Teori pengembangan wilayah xi jawa madura

MAKALAH
TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Disusun Oleh:
Nama : Rahmatullah
NIM

: 60800114023
Kelas : F

TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018

A. TEORI-TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH
Saat ini dikenal ada 4 kategori teori dalam perkembangan wilayah. Yang
pertama, kelompok yang menitikberatkan pada kemakmuran wilayah. Yang
Kedua, fokus pada sumberdaya alam dan faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi keberlanjutan kegiatan produksi / sustainable development.
Kelompok ketiga menitikberatkan pada kelembagaan dan proses pengambilan

keputusan.

Kelompok

yang

keempat

memberikan

perhatian

pada

kesejahteraan masyarakat didalam daerah tersebut.
Dalam 4 golongan tersebut, muncul beberapa teori yang popular
dibicarakan diberbagai diskusi pembangunan wilayah. Berikut masing-masing
penjelasan mengenai kedua-belas teori tersebut :
1. Teori Keynes
Sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis menuju keseimbangan

penggunaan tenaga secara penuh (full employment equilibrium) karena
upah bergerak lamban. Akibat yang ditimbulkan adalah kebalikannya,
equilibrium deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal
atau moneter untuk meningkatkan permintaaan agregat.
2. Teori Neoklasik
Teori ini menegaskan bahwa salah satu pertumbuhan ekonomi adalah
satu proses yang gradual yang mana pada satu saat semua kegiatan
manusia terakumulasi. Dasar teori ini terletak pada kompenen produksi
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan wilayah antara lain:
modal, tenaga kerja dan teknologi.

3. Teori Inter dan Intra Wilayah
Dalam teori ini menjelaskan adanya istilah "backwash dan spread
effect". Backwash effect menunjukkan kaitan antara pembangunan di
daerah maju akan menciptakan hambatan bagi pembangunan di daerah
belakangnya. Sedangkan spread effect menunjukkan dampak yang
menguntungkan dari daerah-daerah yang makmur terhadap daerah-daerah
yang kurang makmur, hal ini meliputi : meningkatnya permintaan komoditi
primer, investasi dan difusi ide serta teknologi.
4. Teori Trickle Down Effect

Trickle

Down

Effects

adalah

perkembangan

dan

perluasan

pembagian pendapatan dengan menunjukkan bahwa pola pembangunan
yang diterapkan di wilayah miskin di negara berkembang dirasa tidak
berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian
pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing
maupun antara negara maju dengan negara berkembang.
5. Teori Tempat Sentral

Atas dasar lokasi dan pola penyebaran pemukiman dalam ruang yang
diamati oleh Walter Christaller, ia berhasil mengamati penyebaran
pemukiman, desa dan kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya.
Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan
kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Dari hasil pengamatannya
tersebut ia mencetuskan teori tempat sentral.
Bunyi teori Christaller adalah Jika persebaran penduduk dan daya
belinya sama baiknya dengan bentang alam, sumber dayanya, dan fasilitas
tranportasinya, semuanya sama/seragam, lalu pusat-pusat pemukiman

mennyediakan layanan yang sama, menunjukkan fungsi yang serupa, dan
melayani area yang sama besar, maka hal tersebut akan membentuk
kesamaan jarak antara satu pusat pemukiman dengan pusat pemukiman
lainnya.
Teori Christaller mampu menjelaskan bagaimana susunan dari
besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model
Christaller ini merupakan suatu sistem geometri yang menjelaskan model
area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas
pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold. Gambaran
dari teori ini menjelaskan area pusat-pusat kegiatan jasa pelayanan

cenderung tersebar di dalam wilayah membentuk pola segi enam dan bisa
memberikan keuntungan optimal pada kegiatan tersebut. Tempat – tempat
pusat tersebut berfungsi sebagai tempat yang menyediakan barang dan
jasa-jasa

bagi

penduduk

daerah

belakangnya.

Elemen – elemen tempat pusat yakni range (jangkauan), threshold,
dan fungsi sentral. Ketiga elemen itu yang mempengaruhi terbentuknya
tempat pusat dan luasan pasar baik pelayanan barang maupun jasa pada
suatu wilayah.
6. Teori Von Thunen
Ilmu analisis lokasi dan pola keruangan erat kaitannya dalam ilmu
perencanaan wilayah dan kota. Analisis ini merupakan salah satu perangkat

untuk perencana guna menentukan apakah pemilihan lokasi atas
pembangunan yang dilakukan sudah tepat.
Pengertian lokasi dijabarkan oleh teori Von Thunen, menurut beliau
bahwa lokasi sebagai variable terikat yang mempengaruhi variable

bebasnya seperti urban growth, perekonomian, politik, bahkan budaya
masyarakat (gaya hidup). Teori ini dilandasi oleh pengamatannya terhadap
daerah tempatnya tinggal yang merupakan lahan pertanian. Inti dari teori
Von Thunen adalah teori lokasi pertanian yang menitikberatkan pada 2 hal
utama tentang pola keruangan pertanian yaitu:
 Jarak lokasi pertanian ke pasar
 Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut)
Dari teori tersebut disimpulkan bahwa harga sewa lahan pertanian
nilainya tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat
kota akan lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat kota
karena jarak yang makin jauh dari pusat kota/kegiatan, akan meningkatkan
biaya transportasi.
Model Teori Lokasi Pertanian Von Thunen membandingkan
hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi.
Berikut adalah skema teori tersebut.


Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu “isolated area” yang terdiri dari dataran yang “teratur”, yang kedua

yaitu kondisi yang “telah dimodifikasi” (terdapat sungai yang dapat
dilayari).

Semua

penggunaan

tanah

pertanian

memaksimalkan

produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung pada
lokasi dari pasar (pusat kota). Banyaknya kegiatan yang berpusat pada kota
atau pusat pasar ini menjadikan kota memiliki nilai yang lebih ekonomis

untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi para pelaku pertanian.
Faktor jarak juga menentukan nilai suatu barang, semakin jauh jarak yang
ditempuh oleh para petani maka biaya transportasi yang dikeluarkan akan
semakin meningkat, sehingga para petani akan memilih untuk menyewa
lahan yang lebih dekat dengan pusat pasar atau kota dengan harapan bisa
mendapatkan nilai atau harga barang yang lebih tinggi tanpa harus
mengeluarkan biaya transportasi yang tinggi.
Teori

ini

cukup

relevan

digunakan

sebagai

dasar


dalam

pengembangan dan pembangunan wilayah perbatasan di Indonesia
khususnya melalui pengembangan transportasi karena karakteristik wilayah
perbatasan di Indonesia memiliki jarak paling jauh dari pusat kota dan
berperan sebagai wilayah penyedia bahan baku.
Namun

seiring

perkembangan

ilmu

dan

kondisi

dinamika


pembangunan wilayah dan sangat cepat, maka teori ini dianggap tidak lagi
valid dan relevan untuk diaplikasikan saat ini. Hal ini dikarenakan teori ini
dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki asumsi dasar bahwa kota
terletak di tengah antara “daerah terisolasi” (isolated state), dikelilingi oleh
hutan belantara, tanah yang datar, tidak terdapat sungai dan pegunungan,
kualitas tanah dan iklim tetap, moda transportasi hanya berupa gerobak dan
tidak terdapat jalan penghubung, serta petani yang mencari untung sebesarbesarnya. Asumsi-asumsi ini sudah pasti sulit diterapkan di era sekarang
dimana sarana dan prasarana transportasi sudah sangat maju dan modern,
alat angkut pertanian yang banyak dan murah. Oleh karena itu, teori Von
Thunen ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan saat ini meskipun perbedaan

sewa lahan di wilayah kota cenderung dinilai lebih tinggi namun
permasalahan mengenai biaya transportasi yang terjadi pada masa itu kini
sudah tidak terlalu membebani para pelaku pertanian akibat kemajuan
teknologi transportasi.
7. Teori Biaya Lokasi Minimum
Teori ini menganalisis lokasi kegiatan industri dengan asumsiasumsi:
Objek pengamatan adalah suatu wilayah terisolasi, iklim yang homogen,
konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah

persaingan sempurna. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan
batu bara tersedia dimana-mana dalam jumlah yang memadai.
Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia
menyebar dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas. Tenaga
kerja tidak tersebar merata tapi berkelompok pada beberapa lokasi dan
dengan mobilitas yang terbatas.
8. Teori Pendekatan Pasar
August Losch mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan
sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi
industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi dengan
pemikiran bahwa dalam lokasi industri yang tampak tidak teratur dapat
diketemukan pola keberaturan.
Teori ini melihat persoalan dan sisi permintaan (pasar) yang mana
lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen. Makin jauh
dari pasar, konsumen enggan karena biaya transportasi tinggi. Oleh karena

itu pasar sebaiknya diletakkan di dekat pusat produksi membentuk jaringan
dan diharapkan pusat mampu melayani seluruh jaringan yang terbentuk.
Menurut Losch, pusat – pusat wilayah pasar dibagi menjadi sektor
“kota kaya” (city rich) yang memiliki karakteristik jaringan pasar yang luas
dan tingginya aktivitas, serta “kota miskin” (city poor) dengan jaringan
pasar yang kecil dan aktivitas yang rendah.
9. Teori Polarization Effect and Trickle Down Effect
Dalam teori menganggap bahwa perkembangan suatu wilayah tidak
terjadi secara bersamaan, akan tetapi terdapat sistem polarisasi
perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke
wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang berkembang
akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.
10. Teori Pusat Pertumbuhan (Friedman)
Pemikiran dasar dari titik pertumbuhan adalah bahwa kegiatan ekonomi di
dalam suatu wilayah cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik-titik
lokal. Di dalam suatu wilayah, arus polarisasi akan bergravitasi ke arah
titik-titik lokal dengan kepadatan yang semakin berkurang karena faktor
jarak. Hal ini ditandai dengan adanya distribusi penduduk secara spasial
tersusun dalam sistem pusat hierarki dan hubungan fungsional. Teori ini
menjelaskan prinsip-prinsip konsentrasi dan desentralisasi pembangunan
secara bertolak belakang.
11. Teori Ir. Sutami
Teori ini mengungkapkan manfaat pembangunan infrastruktur yang
intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan

mampu mempercepat pengembangan wilayah sehingga perkembangan
wilayah tergantung pada sumber daya alam yang terdapat di daerah
tersebut.
12. Teori Kutub Pertumbuhan
Perroux (1955) telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan
(pole de croissance / pole de development / growth pole). Menurutnya
petumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh ruang, tetapi
terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu yang disebut kutub
pertumbuhan. Secara esensial teori kutub pertumbuhan dikategorisasikan
sebagai teori dinamis. Proses pertubuhan digambarkan sebagai keadaan
yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau keberhasilan kutubkutub dinamis.
Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kompleks
industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah
industri yang mempunyai dampak berantai ke depan.

B. TEORI-TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH
Secara garis besar, teori perkembangan wilayah di bagi atas 4 (empat)
kelompok yaitu: Kelompok pertama adalah teori yang memberi penekanan
kepada

kemakmuran

wilayah

(local

prosperity).

Kelompok

kedua

menekankan pada sumberdaya lingkungan dan faktor alam yang dinilai sangat
mempengaruhi keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah
(sustainable production activity). Kelompok ini sering disebut sebagai sangat
perduli dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Kelompok ketiga memberikan perhatian kepada kelembagaan dan proses
pengambilan keputusan di tingkat lokal sehingga kajian terfokus kepada

governance yang bisa bertanggung jawab (resposnsible) dan berkinerja bagus
(good). Kelompok keempat perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di suatu lokasi (people prosperity).
1.

Teori Keynes
Teori

ini

dicetuskan

oleh

Keynes. Dalam

aliran

Keynes

mengemukakan bahwa karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme
tidak akan secara otomatis menuju keseimbangan penggunaan tenaga
secara penuh (full employment equilibrium). Akibat yang ditimbulkan
adalah justru sebaliknya, equilibrium deemployment yang dapat
diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk meningkatkan
permintaaan agregat.
2.

Teori Neoklasik
Salah satu teori pengembangan wilayah dan kota menyatakan
bahwa salah satu pertumbuhan ekonomi adalah satu proses yang gradual
di mana pada satu saat kegiatan manusia semuanya akan terakumulasi.
Dalam teori ini terdapat pernyataan sebagai berikut :
 Pemenuhan pekerjaan yang terus menerus tidak dapat diterapkan
pada sistem multi-regional dimana persoalan regional timbul
disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat
penggunaan sumber daya.
 Persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada perekonomian
regional dan spasial.
 Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3 sumber: akumulasi modal,
penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
 Implikasi dari persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja
akan berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbedabeda.

 Modal akan bergerak dari daerah yang mempunyai tingkat biaya
tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, karena
keadaan yang terakhir memberikan suatu penghasilan yang lebih
tinggi.
 Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain
yang

mempunyai

lapangan

kerja

baru

pendorong

untuk

pembangunan di daerah tersebut.
 Dalam perkembangan ekonomi jangka panjang senantiasa akan
muncul

kekuatan

tandingan

yang

dapat

menanggulangi

ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada
keseimbangan yang stabil sehingga tidak diperlukan intervensi
kebijakan secara aktif.
3.

Teori “inter” dan “intra” wilayah oleh Mirdal (Era tahun 1950)
Dalam teori ini terdapat Pengertian ”backwash effects” dan ”spread
effects” Backwash effects contohnya adalah makin bertambahnya
permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari
masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang
sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread
effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian
masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan
oleh masyarakat wilayah kaya.

4.

Teori Trickle down Effect (Hirschman) EraTahun 1950
Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian
pendapatan. Teori “trickle down effects” dari pola pembangunan yang
diterapkan di wilayah miskin di negara berkembang dirasa tidak berhasil
memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian
pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing
maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang

terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah
miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah
satu pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi
Jepang semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat
kemiskinan di Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di
Jepang.
5.

Teori Tempat Sentral oleh Walter Christaller tahun 1933
Pada tahun 1933, Walter Christaller memusatkan perhatianya
terhadap penyebaran pemukiman, desa dan kota-kota yang berbeda-beda
ukuran luasnya. Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau
berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Atas dasar
lokasi dan pola penyebaran pemukiman dalam ruang ia mengemukakan
teori yang disebut Teori Tempat Yang Sentral (Central Place Theory)
(Nursid Sumaatmadja, 1981). Model ini dikembangkan untuk suatu
wilayah abstrak dengan ciri-ciri sebagai berikut:
 Wilayahnya adalah daratan, semua adalah datar dan sama.
 Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah
 Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara
merata pada seluruh wilayah.
 Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimalisasi
jarak/biaya.
 Penerapan model ini sangat simple karena karakteristik, tingakt
pendapatan (daya beli) masyarakat hamper sama.

6.

Teori Von Thunen
Membahas tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan
pertanian atas dasar perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi).
Asumsi-asumsi dalam model Von Thunen:

 Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh
pasar dari kota lain.
 Tipe pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan
makin berkurang kepadatannya apabila menjauhi pusat wilayah.
 Seluruh fasilitas model memiliki iklim, tanah dan topografi yang
seragam.
 Fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya)
dan relatif seragam.
 Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa kecuali
perbedaan

jarak

ke

pasar,

semua

faktor

alamiah

yang

mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.
7.

Teori lokasi biaya minimum oleh Max Weber tahun 1929
Teori ini menganalisis lokasi kegiatan industri. Asumsi-asumsi yang
digunakan Weber:
 Unit telaahan adalah suatu wilayah terisolasi, iklim yang
homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan
kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
 Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu bara
tersedia dimana-mana dalam jumlah yang memadai.
 Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia
secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat
terbatas.
 Tenaga kerja tidak tersebar merata tapi berkelompok pada
beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.

8.

Teori lokasi pendekatan pasar (Losch)

Teori ini melihat persoalan dan sisi permintaan (pasar). Lokasi
penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen. Makin jauh dari
pasar, konsumen enggan karena biaya transportasi tinggi.
9.

Teori polarization effect dan Trickle down effect (Hirchmant)
Dalam teori ini berpandapat bahwa perkembangan suatu wilayah
tidak terjadi secara bersamaan. Dalam teori ini terdapat system polarisasi
perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke
wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang berkembang
akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.

10. Teori pusat pertumbuhan (Friedman)
Teori ini lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna
mempermudah pengembangan system pembangunan dengan asumsi
bahwa dengan adanya pusat pertumbuhan akan lebih memudahkan dan
pembangunan akan lebih terencana.
11. Teori dari Ir. Sutami tahun 1970
Beliau berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif
untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu
mempercepat pengembangan wilayah. Era transisi meberikan kontribusi
lahirnya konsep hirarki kota-kota dan dan hirarki prasarana jalan melalui
orde kota.
Perkembangan wilayah tergantung dari sumber daya alam yang
terdapat di daerah tersebut, karena pada umumnya wilayah dengan pusat
industri akan manarik masyarakat untuk dating karena potensi lapangan
pekerjaan terbuka luas. Contohnya adalah adanya pembangunan
infrastruktur industri pertambangan nikel (PT. Inco) di sorowako
membuat daerah sorowako yang dulunya terpencil berubah menjadi kota
industri (kota yang tercipta karena adanya industri) contoh lainnya adalah

Kabupaten Asiki (papua) berkembang karena adanya industri tripleks di
daerah tersebut (PT. Korindo)
12. Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux tahun 1955
Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955, atas dasar
pengamatan terhadap proses pembangunan. Perroux mengakui kenyataan
bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana secara serentak, tetapi
muncul ditempat-tempat tertentu dengan intensitas yang berbeda. Tempattampat itulah yang dinamakan titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan.
Dari titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan itulah pembangunan akan
menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir yang
berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.

C. TEORI-TEORI PERKEMBANGAN KOTA
1.

Teori Konsentris (The Consentric Theory)
Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar
tudy kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota
yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua
bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke
arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala
arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti
lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai
intinya.
Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang
mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut:
a. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB).

Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam
daerah ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan
kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah
pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya.
b. Daerah Peralihan.
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang
mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian
besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman),
terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada
daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan dari
KPB.
c. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah
ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah
peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang
tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas rendah.
d. Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya
dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut
sebelumnya,

baik

perekonomiannya.
e. Daerah Penglaju.

ditinjau

dari

pemukimannya

maupun

dari

Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola
hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri
kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri
kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan
pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerja-pekerja penglaju yang
bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk
yang bekerja di bidang pertanian.
2.

Teori Sektor
Teori sektor ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 &
1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi
di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter
yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini
terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota
yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar.
Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap
KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau
belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan
mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah
tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang
letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau
rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB.
Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi,
komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
a. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga
tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda.

Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan
politik.
b. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih
cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan
bangunan lainnya.
c. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya
terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan
kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena
perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute
transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
1) Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini
terutama

dipengaruhi oleh

menghubungkan

KPB

adanya

dengan

jalur transportasi yang

daerah-daerah

yang

berada

diluarnya.
2) Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe
ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih
banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu
dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan
menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di
lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana
perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota
yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru
dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh,
maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama
dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu.

3) Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini
terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan
dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terusmenerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka
mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu
kesatuan kegiatan.
Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35
Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008)
a. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal
b. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
c. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh
ke tempat aktivtas, pedestrian.
d. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman
kota.
e. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
f. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi
g. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat
kesetaraan warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua,
penyandang cacat, dan wanita hamil.
h. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan,
kepastian hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana
kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.

D. TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan
penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian
berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota
ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk
perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan
Unplanned.


Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad
pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan
bentuk geometrik.



Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota
metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan
dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga
akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut
dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak
terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol

dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
1. Square, open space sebagai paru-paru.
2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.

5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam
tubuh.
6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang
mengalir ke seluruh sistem perkotaan.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan loronglorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi
menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara
penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan
umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara
sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan
akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini
terjadi secara berulang-ulang.
Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis
adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri
kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri
dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku
yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan
keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik :


Membentuk pola radial dengan unit terbatas.



Memiliki focused centre.



Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang
membentuk lengkung tak beraturan.



Material alami.



Kepadatan sedang sampai rendah.



Dekat dengan alam
Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan

yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota
terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena
perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong.
Masyarakat

penghuni

kota

ini

bermacam-macam

yang

merupakan

percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang
memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling
menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik
memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh
masyarakat.
E. TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu
kawasan dan sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang
lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan
bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak
geografis suatu kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat
pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang
landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka
kota akan cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat
berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala
perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan

penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati
yaitu :
1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus
menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui
kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatankekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental
yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang
komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem
nilai) yang ada dalam populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya
kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang
mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan serta
komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of
Urban Design, 1987, 14:32-99).
Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di
kawasan bencana alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan
permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi
bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.
Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek
yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan

aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang
dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah
individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam
analisis morfologi.
Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan
dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport,
1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik
yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna
sebagai pembentuk citra suatu tempat (place).
Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) :
„X Tipologi : Menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian
ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut
ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : Menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud
pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan
hubungan ruang satu dengan yang lainya.
Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat
memudahkan masyarakat mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih
menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi
makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai
ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk
ruang, perwujudan spasial fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya
masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang melatarbelakanginya.

Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan
binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara
statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu
tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan
dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.
Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity
support) karena adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum
kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang
menunjang keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum
merupakan hal yang saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung
kegiatan mulai muncul dan tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan
yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari
tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang
kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan
keberagaman kegiatan.
F.

ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik
Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung
terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat
pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut
adalah :
1.

Tata Guna Tanah
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang
terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu

pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang
akan menciptakan ruang yang manusiawi.
Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan
masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona
dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan
suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban
design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu
hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan.
Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi
tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam
wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas
hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.
2.

Bentuk dan Massa Bangunan
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang
meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan,
pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi,
bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan
secara harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan
bentuk dan massa bangunan meliputi :
a. Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan
dimensi bangunan sekitar.
b. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas
dan tipe-tipe ruang.

c. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam
ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola
aktifitas dalam skala besar dan kecil.
3.

Sirkulasi Dan Parkir
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk
struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik
sirkulasi adalah :
a. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak
visual yang positif.
b. Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan
membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.
c. Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai
tujuan bersama.

4.

Ruang Terbuka
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :
a. Ruang terbuka sebagai sumber produksi.
b. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan
manusia (cagar alam, daerah budaya dan sejarah).
c. Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :

 Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama
di pusat kota.
 Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota
(urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat.
 Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.
 Melindungi fungsi ekologi kawasan.
 Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.
 Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan
area pengembangan).
Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik,
visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor :
a. Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan
dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza,
pedestrian ways, elemen vertikal).
b. Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang
ada.
c. Aktifitas utama.
d. Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas
(besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang.
e. Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.

5.

Jalur Pejalan Kaki
Sistem pejalan kaki yang baik adalah :
a. Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.
b. Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala
manusia.
c. Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas
udara.

6.

Activity Support
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum
kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota
yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatankegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :
a. Aktifitas

yang

mengarahkan

pada

kepentingan

pergerakan

(importment of movement).
b. Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent). Keberadaan
aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi
kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum
kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan
keberagamannya.

Bentuk

actifity

support

adalah

kegiatan

penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan

umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman
rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan
sebagainya) dan

juga bangunan

yang

diperuntukkan bagi

kepentingan umum.
7.

Simbol Dan Tanda
Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :
a. Menciptakan kesesuaian.
b. Mengurangi dampak negatif visual.
c. Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan
dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting.
d. Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada
fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan
informasi bisnis.
e. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan
permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau
bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang
berlangsung di tempat itu.

G. TEORI DESAIN SPASIAL KOTA
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada
rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan
adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure.

Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi,
konfigurasi solid void yang merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan
penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunanbangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding
ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus
berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara
privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung
(enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam
lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang
berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga
ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara
bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang
menyatu.
Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan
pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko
Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan yang
menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota,
dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu :
Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat
diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari
bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak
terbentuk secara langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik
skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan,
dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu
lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat
untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan (lingkungan).
Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan
yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa

aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial,
budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen
bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan
massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna
dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan
dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen
linkage tersebut.
Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada
konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota
tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara
aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan
tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada
dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk
penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang
culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk
digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak
merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa
lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya.
Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek
spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali
potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di
masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilainilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.
H. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu
didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih
menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam
mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek
spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau
dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut
mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung,
mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik
dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut
digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan
pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan
wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan
konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk
Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada
perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat
pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang
baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan
melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di
Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang
diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya
fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah
mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah

yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah
tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini
muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep
tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada
pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development
yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta
technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari
keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi
konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering
memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah
merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem
kemasyarakatan

seperti

demokratisasi,

otonomi,

keterbukaan

dan

meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma
dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah
tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan
secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.
Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan
mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah
murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena
terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan
komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan
faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam

bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor
tersebut (Alkadri etal, 1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari
kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut
Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan
komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian,
setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan
didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni
adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan
daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan
inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser
pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal
wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil
interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja
tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong
terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi
persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayahwilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan
yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak
mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan
konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan
pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini
diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah
perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang
kurang berkembang.

I.

INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN
Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan
dinamika perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik
kota tumbuh ekspansif ke arah luar/pinggiran bahkan melampaui batas
wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung,
terutama lahan dan sumber daya air, kebutuhan sarana-prasarana dasar
perk