan terjadinya dorongan melakukan
iredentisme. Iredentisme dapat memperburuk konflik
mayoritas-minoritas
dengan
memperkuat
saling
kecurigaan dan permusuhan yang dapat memicu
terjadinya tindakan kekerasan maupun perang.
Berdasar
pada
argument
tersebut,
Ben-Israel
menyatakan
iredentisme
merupakan
ekspresi
nasionalisme yang agresif expansionis, berdasarkan
pada "atavistic feelings for territory and for kith and
kin" (Ben-Israel 1991, 33).
Kasus lain menunjukkan bahwa iredentisme tidak selalu
berbasis etnis. Ide pembentukan sebuah negara Islam
(daulah islamiyah) di Asia Tenggara menghasilkan
gerakan-gerakan pemisahan diri di berbagai negara
Asia Tenggara. Kaum minoritas muslim di Filipina,
Thailand, dan Myanmar serta beberapa gerakan radikal
berbasis agama di Malaysia dan Indonesia menjadi
38
Globalisasi & Konflik Etnis
aktor-aktor utama pelaku iredentisme. Iredentisme
Islam Asia Tenggara berbasis ideologi, bukan etnis. Lain
halnya dengan iredentisme yang terjadi di Eropa,
seperti Jerman, Italia, Yunani, Spanyol, Rusia dan
Polandia berbasis sejarah, yang merupakan perpaduan
antara keinginan etnis untuk bersatu dengan upaya
untuk mempertemukan kembali antara negara pada
masa lalu (historic states) dengan batas-batas historis
(historic boundaries), yang seringkali tidak berkaitan
dengan batas-batas etnisitas. Hal ini juga terjadi di
Afrika, seperti pada kasus penyatuan Eritrea oleh
Ethiopia pada tahun 1952, yang dilihat sebagai
“kembali ke negara induk”, bukan aneksasi (Neuberger
1991, 101).
Bentuk iredentisme yang lain adalah iredentisme yang
dilakukan oleh negara (state-sponsored irredentism)
menjadi salah satu penyebab krisis masa pasca-Perang
Dingin. Ambisi Slobodan Milosevic untuk membangun
Serbia Raya dengan cara ekspansi teritorial ke wilayah
Bosnia dan pemusnahan etnis non-Serbia, merupakan
salah satu contoh iredentisme pasca-Perang Dingin.
Minoritas non-Serbia harus ‘mengganti’ identitas
mereka menjadi Serbia. Instabilitas di Balkan setelah
disintegrasi Yugoslavia merupakan salah satu bukti
bahwa ambisi teritorial pemimpin berdampak pada
ketidakamanan sistem. Iredentisme di Balkan menjadi
salah satu agenda keamanan AS, semakin memperjelas
dimensi internasional konflik etnis. Beberapa kasus
iredentisme tersebut membuktikan bahwa masalah ini
menjadi isu penting dalam hubungan internasional
karena potensinya yang menyebabkan efek instabilitas
yang mengganggu sistem.
39
Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala
Internasionalisasi
Beberapa indikator yang telah disebutkan di atas
menunjukkan bahwa konflik etnis bukan lagi sekedar
bahasan politik nasional namun telah berkembang
menjadi isu internasional. Variabel indikator tersebut
hanyalah beberapa saja di antara banyak variabel yang
dapat dijadikan petunjuk transformasi konflik etnis ke
ranah global. Beberapa isu lintas batas negara seperti
hak azasi manusia, krisis sumber daya alam dan
lainnya yang dapat meningkatkan intensitas konflik
etnis di tingkat nasional, juga menjadi faktor penting
dalam
proses
transformasi
konflik
ke
tingkat
internasional.
40