BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Paud, Tk Dan Posyandu Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Marelan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi dan Etiologi

  Trauma gigi merupakan salah satu masalah kesehatan mulut pada anak-anak yang perlu diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap masalah kesehatan

  9

  mulut. Pada masa gigi sulung, trauma gigi dapat mengganggu fisik, estetik dan

  10

  psikologis, tidak hanya pada anak tersebut tetapi juga pada orangtuanya. Trauma gigi pada anak-anak, baik yang disengaja maupun tidak disengaja merupakan masalah kesehatan seluruh masyarakat di dunia. WHO memprediksikan bahwa trauma gigi akan menjadi penyebab dari hilangnya kualitas hidup, ini dikarenakan anak yang mengalami trauma gigi akan mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menikmati makanan, menyebabkan rasa nyeri, mengganggu perkembangan benih gigi permanen,

  11-12 mengganggu fungsi dan memiliki dampak psikologis pada anak dan orangtuanya.

  Trauma gigi juga berpengaruh terhadap jaringan keras dan jaringan

  13

  pendukung gigi. Gigi sulung yang mengalami trauma dapat menyebabkan gangguan pada gigi permanen penggantinya, baik mahkota, akar atau keseluruhan. Jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi tergantung pada tahap perkembangan gigi, hubungan antara gigi permanen dengan akar gigi sulung, serta arah dan besarnya gaya yang

  14

  mengenai gigi. Trauma gigi yang tidak di rawat juga memiliki pengaruh langsung

  11 terhadap penampilan anak dan emosional mereka.

  Berbagai studi epidemiologi dan studi klinis melaporkan tentang prevalensi,

  15

  distribusi dan tipe trauma pada gigi anterior. Trauma gigi terjadi dengan prevalensi yang tinggi pada anak usia prasekolah, usia sekolah, dan dewasa muda yaitu 5% dari semua trauma yang membutuhkan perawatan. Penelitian melaporkan bahwa 25% dari semua anak sekolah memiliki pengalaman trauma gigi dan 33% orang dewasa memiliki pengalaman trauma pada gigi permanen, sebagian besar trauma terjadi

  16

  sebelum usia 19 tahun. Penelitian oleh Norton dkk pada tahun 2012 melaporkan

  17 bahwa trauma yang terjadi pada gigi sulung berkisar antara 9,4% sampai 41,6%.

  Berbagai survei mengenai trauma gigi sulung telah dilakukan. Survei di Turki pada tahun 2008 menemukan prevalensi trauma gigi anak usia 0-3 tahun sebesar 17,4%, sedangkan pada tahun 2009 persentase pada anak usia 0-6 tahun sebesar

  2,18

  5,02%. Penelitian tahun 2010 menemukan trauma gigi sulung anak usia 2-6 tahun di Brazil sebesar 40%, sedangkan pada tahun 2012 persentase kejadian trauma gigi

  6,19

  sulung meningkat mencapai 41,2%. Survei lain di Brazil tahun 2013 yang

  12 dilakukan pada anak usia 3-5 tahun menemukan kejadian trauma sebesar 34,6%.

  Berbagai perbedaan dari prevalensi trauma gigi ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti klasifikasi trauma gigi yang digunakan, perkembangan gigi, populasi,

  20 kelompok usia, keadaan sosial ekonomi, serta lokasi penelitian dan negara. 2,6,12,18-20

  Tabel 1. Prevalensi trauma gigi sulung di berbagai studi yang berbeda Wilayah Tahun Usia (tahun) Sampel % Turki, Asyun dkk 2008 0-3 563 17,4 Turki, Emin dkk 2009 0-6 657 5,02 Brazil, Marilia dkk 2010 2-6 501 40,0 Brazil, Maria dkk 2012 1-3 519 41,2 Brazil, Maria dkk 2013 3-5 814 34,6

  Trauma gigi lebih sering mengenai satu elemen gigi saja, akan tetapi trauma yang terjadi pada saat berolahraga, akibat kekerasan, dan kecelakaan lalu lintas dapat

  20

  mengenai beberapa gigi. Penelitian di India melaporkan bahwa trauma yang mengenai satu elemen gigi memiliki persentase sebesar 60%, mengenai dua elemen

  21 gigi sebesar 31% dan mengenai tiga elemen gigi sebesar 9%.

  Gigi yang paling sering mengalami trauma adalah gigi insisivus rahang atas, ini mungkin disebabkan oleh posisi gigi insisivus rahang atas yang kurang terlindungi berada lebih menonjol di dalam mulut dan cenderung pertama sekali menerima

  2,18,22

  benturan yang dihasilkan oleh trauma. Penelitian di Turki yang dilakukan pada anak usia 0-6 tahun menunjukkan bahwa gigi insisivus pertama sulung rahang atas sebelah kanan merupakan gigi yang paling sering terkena trauma yaitu sekitar 41,46%, kemudian diikuti oleh gigi insisivus pertama sulung rahang atas sebelah kiri yaitu sekitar 14,63%. Penelitian di India juga menunjukkan bahwa 75% trauma

  21 mengenai gigi insisivus satu sebelah kanan rahang atas.

  Fraktur enamel merupakan jenis trauma yang paling sering terjadi pada masa gigi sulung dan gigi permanen. Penelitian di Turki tahun 2009 pada anak usia 0-6 tahun menunjukkan bahwa fraktur enamel merupakan jenis trauma yang paling sering terjadi, yaitu sebanyak 65,9%. Penelitian lain di Brazil pada anak 3-5 tahun juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 55% trauma gigi merupakan

  12,17-18 fraktur enamel.

  Trauma gigi dapat terjadi secara sengaja dan tidak disengaja. Secara sengaja dapat terjadi karena pembunuhan, kekerasan oleh pembantu rumah tangga dan terorisme, trauma tidak disengaja dapat terjadi karena olahraga, bekerja, kecelakaan

  23 lalu lintas dan trauma lain yang diakibatkan oleh seseorang terhadap orang lain.

  Trauma gigi juga dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dan didukung oleh faktor predisposisi yang meliputi faktor eksternal karena permainan yang berbahaya

  3 dan faktor internal karena posisi gigi anterior yang protusif.

  Penyebab trauma gigi juga tergantung pada usia anak. Penyebab utama yang menyebabkan trauma gigi adalah terjatuh, dapat terjadi ketika anak sedang bermain, tersandung, terjatuh dari tempat tidur dan ketika memanjat pohon. Kecelakaan lalu lintas dan pukulan dari suatu benda atau seseorang juga dapat dihubungkan dengan

  21

  kejadian trauma gigi. Trauma gigi lebih sering terjadi antara usia 2-4 tahun karena

  5

  pada usia tersebut anak mulai memiliki rasa ingin tahu dan pemberani. Ketika anak mulai bisa duduk, merangkak, berdiri, berlari dan aktif dalam lingkungan mereka, resiko trauma menjadi meningkat karena tidak adanya koordinasi motorik dan

  2

  refleks. Pada anak usia 1,5–2 tahun, sebagian besar trauma pada gigi sulung terjadi sendiri, sering kali mereka jatuh ke arah depan dengan bertumpu pada kedua tangan dan lututnya. Kelompok anak usia 5-11 tahun, trauma gigi terjadi karena anak

  3

  terjatuh saat bermain, berolahraga, berlari dan bersepeda. Penelitian di Turki pada tahun 2009 melaporkan bahwa penyebab trauma yang paling sering terjadi pada gigi

  

18

sulung adalah terjatuh yaitu sebesar 66,7%.

  2 Tabel 2. Frekuensi penyebab trauma gigi sulung

  Etiologi Kelompok Usia ( dalam bulan) 6-12 (%) 13-18 (%) 19-24 (%) 25-30 (%) >30 (%)

  Terjatuh 12,3 19,4 18,4 10,2 13,3 Pukulan 2,0 4,1 4,1 2,0 2,0 benda

  • Kecelakaan

  1,0 lalulintas

  • Kekerasan 1,0 1,0 1,0 anak Tidak 2,0 2,0 2,0 1,0 2,0 diketahui

  Penelitian menunjukkan bahwa trauma gigi berhubungan dengan jenis kelamin, usia, insisal overjet dan penutupan bibir. Faktor-faktor lain seperti lingkungan dan karakteristik sosial seperti tipe sekolah, waktu setelah terjadinya trauma dan perawatan yang diberikan juga menambah pengaruh terhadap trauma

  17 gigi.

  Trauma gigi lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Penelitian di Afrika Selatan melaporkan bahwa anak laki-laki 2,5 kali

  11

  lebih berisiko dibandingkan dengan anak perempuan. Perbedaan ini terjadi karena anak laki-laki biasanya lebih aktif dalam kegiatan olahraga, perkelahian, dan lebih ternyata tidak begitu signifikan. Bijella dkk mengamati perbedaan yang tidak begitu nyata antara anak laki-laki dan perempuan yaitu 1,3:1. Onetto dkk juga mengamati bahwa perbandingan trauma pada laki-laki dan perempuan pada anak di bawah usia

  7

  tujuh tahun yaitu 0,9:1. Perbedaan yang tidak begitu signifikan ini disebabkan karena anak laki-laki dan perempuan pada masa gigi sulung cenderung bermain

  23 dengan jenis permainan yang sama.

  Besarnya overjet dan penutupan bibir yang tidak adekuat lebih berisiko mengalami trauma gigi, ini karena gigi anterior lebih mudah terekspose dibanding

  24

  gigi-geligi lainnya. Penutupan bibir dikatakan adekuat ketika bibir dapat menutup bagian gigi anterior pada posisi istirahat dan dikatakan tidak adekuat ketika bibir

  25

  tidak mampu menutupnya. Berbagai penelitian telah menemukan hubungan antara overjet yang lebih dari 3 mm dan penutupan bibir yang tidak adekuat dengan angka kejadian trauma gigi pada gigi permanen dan gigi desidui. Mereka menemukan bahwa overjet yang lebih dari 3 mm lebih cenderung mengalami trauma gigi, karena itu gigi-geligi yang protusi disebabkan oleh besarnya overjet dapat meningkatkan

  26

  risiko trauma pada gigi anak. Penelitian di India pada anak usia 6-11 tahun menemukan bahwa overjet lebih dari 3 mm dan bibir yang tidak adekuat sangat

  

27

berpengaruh terhadap kejadian trauma gigi.

  Lokasi kejadian trauma yang paling sering terjadi pada masa gigi sulung yaitu di rumah. Anak usia 2-4 tahun sering mengalami trauma ketika sedang bergerak dan

  24

  bermain di rumah mereka. Penelitian oleh Onetto dkk menemukan bahwa lokasi trauma yang terjadi pada gigi sulung lebih sering terjadi di rumah yaitu sebesar 68%. Galea dalam penelitian berbeda juga menemukan bahwa sebanyak 60% trauma yang

  7

  terjadi pada masa gigi sulung terjadi di rumah. Penelitian di Brazil pada anak usia 3- 5 tahun juga menemukan bahwa sekitar 77,5% anak lebih sering mengalami trauma ketika berada di rumah, ini mungkin disebabkan karena anak pada usia tersebut lebih

  12 cenderung menghabiskan waktu mereka di rumah dibandingkan dengan tempat lain.

  1 Kebanyakan kasus trauma gigi tidak mendapat perawatan. Penelitian oleh

  Aysun dkk pada anak usia 0-3 tahun menemukan bahwa hanya sekitar 37,8%

  2 Penelitian oleh Maria dkk pada anak usia 1-3 tahun bahkan menemukan sebanyak

  6

  42,5% orangtua tidak mengetahui trauma gigi terjadi pada anaknya. Rendahnya persentase anak yang mendapat perawatan ini mungkin berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi orangtua dan tidak adanya waktu orangtua untuk mengunjungi dokter

  1 gigi karena sibuk bekerja.

2.2 Klasifikasi Trauma Gigi

  Trauma gigi memiliki beberapa klasifikasi, salah satu diantaranya adalah klasifikasi WHO. WHO mengklasifikasikan trauma gigi menjadi 4 garis besar yang meliputi kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa; kerusakan pada tulang pendukung; kerusakan pada jaringan periodontal; serta kerusakan pada gingiva atau

  5 jaringan lunak rongga mulut.

  2.2.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa terdiri dari :

  a. Retak mahkota (enamel infraction) adalah fraktur tidak sempurna (retak) pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi.

  b. Fraktur enamel yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) adalah fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

  c. Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture) adalah fraktur yang hanya mengenai lapisan enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

  d. Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture) adalah fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin dan melibatkan pulpa.

  e. Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture) adalah fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan sementum tetapi tidak melibatkan pulpa.

  f. Fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root fracture) adalah fraktur yang melibatkan enamel, dentin, sementum, dan melibatkan pulpa. g. Fraktur akar (root fracture) adalah fraktur yang melibatkan dentin,

  5 sementum, dan pulpa.

  Infraksi Fraktur enamel Fraktur enamel- Fraktur enamel,dentin, dentin pulpa Fraktur mahkota akar yang Fraktur akar Fraktur mahkota akar kompleks tidak kompleks

  16 Gambar 1. Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

2.2.2 Kerusakan pada Tulang Pendukung

  Kerusakan pada tulang pendukung terdiri dari :

  a. Kominusi soket alveolar rahang atas adalah adanya benturan dan tekanan terhadap soket alveolar rahang atas bersamaan dengan adanya intrusif dan lateral luksasi.

  b. Kominusi soket alveolar rahang bawah adalah adanya benturan dan tekanan terhadap soket alveolar rahang bawah bersamaan dengan adanya intrusif dan lateral luksasi.

  c. Fraktur dinding soket alveolar rahang atas adalah fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket rahang atas.

  d. Fraktur dinding soket alveolar rahang bawah adalah fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket rahang bawah.

  e. Fraktur prosesus alveolaris rahang atas adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi. f. Fraktur prosesus alveolaris rahang bawah adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi.

  g. Fraktur rahang atas adalah fraktur yang melibatkan dasar rahang atas dan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  h. Fraktur rahang bawah adalah fraktur yang melibatkan dasar rahang bawah dan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  5

2.2.3 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada jaringan periodontal terdiri dari:

  a. Konkusio adalah trauma mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi.

  b. Subluksasi adalah kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.

  c. Luksasi lateral merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

  d. Luksasi ekstrusi adalah pelepasan sebagian gigi keluar dari soketnya.

  e. Luksasi intrusi adalah pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar.

  f. Avulsi adalah keluarnya gigi dari soketnya.

  5 Konkusi Subluksasi Ekstrusi Luksasi Lateral Intrusi Avulsi

  16 Gambar 2. Kerusakan pada Jaringan Periodontal

2.2.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri dari 3 bagian yaitu: a. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam.

  b. Kontusio adalah luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

  c. Luka abrasi adalah luka pada daerah gingiva yang disebabkan karena

  5 gesekan atau goresan suatu benda terhadap permukaan mukosa.

2.3 Riwayat, Pemeriksaan Klinis dan Diagnosis

  Pemeriksaan pasien yang mengalami trauma terdiri dari pemeriksaan darurat dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan darurat meliputi pengumpulan data vital terdiri dari usia pasien, bagaimana dan dimana terjadinya serta kapan terjadinya trauma. Pasien juga ditanyakan apakah terjadi muntah, pasien menjadi tidak sadar, atau sakit kepala serta amnesia setelah mengalami trauma, apabila ini terjadi, pemeriksaan lebih lanjut pada bagian neurologi. Pemeriksaan lanjutan meliputi pemeriksaan kembali klinis lengkap yang terdiri dari pemeriksaan ekstra oral dan

  5 intra oral serta dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiografi.

  Dalam menegakkan diagnosis yang tepat diperlukan langkah-langkah pemeriksaan yang akan memberikan informasi penting dan dapat dijadikan pedoman bagi dokter gigi dalam menentukan rencana perawatan. Informasi mengenai trauma sangat penting ditanyakan. Pertanyaan dapat berupa kapan terjadinya, dimana terjadinya, bagaimana trauma bisa terjadi, trauma sebelumnya yang pernah mengenai

  28 gigi, perubahan gigitan (oklusi) dan peningkatan sensitivitas terhadap temperatur.

  Riwayat medis juga harus ditanyakan karena dapat mempengaruhi pilihan perawatan

  24 yang akan diberikan.

  Pemeriksaan klinis dimulai dengan mengevaluasi luka pada jaringan lunak, termasuk pemeriksaan fragmen gigi di dalam mulut, apakah jaringan lunak memiliki luka sobek, memar, maupun pembengkakan, kemudian gigi di periksa apakah mengalami fraktur atau infraksi. Pada pemeriksaan klinis, jika fraktur mahkota terjadi, dicatat apabila bagian pulpa terpapar, luas daerah yang terpapar dan status dari sirkulasi daerah pulpa, jika terjadi perpindahan gigi, catat apakah termasuk

  28 lateral atau axial, intrusif dan ekstrusif.

  Tes mobiliti, tes perkusi dan tes sensitivitas pulpa juga sangat penting dilakukan dalam mendiagnosis trauma gigi. Tes mobiliti dilakukan untuk melihat apakah kegoyangan hanya terjadi pada satu gigi atau pada beberapa gigi. Derajat kegoyangan gigi juga harus dicatat. Tipe trauma luksasi akan berhubungan dengan derajat kegoyangan gigi. Tes perkusi dilakukan untuk mengindikasikan adanya kerusakan pada ligamen periodontal dengan melakukan tekanan atau sentuhan pada gigi dan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara gigi dan tulang yang berdekatan. Tes sensitivitas pulpa dilakukan untuk memeriksa dan melihat ketersediaan neurovaskular pada pulpa dari gigi yang mengalami trauma yang dapat

  28 dilakukan dengan menggunakan alat tes pulpa elektrik (electric pulp test).

  Pemeriksaan radiografi juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perluasan dari trauma yang mengenai mahkota gigi, ukuran pulpa, jarak dengan garis fraktur, kelainan pada jaringan pendukung, perpindahan gigi dari soketnya, posisi dari benih gigi permanen, tahap perkembangan akar gigi dan sebagai dasar untuk kunjungan berikutnya. Radiografi yang dilakukan dalam beberapa angulasi berbeda akan memiliki informasi yang lebih dipercaya tentang perubahan dalam kompleks dentoalveolar. Radiografi juga digunakan untuk memperlihatkan adanya benda asing

  3,24,28 yang tertanam di dalam luka jaringan lunak.

  Evaluasi pada trauma gigi diperlukan untuk memanajemen trauma gigi termasuk melanjutkan kontrol untuk menentukan diagnosa, menilai respon terhadap perawatan, menentukan kebutuhan perawatan tambahan atau perubahan pengobatan,

  28 dan evaluasi.

  Pemeriksaan terhadap trauma gigi harus dilakukan dengan teliti, mulai dari riwayat trauma, riwayat medis, dan pemeriksaan radiografi, sehingga dokter gigi dapat memutuskan diagnosis dan rencana perawatan. Perawatan tergantung apakah

  29 akar gigi telah terbentuk sempurna atau belum terbentuk secara sempurna.

2.4 Penanganan Darurat dan Perawatan Trauma

  Trauma gigi juga dapat menyebabkan rasa sakit, kehilangan fungsi, berpengaruh terhadap perkembangan oklusi dan estetik, selain itu trauma gigi dapat berpengaruh terhadap keadaan emosional dan psikologis. Rencana perawatan merupakan hal yang sangat penting karena trauma gigi dapat menyebabkan masalah

  22,25 serius pada masa pertumbuhan gigi permanen.

2.4.1 Penanganan Darurat Trauma

  Pengumpulan riwayat trauma perlu ditunda dulu bila pasien memerlukan berbagai pertolongan pertama. Pastikan dan pertahankan jalan udara untuk pernapasan pasien, singkirkan semua benda asing yang menghambat dari rongga mulut pasien. Hentikan semua perdarahan yang terjadi akibat trauma dan pastikan pasien selalu dalam keadaan sadar. Dalam semua kasus trauma dimana ada kemungkinan terjadi luka di seluruh tubuh pasien, panggil ambulans untuk membawa pasien ke bagian gawat darurat terdekat. Selalu rujuk pasien untuk pemeriksaan

  30 medis bila tidak dijumpai kelainan pada rongga mulutnya.

  Prognosis dari gigi yang terkena trauma tergantung pada kecepatan penanganan. Andreasen dkk mengelompokkan trauma gigi berdasarkan tingkat kedaruratan perawatan meliputi : 1) Akut yaitu perawatan dilakukan dalam waktu tiga jam. 2) Subakut yaitu perawatan dilakukan dalam waktu 24 jam. 3) Perawatan

  31 tertunda yaitu perawatan dilakukan melebihi 24 jam.

2.4.2 Perawatan Trauma

  Perawatan trauma gigi pada masa gigi sulung berbeda dengan perawatan pada masa gigi permanen. Perawatan trauma pada masa gigi sulung akan lebih sulit

  32 dilakukan karena anak-anak cenderung tidak kooperatif.

  Luka sobek pada jaringan lunak dapat dibersihkan dengan menggunakan larutan saline dan kapas steril, kemudian periksa debris dan fragmen gigi, ini sangat

  24

  penting dilakukan sebelum melakukan anastesi pada jaringan lunak. Trauma yang terjadi di tempat yang kotor atau kemungkinan banyak bakteri dan mengakibatkan keadaan klinis kemerahan, pembengkakan pada gingiva, maka perlu diberikan ATS

  3 (Anti Tetanus Serum).

  Fraktur mahkota yang tidak kompleks (fraktur enamel) dapat dirawat dengan menghaluskan permukaan yang tajam, jika bagian dentin terpapar, dapat dilakukan restorasi dengan menggunakan resin komposit ataupun semen ionomer kaca. Pada fraktur mahkota yang kompleks, pulpotomi atau pulpektomi dan perawatan restoratif merupakan indikasi, akan tetapi jika anak tidak kooperatif, ekstraksi terhadap gigi sulung yang mengalami trauma dapat dilakukan. Manajemen fraktur akar pada gigi sulung tergantung pada posisi fraktur dan tingkat pergeseran bagian koronal, jika fragmen koronal berpindah dan mobiliti, maka gigi harus diekstraksi dan fragmen bagian apikal ditinggalkan agar diresorbsi segera. Trauma luksasi pada gigi sulung, khususnya intrusi dapat berdampak pada benih gigi permanen. Keadaan ini akan lebih permanen belum sempurna. Pada gigi yang mengalami sedikit ekstrusi atau luksasi lateral tanpa gangguan oklusal, gigi dapat ditinggalkan agar dapat bereposisi dengan sendirinya. Pada trauma luksasi intrusi, perawatan tergantung pada arah perpindahan gigi, jika terjadi ke arah palatal dan mendekati perkembangan benih gigi permanen, sebaiknya dilakukan ekstraksi pada gigi sulung akan tetapi jika perpindahan terjadi ke arah bukal menjauhi perkembangan benih gigi permanen, ini dapat dibiarkan agar gigi dapat erupsi dengan sendirinya. Konkusi dan subluksasi tidak memerlukan suatu perawatan aktif, penyelarasan oklusal dapat dilakukan untuk meminimalkan ketidaknyamanan saat gigi berkontak. Observasi terhadap gigi yang mengalami trauma disarankan untuk menghindari kemungkinan terjadinya nekrosis pulpa. Pada gigi sulung yang mengalami avulsi, replantasi gigi sebaiknya tidak dilakukan untuk mencegah kerusakan benih gigi permanen, selanjutnya jaringan lunak pada bagian gigi yang avulsi di observasi untuk melihat penyembuhan dan kemungkinan

  32,33 kehilangan ruang gigi.

  Orangtua di Amerika Serikat memilih 3 pilihan tempat perawatan saat berhadapan dengan trauma gigi anaknya yaitu praktek dokter, praktek dokter gigi,

  31

  dan rumah sakit. Pengenalan orangtua tentang trauma gigi dan pengetahuan mengenai gejala pasca-trauma dapat mengarahkan orangtua untuk mencari perawatan, dengan demikian dapat mencegah terjadinya komplikasi pada gigi sulung

  6 dan benih gigi pengganti.

2.5 Pencegahan Trauma

  Trauma gigi tidak mungkin dapat dicegah secara sempurna, kondisi ini karena pada masa anak-anak terjadi peningkatan aktivitas fisik dan memiliki perkembangan

  34

  koordinasi motorik yang kurang baik. Kegiatan anak khususnya olahraga sering mengakibatkan trauma pada gigi sulung. Anak-anak dan orang dewasa yang melakukan olahraga cenderung meningkatkan risiko trauma pada giginya, akan tetapi pencegahan trauma gigi dapat dilakukan dengan menggunakan mouth guards pada

  32

  saat olahraga. Sejak tahun 1962, di Amerika telah diwajibkan untuk memakai mouth praktek dokter gigi dengan melakukan pencetakan pada bagian rahang atas pasien dan

  33 juga dapat dibeli di toko olahraga.

  Helm dan tali pengaman pada kendaraan juga dapat mengurangi resiko terjadinya trauma gigi. Penggunaan helm pada saat bersepeda dapat mengurangi

  

23

  kejadian trauma hingga lebih dari 60%. Strategi promosi kesehatan juga perlu ditingkatkan untuk membantu orangtua dalam pengenalan kesehatan gigi dan mulut anak mereka dan memberi kepekaan terhadap kebutuhan akan pelayanan kesehatan

  36 gigi dan mulut.

2.6 Kerangka Teori

   Mengurangi

  Trauma Gigi Sulung Anterior Anak

  Prevalensi Etiologi Klasifikasi Trauma Menurut WHO

  Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

  Kerusakan pada Tulang Pendukung

  Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  Riwayat, pemeriksaan klinis dan diagnosis Pencegahan Penanganan Darurat dan

  Perawatan

2.7 Kerangka Konsep

  • Jenis Kelamin • Usia Kejadian Trauma • Elemen gigi
  • Prevalensi trauma gigi sulung anterior
  • Distribusi frekuensi :

   Anak Usia 1-4 Tahun Faktor risikonya :

   Etiologi terjadinya trauma

   Lokasi kejadian trauma

   Klasifikasi WHO yang diperiksa secara klinis

   Tindakan orang tua

Dokumen yang terkait

Usulan Perbaikan Pelayanan RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Integrasi Fuzzy Servqual dan Quality Function Deployment (QFD)

0 0 15

Sosial Ekonomi Keluarga dan Hubungannya dengan Kenakalan Remaja di Desa Lantasan Baru Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang

0 2 23

Sosial Ekonomi Keluarga dan Hubungannya dengan Kenakalan Remaja di Desa Lantasan Baru Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

Sosial Ekonomi Keluarga dan Hubungannya dengan Kenakalan Remaja di Desa Lantasan Baru Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efektivitas Antialergi Ekstrak Etanol Daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss.) pada Mencit yang Diinduksi dengan Ovalbumin

0 0 15

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi - Perancangan Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Web Pada SMA Negeri 1 Pangkalan Susu

1 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kesiapan - Kesiapan Ibu Primipara Menerima Bayi Baru lahir di Klinik Niar Medan Tahun 2012

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Menarche 1. Pengertian - Hubungan Obesitas terhadap Usia Menarche pada Siswi Kelas VII di SMP Negeri 1 Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persalinan - Pengaruh Metode Akupresur Terhadap Nyeri Persalinan pada Ibu Inpartu Kala I Fase Aktif di Klinik Bersalin Rita Fadillah Medan

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja - Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi Tahun 2012

0 0 15