Bank dan Lembaga Non Bank
Nama
NIM
1.
TUGAS 1
MATA KULIAH BANK & LEMBAGA NON BANK
: Agi Septia Nugraha
: 021122671
Bagaimana cara Bank mengatasi dan mengantisipasi terjadinya resiko likuiditas?
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Likuiditas
diukur dengan rasio aktiva lancar dibagi dengan kewajiban lancar. Perusahaan yang memiliki
likuiditas sehat paling tidak memiliki rasio lancar sebesar 100%. Ukuran likuiditas perusahaan yang
lebih menggambarkan tingkat likuiditas perusahaan ditunjukkan dengan rasio kas (kas terhadap
kewajiban lancar).Contoh: Membayar listrik, telepon, air PDAM, gaji karyawan, dsb.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Likuiditas)
Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul akibat kesulitan menyediakan uang tunai dalam jangka
waktu tertentu. Misalnya : jika suatu pihak tidak dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo
secara tunai. Meskipun pihak tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi
kewajibannya, tapi ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka
Aset tersebut dikatakan tidak likuid.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_likuiditas)
Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada
para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu‐waktu atau pada saat
jatuh tempo. Oleh karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan
bahwa bank sewaktu‐waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam
bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi. Kedua
resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan
kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank sentral. Kedua
keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu kinerja keuangan dan kepercayaan
masyarkat terhadap bank tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika bank mengharapkan
keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas yang rendah atau ketika likuiditas
tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini tearjadi konflik kepentingan antara
mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari keuntungan yang tinggi.
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas yang
disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi kebijakan
manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset jangka pendek, seperti
kas.
Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:
1.
kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
2.
Tipe‐tipe dana yang ditarik oleh bank.
3.
Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau
melakukan investasi.
Jumlah alat‐alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat
merupakan kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang
mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya yang
segera harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki kemampuan
membayar.
Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayar‐nya adalah
demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansiilnya yang segera harus
dipenuhi. Dengan demikian maka kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah
membandingkan kekuatan membayar‐nya di satu pihak dengan kewajiban‐kewajiban finansiilnya
yang segera harus dipenuhi di lain pihak.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga mampu
memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan
tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan membayar adalah illikuid.
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch atau Gap antara Rate Sensitive
Assets (RSA) dan Rate Sensitive Liabilities (RSL). Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat
memenuhi setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat likuiditas yang optimal. Tujuan
tersebut dicapai oleh Bank dengan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan cadangan
likuiditas yang optimal, mengukur dan menetapkan limit untuk risiko likuiditas serta
penyusunan contingency plan.
Tingkat likuiditas Bank diukur dengan besarnya tingkat cadangan primer dan cadangan sekunder
yang dipelihara Bank serta rasio likuiditas lainnya. Pengukuran rasio likuiditas Bank meliputi struktur
pendanaan, expected cash flow,akses pasar dan asset marketability. Pengelolaan cadangan
primer dan cadangan sekunder adalah untuk keperluan pendanaan operasional harian dan
sebagai buffer untuk mengcover penarikan dana yang tidak terduga
Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA, merupakan alat utama untuk
mengendalikan risiko pasar : suku bunga, nilai tukar dan risiko likuiditas.
(https://fadlyknight.wordpress.com/2011/10/08/manajemen‐likuiditas‐bank/)
Menurut data Perbanas per akhir 2013, sekitar 55% dana murah masyarakat dalam bentuk bentuk
tabungan dan giro yang mencapai Rp 2.059 triliun berada dalam dekapan 4 bank besar yaitu: BNI,
BRI, Mandiri dan BCA. Sedangkan 45% dana murah lainnya sekarang diperebutkan oleh 116 bank
umum lainnya.
Hal ini tentu saja dalam 10 tahun ke depan perbankan Indonesia akan dihadapkan pada persoalan
likuiditas dan modal. Saat ini, kondisi loan to deposit ratio (LDR) sudah rata‐rata di atas 90%.
"Kondisi perbankan 10 tahun ke depan likuiditas akan ketat dan berbeda seperti 10 tahun
sebelumnya yang masih longgar." kata Budi G. Sadikin, Dirut Bank Mandiri dalam diskusi di kongres
luar biasa Perbanas 2014 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, untuk mengatasi likuiditas, diperlukan infrastruktur hukum dan perpajakan untuk
menarik dana‐dana asing yang ada di luar negeri yang jumlahnya relatif banyak. Selain itu, dia juga
menegaskan untuk meningkatkan penetrasi perbankan yang lebih cepat sehingga ada tambahan
likuiditas dari masyarakat.
Sementara untuk mengatasi permodalan bank‐bank BUMN untuk dapat melakukan konsolidasi,
karena berharap tambahan dari pemerintah sangat sulit dan juga dalam melakukan right issue
karena saham pemerintah akan terdilusi.
Menurut pengamat perbankan Iman Sugema, ketatnya likuiditas perbankan sudah pasti akan
memberatkan pengusaha di dalam negeri untuk mencari pembiayaan. Pasalnya, ada pengetatan
likuiditas tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan suku bunga kredit perbankan yang
ada saat ini.
"Hingga saat ini, banyak pengusaha yang mengeluhkan tingginya suku bunga yang ada dan memang
pembiayaan dari sektor perbankan terhadap dunia usaha masih belum optimal. Secara makro,
alokasi kredit perbankan masih tergolong rendah,"ujarnya saat dihubungi Neraca, Sabtu (28/6).
Lebih lanjut Iman mengatakan, pembiayaan perbankan terhadap sektor riil masih sangat minim
apalagi pembiayaan untuk sektor pertanian. Padahal sektor ini sangat penting untuk pertumbuhan
ekonomi nasional. Untuk itu, perlu ada upaya memperbesar pembiayaan terhadap dunia usaha.
"Ketatnya likuiditas di perbankan yang terjadi saat ini akan bertambah parah jika pemerintah
kembali lambat mencairkan anggaran belanjanya seperti tahun lalu. Jika ini terjadi, suku bunga
deposito dan suku bunga kredit akan tetap tinggi," papar Iman.
Iman juga berpendapat likuiditas yang ada tidak merata dan tidak mudah diakses oleh setiap bank.
Terjadi segmentasi likuiditas, di mana bank besar kelebihan likuiditas dan bank kecil kekurangan
likuiditas. Dampaknya, likuiditas tetap terasa ketat yang terindikasi dari suku bunga deposito yang
sulit turun dari level 11%‐12 % per tahun.
"Seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi, terjadi perpindahan dana dari bank kecil ke bank
besar karena dianggap lebih aman. Ke depan, likuiditas perbankan diperkirakan semakin ketat,"
ujarnya.
Dalam situasi seperti saat ini, menurut dia, kesulitan likuiditas bisa dengan mudah menyebabkan
bank bangkrut. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi likuiditas yang makin ketat, pemerintah
harus mempercepat belanjanya.
Pengamat perbankan Aviliani menilai tingginya suku bunga dan berkurangnya suplai uang membuat
likuditas perbankan makin ketat. Atas dasar itu, Aviliani mengatakan telah membuat perbankan
berebut dana pihak ketiga (DPK) dengan menawarkan bunga simpanan yang tinggi kepada nasabah.
"Ini kondisi yang kurang bagus," ujarnya.
Aviliani menyebut, saat ini Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan tingkat bunga
penjaminan untuk bank umum 7,75%. Adapun untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 10,25%. "Tapi
kenyataannya, ada bank yang memberikan bunga simpanan sampai 11 hingga 14%," katanya.
(http://www.neraca.co.id/article/42949/likuiditas-bank-terancam-persaingan-rebutdana-masyarakat-kian-ketat)
2.
3.
Jelaskan factor yang mengakibatkan kondisi perbankan nasional rentan terhadap gejolak ekonomi?
Terdapat lima faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan
terhadap gejolak ekonomi, (Burhanuddin, 2003) yaitu:
• Adanya jaringan terselubung (implicity guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan
hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistematik dalam industri perbankan telah
menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank
• Sistem pengawasan oleh bank sentral belum efektif karena belum sepenuhnya dapat
mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan.
• Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah
mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.
• Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas
asset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank.
• Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan
kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga
telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan menciptakan disiplin pasar.
(http://eprints.ums.ac.id/14324/3/BAB_I.pdf)
Jelaskan tentang Good Corporate Governance? Mengapa hal itu penting dilakukan oleh Perbankan?
Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan
perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus
perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai‐nilai" yang terkandung dari mekanisme
pengelolaan itu sendiri (soft definition). (http://www.bpkp.go.id/dan/konten/299/good‐
corporate.bpkp)
Prinsip‐prinsip GCG, meliputi:
• Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan
mengenai perusahaan;
• Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
• Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang‐undangan dan prinsip‐prinsip korporasi yang sehat;
• Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang‐undangan dan prinsip‐prinsip korporasi yang
sehat;
• Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak‐hak Pemangku
Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundangundangan.
(http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/dan/files/Pdf/PER‐
01_MBU_2011%20PENERAPAN%20TATA%20KELOLA%20PERUSAHAAN%20YANG%20BAIK%
20‐%20GCG.pdf)
Di lihat dari segi pengertian dan prinsip CGC maka bias disimpulkan bahwa CGC penting dilakukan
oleh perbankan.
Demikian jawaban dari Tugas 1 Mata Kuliah Bank dan Lembaga Non Bank, atas perhatian Tutor saya
ucapkan terima kasih.
NIM
1.
TUGAS 1
MATA KULIAH BANK & LEMBAGA NON BANK
: Agi Septia Nugraha
: 021122671
Bagaimana cara Bank mengatasi dan mengantisipasi terjadinya resiko likuiditas?
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Likuiditas
diukur dengan rasio aktiva lancar dibagi dengan kewajiban lancar. Perusahaan yang memiliki
likuiditas sehat paling tidak memiliki rasio lancar sebesar 100%. Ukuran likuiditas perusahaan yang
lebih menggambarkan tingkat likuiditas perusahaan ditunjukkan dengan rasio kas (kas terhadap
kewajiban lancar).Contoh: Membayar listrik, telepon, air PDAM, gaji karyawan, dsb.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Likuiditas)
Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul akibat kesulitan menyediakan uang tunai dalam jangka
waktu tertentu. Misalnya : jika suatu pihak tidak dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo
secara tunai. Meskipun pihak tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi
kewajibannya, tapi ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka
Aset tersebut dikatakan tidak likuid.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_likuiditas)
Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada
para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu‐waktu atau pada saat
jatuh tempo. Oleh karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan
bahwa bank sewaktu‐waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam
bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi. Kedua
resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan
kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank sentral. Kedua
keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu kinerja keuangan dan kepercayaan
masyarkat terhadap bank tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika bank mengharapkan
keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas yang rendah atau ketika likuiditas
tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini tearjadi konflik kepentingan antara
mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari keuntungan yang tinggi.
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas yang
disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi kebijakan
manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset jangka pendek, seperti
kas.
Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:
1.
kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
2.
Tipe‐tipe dana yang ditarik oleh bank.
3.
Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau
melakukan investasi.
Jumlah alat‐alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat
merupakan kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang
mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya yang
segera harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki kemampuan
membayar.
Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayar‐nya adalah
demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansiilnya yang segera harus
dipenuhi. Dengan demikian maka kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah
membandingkan kekuatan membayar‐nya di satu pihak dengan kewajiban‐kewajiban finansiilnya
yang segera harus dipenuhi di lain pihak.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga mampu
memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan
tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan membayar adalah illikuid.
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch atau Gap antara Rate Sensitive
Assets (RSA) dan Rate Sensitive Liabilities (RSL). Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat
memenuhi setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat likuiditas yang optimal. Tujuan
tersebut dicapai oleh Bank dengan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan cadangan
likuiditas yang optimal, mengukur dan menetapkan limit untuk risiko likuiditas serta
penyusunan contingency plan.
Tingkat likuiditas Bank diukur dengan besarnya tingkat cadangan primer dan cadangan sekunder
yang dipelihara Bank serta rasio likuiditas lainnya. Pengukuran rasio likuiditas Bank meliputi struktur
pendanaan, expected cash flow,akses pasar dan asset marketability. Pengelolaan cadangan
primer dan cadangan sekunder adalah untuk keperluan pendanaan operasional harian dan
sebagai buffer untuk mengcover penarikan dana yang tidak terduga
Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA, merupakan alat utama untuk
mengendalikan risiko pasar : suku bunga, nilai tukar dan risiko likuiditas.
(https://fadlyknight.wordpress.com/2011/10/08/manajemen‐likuiditas‐bank/)
Menurut data Perbanas per akhir 2013, sekitar 55% dana murah masyarakat dalam bentuk bentuk
tabungan dan giro yang mencapai Rp 2.059 triliun berada dalam dekapan 4 bank besar yaitu: BNI,
BRI, Mandiri dan BCA. Sedangkan 45% dana murah lainnya sekarang diperebutkan oleh 116 bank
umum lainnya.
Hal ini tentu saja dalam 10 tahun ke depan perbankan Indonesia akan dihadapkan pada persoalan
likuiditas dan modal. Saat ini, kondisi loan to deposit ratio (LDR) sudah rata‐rata di atas 90%.
"Kondisi perbankan 10 tahun ke depan likuiditas akan ketat dan berbeda seperti 10 tahun
sebelumnya yang masih longgar." kata Budi G. Sadikin, Dirut Bank Mandiri dalam diskusi di kongres
luar biasa Perbanas 2014 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, untuk mengatasi likuiditas, diperlukan infrastruktur hukum dan perpajakan untuk
menarik dana‐dana asing yang ada di luar negeri yang jumlahnya relatif banyak. Selain itu, dia juga
menegaskan untuk meningkatkan penetrasi perbankan yang lebih cepat sehingga ada tambahan
likuiditas dari masyarakat.
Sementara untuk mengatasi permodalan bank‐bank BUMN untuk dapat melakukan konsolidasi,
karena berharap tambahan dari pemerintah sangat sulit dan juga dalam melakukan right issue
karena saham pemerintah akan terdilusi.
Menurut pengamat perbankan Iman Sugema, ketatnya likuiditas perbankan sudah pasti akan
memberatkan pengusaha di dalam negeri untuk mencari pembiayaan. Pasalnya, ada pengetatan
likuiditas tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan suku bunga kredit perbankan yang
ada saat ini.
"Hingga saat ini, banyak pengusaha yang mengeluhkan tingginya suku bunga yang ada dan memang
pembiayaan dari sektor perbankan terhadap dunia usaha masih belum optimal. Secara makro,
alokasi kredit perbankan masih tergolong rendah,"ujarnya saat dihubungi Neraca, Sabtu (28/6).
Lebih lanjut Iman mengatakan, pembiayaan perbankan terhadap sektor riil masih sangat minim
apalagi pembiayaan untuk sektor pertanian. Padahal sektor ini sangat penting untuk pertumbuhan
ekonomi nasional. Untuk itu, perlu ada upaya memperbesar pembiayaan terhadap dunia usaha.
"Ketatnya likuiditas di perbankan yang terjadi saat ini akan bertambah parah jika pemerintah
kembali lambat mencairkan anggaran belanjanya seperti tahun lalu. Jika ini terjadi, suku bunga
deposito dan suku bunga kredit akan tetap tinggi," papar Iman.
Iman juga berpendapat likuiditas yang ada tidak merata dan tidak mudah diakses oleh setiap bank.
Terjadi segmentasi likuiditas, di mana bank besar kelebihan likuiditas dan bank kecil kekurangan
likuiditas. Dampaknya, likuiditas tetap terasa ketat yang terindikasi dari suku bunga deposito yang
sulit turun dari level 11%‐12 % per tahun.
"Seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi, terjadi perpindahan dana dari bank kecil ke bank
besar karena dianggap lebih aman. Ke depan, likuiditas perbankan diperkirakan semakin ketat,"
ujarnya.
Dalam situasi seperti saat ini, menurut dia, kesulitan likuiditas bisa dengan mudah menyebabkan
bank bangkrut. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi likuiditas yang makin ketat, pemerintah
harus mempercepat belanjanya.
Pengamat perbankan Aviliani menilai tingginya suku bunga dan berkurangnya suplai uang membuat
likuditas perbankan makin ketat. Atas dasar itu, Aviliani mengatakan telah membuat perbankan
berebut dana pihak ketiga (DPK) dengan menawarkan bunga simpanan yang tinggi kepada nasabah.
"Ini kondisi yang kurang bagus," ujarnya.
Aviliani menyebut, saat ini Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan tingkat bunga
penjaminan untuk bank umum 7,75%. Adapun untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 10,25%. "Tapi
kenyataannya, ada bank yang memberikan bunga simpanan sampai 11 hingga 14%," katanya.
(http://www.neraca.co.id/article/42949/likuiditas-bank-terancam-persaingan-rebutdana-masyarakat-kian-ketat)
2.
3.
Jelaskan factor yang mengakibatkan kondisi perbankan nasional rentan terhadap gejolak ekonomi?
Terdapat lima faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan
terhadap gejolak ekonomi, (Burhanuddin, 2003) yaitu:
• Adanya jaringan terselubung (implicity guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan
hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistematik dalam industri perbankan telah
menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank
• Sistem pengawasan oleh bank sentral belum efektif karena belum sepenuhnya dapat
mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan.
• Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah
mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.
• Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas
asset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank.
• Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan
kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga
telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan menciptakan disiplin pasar.
(http://eprints.ums.ac.id/14324/3/BAB_I.pdf)
Jelaskan tentang Good Corporate Governance? Mengapa hal itu penting dilakukan oleh Perbankan?
Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan
perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus
perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai‐nilai" yang terkandung dari mekanisme
pengelolaan itu sendiri (soft definition). (http://www.bpkp.go.id/dan/konten/299/good‐
corporate.bpkp)
Prinsip‐prinsip GCG, meliputi:
• Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan
mengenai perusahaan;
• Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
• Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang‐undangan dan prinsip‐prinsip korporasi yang sehat;
• Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang‐undangan dan prinsip‐prinsip korporasi yang
sehat;
• Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak‐hak Pemangku
Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundangundangan.
(http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/dan/files/Pdf/PER‐
01_MBU_2011%20PENERAPAN%20TATA%20KELOLA%20PERUSAHAAN%20YANG%20BAIK%
20‐%20GCG.pdf)
Di lihat dari segi pengertian dan prinsip CGC maka bias disimpulkan bahwa CGC penting dilakukan
oleh perbankan.
Demikian jawaban dari Tugas 1 Mata Kuliah Bank dan Lembaga Non Bank, atas perhatian Tutor saya
ucapkan terima kasih.