Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola: Kajian Semiotik

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Masyarakat Angkola sampai saat ini masih menjalankan upacara adat untuk berbagai keperluan. Upacara adat adalah suatu hal yang penting bagi masyarakat Angkola. Pada masyarakat Angkola sering terdengar ungkapan- ungkapan yang mengatakan adat adalah adik dari ibadah ”Anggi ni ibadat do

  adat” agar dilaksanakan ibadah dan adatnya “aso dilaksanaon ima ibadat dohot

adatna” , dimana kedua ungkapan tersebut merupakan gambaran kedekatan adat

  dengan sebagian besar masyarakat Angkola.

  Adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan yang ada dalam suatu negeri yang mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat. Menurut Linton dalam (Soekanto, 2006: 22) adat istiadat masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, dimana mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan kebiasaan dari satu masyarakat dalam mengatur dan memberi buah pikirannya untuk menghasilkan karya dan dijadikan sebagai sarana pendukung pada masyarakat itu sendiri.

  Siregar (2012:4) mengatakan acara adat istiadat dalam etnis Angkola terdiri atas duka cita “siluluton” dan suka cita “siriaon”. Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita. Prosesi upacara perkawinan Angkola dimulai dari musyawarah adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa yang

  1 sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu,

  

harajaon, dan hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang

  dilaksanakan dalam masyarakat Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar dalam adat martahi.

  Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi ungut-

ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu

bulung (maralok-alok) dan martahi karejo.Tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi

godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralok-alok)

  merupakan bentuk martahi yang diadakan di horja haroan boru (pengantin laki- laki), sedangkan martahi karejo adalah bentuk martahi yang dilaksanakan di

  

horja pabuat boru (pengantin perempuan) (Siregar ,1977:4). Martahi karejo

  adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution,2012:1).

  Penelitian ini membahas tentang Martahi karejo yaitu berupa musyawarah yang diadakan di lingkungan masyarakat Angkola. Dalam musyawarah ini dihadiri koum sisolkot (kerabat dekat), hatobangon (yang dituakan), harajaron (raja) dan orang kaya (juru bicara). Musyawarah ini bertujuan untuk menyerahkan pelaksanaan kerja pesta kepada anak boru, ina-ina (ibu-ibu), ama-ama (bapak- bapak) dan naposo nauli bulung (muda-mudi) (Siregar,1977:4).

  Nasution (2012:1) menyatakan dalam Martahi Sahuta itulah suhut menjelaskan bahwa ia bermaksud melaksanakan horja godang (pesta besar) dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat kiranya berlangsug dengan baik. Dalam mufakat inilah terperinci siapa yang ikut rombongan

  

mangalap boru , siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap

  urusan konsumsi, kesenian, undangan, dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja.

  Saat ini banyak anggota masyarakat Angkola sangat jarang mengetahui apa makna dari martahi karejo terutama untuk remaja, sebagian masyarakat hanya ikut melaksanakan tanpa mengetahui apa makna yang terkadung di dalamnya, begitu juga dengan perangkat adat yang digunakan dalam melaksanakan upacara adat tersebut. Masyarakat Angkola yang menjalankan adat hanya ingin mengetahui hasil dari musyawarah tersebut tanpa mengetahui apa makna dan nilai yang ada dalam tradisi martahi. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi martahi ini semakin lama akan semakin dilupakan.

  Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan dalam masyarakat

  Angkola yang digunakan pada upacara perkawinan. Menurut Roger Tol dan Prudentia dalam Hoed (2008:184) tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

  Tradisi lisan menghubungkan generasi masalalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran, perkataan dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Tradisi lisan yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Angkola mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), karena sebagai alat yang penting dalam menyampaikan sistem nilai, pengetahuan tradisional (lokal knowlodge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan, dan agama Djuweng dalam Amri (2011).

  Kearifan lokal tidak terlepas dari adat istiadat serta kebudayaan yang terbentuk dari hasil kesepakatan masyarakat yang dimulai dari kebiasaan yang diproduksi secara sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan keseharian, hasil dari kesepakatan menjalankan kearifan lokal melahirkan produk aturan dan peraturan adat istiadat dan hukum adat, yang terakumulasi pada tatanan adat. Kearifan lokal yang terbentuk memiliki keragaman tersendiri yang faktor utamanya terletak pada kultur bahasa, suku sebagai identitas yang membedakan setiap komunitas adat.

  Menurut Sibarani (2012:112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga di definisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

  Pemahaman kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan memiliki arti penting untuk menjaga keberlanjutan sebuah kebudayaan dalam masyarakat, sekaligus menjaga kelestariannya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa seiring berkembangnya zaman modernisasi yang sering disebut sebagai era globalisasi.

  Pada kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang disebabkan oleh nilai budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, begitu juga dalam masyarakat Angkola.

  Nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal itu, sebagai sebuah konsepsi eksplisit dan implisit yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat sangat mempengaruhi kebudayaan kinerja dalam sebuah lingkungan masyarakat, karena mengandung nilai gotong-royong yang saling membantu antara kerabat dekat maupun lingkungan sekitar. Kearifan lokal juga mempunyai sebuah pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan dalam melaksanakan suatu kebudayaan.

  Kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya karena adanya kearifan lokal tersebut sudah menjadi suatu tradisi. Kearifan lokal yang ada dalam tradisi tersebut yakni, seperti gotong royong yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Angkola terutama pada adat martahi karejo.

  Sistem gotong-royong dalam masyarakat ini sangat bermanfaat bagi yang melaksanakan adat tradisi martahi karena keluarga yang akan melaksanakan adat tersebut akan menyerahkan sebuah pekerjaan kepada kerabat dekat dan masyarakat yang ada di lingkungan sekitar. Dari sistem gotong-royong ini akan bisa mempermudah untuk melaksanakan tradisi martahi karejo. Selain sistem gotong royong, masyarakat yang melaksakan tradisi martahi ini juga harus disiplin dalam melakukan apa yang telah diamanatkan kepada mereka, dalam hal ini juga sangat menjunjung kerja keras agar pekerjaan yang telah dititipkan kepada masyarakat benar-benar terlaksanakan.

  Pada penelitian ini akan menggunakan kajian teori semiotik sosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978) karena tepat untuk mengkaji makna yang terkandung pada hobar dan makna semiotik simbol-simbol adat pada martahi

  karejo , serta menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan martahi tersebut.

  Menurut Halliday (1978:108) bahasa merupakan semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa meliputi unsur-unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur- unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial adalah merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik. Konsep umum yang terpenting dalam teori semiotik sosial bahasa menurut Halliday (1978:108) adalah teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik), dan struktur sosial.

  Selanjutnya semiotik sosial menurut Halliday (dalam Sinar,2003:21) adalah sistem makna dan simbol yang direalisasikan melalui sistem linguistik, dalam halini sistem linguistik terwujud dengan penggunaan bahasa pada upacara adat berbentuk tradisi lisan. Dengan menggunakan teori semiotik sosial, peneliti mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola.

  Dari paparan yang telah disebutkan diatas bahwa pelaksanaan tradisi lisan pada upacara adat martahi karejo di Angkola dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu untuk memaknai tradisi lisan yang terdapat dalam martahi karejo dengan menggunakan kajian semiotik sosial sebagai pisau bedah dan makna semiotik pada perangkat adat serta melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya.

  1.2 Batasan Masalah

  Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola yang direalisasikan terhadap makna interpersonal.

  1.3 Rumusan Masalah

  Berkaitan dengan latar belakang masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa

  Angkola? 2. Bagaimanakah makna konteks situasi dikodekan ke dalam teks hobar? 3. Apakah makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola?

1.4 Tujuan Peneltian Berkaitan dengan masalah tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola.

  2. Mendeskripsikan makna konteks situasi yang dikodekan dalam teks hobar.

3. Menjelaskan makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.

1.5 Manfaat Penelitian

  Temuan penelitian dapat memberikan manfaat yang positif secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini memberikan manfaat terhadap perkembangan kajian ilmu linguistik dan semiotik. Secara praktis, penelitian memberikan manfaat kepada berbagai kalangan yaitu pembaca, dan para peneliti mengenai kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola.

  1.5.1 Manfaat Teoretis

  Penelitian ini membantu kita untuk lebih memahami tentang kebudayaan Angkola dan juga dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya kajian tradisi lisan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu kita untuk lebih memahami makna-makna perlengkapan adat yang dipakai dalam adat Martahi dalam masyarakat Angkola dan menjadi bahan pertimbangan serta referensi bagi penelitian selanjutnya.

  1.5.2 Manfaat Praktis

  Penelitian ini memberikan pengetahuan umum kepada kita tentang kebudayaan masyarakat Angkola, khususnya tentang martahi karejo. Selanjutnya, penelitian ini menjadi informasi kepada masyarakat bahwa daerah Angkola memiliki kebudayaan khususnya martahi karejo.

1.6 Klarifikasi Istilah

  Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk memperjelas dan memudahkan para pembaca dalam memahami maksud istilah tersebut. Berikut ini beberapa istilah beserta penjelasan yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini: (1) Anak boru , adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil istri dari kelompok suhut. (Nasution, 2012:15)

  

(2) Dalihan Na Tolu sebagai lembaga masyarkat adat mandailing yang terdiri

  dari suhut, serta kahangginya, mora dan anakboru, merupakan lembaga yang di dalam melaksanakan tugasnya saling menghargai, saling menghormati, saling menerima dan saling memberi. (Nasution, 2012:24).

  (3) Harajaon adalah raja setempat di suatu kampung.

(4) Hatobangon adalah para tetua yang ada di suatu kampong yang mewakili

beberapa marga.

  (5) Hobar adalah berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu. Mini Kamus Bahasa Batak Angkola-Mandailing (6) Hombar suhut adalah kahanggi (keluarga semarga dengan suhut)

  (Nasution, 2012:14) (7) Kahanggi , yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau teman serumpun menurut golongan marga. (Nasution, 2012:8) (8) Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012:112).

  (9) Martahi karejo adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution, 2012:1).

  (10) Mora, yaitu pihak keluarga yang memberi boru (perempuan). (Nasution,

  2012:9) (11) Orang kaya adalah moderator atau juru bicara dalam acara adat. (12)

  Raja Panusunan Bulung adalah orang yang menjadi pemimpin, serta yang berkuasa menurut adat di suatu kampung. (Siregar, 1996:2) (13)

  Semiotik atau Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna (Saragih, 2011:12).

  (14) Semiotika sosial adalah bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial Halliday (1978).

  (15) Suhut, adalah orang yang mengadakan pesta atau hajatan. (Nasution,

  2012:14). (16)

  Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni (Pudentia, 2008:184).