BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) di Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investasi asing. Penerimaan investasi dalam negeri maupun investasi asing merupakan salah satu pos penerimaan negara yang memberikan kontribusi cukup potensial dalam hal pembiayaan anggaran dan belanja negara. Laju pertumbuhan perekonomian yang didasarkan pada alur investasi positif menggambarkan gerak pacu positif dengan dukungan beberapa faktor penunjang lainnya. Pertumbuhan ekonomi dan hubungannya dengan keberlanjutan pembangunan diketahui bahwa peningkatan output sektor-sektor ekonomi riil dapat dibentuk melalui mekanisme pertambahan kapasitas produksi.

  Dalam suatu pembangunan sudah pasti diharapkan terjadinya pertumbuhan. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sarana dan prasarana, terutama dukungan dana yang memadai. Disinilah peran serta investasi mempunyai cakupan yang cukup penting karena sesuai dengan fungsinya sebagai penyokong pembangunan dan pertumbuhan nasional, melalui pos penerimaan negara sedangkan tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan

  1 nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Alur Investasi merupakan pembentukan modal yang mendukung peran swasta dalam perekonomian yang berasal dari dalam negeri. Harrod Domar menyatakan, dalam mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan investasi baru sebagai stok modal seperti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dengan adanya semakin banyak tabungan yang kemudian diinvestasikan, maka semakin cepat terjadi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi secara riil, tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada setiap tabungan dan investasi tergantung dari tingkat produktivitas investasi tersebut (Todaro, 2006).

  PMDN dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang produksi, untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian yang berasal dari investasi dalam negeri. Investasi menghimpun akumulasi modal dengan membangun sejumlah gedung dan peralatan yang berguna bagi kegiatan produktif, maka output potensial suatu bangsa akan bertambah dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang juga akan meningkat. Jelas dengan demikian bahwa investasi khususnya PMDN memainkan peranan penting dalam menentukan jumlah output dan pendapatan. Kekuatan ekonomi utama yang menentukan investasi adalah hasil biaya investasi yang ditentukan oleh kebijakan tingkat bunga dan pajak, serta harapan mengenai masa depan (Samuelson dan Nordhaus, 2003).

  Investasi dunia usaha di Daerah selama ini lebih banyak didominasi oleh pengusaha kuat, sedangkan pengusaha lemah yang umumnya pengusaha lokal lebih banyak terpinggirkan. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya yaitu; regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, keterbatasan kapasitas pengusaha lokal, jaringan yang kuat dari pengusaha nasional, dan sebagainya. Sejalan dengan kewenangan Daerah berdasarkan kebijakan Otonomi Daerah, maka pemerintah daerah juga berkewajiban untuk membina dan mengembangkan dunia usaha daerah sebagai pilar pertumbuhan perekonomian di daerah. Untuk itu langkah utama yang harus dilakukan adalah pemberdayaan investasi daerah. Pemberdayaan investasi daerah adalah suatu upaya harus dilakukan secara sistematis untuk mendorong peningkatan investasi di daerah.

  Peningkatan investasi daerah akan dapat terwujud jika di daerah terdapat potensi yang dapat “dijual” kepada para investor, baik itu berupa potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Selanjutnya hal yang sangat penting lagi adalah kemampuan daerah menjual potensi yang dimilikinya tersebut.

  Kemampuan daerah untuk menjual tersebut harus didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif dan mendukung investasi di daerah seperti adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi investasi di daerah. Pemerintah daerah hendaknya juga mampu melahirkan regulasi yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian yang mampu merebut investor PMA dan PMDN sekaligus memberdayakan investor lokal. Keberhasilan Pemerintah Daerah mengelola faktor-faktor tersebut akan dapat mendorong peningkatan daya saing daerah dalam merebut investor. Kemudian dalam rangka menghadapi era globalisasi dan pasar bebas, persaingan antar daerah dalam menjual potensinya dan merebut investor akan semakin terbuka tidak hanya terhadap investor nasional tetapi juga internasional. Kesiapan daerah terutama SDM pengelola dan infrastuktur yang tersedia akan sangat mendukung dalam merebut para investor untuk bersedia menanamkan investasi. Persaingan antar daerah dalam merebut investor harus dikembangkan dalam suasana persaingan dan kompetisi yang positif dan sehat. Walau bagaimanapun pastilah suatu daerah tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu diharapkan setiap daerah dapat bekerjasama dan saling mendukung dalam merebut investor dengan menonjolkan potensi atau produk unggulan masing-masing. Sebagai contoh suatu daerah yang mempunyai potensi SDA dan SDM tentu saja membutuhkan infrastruktur seperti pelabuhan, bandar udara atau jalan raya untuk mengirim produknya keluar. Hal ini akan sangat berhubungan dengan daerah lain yang memiliki fasilitas tersebut. Tanpa adanya kerjasama antar daerah maka bukan tidak mungkin terjadi pengenaan retribusi atau pungutan yang berlebihan. Tentu saja kondisi ini akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor terhadap daerah.

  PMDN (Juta Rp) 1800000 1672463 1600000

  1400000 1200000 1000000 800000

  600000 441531 443599 490249 440249 519744 504056 532653 596055 400000 309781 339603 265674 200000 29118 39979 56057

  93

  94

  95

  96

  97

  98

  99

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7 Tahun

Gambar 1.1 Perkembangan PMDN

  Tahun 1993 s/d 2007 (Rp 000.000) Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka,2008 Berdasarkan Gambar 1.1 diketahui bahwa PMDN di Sumatera Utara banyak mengalami penurunan misalnya tahun 1994, tahun 1998 tahun 2002 dan tahun 2005. Kemudian tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 PMDN Sumatera Utara sangat kecil dibandingkan dengan tahun lainnya, hal tersebut sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Sumatera Utara tahun 1997. Penurunan PMDN juga sebagai sebuah masalah yang harus segera diketahui penyebabnya sehingga investasi dapat kembali meningkat. Masalah turunnya PMDN juga sangat dipengaruhi oleh variabel makro ekonomi lainnya seperti Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ekspor, jumlah tenaga kerja, belanja daerah, inflasi, tingkat bunga dan kurs mata uang asing. Perkembangan variabel makro ekonomi tersebut sangat mempengaruhi naik turunnya PMDN. Berikut perkembangan variabel yang mempengaruhi PMDN di Sumatera Utara :

  Nilai 12000 10000 8000 6000 4000 2000

  93

  94

  95

  96

  97

  98

  99

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7 ekspor Juta US$) TK (ribu jiwa) BD (milyar Rp) Tahun

  INF (%) SBI (%) Kurs (Rp/US$) UMP (ribu Rp) PMDN (milyar Rp)

  Gambar I.2 Perkembangan Ekspor, Tenaga Kerja, Belanja Daerah, Inflasi, Suku Bunga dan Kurs serta PMDN Tahun 1993-2007

  Nilai PDRB 100000 120000 (Milyar Rp) 40000 60000 80000 20000

  93

  94

  95

  96

  97

  98

  99

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7 Tahun pdrb (milyar Rp)

Gambar 1.3 Perkembangan PDRB Tahun 1993-2007

  Berdasarkan gambar 1.2 dan 1.3 diketahui bahwa investasi sangat dipengaruhi dengan kondisi ekonomi makro, dimana suku bunga yang tinggi cenderung akan menekan investasi, hal tersebut sesuai dengan Darjanto (2001) yang menyatakan usaha pemerintah dengan meningkatkan uang beredar (sehingga kurva LM bergeser ke kanan) ternyata kurang memberikan dampak optimal terhadap peningkatan income nasional. Ternyata uang beredar (M2) pada tahun 1999 meningkat sebesar 200% dibandingkan posisi tahun 1997 (sebelum krisis) inipun ternyata tidak mampu menahan lajunya suku bunga rupiah. Bahkan naiknya suku bunga rupiah justru memberikan tekanan pada dunia investasi, baik PMDN maupun PMA. Jelas disini ada korelasi negatip antara kenaikan suku bunga rupiah dengan rencana investasi. Naiknya jumlah uang beredar dan turunnya suku bunga juga akan meningkatkan inflasi.

  Inflasi yang menimbulkan akibat buruk pada masyarakat yang sebagian besar pelaku-pelaku kegiatan ekonomi dari pekerja-pekerja yang bergaji tetap dan kegiatan perekonomian secara keseluruhan itu yang perlu dihindari. Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan semakin memburuk sekiranya inflasi tidak bisa dikendalikan. Inflasi cenderung akan bertambah cepat apabila tidak bisa di atasi. Inflasi yang bertambah terus tersebut cenderung akan mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor, dan menaikkan impor. Kecenderungan ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1998).

  Kemudian dalam penelitian (Darjanto,2001) menyebutkan dengan adanya krisis moneter, dimana tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia negatip, khususnya tahun 1998 pertumbuhan antara -13,6% s/d -15% dan tahun 1999 pertumbuhan antara -2% s/d -5,1%, akan membuat industri yang ada tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang baru untuk menampung tambahan tambahan angkatan kerja. Ada beberapa faktor yang membuat industri mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Yang pertama, naiknya suku bunga pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Yang kedua, krisis keuangan yang diikuti dengan ketidak stabilan politik membuat kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia mencapai titik terendah, hal tersebut mendorong terjadilah kapital flight. Yang ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya, mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international, namun kenyataannya nilai ekspor Indonesia tidak mengalami peningkatan yang tajam. Akibat dari hal tersebut adalah kapital formation tidak terbentuk, bahkan cenderung negatip. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya. Oleh karena itu diperlukan dorongan pengeluaran

  (kebijakan fiskal) dari pemerintah daerah agar investasi dapat kembali meningkat. Di samping menciptakan dan mengumpulkan dana untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang semakin berkembang serta memelihara kestabilan ekonomi, maka kebijaksanaan fiskal juga memainkan peranan yang besar di dalam menciptakan iklim yang dapat merangsang dunia usaha agar lebih bergairah melaksanakan investasi dan mengembangkan usaha di bidang yang produktif. Kebijaksanaan perpajakan di samping meningkatkan penerimaan negara juga diarahkan untuk mendorong tabungan swasta, mendorong kegiatan investasi, dan mempengaruhi penentuan arah penggunaannya. Pengeluaran pemerintahpun diusahakan pula untuk memberikan pengaruh yang positif terhadap hal-hal tersebut.

  Rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah menyebabkan total pembentukan modal atau investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi pada 2007 berkurang. Jika pertumbuhan ekonomi tahun ini turun hingga 0,1 persen saja, dampak langsungnya adalah pada kemampuan penyerapan tenaga kerja. Itu berarti, sedikitnya 200.000 peluang kerja gagal tercipta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan III 2007, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menempati urutan terendah, yakni 0,5 persen. Itu artinya, kontribusi pemerintah masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan sektor konsumsi masyarakat, ekspor, dan investasi swasta dalam membentuk produk domestik bruto (PDB).

  (Basuki,2008).

  Dengan melemahnya tingkat penyerapan tenaga kerja, secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin rendah. Secara tidak langsung, lemahnya penyerapan tenaga kerja akan berdampak pada melemahnya tingkat konsumsi pemerintah. Jika melihat distribusi PDB berdasarkan penggunaannya, ekonomi negara dapat digerakkan oleh semua komponen PDB yaitu dari kontribusi konsumsi rumah tangga, pembentukan modal kerja tetap domestik bruto (investasi), pengeluaran pemerintah dan ekspor-impor. Pada tahun 2003, kontribusi komponen-komponen PDB paling besar terhadap ekonomi Indonesia yang tumbuh sebesar 4,10 % berasal dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Kontribusinya terhadap PDB tahun 2003 masing- masing sebesar 69,34% dan 9,16%. Kontribusi dari komponen lain, yaitu pembentukan modal tetap bruto (investasi) sebesar 19,72%, dan ekspor–impor barang/jasa sebesar 5,54% (Irawan,2007).

  Menurut Model Harrod-Domar peningkatan laju tabungan, peningkatan

  

the marginal product of capital , atau penurunan laju depresiasi akan

  meningkatkan laju pertumbuhan output. Akumulasi modal melalui investasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Model ini juga mempunyai implikasi bahwa untuk negara-negara berkembang, tanaga kerja merupakan sumber yang sangat berlimpah tetapi di sisi lain modal fisik tidak semelimpah tenaga kerja sehingga kemajuan ekonominya lebih lambat. Negara-negara berkembang tidak memiliki rata-rata pendapatan yang cukup untuk memungkinkan terjadinya peningkatan laju tabungan, oleh karenanya akumulasi stok modal melalui investasi menjadi rendah. (Irawan 2007).

  Ekspor dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa cara. Pertama, pengaruh langsung ekspor yaitu melalui tumpahan dinamis dengan perbaikan teknologi. Kedua, ekspor dapat membantu mengatasi kendala nilai tukar mata uang. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi sebuah negara untuk melakukan impor, termasuk impor barang modal. Ketiga, berdasarkan penelitian Levine dan Renelt (1992) dalam Alam (2003) diperoleh bukti bahwa perbandingan antara ekspor dengan PDB memiliki hubungan yang sangat kuat dengan perbandingan antara investasi dengan PDB. Terdapat hubungan tidak langsung antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi (PDB) melalui investasi.

  Menurut Thornton (1997), ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi salah satunya melalui peningkatan efisiensi karena terciptanya pasar yang semakin kompetitif. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Baharumshah dan Rashid (1999), menambahkan bahwa ekspor memberikan pengaruh positif terhadap produktifitas karena adanya alokasi sumber daya yang lebih baik pada sektor-sektor yang spesifik mempunyai keunggulan komparatif. (Irawan 2007). Menurut Khan dan Saqib (1993), ada beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi. Alasan- alasan tersebut adalah bahwa ekspansi ekspor memberikan kesempatan- kesempatan terkonsentasinya investasi pada sektor-sektor tertentu yang memiliki keunggulan komparatif. Adanya ekspansi ekspor mendorong terealisasinya skala ekonomi di sektor ekspor. Masih terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa ekspor akan membangkitkan adanya perbaikan teknologi sebagai upaya mengurangi inefisiensi sehingga sektor ekspor mampu bersaing di pasar luar negeri. Selain itu ekspansi ekspor akan mempertinggi kemampuan suatu negara untuk mengimpor lebih banyak modal, baik modal fisik maupun modal manusia, termasuk teknologi yang lebih mutakhir dalam produksi dan manajemen.

  Ekspor menjadi sangat penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Para ekonom menerima gagasan tersebut sebagai hal yang masuk akal, sehubungan dengan pengalaman Asia Timur dalam hal export

  led growth . Mereka menginterpretasikan bahwa “increased export growth led to

increased domestic growth” (Reid, 1998; Rodrik, 1995; Jin, 1995). Poot, et al

  (1992), menyatakan bahwa setelah terjadi kekecewaan terhadap pengalaman kebijakan ekonomi Indonesia yang berorientasi pada subtitusi impor (import

  

substitution ), para ekonom kemudian lebih menyarankan pada penggunaan

  strategi industrialisasi yang berorientasi pada promosi ekspor (outward-

  

looking ), dimana ekspor komoditi primer secara berangsur-angsur digantikan

  oleh ekspor komoditi yang sudah diolah di dalam negeri. Sejak tahun 1987, sektor industri, merupakan sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dan berbanding lurus dengan pendapatan perkapita (Prabatmodjo dan Micklin,1991). Dalam periode tersebut ekspor meningkat sangat cepat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Investasi merupakan unsur penting dalam pembangunan ekonomi khususnya era industrialisasi sebagaimana terjadi dewasa ini. Sebagaimana diketahui harga relatif kapital terhadap tenaga kerja adalah tinggi, hal ini disebabkan oleh melimpahnya tenaga kerja dan relatif langkanya kapital. Dalam keadaan tersebut maka investasi menjadi faktor kunci dalam industrialisasi ( Setiaji, 1997).

  Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi PMDN di Sumatera Utara, faktor-faktor tersebut diantaranya adalah PDRB, ekspor, tenaga kerja, belanja daerah, inflasi, SBK dan kurs mata uang rupiah.

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah :

  1. Apakah PDRB mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  2. Apakah ekspor mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  3. Apakah angkatan kerja mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  4. Apakah belanja daerah pembangunan mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  5. Apakah inflasi mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  6. Apakah suku bunga kredit mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  7. Apakah kurs mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  8. Apakah krisis ekonomi mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan :

  1. Untuk menganalisis pengaruh PDRB terhadap PMDN di Sumatera Utara 2. Untuk menganalisis pengaruh ekspor terhadap PMDN di Sumatera Utara.

  3. Untuk menganalisis pengaruh angkatan kerja terhadap PMDN di Sumatera Utara.

  4. Untuk menganalisis belanja daerah terhadap PMDN di Sumatera Utara 5. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap PMDN di Sumatera Utara.

  6. Untuk menganalisis pengaruh SBK terhadap PMDN di Sumatera Utara.

  7. Untuk menganalisis pengaruh kurs terhadap PMDN di Sumatera Utara.

  8. Untuk menganalisis pengaruh krisis ekonomi terhadap PMDN di Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

  1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual (intellectual

  exercise ) yang diharapkan dapat mempertajam daya pikir ilmiah serta meningkatkan kompetensi keilmuan dalam disiplin yang digeluti.

  2. Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan dan pengembangannya ilmu khususnya tentang pengetahuan pembangunan ekonomi di masa yang akan datang.

  3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya mengenai kaitan faktor-faktor ekonomi makro terhadap besarnya PMDN.