BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekonomi Syariah - Persepsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara Terhadap Dukungan Ekonomi Syariah Di Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekonomi Syariah

  Dalam pandangan Islam, ekonomi atau iqtishad berasal dari kata qosdum yang berarti keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (equally balanced).

  (Fauzia dan Abdul, 2014: 3) Pada intinya Ekonomi Syariah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islam di sini adalah cara-cara yang mendasarkan atas ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan pengertian seperti ini maka istilah yang juga sering digunakan adalah Ekonomi Syariah. (P3EI, 2012 : 17) Beberapa ekonom memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari Ekonomi Syariah adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim sendiri.

  Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara Muslim dimana nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan. Untuk memberikan pengertian yang lebih jelas maka berikut disampaikan definisi Ekonomi Syariah dari beberapa ekonom Muslim terkemuka saat ini: 1.

  Ekonomi Syariah merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Segala bentuk pemikiran ataupun praktik ekonomi yang tidak bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat dipandang sebagai Ekonomi Syariah. Untuk dapat menjawab permasalahan kekinian yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, digunakan metode fiqh untuk menjelaskan apakah fenomena Dalam hal ini, Ekonomi Syariah dianggap tidak memiliki kelemahan dan selalu dianggap benar. Kegagalan dalam memecahkan masalah ekonomi empiris dipandang bukan sebagai kelemahan Ekonomi Syariah, melainkan kegagalan ekonom dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah.

  Beberapa ekonom Muslim yang cendrung menggunakan definisi dan pendekatan ini adalah Hazanuzzaman dan Metwally dalam (P3EI, 2012: 18) 2. Ekonomi Syariah merupakan implementasi sistem etika Islam dalam kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk pengembangan moral masyarakat. Dalam hal ini, Ekonomi Syariah bukanlah sekadar memberikan justifikasi hukum terhadap fenomena ekonomi yang ada, namun lebih menekankan pada pentingnya spirit Islam dalam mengidentifikasi spirit dasar Islam yan terkait dengan ekonomi. Spirit inilah yang kemudian menjadi dasar penurunan ilmu ekonomi. Beberapa ekonom yang mengunakan pendekatan ini adalah Mannan, Ahmad, dan Khan dalam (P3EI, 2012: 18) 3. Ekonomi Syariah merupakan representasi perilaku ekonomi umat Muslim untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh. Dalam hal ini,

  Ekonomi Syariah tidak lain merupakan penafsiran dan praktik ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak bebas dari kesalahan dan kelemahan. Analisis ekonomi setidaknya dilakukan dalam tiga aspek, yaitu norma dan nilai-nilai dasar Islam, batasan ekonomi dan status mengunakan pendekatan ini adalah Siddiqie dan Naqvi dalam (P3EI, 2012: 18) 4. Beberapa ekonom Muslim mencoba mendefinisikan ekonomi Islam lebih komprehensif ataupun menggabungkan antara definisi-definisi yang telah ada. Seperti diungkapkan oleh Chapra dan Choudury dalam (P3EI, 2012: 18) bahwa berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mewujudkan Ekonomi Syariah, baik pendekatan historis, empiris ataupun teoretis.

  Namun demikian, pendekatan ini di maksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Islam, yaitu

  

falah , yang bermaknakan kelangsungan hidup, kemandirian, dan kekuatan

untuk hidup.

  Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Syariah bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas Muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan perilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis, dan mengajukan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi Syariah merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran Islam secara menyeluruh dalam aspek ekonomi. (Ibid:19)

  Kebutuhan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam industri keuangan syariah umumnya dan industri perbankan Syariah pada khusunya, pendidikan nasional khususnya di perguruan-perguruan tinggi, mulai secara luas membuka mata kuliah atau program-program studi yang mempelajari pengetahuan serta keahlian tentang ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah. Untuk itulah penyediaan literature seperti buku teks Ekonomi Islam menjadi sebuah kebutuhan yang paling pokok dalam proses pembentukan SDM yang unggul di perguruan-perguruan tinggi. (P3EI: 2012)

2.2 Karakteristik Sistem Ekonomi Syariah

  1. Tujuan Ekonomi Syariah Tujuan akhir Ekonomi Syariah adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari’ah). Yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Tujuan falah yang ingin dicapai oleh Ekonomi Syariah meliputi aspek mikro ataupun makro, mencakup horizon waktu dunia ataupun akhirat. (P3EI, 2012: 54) Ekonomi Syariah tidak sekedar berorientasi untuk pembangunan fisik material dari individu, masyarakat dan negara saja, tetapi juga memperhatikan pembangunan aspek lain yang juga merupakan elemen penting bagi kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Pembangunan keimanan merupakan prakondisi yang diperlukan dalam Ekonomi Syariah, sebab keimanan merupakan fondasi bagi seluruh perilaku individu dan masyarakat untuk kemaslahatan. (Ibid)

  2. Moral sebagai Pilar Ekonomi Syariah Moral menempati posisi penting dalam ajaran Islam, sebab terbentuknnya pribadi yang memilik moral baik (akhlaqul karimah) merupakan tujuan puncak dari seluruh ajaran Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

  Moralitas Islam dibangun atas suatu postulat ibadah (rukun Islam), artinya bahwa moral ini lahir sebagai konsekuensi dari rukun iman dan rukun Islam. (Ibid: 56)

  3. Nilai-nilai Dasar Ekonomi Syariah Moral Islam sebagai pilar Ekonomi Syariah perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai-nilai yang lebih terinci sehingga pada akhirnya dapat menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku ekonomi. Nilai-nilai ini merupakan sisi normatif dari Ekonomi Syariah yang berfungsi mewarnai atau menjamin kualiatas perilaku ekonomi setiap individu. Keberadaan nilai semata pada perilaku ekonomi dapat menghasilkan suatu perekonomian yang normatif, tidak akan bisa berjalan secara dinamis. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama didasarkan atas prinsip-prinsip Ekonomi Syariah. (Ibid:58)

4. Prinsip-Prinsip Ekonomi Dalam Islam

  Menurut Rahman (1995: 8-10) Prinsip dasar sistem Ekonomi Syariah antara lain: a.

  Kebebasan individu Individu mempunyai hak kebebasan sepenuhnnya untuk berpendapat atau membuat suatu keputusan yang dianggap perlu dalam dalam sebuah negara Islam. Karena tanpa kebebasan tersebut individu Muslim tidak dapat melaksanakan kewajiban mendasar dan penting dalam menikmati kesejahteraan dan menghindari terjadinya kekacauan dalam masyarakat.

  b.

  Hak terhadap harta Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta walaupun begitu ia memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan kepentingan masyarakat umum.

  c.

  Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi di antara orang perorang tetapi tidak membiarkannya menjadi bertambah luas, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan.

  d.

  Kesamaan sosial Islam tidak mengajurkan kesamaan ekonomi tetapi ia mendukung dan menggalakkan kesamaan sosial sehingga sampai tahap bahwa kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu masyarakat saja. Disamping itu amat penting setiap individu dalam sebuah negara (Islam) mempunyai peluang yang sama untuk ekonomi.

  e.

  Jaminan sosial Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara Islam, dan setiap warga negara dijamin untuk memproleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Memang menjadi tugas dan tanggungjawab utama bagi sebuah negara Islam untuk menjamin setiap warga negara, dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan prinsip “hak untuk hidup”. Dan terdapat persamaan sepenuhnya di antara warga negara apabila kebutuhan pokoknya telah terpenuhi.

  f.

  Distribusi kekayaan secara meluas Islam mencegah penumpukkan kekayaan pada kelompok kecil tertentu orang dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada semua lapisan masyarakat.

  g.

  Larangan menumpuk kekayaan Sistem ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan harta kekayaan secara berlebihan dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mencegah perbuatan yang tidak baik tersebut supaya tidak terjadi dalam negara. h.

  Larangan terhadap organisasi anti sosial Sistem ekonomi Islam melarang semua praktek yang merusak dan arak, riba, menumpuk harta, pasar gelap dan sebagainya. i.

  Kesejahteraan individu dan masyarakat Islam mengakui kesejateraan individu dan kesejahteraan sosial masyarakat yang saling melengkapi satu dengan yang lain, bukannya saling bersaing dan bententangan antar mereka. Maka Sistem Ekonomi Islam mencoba meredakan konflik ini sehingga terwujud kemanfaatan bersama.

5. Basis Kebijakan Ekonomi Syariah a.

  Penghapusan Riba Islam telah melarang segala bentuk riba karenanya ia harus dihapuskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Arti riba secara bahasa adalah ziyadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan tetapi, tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikatagorikan riba. Secara fiqh, riba diartinya sebagai setiap tambahan dari harta pokok yang bukan merupakan kompensasi, hasil usaha ataupun hadiah. Namun, pengertian riba secara teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil perbuatan ketidakadilan (zalim), baik dalam utang-piutang maupun jual beli. Dengan demikian, esensi dari pelarangan riba adalah pengahapusaan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi. (P3EI, 2012: 70) Menurut Rahman (1995: 85) riba adalah pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku di mana modal pinjaman tersebut digunakan. Riba mengandung tiga unsur, yaitu Viz, yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktunya, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Semua transaksi yang mengandung ke tiga unsur tersebut dalam katagori riba.

  b.

  Pelembagaan Zakat Zakat pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Ia merupakan sistem yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara kelompok kaya (muzzaki) dan kelompok miskin (mustahik). Dalam praktiknya pada masa awal Islam, zakat dikelola oleh sebuah komite tetap dari pemerintahan dan menjadi bagian integral dari keuangan negara. Karenanya, kebijakan pengumpulan zakat maupun penyalurannya senantiasa terkait dengan kebijakan pembangunan negara secara keseluruhan. (P3EI, 2012: 71) Implementasi pengelolaan zakat tidak terbatas pada suatu komunitas Muslim kecil, namun melingkupi suatu negara. Pengelolaan zakat pada era sekarang sebaiknya mengacu pada strategi pelembagaan tetapi kondisinya tidak memungkinkan, pelembagaan zakat ini harus sebagai sebuah sistem distribusi pendapatan yang nyata. Menciptakan suatu sistem distibusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan permanen. Langkah ini merupakan wujud nyata yang lain dari upaya menciptakan keadilan sosial, zakat mencerminkan komitmen sosial dari ekonomi Islam. (Ibid) c. Pelarangan Gharar Ajaran Islam melarang aktivitas ekonomi yang mengandung gharar.

  Dari segi bahasa, gharar berarti resiko, atau juga ketidakpastian. Menurut Ibnu Taimiyah (dalam P3EI, 2012:72) gharar adalah sesuatu dengan karakter tidak diketahui sehingga menjual hal ini adalah seperti perjudian. Dengan kata lain, gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak dapat mengetahui kemungkinan kejadian sesuatu sehingga bersifat spekulatif. Islam juga melarang usaha spekulatif menurut mannan (1997: 292) yang masksudnya adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk membeli sesuatu dengan harga yang murah pada suatu waktu dan menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu lain. Menurut Rahman (1995: 121) spekulasi adalah suatu bentuk perjudian komersil yang dimainkan tanpa adanya pertukaran uang atau barang-barang, dan permainan ini berperan dalam memanipulasi kenaikan dan penurunan harga stok barang di pasaran nasional dan internasional.

  d.

  Pelarangan Yang Haram Dalam Ekonomi Syariah segala sesuatu yang dilakukan harus halalan thayyibah, yaitu benar secara hukum Islam dan baik dari perspektif nilai dan moralitas Islam. Kebalikan dari halalan thayyibah adalah haram, yaitu sesuatu yang jika dilakukan akan menimbulkan dosa.

  Meninggalkan yang haram adalah mutlak kewajibannya dan sebaiknya melaksanakan yang halal adalah mutlak kewajibannya.

  Haram dalam hal ini bisa terkait dengan zat maupun prosesnya (P3EI, 2012: 72)

2.3 Prinsip Dasar Produksi Ekonomi Syariah

  Al-Ghazali (dalam Fauziah dan Aabdul, 2014: 116) menyebutkan bahwa produksi adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw

  material ) oleh sumber daya manusia, agar menjadi barang yang bermanfaat

  bagi manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan yang moderat menimbulkan dua implikasi yaitu:

1. Produsen hanya menghasilkan barang/jasa yang menjadi kebutuhan (needs), meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen.

  Barang/jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang Islami, bukan sekedar memberi kepuasan maksimum bagi konsumen.

  2. Kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Prosuksi barang/jasa secara berlebihan tidak saja (wastage), tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat. Islam menganjurkan umatnya untuk memproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi: pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian, dan perdagangan. Islam memberkahi pekerjaan dunia dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad. Dari Jabir, diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Rasulullah SAW.

  Bersabda: “kejahatan yang paling bahaya di muka bumi ini ialah pengagguran.” Karena pada dasarnya pekerjaan duniawi tidak hanya bermanfaat bagi individu pelakunya, tetapi juga penting untuk mencapai kemaslahatan masyarakat secara umum. (Fauziah dan Abdul, 2014: 117) Menurut Fauziah dan Abdul (2014: 119) Faktor-faktor produksi dalam Islam meliputi: 1.

  Tanah Tanah telah menjadi suatu faktor produksi terpenting sejak dahulu kala. Penekanan pada penggunaan tanah-tanah mati (ihya al mawat) menunjukkan perhatian Rasulullah SAW. Dalam pengunaan sumber daya bagi kemakmuran rakyat. Islam mempunyai komitmen untuk melaksanakan keadilan dalam hal pertahanan. Islam mengakui adanya kepemilikan atas sumber daya alam yang ada, dengan selalu mengupayakan pengunaan dan pemeliharaan yang baik atas sumber daya tersebut.

  Tenaga kerja Tenaga kerja merupakan human capital bagi suatu perusahaan. Di berbagai macam jenis produksi, tenaga kerja merupakan modal bagi keberhasilan suatu perusahaan. Kesuksesan suatu produksi terletak pada kinerja sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Tenaga kerja yang miliki skill dan intergritas yang baik merupakan modal utama bagi suatu perusahaan, di lain modal-modal yang lainnya.

  Karena secara umum, banyak di antara ahli ekonomi yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya produsen, dan pangkal produktivitas dari semua faktor produksi yang lainnya. Tanah, modal, mesin, manajerial yang baik tidak akan bisa menghasilkan suatu barang/jasa tanpa adanya tenaga kerja.

3. Modal Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu produksi.

  Modal adalah sejumlah kekayaan yang bisa saja berupa assets ataupun intangible assets, yang bisa digunakan untuk menghasilakan suatu kekayaan. Dalam Islam, modal suatu usaha haruslah bebas dari riba. Dalam beberapa cara perolehan modal, Islam mengatur suatu sistem yang lebih baik, dengan cara kerja sama mudharabah atau musharakah. Hal ini untuk menjaga hak produsen dan juga hak pemilik modal, agar tercapai suatu kebaikan dalam suatu aktivitas produksi, yang akhirnya akan berimplikasi pada adanya suatu mashlahah dalam suatu kerjasama yang dilakukan oleh masing-

  4. Manajemen Produksi Beberapa faktor produksi di atas tidak akan menghasilkan suatu profit yang baik ketika tidak ada manajemen yang baik. Karena tanah, tenaga kerja, modal, dan lain sebagainya tidak akan bisa berdiri dengan sendirinya. Semuanya memerlukan suatu pengaturan yang baik, berupa suatu organisasi, ataupun suatu manajemen yang bisa menerbitkan, mengatur, ataupun suatu manajemen yang bisa menerbitkan, mengatur, merencanakan, dan mengevaluasi segala kinerja yang akan dan telah dihasilkan oleh masing-masing divisi.

  Di dalam Al-Qur’an, kata-kata yang berkaitan dengan manajerial diungkapkan dalam beberapa bentuk yaitu yudabbiru, yatadabbarun,

  yatadabbar , dan al-mudabbirat.

  5. Teknologi Di era kemajuan produksi yang ada pada saat ini, teknologi mempunyai peranan yang sangat besar dalam sektor ini. Berapa banyak produsen yang kemudian tidak bisa survive karena adanya competitor lainnya dan lebih banyak yang bisa menghasilkan barang/jasa jauh lebih baik, karena didukung oleh faktor teknologi.

6. Bahan Baku

  Bahan baku terbagi menjadi dua macam, adakalanya bahan baku oleh alam, tanpa ada penggantinya. Ada juga yang memang dari alam akan tetapi, bisa dicarikan bahan lain untuk mengganti bahan yang telah ada. Ketika seseorang produsen akan memproduksi suatu barang/jasa, maka salah satu hal yang harus dipikirkan yaitu bahan baku. Kerena jikalau bahan baku tersedia dengan baik, maka produksi akan berjalan dengan lancar, dan sebaliknya, maka akan mengahambat jalannya suatu produksi.

2.4 Prinsip Dasar Konsumsi Ekonomi Syariah

  Pemanfaatan (konsumsi) merupakan bagian akhir dan sangat penting dalam pengelolahan kekayaan, dengan kata lain, pemanfaatan adalah akhir dari keseluruhan proses produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi, kekayaan yang dihasilkan hari ini akan digunakan untuk hari esok. Oleh karena itu konsumsi (pemanfaatan) berperan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi seseorang maupun negara.

  (rahman, 1995: 17) Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan Ekonomi Syariah dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. (mannan, 1997: 44)

  Memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan yaitu tersebut merupakan salah satu kewajiban dalam beragama. Siddiqi (dalam fauzia dan Abdul,2014: 163) menyatakan, bahwa tujuan aktivitas ekonomi yang sempurna menurut Islam antara lain: (1) memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana, (2) memenuhi kebutuhan keluarga, (3) memenuhi kebutuhan jangka panjang, (4) menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan, dan (5) memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah.

  Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai tujuan untuk memproleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan. Pencapaian mashlahah tersebut merupakan tujuan dari maqashid al-syariah. Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan kepuasan atau (wants), dan konsep mashlahah relatif lebih objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan (needs). Mashlahah dipenuhi berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada criteria yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak. (Ibid: 166) Menurut Ibn Sina, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu income (pencarian rezeki/ kasab) dan expenditure (pengeluaran). Ketika seseorang menginginkan berkahan, maka ia harus memulai untuk meraih berkahan tersebut jauh sebelum konsumsi dilakukan. (Ibid: 169)

  

Income dan expenditure haruslah diatur oleh suatu anggaran dengan

  perhitungan yang cermat. Perolehan income sudah diatur dengan jelas dalam Islam, sehingga nantinya berimplikasi pada label halal ataupun haram dalam income tersebut. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Yang maknanya adalah: “Ambillah apa yang halal dan tinggalkanlah apa yang haram.” Adapun expenditure, Ibn sina mengklasifikasikannya menjadi pengeluaran wajib dan tidak wajib. Pengeluaran wajib terkait dengan nafkah sehari-hari dan amal kebajikan untuk orang lain. Adapun pengeluaran yang tidak wajib adalah simpanan, karena menurut Ibn Sina manusia harus berpikir cerdas untuk perubahan peristiwa yang akan dilaluinya di masa datang. Jadi seseorang harus melakukan saving dan investasi untuk masa depannya. (Ibid: 170-171) Selain pengeluaran untuk konsumsi dan simpanan, Islam juga selalu memotivasi umatnya untuk menginvestasikan harta yang dimiliki olehnya.

  Satu alasan mendasar ketika seorang Muslim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat adalah agar ia senantiasa menginvestasikan hartanya.

  Kewajiban zakat juga mendorong umat manusia untuk bekerja dan mempunyai banyak harta. (Ibid: 171)

  Ada lima karakter ataupun standar dalam menilai proyek investasi, seperti yang telah disebutkan dalam mawsuah al-ilmiyah wa al-amaliyah al-

1. Proyek yang baik menurut Islam 2.

  Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyrakat 3. Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan dan kekayaan 4. Memelihara dan menumbuh kembangkan harta 5. Melindungi kepentingan anggota masyarakat.

  Adiwarman Azhar Karim (dalam Fauzia dan Abdul, 2014: 172) menjelaskan bahwa ekonomi konvensional suatu bahasan tentang konsumsi intertemporal. Yaitu konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang dan masa datang. Dalam ekonomi konvensional, pendapatan adalah penjumlahan konsumsi, dan tabungan. Atau secara matematis ditulis:

  Y= C + S Dimana: Y = pendapatan

  C = konsumsi S = tabungan

  Adapun konsumsi intertemporal dalam Islam seperti yang telah dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW. Yang maknanya adalah: “Harta yang kamu miliki adalah apa yang kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.” Oleh karena itu, persamaan pendapatan menjadi:

  Y = (C + infak) + S Secara grafis, hal ini seharusnya digambarkan dengan tiga dimensi, namun untuk kemudahan penyajian grafis, yaitu dengan dua dimensi, maka Y = FS + S

  Dimana: FS = C + Infak FS adalah final spending di jalan Allah Penyederhanaan ini memungkinkan kita untuk mengunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yaitu memaksimalkan fungsi utilitas (utility function) dengan garis pendapatan tertentu (budget line), atau meminimalkan budget line dengan utility function tertentu.

  (Ibid:173)

2.5 Prinsip Dasar Distribusi Ekonomi Syariah

  Pembahasan tentang distribusi menjelaskan bagaimana pembagian kekayaan ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Berkaitan erat dengan faktor-faktor produksi seperti tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen. Kaitan distribusi dengan tanah adalah bagaimana alokasi dana untuk menyewa tanah sebagai tempat berkembangnya suatu aktivitas produksi. (Fauzia dan Abdul, 2014: 139) Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur, dan merata Islam menetapkan tindakan-tindakan yang positif fan prohibitif. Tindakan positif melalui zakat, hukum pewarisan, dan kontribusi lainnya, baik bersifat wajib maupun sukarela (sedekah). Tindakan prohibitif mencakup dilarangnya bunga, menimbun, minum minuman keras, judi, dan perolehan harta dengan cara tidak baik dan tidak halal. (Ibid:142)

2.6 Peran Pemerintah Dalam Perekonomian Syariah

  Pemerintah adalah pemegang amanah Allah untuk menjalankan tugas-tugas kolektif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (al adh wal insan) serta tata kehidupan yang baik (hayyah thayyibah) bagib seluruh umat, jadi manusia adalah agen dari Tuhan. (P3E1, 2012 : 446) Dalam menjalankan perannya, pemerintah memiliki instrument kebijakan, antara lain: a.

  Manajemen produksi dan ketenagakerjaan di sektor publik pemerintah dapat berperan efektif dalam mengelola kekayaan publik (di mana masyrakat gagal mengelolanya). Mengatur produksi dan ketenagakerjaan secara menyeluruh.

  b.

  Instrumen yang berkaitan dengan upaya mendorong kegiatan sektor swasta, misalnya menetapkan regulasi bagi sektor swasta, melakukan redistribusi faktor produksi (iqta’, kharaj), al-hisbah, perlindungan bagi masyarakat lemah (fakir, miskin, yatim).

  c.

  Pricing policy, dimana negara meregulasi harga dengan cara intervensi pasar, penetapan harga, atau mendorong kebijakan diskriminasi harga untuk kelompok masyarakat, daerah, atau sektor tertentu yang dipandang merupakan kepentingan publik. Pricing policy ini juga perlu dilakukan ketika pasar tidak dapat bersaing sempurna sehingga harga yang dihasilkan tidak merugikan masyarakat.

  Kebijakan fiskal, yaitu pengelolaan APBN disesuaikan dengan prinsip- prinsip publik Islam e.

  Kebijakan kredit dan moneter f. Investasi kekayaan dan surplus sektor publik

2.7 Persepsi Dalam Islam Persepsi merupakan perangkat yang dapat digunakan oleh seluruh makhluk.

  Namun, Allah SWT memberikan perangkat persepsi lain yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu akal. Dengan akal, manusia dapat berpikir tentang makna-makna yang tersirat (seperti kebaikan dan keburukan, keistimewaan dan kekurangan, serta kebenaran dan kebatilan), memberikan hukum dan pradigma umum yang dilakukan melalui riset dan eksperimen, serta membuktikan keberadaan dan kekuasaan Allah SWT sebagai pencipta melalui kesimpulan yang ditariknya dari penciptaan- Nya terhadap alam semesta dan manusia. (Najati, 2006: 119) Kemampuan akal manusia terhadap persepsi sangat terbatas dan mesti dikuti dengan tindakan pembuktian. Oleh karena itu Allah SWT mengutus para nabi dan rasul kepada manusia serta menurunkan beberapa kitab suci, guna membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran. Allah SWT berfirman: “sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah), serta (2): 151). Ardhani (2014: 87) menyatakan manusia yang dikaruniai hati dan akal untuk menimbang segala yang ada di dalam diri juga di luar diri tentunya kita tak lepas dari apa yang disebut dengan prasangka. Ia selalu hadir mengiringi setiap gerak kita selaku makhluk yang berketuhanan dan berhubungan antarsesama. Untuk itu prasangka senantiasa menghiasi berbagai hal berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, dimana terdapat prasangka baik (husnuzhan) yaitu cara pandang seseorang yang membuatnya melihat segala sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnuzan akan mepertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya. Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kesurga. Selama seseorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat disisi Allah SWT. Sebagai seorang yang benar (jujur). Berhati-hatilah terhadap dusta, sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seseorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari)

  Dan prasangka buruk (su’uzhan) yaitu selalu akan memandang segala sesuatu jelek, seolah-olah tidak ada sedikit pun kebaikan dalam pandanganya, rendah dari pada dirinya. Sikap buruk sangka identik dengan rasa curiga, cemas, amarah dan benci padahal kecurigaan, kecemasan, kemarahan dan kebencian itu hanyalah perasaan semata yang tidak jelas penyebabnya, terkadang apa yang ditakutkan bakal terjadi pada dirinya atau orang lain sama sekali tak terbukti. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah maha menerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) dan Rasulullah SAW bersabda: “jauhilah prasangka itu sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta.” (HR. Muttafaqun ‘alaih). (Ibid: 89) Menurut Gilbert Harrel (dalam Morissan, 2010 : 96) Persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk memilih, mengorganisasi dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti.

  Persepsi adalah suatu proses individual yang sangat bergantung pada faktor- faktor internal, seperti kepercayaan, pengalaman, kebutuhan, suasana hati

  (mood), serta harapan. Proses persepsi juga dipengaruhi oleh karakteristik stimulus (ukuran, warna, dan intensitas) serta konteks di mana stimulus itu

2.8 Penelitian Terdahulu

  Nur Kholis (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Penegakkan Syariat Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi)” hasil penelitian menunjukkan lembaga yang berbasisis Ekonomi Syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan pesat. masyarakat mendukungan dan optimis untuk mengembangkan lebih banyak di masa depan. Terlebih lagi kinerja perbankan syariah semua Muslim di Indonesia untuk mendukung dan berpartisipasi dalam mengembangkan Ekonomi Syariah penegakkan hukum dimasa depan, terutama dibidang zakat, wakaf, asuransi syariah.

  Dian Ariani (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Persepsi Masyarakat Umum Terhadap Bank Syariah Di Medan” hasil penelitian menunjukkan perkembangan perbankan di Medan masih kurang mengembirakan masih sedikitnya bank syariah di Medan dan persepsi msayarakat terhadap perbankan syariah mengingat pertumbuhan dan perkembangan bank syariah masih dipandang sinis oleh beberapa kalangan dan bahkan kalangan umat Islam itu sendiri.

  Siti Zulaikha (2013) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Ekonomi Islam di Indonesia” hasil penelitian menunjukkan pengembangan sistem perekonomian syariah yang telah teruji cukup tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini disebabkan sistem perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat bunga keuangan bank dan non-bank berbasis nilai syariat telah berkembang dengan cukup pesat di kota-kota bisnis terkemuka seperti London, New York, dan Geneva.

2.9 Kerangka Konseptual

  Adapun kerangka pemikiran penulis yang menjadi pijakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Islam

  Akidah Syariah Akhlak Ekonomi Syariah

  Ekonomi Syariah di negara yang mayoritas penduduk Muslim Ekonomi Syariah di Sumatera Utara

  Persepsi masyarakat (Mahasiswa FEB USU terhadap Sistem Ekonomi

  Syariah)

Dokumen yang terkait

Analisis Perbedaan Return Saham , Trading Volume Activity Dan Variance Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013)

0 0 10

I. Identitas Responden - Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Perilaku konsumen - Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 8

Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Struktur Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Struktur Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

0 0 10

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 31

2.1 Text mining - Klasifikasi Novel Sesuai dengan Genre Menggunakan TF-IDF

1 4 10