SANDAL RUMAH & JURU KUNCI(1)

Sandal Rumah dan Juru Kunci

bandar lampung, oktober 2009

antologi puisi Oky Sanjaya

KUNCI

MERENDAM KUKU

sejak kecil aku tahu cara memanjangkan kuku, beribu waktu
yang terpikir olehku bertahan dari masa lalu, bertahan dari segenap
amsal, ihwal lain pertengkaran. Beribu waktu telah jamak, telah
memilih, dan beranak pinak – rahim ibu yang tak kunjung lepas dari
bisu. Seperti aku yang juga tak kunjung reda dari bulan-bulanan
memetik kuku di ambang pintu, pintu yang kata emak jangan kau
lakukan itu di waktu malam, sebab sesuntuk apapun kau, luka selalu
datang dari arah rimba gelap, terkadang purnama. Terkadang
kita harus meremas sendiri tetek kita, dalam ketagihan.
mari kita tanggalkan kembali kegatalan yang sempat terlewatkan!


MENGGARUK
sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori
bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat bertemu
lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai tubuhmu.
dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita kafani, meski matimu
tak pernah utuh. Dan berbahagialah kepada kita, rambut yang sering kali
kita lukai (tanpa sadar) itu, tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih
tumbuh sampai pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut
pada pingset, afitson, dan minyak pelicin otot-otot. Sebab dingin
tak pernah menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh,
tak ada maksud lain, hanya memberi tanda bila kalian mulai merinding.
sungguh, kami hanya ingin bahwa kalian mulai ingin. Mulai berhenti pada
sekian yang tak pernah lebih dari sedepa. Sekarang engkau aku tinggalkan,
langsatmu suatu waktu akan pulih kembali, dan mungkin, aku akan sulit
mengenalmu, maka bila, kau tak perlu sungkan menegurku, desis itu, amis
itu, asin itu, tentu lebih abadi. Lebih peduli ketimbang kulit kita yang renta.
lebih berjanji ketimbang nafsu yang api. Sekarang engkau aku tinggalkan,
dan sepi bukan milikmu, berlakulah seperti sudah-sudah, seperti rambut
(tanpa dendam) akan tanggal.


MENGEROK

jangan kau artikan ini sebagai kepincangan, sayang,
karena aku terlalu kaku untuk menggerakan tangan kiriku,
mengusir angin yang telah lama berumah pada epidermisku,
dan jangan kau artikan ini sebagai masuk angin, sayang,
karena aku telah memilih sendiri telanjang dalam kamar
menulis kembali sepucuk sajak untukmu yang tentu saja
akan kembali kau buang sebagai kenangan,
‘aku suka kau mengirimkan sajak untukku, tapi beri tahulah aku
maksud dari sajak-sajakmu’.
jangan kau artikan sajak-sajakku sebagai maksud, sayang,
tapi ada baiknya kau masuki saja, sebagai tamu yang telah lama
kutunggu, sebagai kapuk yang telah lama ingin hanyut.
seperti itulah sajak-sajakku, sayang,
berumah angin samudra, bertolak dari tungku kata-kata.
jangan pula kau artikan ini sebagai prasasti, sayang,
karena aku tak pernah bertitah pada tubuhku, padamu,
juga angin yang merasuk itu.
aku hanya ingin seperti biasa saja.

jadi jika suatu ketika kau temui di lengan kiriku
ada garis merah bekas kerok lagi, jangan kau limpahkan
kesalahan itu pada uang logam yang kupilih untuk beradu,
tapi salahkanlah aku yang tak ingin mengusir angin,
membiarkannya berumah, memasang nomor alamat ,
dan memberi nama-nama baru
dari setiap jalan yang telah dibangun tubuhku.
artinya,
tak perlu kau ragukan lagi
jika dalam tubuhku juga ada kantor pos;

ini surat ke jalan saraf Sudirman;
yang ini ke saraf Soekarno;
yang ini ke saraf Bung Tomo;
yang ini ke saraf Romeo.
dan artinya pula,
telah ada komplek pemakaman dalam tubuhku, sayang,
baik pemakaman keluarga maupun pemakaman umum.
jangan terlalu kau pikirkan, sayang,
toh garis merah itu telah menghitam.


ADA SAJA

ada saja yang tak percaya bahwa aku setia. Senja
yang tiba-tiba jadi jingga, menganggap, tak ada yang
perlu dimengerti. Semuanya telah biasa, dan tergantung
musim yang menjelma jadi suasana. Kita pun ingin merdeka,
dan engkau telah beranjak mengerti: cintakuabdi.

DI ATAS LANTAI PAKAIAN IBU

adikku, di atas lantai pakaian ibu, kita
belajar bersama, bertengkar sebagai anjing,
anjing pakaian. Kita belajar sakit dari
gigit, cakar, congkel, dorong, dan tarik.
dari setiap peristiwa tengkar, dari setiap
rebut sabar. Kita belajar memaknai
alir puting susu, urat ibu anggap kandung,
dan perihal bapak yang terselubung,
dalam mata sarat timbang duduk timang.

adikku, kita selalu membayangkan
mampu bebas melihat purnama tanpa harus
di punggung mamak dan minan. Kita
selalu membayangkan rumah panggung
adalah ujung pengembaraan. Ujung setia
pada ilmiah, pada kronologis, dan cinta
kemilau tapis. Kita membayangkan,
suatu saat, giliran kita yang berteriak
dalam setiap petak-umpet malam hari.
suatu saat, adikku, kita membayangkan
jadi penurut pada panglima malam abdi.

SANDAL

BILA SANDALKU TELAH TIBA
bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin
tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi.
beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada
salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga
tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap

ini setia.

MENDAKI SANDAL
kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu depan, dan kau
dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang.
tak ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting,
kita memutuskan keluar, dan tak ada yang dibuat tergesa,
sandal terpakai seperti biasa, menutup separuh ketelanjangan kaki kita,
menutup luput dunia, khusuk dalam membran telinga.

MENGIKAT PINGGUL GORDEN
cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk
bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,
mematikan gigi palsu? Apakah kau tak ingin ikut
melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.

BERTEMU DI BUKIT SANDAL
kita diawali pergi, dan mencoba saling mengunjungi
mengetuk atau menjejak statusmu sebagai pencuri.


SANDAL KANAN
kita tidak mungkin meninggalkan sandal ini. Kehilangan kawan
yang serba menatap kiri sama arti dengan cacat terpikul sendiri.
tunjukan rasa hormat abdi, meski disertasinya tentang jalan dan lahan
bukan milik pribadi. Kita meski mencari si kiri. Tapi, kekasihku,
mencuri adalah konsekuensi.

MENGUNJUNGI SANDAL
selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi
diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya,
kata per kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta.
selamat datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat,
hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga kue cookies,
secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan
paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi
gereja tua. Atau meledak karena hujan begitu pemicu,
angin gemuruh, hidung gaduh, ingus riuh. Selamat datang,
di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam
bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun,
hanya mampu berucap: selamat atau besok lusa. Tiada

betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di bibir.
selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih,
nanti, di setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun
akan menggenang sampai pelataran jalan. Saat itulah,
kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit, nomor blok rumah,
dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali
bau tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan.
bukankah dia Puput, yang jam tangannya kau buat luput?
matanya yang dulu kau sebut biru tualang, desisnya buih
Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu,
dentum meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai,
aku suka pegunungan – di atasnya semakin dalam kulihat perjalanan.
kau seperti ingin menemukan tempat asing. Ingin menemukan
setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul.
padahal, yang justru sering karam di tengah lautan adalah
keanekaragaman, kampung halaman penyair terlahir.
kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau akan melepasnya
masuk ke halaman sembilan, bertaruh kehidupan?
tenggelam.


BELAJAR MENERIMA KEKURANGAN
setelah kau putuskan untuk terputus, aku berharap
tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti lampau,
beku dan tersudutkan. Apa lagi kini, tubuhku
tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai
dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini
terlukiskan, sebaiknya engkau menggantikan aku
dengan tali yang lebih panjang.

PERUT JENDELA
aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya
menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang.
aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca
bahwa air sumur tua merekahkan perut kita.

MEMANDIKAN SANDAL
kita mungkin telah memilih jalan yang salah,
menduduki pekarangan belakang rumah orang
yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai
beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita

mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib
seperti datang tiba-tiba; masih ada yang belum
disiangi; masih ada yang belum bersih dicuci.
tapi, “tolong!”, jangan kau maki sandalku yang putus ini.
dia masih layak ditusuk peniti.

SANDAL JAZZ
tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya turbulensi
di sekitar dada. Pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik
untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja,
tak perlu menunggu di balik pintu. Kecuali memang dari tadi
aku tertipu.

MELETAKAN SANDAL
di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika
yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya?
di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu
kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi tanda,
mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau
seharusnya hilang dengan meninggalkan tanda bukti.


SANDAL JAZZ, 2
aku tak ingin peduli dengan baju compang-camping,
halte tempat kemungkinan kita menunggu sesuatu,
bus kota yang telah ditentukan arah tuju. Dan jaket,
akhirnya mau meregang, dari pembelian baru kemarin
membentuk lekuk liku tangan tubuhku. Kita
mungkin tak perlu lagi mengatakan permisi
tak ada yang mengira-ngira telah diterima atau tidak
sebagai tamu pergi. Aku meninggalkanmu sebentar
mencari penganan – sesuatu yang mungkin layak terpanggang.

SANDAL KERTAS
siapa yang terbilang laku
jadi secarik peristiwa kota Bandar
ketika sinar bulan menampakan yang tercemar
dari sudut-sudut gang? Semuanya
seperti cahaya yang berpendar jauh
dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang
mencatat kapal-kapal merapat
meski kita telah kehilangan tempat
dua baris lagi dari satu halaman kertas adat.

SEJAJAR
SANDAL SENJA:
setelah senja datang, kita kembali melupakan sejenak
apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok langkahnya
akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba.
dan lampu-lampu, seperti biasa, mengabarkan
kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu, sayang.
ada langkah lelaki yang kau curi.

SANDAL JANUARI:
setelah engkau datang, kami seperti kehilangan tempat
untuk beteduh, dan menunda waktu pertemuan. Kami
seperti menunda waktu pergi, mengamati hujan yang
pecah di dahan pepohonan. Ada juga langit.
setelah engkau datang, aku dan (mungkin) kamu,
kembali menunggu pada dahan yang masih ragu.

MERAPAT KE DINDING
kali ini aku ingin kau merapat
ke dinding. Tubuh_badanku bau masam,
bau jalan-jalan. Kali ini saja, berhentilah
merapat ke pintu, macet, sayangku.

BILA SALAH MEMAKAI SANDAL
bila salah memakai sandal, dinda, tak perlu kau kembalikan.
pergilah, aku tetap menunggumu. Tetap menjaga sandalmu. Meletaknya,
merapihkannya sejajar dengan sandal-sandal di rumahku. Kau tak perlu
takut larut malam, sandalku mengerti apa yang harus dilakukan.
apa yang (mungkin) kita anggap jangan.

TAK ADA YANG BOLEH PERGI SENDIRI
tak ada yang boleh pergi sendiri, meninggalkan dunia ini.
bawa serta keluarga dan seluruh keponakanmu. Bawa ampun
sahabat-sahabatmu. Bawa serta, bila kau tidak ingin
dianggap kecewa.

MENUNDUK KE SANDAL
kita harus lebih banyak menunduk ke sandal. Membicarakan
semua hal dengan jiwa terlapang. Tak ada lagi yang boleh
bercerai. Kita boleh memilih jalan. Tetap boleh bercabang.
selagi kau ingat, aku tetap di belakang.

MENGUBUR SANDAL
berapa liang yang harus aku gali? Dua.
tapi apakah dapat mengubur keduanya
dengan adil? Tidak. Tapi biarkan,
keduanya tetap terkubur dalam keadaan
bertolak belakang. Atau saling berhadapan.

SANDAL-SANDAL DI BELAKANG JENAZAH
apa yang akan kau bawa setelah pulang? Jejak sepasang
sandal tetap tinggal, membelakangimu dan membelakangi
pintu. Ada yang ingin mengatakan; tak terkatakan. Ada yang
ingin lari; tetap tegar berjalan. Ada yang tetap menatap jauh
ke depan; meski pingsan. Kita tak akan lagi berpapasan.

RUMAH TUA
ATAP:
apa yang kita percaya tentang langit, sehingga kita mengerti, dan yakin,
ada yang tetap berputar pada porosnya, ada yang tetap bersesuaian, ada
yang tetap teduh dipandang? Apa yang kita percaya tentang langit, dari
setiap pendar bintang, dari setiap redup bulan di balik awan, dari cinta yang
tak sampai? Apa yang kita percaya tentang langit, dan tetap memilih
bertahan menaungi kita, membayang kita di siang hari? Apa yang
kita percaya, apa yang sejak semula kau menatap atapnya.
LAMPU:
seberapa penting wajahmu? Seberapa penting wajahmu dan wajahku
bagi waktu. Ada yang tetap terbilang disetiap sisi ruas tempat kita
berhadapan, tempat kau dan aku sempat mengatakan:
“matikan lampu di bagian kamar bukan di sarang trotoar.”
PINTU:
jangan lagi lari, akan ada selalu pemalang, akan ada yang tersandung dan
was-was membiarkanmu tetap berkeliaran. Tetaplah di garis waktu; bila
dengan ini kita dapat berkata sayang.
JENDELA:
tetaplah terbangun di waktu fajar, ada embun di ranting damar, ada sisa
malam di tanah dan di batu pinggir kali. Ada juga kata-kata dan kokok
unggas. Ada saja yang tetap ingin tergambar meski rahasia. Bersegeralah,
dan berangkatlah bila waktumu tiba. Jangan buat kami kecewa.
KISI:
setiap celah akan dilewati udara; setiap cinta akan melewati umurnya.
setiap kata tetap jadi rahasia; setiap kita berhak menggunakannya.
setiap usaha bergantung tali timbanya; setiap peristiwa ada pemicunya.
jika benar antara kau dan aku masih bertetangga.
LANTAI:
jangan lupakan aku! Aku tempat kau berpijak sekarang, tempat kau kelak

beranak dan bercucu. Tempat jejakmu yang setiap hari perlu dibersihkan
dan diganti jejakmu yang baru.
ASBAK ROKOK:
lain waktu kita perlu penuh membakarnya, lain waktu kita tinggalkan ia
sampai habis jadi abu. Kau tahu itu. Aku tak suka terlalu lama menghisap.
SANDAL:
kau tetap tak terpakai-pakai juga. Jadinya buat apa kau kubeli. Tapi
bukankah sejak awal kau menerimanya, kau terus berusaha mencobanya.
kali ini, pantas, tidak? Bukankah sejak awal, percaya atau tidak percaya diri,
kau tetap berjalan. Masih bisa meminjam sandal orang. Kadang kaki
telanjang.

ATRIBUT
beberapa pin telah kita lampirkan bagi
setiap kerah baju sandal. Beberapa
waktu, telah lalu, telah membuat kita
percaya; kau dan aku telah jadi sama.

MENIMBA SANDAL
telah kutunjuk tali timbamu, dinda, menentukan dasar hidup kita.
tidak ada perjalanan yang lebih dalam. Tidak melelahkan. Letakkan.
setelah terasa kepermukaan. Sandingkan. Bulan di atas jalan. Cahaya
di bibir tahan. Mengapa belum juga kau urut tanganku dengan balsam?

MENURUNI SANDAL
kita tidak akan celaka.
tetaplah di antara tapal batas keinginan.
kita mengerem.

MEMANJAT SANDAL
kau tahu, apa yang paling kutakutkan?
memanjat. Setelahnya, tidak ada
kata lain selain jatuh. Coba,
seandainya erat kupegang dahanmu,
aku takkan mati karenamu.
seandainya, ada kata lain selain
jatuh, setelahnya, kau tahu,
apa yang paling kutakutkan? Terbang,
dan tak kembali lagi padamu.

MENANAM RUMPUT
kita tidak ingin lagi hidup liar. Tertata rapih, dan
hijau teduh. Kau tahu, yang paling sulit dari rumah
adalah masa-masa ketika kita membiarkan gersang
halamannya. Tidak ada tarian. Malam bukan bagian.
tapi pagi, kali ini, kita butuh hijau pekarangan.

BERUMAH DI PINGGIR JALAN
masih belum juga kau pagar halaman depan –
nanti diambil lagi buat melebar jalan –
semakin lebar ingatan –
tak terbendung lagi masa depan –
bersegeralah kau pagar –
jika akhirnya dibongkar –
ada sesuatu yang telah tunai kau kerjakan –
batasan.

RUMAH

RUMAH
-- sandra
1.
kau tahu, mengapa kita perlu selalu mengunci pintu? Supaya tidak ada
pencuri masuk, sayangku. Supaya, leluasa, di antara kita, memencet bel.
supaya, seperti pertanda, di antara kita, ada yang perlu berkemas atau
bersiap-siap. Sudah ramahkah yang ada di dalam rumah? Seisi tangga,
bergerak turun. Seisi tangga, bergerak, berkumpul ke ruang santun. Kau atau
aku membuka pintu? Bagaimana kalau kita menelepon dahulu? Seberapa
tahu, kau, yang ada di luar pintu? Seberapa mengerti, kita, gerak-gerik lagi,
angin, dan bunga-bunga kertas dalam pot, sesuatu yang keras di teras
rumah? Seberapa jelas, posisi kita – menolak atau menerima sesuatu
kedatangan yang tiba-tiba. menjadikannya tidak tersisa begitu saja. Kau tahu,
kita baru saja masuk, baru saja selesai, mencocok-cocokkan kunci mana yang
pas dengan pintu rumah kita.
2.
kau yakin tidak ada orang di dalam rumah? Tidak ada sesiapa? Coba kau
intip dari jendela. Jangan kau ketuk-ketuk lagi pintu muka. Belnya mati.
wajar tak terdengar dari tadi. Kita, kini, yang selayaknya bertanya-tanya. Ini
rumah kita, kan?
3.
mengapa, seperti pencuri, pintu selalu diberi kunci, sayangku? Dia selalu
terbuka, membiarkan sandal dan kita masuk, membiarkan kita kemudian,
berpergian. Mencatat kita, bagian lain dari ruang yang kadang-kadang
dingin, kadang-kadang panas meretas. Kau tahu, hujan di hutan, lebih ganas
dibandingkan di halaman. Meski keduanya ditumbuhi rerumputan.
4.
kita, sayangku, selalu memaknai penting dinding. Tidak ada dinding, tak
tampak batas kita. Tak tampak sudut ruang mana kita berada. Tanpa
dinding, pintu pun tak berarti apa-apa. Kunci tentu tak berjumpa dengan
manfaatnya. Tanpa dinding, kita kehilangan rasa aman dan nyaman. Kita

kehilangan sesuatu yang pantas terbuka. Kita mungkin, takkan
membutuhkan lagi jendela. Kita, mungkin, melihat rembulan, bintangbintang, begitu terbuka. Kita tak membutuhkan tirai tertutup atau
menggesernya sedikit saja. Kita tidak membutuhkan mengintip sesiapa di
luar jendela. Kita terlampau terbuka. Karena dinding, kita tetap waspada.
karena dinding, pintu tetap menjadikan kita sebagai tamu, sayangku. Yang
pelan-pelan mengelak dengan tegur-sapa paling rahasia, dengan tegur-sapa
paling kata. sayangku, pintu kita, pintu yang kadang-kadang lupa, kadangkadang alpa.
ketahuilah, tanpa dinding, rumah baru jadi kerangka.

5.
jangan kau sia-siakan mata untuk menyimpan rahasia. Jauh di dasarnya ada bunga
paling waspada. Kau tahu berapa serangga terkena ranjaunya? Satu di antaranya
adalah cinta.
begitulah pintu, mencatat jejak-jejak yang datang dan pergi, tanpa kecewa.
hanya memang, sesekali kita mendengar dia menderit. Engselnya yang tak
terawat mungkin juga sudah renta atau salah cara memasangnya. Tapi, ia
pintu, sayangku. Kau sempat tersedu kan di tubuhnya? Sesuatu yang datang
dan yang pergi, kadang, begitu saja kita tak berkata-kata kepadanya.
mungkin, karena ia, sementara.
6.
mengapa tak ada lagi pohon di pekarangan rumah? Hanya ada bunga-bunga
pagar. Kapan kalian memutuskan untuk menggantikannya dengan yang
lebih dapat terawat? Kau tahu, aku benci semua itu. Meski aku baru saja
memikirkannya dari bingkai pintu.
7.
tapi, dari kata yang tak terucap, tak sepenuhnya terungkap. Apa karena itu
kau mencintaiku? Tidak. Aku mencintaimu karena kau lebih tahu ketimbang

aku, mengapa aku tak mengatakan sesuatupun kepadamu.
pintu telah kubuka dengan melumpuhkan engselnya.

RUMAH YANG TERTUMPUK
kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula.
memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa
aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.
maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi
perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa
berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di
rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.
maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi
perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan.
Berapa usiamu? sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku
mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.
maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak. Batas
antara halaman, dan ruang tengah lapang.
maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk
pikiran.
biarkan ia bercorak tanda tangan.
tuan, ada di rumah?

RUMAH DI ATAS KERTAS
rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah rumah yang dibangun di
atas sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis bantu kata-kata. Tanpa
penjaga, tukang kebun, dan perempuan renta. Hanya ada kau dan aku.
hanya ada kita dan pohon mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh
dan dipetik buahnya; yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya;
yang suatu waktu merundukkan kita menatap bakalnya. Kita tetap berada di
bawahnya.

ATOM
apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang
telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada
rumus umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada
sifat fisik benda saja sehingga kau berkeliling di kulit, diameter,
dan kemungkinan jari-jarinya? Apakah kau masih percaya_ ;
cinta menyertai kita pada spin yang tetap terjaga? Apakah kau
masih percaya_ ; yang kau representasikan itu adalah kata? Tidak.
karena kata adalah cinta.

SELAGI RAMBUTMU SURUT
lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu;
kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN
rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah,
dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.
rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami
tidak punya lagi banyak kata.

BERJALAN DI ATAS SANDAL PUTUS
mengapa kau bersegera menutup pintu sedangkan pintu
tak bermaksud apa pun kepadaku? Mengapa kau
seperti begitu pengecut menghadapi masalalu sedangkan
aku datang padamu demi cintaku? Pohon-pohon
randu, kapuk yang berterbangan, dan angin berlalu.
sawah, sungai, merajut tali kesih – di rumput, letih –,
mengapa kau bersegera menjauh sedangkan aku
mendekat padamu? Pada rumput jaba kutusuk udang,
pada basah teling tak ada yang berhak berpaling.

SANDAL-SANDAL YANG BARU SAJA
SELESAI KURAPIHKAN
kawan, jika ada yang salah, kelak, dari perjamuan ini, aku minta maaf.
aku tahu. Kau mungkin ragu-ragu dengan apa yang telah kuucapkan ini.
karena aku, penyair, pantang minta maaf. Aku memang egois.
tapi aku bukan orang yang pesimis – seperti yang kau sangkakan padaku
sejak dulu. Kau juga tahu, aku juga bukan orang yang terlalu optimis.
sekali lagi, aku minta maaf. Aku memang seorang yang skeptis. Aku tidak
terlalu percaya dengan kamus yang kau agungkan itu. Kau buat segalanya
sama. Kau buat segalanya taat sama. Di hadapanmu, kali ini, aku sangat
tidak setia. Dan kau, boleh menganggapku sebagai noda.

SANDAL-SANDAL YANG BERGERAK KE ARAH TANYA
;kolastra
pintu gerbang sekolah kembali terbuka, di pagi yang berbeda.
baru saja berbunga, hari-hari lampau, daun-daun beringin berserakan.
apa yang kita ingat dari seorang penjaga kebersihan selain seikat sapu lidi
yang mapan? Di pagi berbeda, di wajah penjaga yang telah kami kenal lama,
tak cukup kami hanya bertanya. Tetapi kadang ingin juga kami bercerita –
tentang kemenangan itu. Tentang air muka kami yang teduh. Tentang teks
kami yang berlabuh. Kau (mungkin) baru pertama kali datang, dan tahu
arti kehilangan. Seperti, – bel yang berbunyi_ kami hening dalam kelas.
jangan lagi kau tendang pintu gerbang. Kau telah telat seperempat jam.
tidurmu yang pulas membuatmu bergegas – kecewa. Dan apa yang berbunyi
di tengah lapangan, bunyimu nanti; tepat dan setia. Setia pada dedaunan
berserakan, rontok sebelum umur. Setelah itu, kita menyatakan sepakat,
pada hujan yang membentur tangkai. Apa pun yang terjadi, tidak boleh ada
yang dilerai. Maka kami memaknai perpisahan sebagai pertentangan.
memaknai penerimaan sebagai harapan. Kau tahu, teman, musuh utama kita
adalah ketakutan. Di akhir cerita kemenangan dan kekalahan.

PERGI DARI RUMAH
mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak kau santap
di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna. Tergantung kita
merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah
yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi.
atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan.
dasar tak tahu aturan. Orang-orang mengatai kita, bahwa setiap senja,
kita telah tidak setia. Seharusnya kau bicara, pengertian selalu berawal
dari rencana. Setelah senja, kita memilih pergi dari rumah. Beberapa
tetangga, melihat-lihat saja.

Juru Kunci

Juru Jarak dan Waktu
(kecepatan)

apa yang terjadi jika anda tidak berjarak denganku? Kita dempet, tentunya.
aku tidak perlu menemuimu. Aku tidak perlu capek, basah kuyup, mutung,
haus, kusam, ancur, atau apalah …. Toh, kau, tak berjarak denganku.
tapi kenyataannya kau berjarak denganku. Mungkin pada saat kau membaca
blogku ini kau berada 100 meter, 1000 meter, atau 10.000 meter dari posisiku.
bisa juga, kau bersebelahan denganku, dari sebuah warung internet (warnet).
dan kita tidak saling tahu. Katanya, “ internet membuat kita tahu jarak
dalam kilobyte saja.” Dunia ini bagaikan kertas yang dilipat-lipat. Dulu,
kita sering mendengar kata ini: “dunia ini tak selebar daun kelor.” “ke ujung
dunia akan kucari.” “tuntutlah ilmu ke negeri Cina.” Dulu sekali, kita
menganggap seseorang yang jantan adalah orang yang telah pergi begitu
jauh. “Tiada jarak di antara kita,” kata seseorang.

toh kenyataannya kita berjarak. Mungkin pada saat kau sedang membaca
blogku ini aku sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20
km/jam – “woy, lambat amat!” “sabar dulu, baru masukkan gigi satu. Jangan
gara-gara prasangka, gigi kita malah ilang satu.” Mungkin aku sedang
selamat dari kemacetan lalulintas di Bandarlampung sehingga leluasa aku

menancap gas sampai 80 km/jam. Mungkin saja, ketika kau membaca
blogku, aku sudah berada dalam penjara, tiga jam dari sign out blogku.

Juru Selamat Pertama
(percepatan)

kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok gigi. Habis
mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku. Bantal guling bau
pesing”. Dan aku, mungkin, baru saja menyelesaikan administrasi. “Anda
harus mendaftar jika ingin masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami
percepat”. Anda tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri.
dua jam, mungkin, dari anda mandi sampai mengentri data lagi.

Juru Selamat Kedua
(gravitasi)

kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. Tapi kali ini, dia
(mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu. Aku bukan orang yang
takut dengan ketinggian. Seperti yang kau duga sebelumnya. Tapi aku
memang takut jatuh. Semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun
terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah
sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin juga sebuah
'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. Ketika kau membaca
blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesungguhnya hanyalah
sebuah konversi dari kilobyte ketinggian. Tak sampai 10 m untuk jatuh.

Juru Selamat Ketiga
(substitusi)

tapi, kali ini aku tidak dapat begitu lama, bermain-main
dalam kilobyte angka-angka. Mataku tak cukup kuat
menahan radiasi. Tapi aku tetap menunggu, kau bertanya
kepadaku. Sesuatu itu. Yang hilang saat kita pejamkan sejenak_
mata diambang kelelahan. Aku tahu, kau, setia untuk
tak mengatakan sesuatu kepadaku. Maka satu variabel saja
yang perlu kau cari bahwa, di antara kilobyte angka-angka itu
ada yang tak sempurna. Tapi pasti hasilnya; kau bulatkan saja
sampai empat belakang koma. Mungkin dia kata lain dari cinta.

Juru Penanya Pertama

mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?

mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?

seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki saja,
tentu kau tahu jawabanku. Tentu.

Konsisten

kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.
tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.
tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan.
selintas memang, kau melihatku agak marah,
rumah yang telah lama kita bangun,
hancur; atau terlanjur digusur.
“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.
tapi cinta kita lengkap.

seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur
tidak berkata-kata; atau menanyakan
silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah
yang turun-temurun terkubur bersama,
seseorang yang mungkin kamu; tetangga.

kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,
yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu
resiko salah berhitung.

Juru Berangkat Kami

kami yang tidak pernah berhak memiliki;
izinkanlah kami pergi.

Juru Selamat Puisi

jika puisi ini telah selesai kami tuliskan
tak perlu kau sebut satu per satu
nama kami. Tak perlu kau peduli
bagaimana kami hidup dan bagaimana
kami mati. Cukup kau gauli saja
dengan intim. Dan kau jangan cemburu,
kami akan lebih muda dari dirimu.
bangsamu akan lebih bijaksana
dari undang-undangmu; dari keputusan
yang tak pernah selesai kau tegaskan.

Berjalan di Atas Sandal

bagaimana kabarmu, saudara? Hari yang menyenangkan, bukan? Kali ini
mungkin aku tak terburu-buru mengentri data ini. Kehidupan yang sejenak
menantang Abad Berlari; palu yang mulai tumbuh rambut. Tuan harap
gersang, hanya dengan itu aku mampu bersarang. Dan kembali gagal menggoda
anak cucu Gunawan. Siapa itu yang punya celana? Ya, itu, si Joko; kasus
pembunuhan pertama – vonis yang tak pernah tegas. Seperti titik yang tak
pernah tuntas. Nah, aku nitik lagi. “Tuan-tuan yang terhormat, aku kembali
lagi mendarat. Sungguh, aku sangat takut turbulensi; tiba-tiba moncong
sandal oleng, kemudian sayap, lalu diikuti sentak pinggang. Udara
makin buruk saja.” Kabarku baik. Sekarang jam sebelas. Jam sekarat. Tapi
kau pantas untuk mendapatkan dataku secara lambat. Tiba-tiba saja aku
membayangkan kau orgasmaya dan melahirkan sejuta kb sperma; handuk
tak ada di layar; kau terjun lalu memformatnya ke dalam html. Tetapi html
tak punya serat. Licin. Maka tersungkur ke dalam ignore atau not responding.
Refresh. Ah, aku aut membayangkanmu. Sejurus aku hentakkan sandal
kiriku; penerbangan yang agak berbeda. Bergerak melewati selangkangan;
selangkangan menyapa, “awas kau toel antena. Komunikasi
kita terputus.” Kau akan berangkat dengan keseimbangan yang berat.
sungguh gravitasi menjadi musuh yang amat sayat. Semoga tuhan
memberkatiku. Sejengkal di atas ketinggian dunia. Tuhan, seharusnya kau
membuat dunia ini dengan gerakan lambat. Oh, maaf, seharusnya aku tidak

bicara dengan tuhan saat ini. Ada kamu yang sedang membacaku. Baiklah,
aku ganti kata-katanya. Pembaca, seharusnya kau membaca ini dengan gerakan
lambat. Kau akan tahu data yang seharusnya tak perlu
kukabarkan padamu.

.

Juru Mayat Satu

siapa yang lebih tahu mayat selain mayat itu sendiri? Tuhan.
tuhan tidak bertugas mencabutnya. Kalau begitu malaikat.
malaikat pesuruh saja. Siapa yang lebih tahu mayat selain
mayat itu sendiri? Sudah jujur saja. Bilang saja mayat.

Juru Penyapa Satu

di suatu waktu, pada kilobyte yang entah berapa, kau menyapaku
dengan sangat hangat sehingga beberapa tafsir kita tentang website
tidaklah begitu konyol, agak mesum, atau agak durhaka pada kata.
kita seperti dua angsa macromedia flash yang kosong background
berenang-renang dan mengharap ada beberapa daun desain gugur
karena program komputer yang eror. Tapi itu tidak mungkin terjadi
jika sebelumnya kau memang tidak membuatnya, dan mendeletnya
tanpa sabar. Aku tahu, kita memang mengharapkan sungai mengalir
di layar ini. Sungai sebenarnya. Beriak-riak karena batu. Licin karena
lumut. Dan pada arus yang agak dalam, kutambatkan kailku. Bersabar
sampai cakrawala (yang sesungguhnya hanyalah sebuah layar 14 inci)
tampak kemerahan di pelupuk mata. Sampai akhirnya kau off line tiba-tiba.

Juru Nasehat Satu

pergilah ke toilet sekarang. Aku tidak ingin kau mengidap
paru-paru basah. Seperti diriku. Telapak tanganku basah.
setiap harinya di dalam ruangan ber-AC ini, tubuh kita
bergerak lebih kencang sehingga sejarah yang seharusnya
dipilah dan diserap dengan teliti telah kacau untuk dibuat
pemisahan. Kau tahu tentunya ada yang tak tertuliskan
dalam pembicaraan ini. Sesuatu yang deras; sesuatu yang
tak dapat terbendung lagi; telah sepenuhnya membongkar
seluruh rahasia. Tetapi, sayangku, kau tak perlu kecewa.
kau telah terbuka.

Juru Sambutan Pertama

gigi-gigi yang terhormat sambutlah salam hangat dari kami yang teramat
mayat. Kami baru saja mati terkena Trojan. Beberapa harus bersedia mati
ditembak oleh Ansav. Beberapa lagi di antara kami selamat namun harus
menderita cacat. Jauh lagi ke dalam, tubuh kata hidup tanpa kepala. Tapi
sungguh, karena ia masih keluarga kita, beberapa masih dapat dikenali
identitasnya. Misalnya, hasy, oleh ahli forensik dapat dikenali sebagai
harusnya. Tdk? Ah, hanya masalah huruf vokal saja. Mungkin saja sebagai
tidak . Prang, sampai saat ini masih diduga sebagai perang. Tetapi, gigi,
seluruh di antara kami, belum satu pun mengetahui apakah kata yang satu
ini cacat atau sempurna, kami terus saja mencari tahu, terus saja kami
berselisih tentang ini. Yang satu mengatakan, “ia tidak cacat; ia tetap kursi.”.
yang satu mengatakan, “ia cacat; ia seharusnya korupsi.”. Sampai akhir, dari
5000 kata yang cacat, dalam sambutan ini, kami sampaikan kepada seluruh
gigi, kami belum dapat memastikan, apakah ia kursi, apakah ia korupsi. Yang
pasti virus telah berhasil menjangkiti keluarga kami.

“…?”
“mayoritas kehilangan i.”

“…?”
saya lebih suka anda percaya bahwa anda tidak percaya.

Juru Sambutan Kedua

kaki, berangkat adalah kepergian yang hangat
tetapi kerinduan bukanlah waktu yang singkat
sesingkat kita menggosok-gosokkan gigi
pada pinggul sikat yang serat. “Awas kau
tergelincir lagi! Gusimu yang tua bisa
kembali berdarah karena luka lebam
sepuluh tahun sudah kembali menjadi
sasaran.”. Tepat saran. Kaki, jika nanti,
kau benar-benar memilih kembali, bawakan
aku beberapa tangkai daun seledri.
perang di rumah akan sangat dingin.
dan i yang hilang telah pulang.

Kenangan

Seperti Tidak Lagi Muda

kami seperti tidak lagi muda
saat petasan lepas ke udara
ada pikiran yang lengas di jalan ini
tetapi tidak sesuatupun jelas lagi

inilah hari di mana kami harus pergi
atau kembali ke_keharibaan tubuh ini
yang dengan keterbukaannya
kami terima apa adanya

inilah hari di mana kami
kembali tidak mengerti
mengapa mati adalah pilihan kami.

Seekor lalat hinggap di teras tengah rumah
tewas dipukul sapu lidi kami.

Surat Rindu

1.
pun1, aku rindu padamu, seperti buku-buku, seperti masa lalu. Karena itu,
aku ingin segera pulang dari perantauan. Memulangkan ingatan.
memulangkan pakaian. Dua hari lagi menjelang lebaran mungkin aku sudah
ada di lamban2. Di sore hari, di dua hari lebaran itu, kau bisa mengepek aku,
memastikan aku benar-benar pulang. Aku tentu duduk di beranda atas,
minum kopi, dan menunggu sepintas perjumpaan kita. Lihatlah mataku
sekali itu. Malamnya, aku akan menunggumu di samping jendela, di rumah
yang tentu kita berdua kenal lama. Kau harus tetap waspada, bapakmu yang
raja, masih belum mengizinkan kita.

besok pagi, seperti rencana kita, aku menunggumu kembali di Dermaga Tiga,
di bawah pohon kelapa yang agak pinggir ke muara, dan jika kita agak
dekat menghadap ke laut, ada kapal terdampar. Dan akan kita temui,
beberapa orang, senang melempar batu ke arah kapal itu, sehingga
dentangnya yang karat, akan membuat kita saling menatap, mengingat
malam yang terasa singkat, sesingkat kita mencari tempat beristirahat. Dan
kita memilih bersandar di bawah pohon kelapa dekat muara. Menatap laut
lebih jauh lagi. Mengingat kembali Terbaya di suatu senja, di dalam bis, dan
selembar karcis. Mungkin karena itu, ia dikatakan Terbaya, tempat
terbakarnya asmara.

asmara kita, sayang, pada bukit di pangkal teluk, dan bandar besar di sisa
karat dermaga, dan iwa tenapa3 yang akan tetap kita jumpa. Seperti kau,
sayang, yang selalu ingin memakai gelang kana4, dan sigor5 di atas kepala.
Seperti senja yang memancarkan Bukit Terbaya.

sebab itulah, sayang – tapi tolong jangan kau bicarakan ini pada raja, warna
sigor di atas kepala sesungguhnya adalah warna senja, yang akan
mengingatkan kita pada asmara purba, di atas Bukit Terbaya. Dan gelang
kana yang kau pakai adalah tiga ikatan, yang akhirnya mengikat margamarga.

aku tahu itu, sayang, sebab itu kita tidak akan pernah bisa melihat apa yang mengikat
di atas kepala, sebab itu aku hanya percaya pada warna pacakh 6 yang ada di tangan
kita,restu para keluarga.

aku juga. Tetapi bukan restu raja.

maka, aku memilih menulis surat saja. Di dalamnya, ada kata-kata, yang
tentu tak hanya dapat dilihat dan disimpan di dalam kepala kita, tetapi juga
dapat kau wariskan pada anak-cucu siapa saja, mungkin anak-cucu kita.
bahwa sempat ada saya, yang jatuh cinta kepadamu, yang bicara senja di atas
Bukit Terbaya, dan dermaga –

2.
setiap kapal yang belum pernah merapat
di dermaga ini, tetap mendapat tempat
setiap surat yang belum pernah sampai alamat
tetap setia ditulis dan dibuat

dan aku, juga mencintai kau, buku-buku, dan masa lalu. Tetapi, tidak bisakah
kau memberikan kita masa depan, tidak sekedar hanya menulis ingatan?
bisakah kita menghilangkan semua ingatan, bahwa di kota ini,
tidak pernah ada kau, tidak pernah ada aku? Bisakah kita menghilangkan

setiap kisah yang pernah dimiliki anak-cucu marga , bahwa tidak pernah ada
iwa tenapa, dan tidak pernah ada pacar, serta warna senja di atas kepala?
bisakah kita lenyap saja dari cerita?Ada juga warna senja, sayang, setelah kita
selesai mengunyah cambai7. Dan aku, tidak ingin gigi kita ngilu karena dingin. Aku
tidak ingin, kota kita sepi untuk merestui pengantin.

aku tidak tahu, apakah aku pergi atau pulang. Tetapi aku datang, mencoba
membaca kembali kisah kita yang belum selesai. Seperti senja di atas Bukit
Terbaya yang telah lama menyimpan harapan-harapan, di dalam bis dan
selembar karcis.

1 = panggilan anak pertama pengikhan (dalam bahasa Indonesia; panggilan anak pertama
raja). Khaja dalam masyarakat adat lampung memiliki kedudukan kedua setelah pengikhan.
Khaja tidak sama dengan raja.
2 = rumah
3 = ikan asap
4 = gelang yang dipakaikan di lengan pengantin.
5 = mahkota yang dipakaikan di kepala pengantin.
6 = inai
7 = sirih

Belajar Kembali Mencintaimu

Ia baru saja pulang. Memulangkan kembali ingatan. Ia mencoba pergi saja,
tetapi tetap tidak bisa. Beberapa kali ia mencoba menutup mata. Mencoba
melupakan. Tetapi setiap ia mencoba membuka matanya kembali, setiap kali,
terbuka sepenuhnya apa yang pernah ia alami di masa itu. Ia tidak pernah
menyangka, waktu seperti berlalu begitu cepat. Pohon-pohon muda di
kampung telah menjadi tua. Beberapa telah renta, dan tidak menghasilkan
apa-apa. Aku curiga kepadanya. Ingatan yang kembali itu adalah ingatan
yang kami berdua mencoba untuk menolaknya. Sebatang pohon ditebang
pemiliknya. Kenangan, memuncak jejaknya.

Tetapi yang ia tolak sungguh berarti baginya. Dibukanya mata, sepenuhnya.
Seperti membuka kembali pintu yang telah lama tertutup rapat. Ia rapatkan
bahunya. Di atas jembatan, ia berhenti sejenak. Ia basuh mukanya. Di pinggir
kali, ada pohon tua yang tak pernah tumbang. Di hatinya kembali tumbuh
harapan.

Tetapi yang ia harapkan, yang ia pernah tolak sebelumnya. Tidak ada
dedaunan yang gugur di sekitarnya. Di hadapannya, patahan reranting
bambu hanyut terbawa arus. Ada yang tersangkut di langit-langit mulutnya.
Telinganya kembali mendengung setelah mendengus hidungnya.

Tetapi yang mendengung, yang ia pernah tolak sebelumnya. Ia beranjak
meninggalkan kali. Berangkat menaiki tebing, menyusuri lagi jalan panjang
perkampungan. Di jalanan, tidak sesiapun lagi ia kenal. Tidak ia temukan
lagi batas pengorbanan. Seperti perahu, yang telah karam kini ke dasar
sungai.

Tetapi yang ia kenal, yang ia pernah tolak sebelumnya.

Ia yang Menulis Tentang Dirinya

suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi
dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin
karena ia akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis,
dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin
juga bukan untuk dirinya. Maka ia akan tampak sangat sekarat, karena
dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap diam saja. Lalu ia akan
mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan rumahnya.
sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –
memanggilnya dengan sangat lantang. Wuy, api guway? Midokh, pah! Sesiapa
yang pernah membuat ia yakin bahwa di halaman depan rumahnya dapat
untuk tidak dapat dijaga. Maka, menurutnya kelak, meninggalkan halaman
rumahnya adalah kehilangan yang sementara.

Riwayat

mengapa tanggal lagi sehelai kancing bajumu?

ia bertanya-tanya.

apakah aku terlalu memaksa?

sesuatu yang lepas dari jahitan, sesuatu (yang mungkin)
lelah menerima banyak sentuhan.

tetapi, yang lepas tetap utuh.

ia mulai menolak pertanyaan.

di dalam setiap pertanyaan, ada jawaban.

bulan emas di atas cemas

di dalam hati yang ditinggalkan,
banyak luka bekas tusukan.

ia mulai kehilangan malam.