BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana

  diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33 Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa, sehingga dianggap perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

   Keuangan negara merupakan urat nadi negara. Tanpa keuangan negara

  tidak mungkin seluruh alat perlengkapan negara yang mewakili negara sebagai badan hukum publik melaksanakan fungsinya. Lahirnya Undang-Undang Nomor

  17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sudah disetujui oleh DPR, patut disambut dengan gembira, mengingat undang-undang tersebut tentu selain diharapkan dapat mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dengan baik akan dapat pula mengakhiri silang pendapat penafsiran arti keuangan negara yang telah berlangsung lama dan berlarut-larut itu.

  Surat Menteri Keuangan Nomor S-192/MK.07/1980 Perihal Pengertian Keuangan Negara yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia tertanggal 29 Februari 1980, yang intinya meminta penjelasan mengenai pengertian keuangan negara, hingga kini tidak pernah terjawab. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya merumuskan pengertian keuangan negara dan selama kurun waktu kemerdekaan ini, UUD 1945 tidak memberi ruang yang cukup bagi menjawab para penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya di bidang keuangan. Ditambah karena batasan keuangan negara berasal dari APBN, meskipun pengelola keuangan bersumber dari Negara atau daerah, tidak saja dilakukan oleh badan hukum publik negara dan daerah atau badan-badan hukum lainnya yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya masing-

  1 masing badan hukum pasti berbeda.

  Demikian pula halnya dengan keuangan Perum dan Persero, yang ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya diatur tersendiri dengan menggunakan system pembukuan yang berbeda pula. Perlu dicari jalan keluar yang dapat memberi arti yang lebih luas sehingga pengertian keuangan tidak saja meliputi keuangan yang bersumber pada APBN, APBD, tetapi itu pun akan meliputi juga pengertian keuangan perusahaan milik negara (BUMN) maupun milik daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu 1 pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. BUMN, swasta dan koperasi didalam menjalankan kegiatan usahanya menunjukkan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.

  BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat dalam rangka perekonomian nasional. Peran BUMN dirasakan sangat penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan, baik dalam bentuk berbagai pajak, dividen, maupun hasil privatisasi.

  Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, keuangan, pertambangan, pos dan komunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

  BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pegawasannya dalam mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan dengan prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

  Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, dan memperhatikan amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, maka dipandang perlu untuk membuat dan merancang suatu peraturan perundang-undangan baru untuk mengatur BUMN secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha serta keadaan perekonomian. Peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan agar BUMN dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan dengan lebih baik lagi dalam rangka untuk mencapai tujuannya. Pengalaman menunjukkan bahwa keterpurukan perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia disebabkan salah satunya adalah tidak bertahan lamanya perusahan-perusahan di negara tersebut dalam siklus perekonomian dunia yang mana disebabkan oleh rendahnya kualitas pengaturan dan pengawasan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga, keberadaan BUMN di dalam sistem perekonomian nasional mendapat tempat dan peran khusus dikarenakan ekspetasi tinggi yang dibebankan kepada BUMN tersebut. Terkait dengan kondisi demikian, maka BUMN di dalam pengurusan dan pengawasannya pun dituntut lebih maksimal, dikarenakan kedudukan BUMN yang terbilang cukup istimewa di dalam sistem perekonomian nasional, misalnya asal modal BUMN yang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, serta sektor-sektor yang dikuasai BUMN umumnya sektor-sektor yang menguasai hajat

  2 hidup orang banyak.

  Dalam menjalankan fungsinya, BUMN memiliki organ-organ BUMN seperti direksi, komisaris, dan sebagainya. Organ-organ BUMN tersebut di dalam

  2 menjalankan tugas dan wewenangnya juga disertai tanggung jawab serta akibat dari lalainya tanggung jawab tersebut.

  BUMN di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mana salah satu dari tujuannya adalah mengejar keuntungan, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN juga akan melakukan kegiatan perekonomian yang mana akan terdapat resiko untung-rugi dalam setiap tindakan yang dilakukan BUMN tersebut. Apakah ketika BUMN ikut dalam kegiatan perekonomian dan menderita kerugian yang termasuk dalam resiko bisnis maka negara juga akan menderita kerugian, mengingat modal BUMN yang seluruh atau sebagian besarnya berasal dari keuangan/kekayaan negara? Hal tersebut dapat kita lihat dari peristiwa PT. Merpati Airlines yang saham/modalnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah berhenti beroperasi dikarenakan menderita kerugian dan terlibat hutang hingga triliunan rupiah. Pada kasus ini, apakah pemerintah dapat dikatakan menderita kerugian?

  Sama seperti badan usaha lainnya, untuk mencapai hasil yang maksimal maka hal itu tergantung kepada pengurusan BUMN oleh organ-organnya tersebut.

  Apakah organ-organ pengurus BUMN seperti komisaris, dewan pengawas, maupun direksi dapat dimintai pertanggungjawaban ketika BUMN menderita kerugian? Tanggung jawab seperti apa yang dapat diminta terkait kerugian yang timbul tersebut? Apakah secara gugatan perdata? Atau bahkan tuntutan pidana?

  Dari sisi hukum pidana, hal ini menjadi pembahasan dikarenakan pada BUMN tersebut terdapat unsur keuangan negara, sehingga banyak kalangan yang berpendapat ketika terjadi kerugian pada BUMN maka akan dapat diterapkan delik pidana korupsi dengan melihat unsur kerugian negara pada BUMN tersebut.

  Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

  “ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI”

  B. PERUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain: 1.

  Bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN (Persero)? 2. Bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN

  (Persero)? 3. Bagaimana menentukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi?

  C. TUJUAN PENULISAN

  Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain :

  1. Untuk mengetahui kedudukan dari keuangan negara dalam BUMN (Persero) 2. Untuk mengetahui cara menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN (Persero)

  3. Untuk mengetahui kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi.

D. MANFAAT PENULISAN 1.

  Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero) sehingga kedudukan direksinya dapat diketahui ketika terjadi delik pidana seperti delik korupsi.

  Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi pada BUMN (Persero), baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.

  2. Secara praktis, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat berupa informasi hukum kepada semua kalangan, terutama kepada penegak hukum dalam kaitan menanggulangi korupsi di BUMN (Persero), serta memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi pada aset-aset negara khususnya dalam lingkungan BUMN (Persero).

  E. KEASLIAN PENULISAN

  Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi berjudul “ANALISIS

  KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

  ”, terlebih dahulu penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 22 Januari 2015 (terlampir) menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

  Penulisan skripsi ini berisi tentang analisis kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun tinjauan kepustakaan tentang Skripsi ini adalah :

1. Direksi

  Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di

  3

  dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan peraturan perundang- undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efesiensi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban, serta

  4 kewajaran.

  Pengertian direksi pada Undang-Undang BUMN tersebut sejalan dengan pengertian direksi pada Undang-Undang PT, yaitu bahwa Direksi adalah organ perseoan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar

  5 pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

  Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagaai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian, yaitu :

  1) 3 Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi; dan

  Lihat Pasal 1 angka (9), Undang-Undang Nomor 19 TTahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 4 Lihat Pasal 5 ayat (3), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 5

2) Perjanjian kerja/ perburuhan, di sisi yang lain.

  Dan karena itu pelaksanaannya harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal 1601 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberatkan pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian

  6 perburuhan.

  Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi tersebut diatas; direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Di sinilah sifat pertanggung jawaban renteng dan pertanghung jawaban pribadi direksi menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas

  7 “kuasa” dan “perintah” perseroan, untuk kepentingan perseroan.

  Cara pengangkatan dan pemberhentian direksi pada BUMN (Persero) adalah: 6 Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta, PT

  1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi BUMN (Persero) dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

  2) Dalam hal Menteri Keuangan bertindak sebagai RUPS pengangkatan Direksi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

  3) Direksi BUMN (Persero) diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan BUMN (Persero).

  4) Dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi tersebut, RUPS meminta kepada komisaris atau pihak lain yang dipandang perlu.

  Pendapat komisaris dibutuhkan mengingat tugas komisaris adalah mengawasi kebijakan direksi dalam mengelola BUMN (Persero) serta memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga komisaris dalam hal ini sepatutnya mengetahui kinerja direksi dan kondisi BUMN (Persero) tersebut. Demikian pula RUPS bila perlu dapat meminta pendapat dari pihak lain yang dipandang perlu misalnya Menteri yang membawahi sektor/bidang dari BUMN (Persero) yang bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengangkatan anggota direksi pertama kali pada saat pendirian BUMN (Persero). 5)

  Jumlah anggota Direksi BUMN (Persero) disesuaikan dengan kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai Direktur Utama.

  6) Masa jabatan Direksi BUMN (Persero) adalah 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat kembali. Anggota direksi yang telah menyelesaikan masa kerjanya dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali

  8 berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya.

  Direksi dalam melaksanakan tugasnya wajib mencurahkan tenaga, pikiran dan perhatian secara penuh waktu pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN (Persero). Berkenaan dengan hal tersebut maka hal-hal yang merupakan tugas dan kewajiban direksi antara lain yaitu:

  1) Direksi wajib menyiapkan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan BUMN (Persero) yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut.

  2) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang tersebut.

  3) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan Anggaran

  Perusahaan kepada RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum memasuki tahun Anggaran Perusahaan.

  4) Direksi wajib menyerahkan perhitungan tahunan BUMN (Persero) kepada Akuntan Publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan

  9 Pembangunan (BPKP) sebagaimana ditetapkan oleh RUPS.

  8

2. BUMN (Persero)

  Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang

  10

  dipisahkan . Terhadap pendirian BUMN, menurut pasal 2 Undang-Undang

  11 Nomor 19 Tahun 2003, ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN, yaitu:

  1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.

  2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan BUMN

  (Persero) adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, BUMN (Persero) dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

  10 Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 11

  3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

  4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara finansial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

  5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonoi lemah, koperasi, dan masyarakat

  Kemudian sesuai dengan Undang-Undang BUMN, BUMN itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu PERUM (Perusahaan Umum) dan PERSERO.

  PERSERO adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bertujuan mengejar keuntungan, sedangkan PERUM adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

  12 pengelolaan perusahaan.

  Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, dalam pendiriannya harus memenuhi kriteria, antara lain sebagai berikut: 1)

  Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang banyak.

  2) tidak hanya untuk mengejar keuntungan Didirikan (costeffectiveness).

  3) Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).

  Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri dapat dilakukan atas inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri teknis atau dari

  13 Menteri Keuangan sepanjang memenuhi kriteria diatas.

  Terhadap BUMN (Persero) yang selanjutnya disebut Persero, maksud dan tujuannya menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sedikit bergeser atau berubah dari maksud dan tujuannya pada saat berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang 12 Lihat Pasal 1 angka (2) dan (4), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 13 Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan Persero adalah menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan yang pertama di atas. Disini tampak jelas bahwa Persero pada awal-awal pendiriannya dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, tetapi kemudian dengan perkembangan yang terjadi dan sesuai dengan prinsip yang dianutnya yang berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang BUMN yang mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku ketentuan dan prinsp-prinsip Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan yang mengatur nya), maka maksud dan tujuan itu bergeser searah dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas, yaitu mengejar keuntungan

  

14

guna meningkatkan nilai perusahaan.

3. Tindak Pidana

  Hukum pidana Belanda memakai istilah starfbaar fiet, kadang-kadang juga memakai delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau crimnal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wvs Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu stafbaar feit. Timbullah masalah dalam menerjemahkan istlah starfbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak menerjemahkan stafbaar feit itu. Utrecht, menyalin istilah

  strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan

  istilah feit secara harafiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, UUD sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa

  15 pidana.

  Menurut Moeljatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Larangan dan ancaman pidana memiliki hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Menurut Moeljatno, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagimana halnya dalam Pasal 14 ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”.

  Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk

  16 kepada suatu kejadian yang tertentu saja, msialnya matinya orang.

  Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “Tindak Pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam perundang- undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tetapi ”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peris tiwa dengan perbedaan bahwa “tindak” adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dengan tidak-tanduk, tindakan dan bertindak belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contohnya UU Nomor 7 Tahun

  17 1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127,129, dan lain lain).

  Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (starfbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda. 16 Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu

  18 tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.

  Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan di dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian kejahatan dalam Kriminologi adalah sama luasnya dengan

  19 kejahatan dalam hukum pidana.

4. Korupsi

  Korupsi berasal dari kata latin Corruptus dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, mengeroyok, kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut Corruption, dan dalam 18 Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 64, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hal 74-75. 19

  20

  bahasa Belanda disebut Korruptie. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang

  negara, atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau

  21 orang lain”.

22 Mahzar (2003), mengatakan istilah korupsi secara umum sebagai

  berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan, bahwa dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan yang dilakukan oleh sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi”. Mahzar pun mencatat beberapa defenisi korupsi yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Gagasan yang diambilnya dari Philip (1997) ini, menyebutkan defenisi korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefenisikan sebagai tingkah laku dan tidakan seorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti 20 A. Hamzah, Korupsi: Dalam Proyek Pembangunan. (Jakata: Akademika Pressindo,

  1985), hal 2-3, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 32. 21 Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, seperti dikutip oleh Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahannya (rev.ed;Jakarta: Sapdodadi, 2004 ), hal 5. 22 Asyumardi Mahzar, Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan Yang Lebih

  Baik; Makalah Seminar Internasional, Praktik-praktik yang Baik dalam Memerangi Korupsi di keluarga, kerabat karib, dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered).

  Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi, jika seorang pemegang kekuasaaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Berdasarkan kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu- individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang

  23 selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya. Sementara itu, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan defenisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

  24 Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri

  korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan ciri dari korupsi, yaitu:

  1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

  2) Korupsi pada umumnya melibatkan serba-kerahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dena begitu mendalam mengakar,sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

  3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keutungan timbak balik;

  4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;

24 N. Kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus-Kasus Gerakan

  Sosial di Indonesia (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal 12 dan The World Bank, memerangi

  5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

  6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

  7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pngkhianatan kepercayaan;

  8) Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu;

  9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

  25 pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

  Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu

  26

  beliau meberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu :

  a) Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; contohnya, seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.

  b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud 25 mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan

  Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12-14 seperti dikutip oleh Elwi Danil, Korupsi Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal 7-8. 26 regulasi tertentu. Contohnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi dikarenakan waktu mendesak (karena turunya anggaran terlambat) sehingga proses tender tidak bisa dilakukan, umumnya biasa digunakan istilah “keadaan darurat” atau “force majeur”, sehingga proses lelang atau tender dapat dikesampingkan. Bahkan dalam beberapa kasus letak “Illegal

  corruption

  ” berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.

  c) Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan. Contohnya, dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan itu dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang itu sudah termasuk ke dalam kategori “Mercenery corruption”. Bentuk “sogok” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk lain.

  d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi Illegal maupun

discretionary yang dimaksudan untuk mengejar tujuan kelompok.

  Kasus skandal Watergate adalah contoh “Ideological corruption”, dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada Undang-Undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari korupsi jenis ini.

G. METODE PENELITIAN

  Di dalam penulisan dan penelitian skripsi ini diperlukan adanya metode penelitian dengan maksud agar penulisan dan penelitian skripsi ini dapat tertata secara sistematis dan ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini, mtode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

  Penulis menggunakan penelitian dengan pendekatan hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Adapun peneltian hukum normatif dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

  27

a) Menarik Azas-Azas Hukum.

  Apabila peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas- azas hukum (rechtsbeginselen), maka hal itu dapat saja dilakukannya terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.

  Azas-azas hukum tersebut sebenarnya merupakan kecenderungan- kecenderungan, yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis.

  Secara logis, maka pertama-tama azas-azas hukum tersebut harus ada pada pengambilan keputusan secara konkrit; akan tetapi di dalam kenyataannya, hal itu juga dapat ditelusuri pada hukum positif tertulis.

b) Menelaah Sistematika Perundang-undangan.

  Adakalanya seorang peneliti ingin melakukan penelitian terhadap sistematika perundang-undangan tertentu. Hal ini mungkin dapat dilakukan terhadapa peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan. Di sini peneliti tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari sudut penyusunannya secara teknis, akan tetapi yang ditelaahnya adalah pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Hasil-hasil penelitian semacam ini, akan mempermudah para penegak hukum di dalam melaksanakan peranannya secara sistematis dan konsisten.

  c) Penelitian Terhadap Taraf Sinkronisasi dari Peraturan Perundang- undangan.

  Penelitian semacam ini dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik tolak, yaitu taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horizontal.

  Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan menurut hierarkinya. yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundang- undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional, adalah konsisten.

  d) Perbandingan Hukum.

  Apabila ditelaah Black‟s Law Dictionary,maka di dalam kamus tersebut dinyatakan, bahwa perbandingan hukum adalah “the study of the

  

principles of legal science by the comparation of variuos systems of law

”.

  Di dalam perumusan tersebut ternyata ada suatu kecenderungan untuk mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode, oleh karena yang dimaksudkannya sebagai perbandingan adalah “proceeding

  by the method of comparation ; founded on comparation; estimated by comparation”.

  e) Sejarah Hukum.

  Seorang peneliti yang mempergunakan metode sejarah di dalam tinjauannya terhadap hukum, mempunyai kewajiban utama untuk menelaah hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, dari sudur sejarah. Dari hubungan-hubungan tersebut, seorang peneliti harus dapat menjelaskan perkembangan bidang-bidang hukum yang ditelitinya. Memang, salah satu kegunaan dari penggunaan metode sejarah adalah, untuk dapat mengungkapkan fakta hukum pada masa lampau, dalam hubungannya dengan fakta hukum pada masa kini.

  Kecuali dari itu, maka sejarah hukum akan dapat memberikan. dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Hukum masa kini, merupakan hasil perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia pada masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum pada masa-masa mendatang.

  Dengan demikian tujuan dari penulis melakukan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban dan memecahkan masalah hukum tertentu in concreto yang mana masalah yang hendak dibahas dan dipecahkan adalah terkait dengan kedudukan Direksi BUMN (Persero) terkait tindak pidana Korupsi.

2. Data dan Sumber Data

  Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber data yang diperoleh secara tidak langsung, misalnya dari buku. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : a)

  Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu: i.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ii. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha

  Milik Negara (BUMN) iii. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

  Terbatas iv. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

  Negara v.

  Undang-Undang Nomor 31 tahun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.

  b) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu:

  Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

  c) Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu:

  Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

  3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.

  4. Analisis Data

  Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya

  28

  . Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan : a)

  Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

  b) Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

  c) Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

  d) Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

  Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN.

  Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II : KEDUDUKAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (PERSERO). Pada Bagian pertama pada bab ini akan membahas mengenai kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero), dan pada bagian kedua akan membahas mengenai kedudukan keuangan negara dalam keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi.

  BAB III : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (PERSERO). Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas mengenai pelaksanaan evaluasi internal dalam BUMN (Persero) untuk mengetahui kerugian keuangan dalam BUMN (Persero) dan pada bagian kedua akan membahas mengenai kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan audit/pemeriksaan terhadap BUMN (Persero).

  BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN (PERSERO) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara perdata di dalam tindak pidana korupsi dan pada bagian kedua akan membahas kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara pidana dalam tindak pidana korupsi.

  BAB V : PENUTUP. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari bagian awal hingga akhir dari skripsi ini yang merupakan ringkasan substansi penulisan skripsi ini dan saran-saran yang dikemukakan penulis terkait dengan masalah yang dibahas.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Investigasi Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Delay: Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Agency - Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 1 13

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari

0 2 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Strategi Komunikasi Pemasaran dan Keputusan Pelanggan Menginap (Studi Deskriptif tentang Strategi Komunikasi Pemasaran terhadap Keputusan Pelanggan menginap di Hotel Grand Aston City Hall Medan)

0 3 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Merek 2.1.1 Pengertian Merek - Pengaruh Ketidakpuasan Konsumen Dan Kebutuhan Mencari Variasi Terhadap Keputusan Perpindahan Merek Dari Smartphone Blackberry Pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Uni

0 0 15

BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Ketidakpuasan Konsumen Dan Kebutuhan Mencari Variasi Terhadap Keputusan Perpindahan Merek Dari Smartphone Blackberry Pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera

0 0 9

BAB II PENGATURAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (Persero) A. UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BUMN. - Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 20