BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA TEORI 2.1 Konsep tradisi martahi karejo - Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola: Kajian Semiotik

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA TEORI Pada bab ini dideskripsikan hasil penelitian tentang martahi pada upacara

  adat masyarakat Angkola dan menjelaskan bentuk-bentuk martahi yang dilaksanakan sebelum acara pernikahan. Serta menjelaskan hubungan konteks budaya dan konteks situasi pada acara martahi karejo.

  Beberapa proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola yakni (1) tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot, (2) tahi unung-unung sibahue atau

  

unung-unung bodat, (3) tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu, (4) tahi sahuta

pasahat karejo, (5) tahi godang dan (6) tahi haruaya mardomu bulung atau

maralok-alok haruaya bulung.

2.1.1 Jenis-jenis Martahi 1.

   Tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot Tahi ini disebut sebagai martahi ungut-ungut, pada tahap ini biasanya

  terjadi musyawarah antara suami istri yang dilakukan di dapur pada saat istri sedang memasak dan suami sedang minum kopi duduk disebelahnya, kemudian istrinya menceritakan tentang anak perempuan mereka. Tahi ini dilaksanakan antara suami dan istri di dalam rumah, mereka ingin menyampaikan kepada

  

kahanggi dan anakboru bahwasanya anak perempuan mereka telah dilamar, oleh

  karena itu suami istri tersebut ingin meminta pendapat kepada kahanggi dan anakboru nya mengenai calon menantu dan keluarganya.

  11

  2. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat

  Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di sebuah gubuk pada waktu menceritakan bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orangtua si anak menceritakan bahwa anaknya ingin menikah dan meminta pendapat kepada

  

kahanggi, anakboru dan kerabat yang lain apakah mereka kenal dengan calon

  menantu tersebut, dan kesimpulannya adalah anakboru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu, melihat bagaimana keadaan rumah, keadaan saudara dan kaum kerabatnya dan disini juga anakboru disuruh untuk bertanya kepada keluarga calon menantu tersebut. Dalam hal ini anakboru akan menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki niat yang baik untuk menikah. Disini anakboru akan menceritakan keadaan keluarga mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anakboru mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anakboru ini pulang dan menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari keluarga laki-laki telah menerimanya.

  3. Tahi sabagas atau tahi dalihan natolu

  Tahi ini dilaksanakan oleh mora, kahanggi, dan anakboru dari pihak perempuan, tahi ini dilaksanakan dirumah anak dari perempuan bahwasanya ingin menceritakan kepada mora, kahanggi dan anakboru bahwa telah diselidiki keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Orangtua ini akan meminta pendapat kepada moranya bagaimana selanjutnya dari keinginan dari anak tersebut, disamping itu orangtua perempuan ini akan menceritakan keadaan keluarganya bahwa pada saat itu keadaan keluarga masih belum cukup untuk membiayai pesta anak tersebut, kemudian dari salah satu pihak antara mora, kahanggi dan seperti kambing atau kerbau. Dalam hal ini semua anggota keluarga akan bermusyawarah untuk menngadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah anatara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat dan tetangga yang ada di kampung tersebut.

4. Tahi sahuta pasahat karejo

  Tahi ini dihadiri oleh hatobangan dan harajaon, dan dalihan natolu, di dalam tahi ini disediakanlah sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum kerabat akan berkumpul drumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini makanan yang disediakan oleh keluarga tersbut adalah pulut dan inti, dan tahi ini dilaksanakan sehabis sholat isya, disini bertanyalah anakboru kepada orang kaya bagaimana pelaksanaan acara yang akan diadakan dilaksanakan nanti, dan harajaon pun akan menjawab setelah kita selesai makan pulut dan inti baru kita bicarakan nanti, setelah selesai makan maka anakboru akan bertanya lagi bagaimana untuk kelanjutannya. Maka raja akan menjawab karena kita ingin martahi ini disini maka dalam hal ini harus sidorkon terlebih dahulu sirih untuk melaksanakan tahi tersebut. Salah satu pihak keluarga akan mengambil perangkat adat ini yang di dalamnya termasuk sirih dan menyodorkannya kepada harajaon dan mora dan kemudian akan disodorkan juga kepada semua yang hadir dirumah itu. Kemudian suhut atau keluarga yang ingin mengadakan pesta ini akan menyampaikan keluh kesahnya kepada harajaon dan musyawarah untuk menitipkan pekerjaan kepada para keluarga, dan tetangga yang ada dikampung itu.

  5. Tahi godang

  Dalam hal ini hadirlah koum sisolkot, hatobangan,harajaon, orang kaya

  

luat dan raja panusunan bulung, dalam tahi ini juga dilaksanakan dengan

  menggunakan burangir atau sirih dan dalam tahi ini disediakan makanan untuk memotong kambing karena akan melaksanakan tahi godang. Setujulah semuanya agar dilaksanakan pesta ini termasuk harajaon dan kaum kerabat kemudian akan menentukan waktu dan siapa saja yang akan di undang yang dikatakan oleh raja panusunan bulung, kemudian raja panusunan bulung akan menyampaikan bahwa alat untuk mengundang ini adalah haronduk panyurduan dibalut dengan abit

  godang , disini akan disuruh muda-mudi membawa burangir panyurduon atau

  yang disebut juga dengan burangir pudun-pudun untuk menjemput raja-raja agar datang melaksanakan kerja yang sudah di musyawarahkan.

  6. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung

  Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para raja ke pesta ini, dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni sudah menaikkan

  gondang , disini hanya melaksanakan pesta di kedatangan raja-raja, tahi ini disebut

tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi

  ini semua raja-raja hadir dari semua kampung.

2.2 Semiotik

  Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia ( tanda. Dalam kajian sastra semiotik diartikan sebagai model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.

  Sastra sebagai alat komunikasi tentu mempunyai ciri tersendiri sebagai tanda yang dapat mengkomunikasikan makna di dalamnya. Komunikasi dan ekspresi dalam sastra merupakan unsur yang tidak mungkin dihilangkan. Tindak komunikasi dalam sastra dilambangkan dengan tanda bahasa.

  Semiotik menurut De Saussure berbeda dengan Peirce, De Saussure bertolak dari linguistik. De Saussure menyebut istilah ini dengan semiologi.

  Persoalan utama dalam semiotik bagi De Saussure adalah masalah bahasa. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Pengkajian terhadap bahasa akan membantu seseorang untuk memahami struktur semua tanda.

  Menurut De Saussure (1859), semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang petanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Ferdinand de Saussure menekankan keistimewaan tanda bahasa, hubungan antara penanda dan petanda adalah bukanlah kesamaan, melainkan kesepadanan. Dengan demikian penanda dan petanda bukanlah urutan sekuensial, melainkan korelasi yang mempersatukan keduanya. Bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang memiliki dua unsur yang tak terpisahkan, yakni penanda dan petanda (sigfinier dan signified) yang Menurut De Saussure, seperti dikutip Pradopo (2005:54), tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada system, artinya sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

  Semiotik menurut Peirce berasal dari logika. Ia mengemukakan dengan bertolak dari filsafat dan memandang semiotik sama dengan logika sebagai ilmu atau telaah tentang cara-cara bernalar. Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda utama yaitu ikon, indeks, simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang nampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tanda-tanda yang dipalsukan. Pierce membagi ke dalam tiga jenis, yakni, ikon, indeks, dan symbol, Ikon merupakan tanda yang menyatakan

  bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah hubungan persama- an/kedekatan. Indeks hubungan berupa kedekatan eksistensi, simbol merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi.

2.3 Bahasa Sebagai Semiotik Sosial

  Menurut Halliday (1978:108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan semiotik.

  Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1978). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

  Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1) merumuskan bahwa language is a shared meaning potential, at once both a part of experience

  

and an intersubjective interpretation of experience . Dalam komunikasi,

  berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masing- selalu bersifat ganda.

  Bahasa sebagai semiotik sosial memiliki ciri khusus yang berbeda dengan semiotik umum. Bahasa terbentuk di dalam masyarakat sebagai hasil interaksi manusia dengan alam semesta. Dengan situasi dan kondisi ini, bahasa tidak langsung berhubungan dengan alam. Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara aspek bahasa, seperti kosakata, teks, atau tata bahasa bahasa manusia dengan alam semesta (Saragih, 2012: 35).

  Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah sistem informasi . Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana , yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain.

  Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday ( 1978:108-113) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana, pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday

  & Hasan, 1992:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa,apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan , dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata.

2.3.1 Konteks Situasi Konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada.

  Konteks situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan memahami wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya (Eggins, 1994:45-50). Sebagai kerangka untuk membuat wacana, konteks situasi itu merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung terlibat dalam isi wacana itu sendiri. Dengan kata lain, konteks situasi juga menjadi bagian dari isi wacana tersebut meskipun tidak dapat dilihat secara konkret.

  Sementara Sinar (2010:24) mengatakan dalam kontek situasi terdapat tiga variable sebagai penentu faktor siatuasi yakni; 1) Medan, 2) sarana dan 3) pelibat.

  

Medan yakni membicarakan kegiatan berinteraksi yang mempunyai dua dimensi

  yakni apa yang dibicarakan dan untuk apa dibicarakan, pelibat merujuk kepada siapa yang dibicarakan atau siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan sarana adalah bagaimana pembicaraan itu dilakukan. pemunculan pola-pola realisasi di tingkat bahasa. Situasi merupakan lingkungan tempat teks. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Sesuatu pemerian yang lengkap perlu diberikan pemerian tentang latar belakang budayanya secara keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Konteks budaya menentukan apa yang dapat dimaknai melalui (i) wujud ‘siapa penutur itu’, (ii) tindakan ‘apa yang penutur lakukan’, dan (iii) ucapan ‘apa yang penutur ucapkan’. Dalam pandangan Halliday (1978:110) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) sarana atau modus wacana.

  Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan- satuan bahasa itu muncul. Dalam menganalisis medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap; ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh “proses”, “partisipan”, dan “keadaan”. Field, bidang, atau isi, apa yang dibicarakan direpresentasikan pada makna pengalaman yang direalisasikan dalam klausa yang terdiri dari tiga unsur berupa; proses, partisipan, dan sirkumstan. yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di dalamnya. Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat.

  Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Pelibat (tenor) atau siapa, yang direpresentasikan pada makna antarpersona yang menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial, dengan kata lain makna antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasi dalam makna pengalaman. Makna antarpersona mempresentasikan modalitas (modality) yang bersama dengan aksi direalisasikan dalam modus (Modus). Dan ‘cara’ (mode), bagaimana pembicaraan itu dilakukan kemudian direpresentasikan dalam makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema (rheme).

  Menurut Martin (1992:508) sarana berkaitan dengan peran bahasa dalam memerankan dan merealisasikan kegiatan sosial. Dalam register, sarana sekali melalui metafungsi tekstual dalam bahasa. Sarana atau modus wacana (mode of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus paling tidak ada lima hal yang diungkap; peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran dan modus retoris. Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas; bisa saja bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada “perasaan” teks secara keseluruhan: persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.

2.3.2 Metafungsi Bahasa

  Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks. Dalam setiap interaksi menurut Halliday dan Martin (1992:30) mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994:3) sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman yang secara teknis masing-masing disebut ideasional, antarpersona, dan tekstual.

  Dengan ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia, bahasa sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual (Halliday, 1994: xiii, Eggins, 1994:3 dalam Saragih, 2006: 3-4). Di samping itu bahasa dilengkapi dengan tiga konteks yaitu konteks situasi, konteks budaya (genre), dan ideologi (Martin, 1992: 494). Fungsi ideasional (ideational function) berkaitan dengan pengalaman.Fungsi ideasional terdiri dari fungsi eksperensial (experential function) dan fungsi logis (logical

  

function ). Fungsi eksperensial menggambarkan pengalaman sedangkan fungsi

logis menghubungkan pengalaman.

  Fungsi interpersonal atau antar persona merupakan fungsi bahasa yang merepresentasikan interaksi antarpelibat. Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa sebagai pembentuk pesan yang menghubungkan fungsi ideasional dan fungsi antarpersona menjadi suatu teks. Fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual disebut juga makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual (Sinar, 2003:20). Hal ini dikatakan demikian karena fungsi merujuk kepada makna, karena setiap kata yang berfungsi memiliki makna. Demikian sebaliknya, setiap kata yang bermakna memiliki fungsi.

  Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, fungsi interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman (experential meaning). Fungsi interpersonal membentuk hubungan sosial, termasuk penafsiran probabilitas oleh penutur serta relevansi pesan. Fungsi interpersonal ini merepresentasikan potensi makna penutur sebagai pelibat dalam proses interaksi atau sebagai pembicara dan pendengar atau antara penulis dengan pembaca. Pada tingkat interpretasi gramatika fungsi klausa diinterpretasikan bahwa klausa dibentuk dari interaksi dalam suatu kejadian yang melibatkan penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca.

  Halliday (1985: 68-69) mengilustrasikan ketika dua orang menggunakan bahasa untuk berinteraksi, satu hal yang mereka perbuat adalah melakukan suatu hubungan antara mereka. Dalam hal ini, penutur bahasa atau fungsi wicara menciptakan dua tipe peran atau fungsi wicara yang sangat fundamental atau fungsi memberi atau meminta.

  Bahasa sebagai fungsi interpersonal memiliki empat aksi yang disebut sebagai protoaksi karena merupakan aksi awal yang selanjutnya dapat diturunkanaksi lain. Keempat aksi tersebut adalah aksi pernyataan, pertanyaan,

  

tawaran, dan perintah. Interaksi tersebut disebut protoaksi karena keempat aksi tersebut menjadi sumber dari semua aksi yang dilakukan pemakai bahasa. Istilah protoaksi tersebut mengacu kepada dan setara dengan konsep speech function tatabahasa formal. Protoaksi dalam bahasa dapat terlihat dalam tabel 2.1 berikut:

  

Tabel 2.1: Protoaksi dalam Bahasa diadaptasi dari Eggins 2004:146

Komoditas

  Peran

  Informasi Barang dan Jasa

  Memberi Pernyataan Tawaran Meminta Pertanyaan Perintah

  Halliday (1994) menunjukkan bahwa setiap kali kita menggunakan bahasa untuk berinteraksi, salah satu hal yang kita lakukan adalah membangun interaksi antara pemakai bahasa, dimana antara pemakai bahasa sekarang dan pemakai bahasa selanjutnya yang mungkin akan berbicara berikutnya. Untuk membangun interaksi ini para pemakai bahasa secara bergantian berbicara. Secara bergiliran para pemakai bahasa mengambil peran yang berbeda.

2.4 Hubungan Semiotik Dengan Bahasa

  Bahasa adalah sistem tanda, karena bahasa adalah sistem tanda, maka ilmu bahasa (linguistik), dapat digolongkan sebagai cabang dari semeologi atau semiotika. Pada waktu kita berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis sebenarnya kita sedang memanfaatkan tanda-tanda bahasa itu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada orang lain atau berusaha menafsirkan tanda-tanda bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan dan memahami tanda-tanda bahasa.

  Tanda bahasa adalah untaian bunyi bahasa yang mewakili objek tertentu. Objek yang diwakili oleh tanda bahasa itu dapat berupa benda, kegiatan, sifat, teks. Dalam bahasa tulis, tanda bahasa yang berupa bunyi bahasa itu dilambangkan dengan grafem atau huruf, serta tanda baca.

  Menurut Saussure (1959), tanda itu mencakup dua unsur, yaitu penanda yang menandai (signified) dan petanda yang ditandai (signifier). Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa petanda itu berupa untaian bunyi bahasa, misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat dan sesuatu yang diacu itu merupakan petanda. Dalam hal ini, petanda itu dapat dianggap sebagai makna dari suatu tanda. Contoh, jika ada tanda, misalnya pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan penanda dan benda yang berupa ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di papan tulis’ yang terbuat dari kayu dan arang merupakan petanda. Petanda itu sekaligus merupakan makna dari tanda itu. Jadi, pensil bermakna ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di kertas yang dibuat dari kayu dan arang’. Sesuatu yang ditandai diistilahkan dengan petanda. Sebaliknya, sesuatu yang menandai diistilahkan dengan penanda. Penanda itu berupa bunyi bahasa sedangkan petanda berupa benda, kegiatan, atau keaadaan. Konsep tanda bahasa Saussure itu dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

  Gagasan (thought or reference)

  Simbol (symbol) acuan (refered)

Gambar 2.1 bagan Hubungan antara Tanda Bahasa, Petanda, dan Penanda Menurut Konsep Ogden dan Richad

  Penanda itu dapat berupa bunyi bahasa yang berupa kata, frasa, kata, kalimat, atau teks. Petanda adalah sesuatu yang diacu oleh suatu penanda yang berupa leksem, kata, frasa, kalimat, atau teks. Dengan kata lain, petanda atau acuan merupakan makna dari tanda bahasa. Jadi tanda bahasa selalu berwujud bentuk tanda dan maknanya. Saussure melihat tanda hanya dari dua sisi, yaitu sisi penanda (bunyi bahasa) dan sisi petanda (sesuatu yang ditandainya).

  Menurut Ogden dan Richad (1923), tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur, yaitu simbol (symbol), gagasan (thought or reference), dan acuan

  (referent) . Simbol mewakili gagasan, dan gagasan mengacu ke suatu acuan

  (objek tertentu). Contoh, jika ada leksem pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan simbol, ‘alat tulis yang lazim untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang’ merupakan gagasan, dan wujud objek yang sebenarnya adalah acuan. Menurut Ogden dan Richard, gagasan itulah yang merupakan makna dari tanda bahasa. Hubungan antara tanda dengan acuan bersifat arbitrer atau mana suka. Hubungan antara tanda bahasa dengan objek yang ditandai ada yang bersifat sistematis (ikonis) dan ada yang bersifat arbitrer. Leksem-leksem yang bahasa dengan objek yang ditandainya. Leksem-leksem yang tidak berupa anomatope menunjukkan tidak adanya hubungan yang sistematis antara tanda dengan objek yang ditandainya.

  Menurut Pierce, berdasarkan hubungan antara tanda dan objek yang ditandainya, tanda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Indeks adalah tanda bahasa yang menunjukkan hubungan kemiripan antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, foto dan leksem anomatope merupakan tanda yang tergolong ikon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan ada hubungan kausalitas antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, asap, mendung, arah anak panah merupakan tanda yang tergolong indeks. Simbol adalah tanda yang antara tanda dan objek yang tidak ada hubungan apa-apa.

  Tanda itu dibuat semata-mata karena konvensi kelompok orang pemakai tanda itu. Leksem atau kata-kata, atau lambang-lambang tertentu (lambang negara, lambang organisasi) tergolong simbol. Sebagian tanda bahasa tergolong ikon dan sebagian tanda bahasa yang lain tergolong simbol. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.

  Ada tiga unsur yang menghadirkan makna tanda bahasa, (1) komponen makna intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal pada tanda bahasa, (2) konteks tuturan dari suatu tanda bahasa. Makna yang terbentuk dari unsur komponen makna tanda bahasa itu sendiri (otonom) digolongkan sebagai makna leksikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa mengalami proses grmatikal disebut makna gramatikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan) pragmatis. Makna leksikal dan makna gramatikal merupakan kajian semantik sedangkan makna pragmatis merupakan kajian pragmatik.

  Dalam hal ini teori yang dipakai untuk menganlisis data yang ditemukan yakni teori Saussure yaitu penanda yang menandai (signified) dan petanda yang ditandai (signifier.

2.5 Tradisi Lisan

  Tradisi lisan merupakan sebagai sesuatu yang disampaikan dalam masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Hoed (2008:184), tradisi lisan adalah sebagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Lebih lanjut, Hoed menyatakan bahwa tradisi lisan mencakup hal-hal seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (2008:2), bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pegetahuan tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi dan berbagai hal seni.

  Tradisi lisan berbeda dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciri tradisi lisan. Ciri-ciri yang dimaksudkan adalah (1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan lisan, (2) bersifat tradisional, yaitu berbentuk relatif dan standar, (3) bersifat anonim, (4) mempunyai varian atau versi yang berbeda, (5) mempunyai pola bentuk, (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu, (7) menjadi milik bersama suatu sopan Danandjaya, (1984:5).

  Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan, dan belum tentu juga di pedesaan.

  Masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan juga mengenal tradisi lisan namun peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan.

  Menurut Sibarani (2012:43-46) ada beberapa ciri tradisi lisan, (1) merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagai lisan, dan bukan lisan, (2) memliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya, (3) dapat diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional, (5) diwariskan secara turun temurun, (6) proses penyampaian “dari mulut ke mulut”, (7) mengandung nilai-nilai dan norma-norma, (8) memiliki versi-versi, (9) milik besama komunitas tertentu, dan (10) berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan yang penyebarannya melalui mulut ke telinga yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal).

  Masyarakat Angkola juga mempunyai sebuah tradisi dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara perkawinan.Adat perkawinan tidak terlepas dari tradisi lisan yang di dalamnya ada sebuah tradisi seperti martahi karejo.

  

Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Angkola yang

  Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya serta menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan.

2.6 Kearifan Lokal

  Pengertian dari kearifan lokal bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Syadily terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

  Kearifan lokal dapat dipahami sebagai suatu kebijaksanaan atau nilai-nilai yang terkandung dalam budaya masyarakat berupa sebuah tradisi.

  erupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Menurut Keraf (2002), kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

  Menurut Sibarani, (2012:13), kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, prilaku, dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif.

  Sibarani,(2012:114) mengatakan, di dalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berprilaku, dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tata sosial. Pada dasarnya, ada 5 (lima) dimensi kultural tentang kearifan lokal yaitu, (1) pengetahuan lokal, (2) budaya lokal, (3) keterampilan lokal, (4) sumber daya lokal, dan (5) proses sosial lokal.

  Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai- nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah, kita harus bisa memahami nilai- nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya tersebut menurut Sibarani (2012: 133) adalah (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong-royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, (17) rasa syukur. Semua kearifan lokal tersebut dapat diklsifikasikan pada 2 (dua) jenis kearifan lokal inti (core local wisdoms), yaitu kearifan lokal untuk (1) kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kedamaian atau kebaikan.

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

  Penelitian sebelumnya tentang Analisis Semiotika, adalah pada upacara Gayo Kabupaten Aceh Tengah (Rida Safuan Selian 2007). Upacara adat ini mengkaji makna simbolik dan estetika yang terdapat pada upacara perkawinan

  

ngerje masyarakat Gayo.Upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo ini

  merupakan salah satu upacara yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian yang ada dalam kehidupan masyarakat Gayo.

  Upacara perkawinan ini untuk mengetahui faktor estetika dan ekstra estetis melalui simbol-simbol yang digunakan dalam upacara perkawinan dan melihat proses sosialisasi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.

  Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas juga masih relevan, seputar analisis semiotika, dan mengkaji makna simbolik dan estetika yang terdapat pada upacara perkawinan, hanya saja pada penelitian di atas terjadi pada upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola.

  Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2008) tentang Analisis Semiotika dalam upacara ritual jamuan laut Di Jaring Halus mengenai fenomena social berkaitan dengan makna upacara jamuan laut dan unsur-unsur yang terdapat dalam ritual. Upacara jamuan laut ini mempunyai tahap tahap pada ritualnya dan memiliki perangkat adat yang dilaksanakan dalam ritual jamuan laut tersebut. Perangkat adat tersebut dianalisis dan dimaknai secara semiotik. Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika dalam upacara makna upacara jamuan laut dan unsur-unsur yang terdapat dalam ritual, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.

  Penelitian Analisis Semiotik lainnya adalah Tradisi Bermantra Pagar Diri Di desa Ujung gading Julu Kabupaten padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara oleh Yunita (2011), memaknai mantra pagar diri memiliki fungsi, bentuk dan nilai budaya tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun untuk maksud dan tujuan tertentu. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Kajian semiotik perlengkapan yang digunakan dalam ritual pagar diri yang menggali nilai kearifan lokal dalam mantra kehidupan sosial masyarakat yang diatur oleh nilai- nilai budaya yang bersumber pada adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut. Keterikatan warga masyarakat terhadap adat istiadat tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari.

  Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika dalam kearifan lokal dalam mantra kehidupan sosial masyarakat yang diatur oleh nilai-nilai budaya yang bersumber pada adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat di desa Ujung gading Julu Kabupaten padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.

  Penelitian Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga dengan Pendekatan Semiotik Sosial oleh tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

  Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan

  

baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir

  Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola dan merealisasikannya ke dalam makna interpersonal.

  Dari keseluruhan sudut data hasil pada penelitian terdahulu umumnya membahas tentang upacara adat di Nusantara yang mempunyai makna-makna dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara adat dan perangkat adat yang masih dipakai dalam upacara perkawinan. Hal tersebut memberikan kontribusi yang relevan dengan penelitian ini yaitu, upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola. Penelitian-penelitian di atas memberikan kontribusi dari beberapa hal yaitu pada teori yang digunakan yaitu makna-makna semiotik yang terkandung pada teks lisan, dan bagaimana teks tersebut disampaikan berdasarkan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Pada penelitian di atas, data penelitian yang digunakan yakni sama-sama memanfaatkan sumber data lisan. Selanjutnya pada tataran metode penelitian ini digunakan sebagai metode penelitian untuk memperoleh pemahaman tentang tradisi lisan upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola.

2.8 Kerangka Teori

  Dibawah ini dapat dilihat gambar struktur bahasa sebagai semiotik sosial yang digunakan dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial yang disesuaikan dengan kerangka berpikir peneliti dalam meneliti bahasa sebagai semiotik sosial.

Gambar 2.2 Skema tradisi martahi karejo dalam semiotik sosial

  Kearifan Lokal Konteks Situasi

  Medan Pelibat Sarana

  Makna Interpersonal

  Konteks Bahasa

  Subjek/Predikator/ Keterangan

  Analisis makna Tradisi martahi karejo

  Teks makkobar Perangkat adat

Dokumen yang terkait

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Ringkas Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara - Pengaruh Komunikasi Dan Informasi Dalam Meningkatkan Aktivitas Kerja Pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air 2.1.1 Defenisi Air - Penentuan Nilai pH dan Alkalinitas pada Air Filter HM. Yamin di Laboratorium PDAM Tirtanadi Medan

0 0 19

BAB III SISTEM PENGAWASAN INTERNAL GAJI PADA BPJS KETENAGAKERJAAN KANTOR WILAYAH SUMBAGUT - Sistem Pengawasan Internal Gaji Pada BPJS Ketenagakerjaan Kantor Wilayah Sumbagut

0 0 14

BAB II BPJS KETENAGAKERJAAN KANTOR WILAYAH SUMBAGUT A. Sejarah Ringkas - Sistem Pengawasan Internal Gaji Pada BPJS Ketenagakerjaan Kantor Wilayah Sumbagut

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dukungan Suami A.1. Pengertian dukungan - Dukungan Suami Terhadap Kepercayaan Diri Istri Menjalani Aktivitas Setelah Masa Nifas di Rumah Bersalin Madina Kecamatan Medan Tembung Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Dukungan Suami Terhadap Kepercayaan Diri Istri Menjalani Aktivitas Setelah Masa Nifas di Rumah Bersalin Madina Kecamatan Medan Tembung Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 7

BAB II - Tinjauan Hukum Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Syariah Dalam Kaitannya Dengan Bancassurance (Riset : Pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Iskandar Muda)

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

0 2 25

BAB II TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI NASABAH JIKA TERJADI KEHILANGAN ATAU KERUSAKAN BARANG YANG DISIMPAN DALAM SAFE DEPOSIT BOX DI PT. BANK PANIN CABANG PEMBANTU TEBING TINGGI - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di S

1 4 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 28