Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer Ilmu Manajemen

Azkia Muharom Albantani

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU KONTEMPORER
A. PENDAHULUAN
Ilmu nahwu (sintaksis) adalah disiplin ilmu yang membahas kedudukan
suatu kalimat dalam bahasa arab, dengan mempelajari ilmu nahwu memberikan
solusi untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ada dalam kitab, khusus kitab-kitab
berbahasa arab, karena bahasa arab selain bahasa pergaulan adalah bahasa
pemersatu umat Islam, bahasa al-Qur’an dan al-Hadis. Agama Islam diturunkan di
tengah – tengah kultural arab maka bahasa arab sangat identik dengan komunitas,
wilayah kultur arab itu sendiri. Bahasa yang digunakan al-Quran dan al-Hadis
adalah bahasa arab Quraiys sesuai dengan kesepakatan dan perkembangan berbagai
bahasa suku-suku yang mendiami jazirah arab.
Seiring dengan perkembangan dari mulai di turunkan agama Islam di
tanah arab, di utusnya Nabi Muhammad sebagai pelopor pembaharu dalam berbagai
sosial kebudayaan jahiliyah, terutama sekali konstruksi bahasa arab oleh para ulama
setelah nabi wafat. Penomena peristiwa yang berlaku saat itu adalah banyaknya
pengikut Islam dari berbagai wilayah di luar arab, yang tentunya memiliki cara
pandang dan teori membaca al-Quran. Denagan demikian, para ulama mulai
menyususun konsep untuk pemberlakuan tata bahasa(gramer) untuk menjaga
kesalahan berbahasa baik, membaca al-Quran, hadis, maupun kitab-kitab ilmu arab

lainnya.
Dalam pendahuluan ini, kami mencoba menunaikan tugas dengan
nmenganalisis perkembangan ilmu nahwu mulai dari periode pertama hingga akhir.
Di samping itu kami paparkan sejarah pemberlakuan nahwu dan para tokohnya.
Mingingat keterbatasan referensi, kemampuan, kami menerima koreksi, saran yang
kontsruktif, demi perbaikan makalah ini selanjutnya .

Azkia Muharom Albantani

B. BAHASA DAN TATA BAHASA
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas –
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh
setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain
sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi
yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturanaturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal
konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang
bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari
aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada
akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari
bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan

diatas.
Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam
menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah
pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu.
Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen
kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar
elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis
secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian
tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan
penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-

Azkia Muharom Albantani

Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam
mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya

Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :
“Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda
sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni
bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali
bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas
yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang
lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka
yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang
manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui
bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut
pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah
isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya. Apabila Anda
meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan
shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal)
baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka
isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan
bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus
memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa
menganalogikannya”.
Selanjutnya,


beliau

melanjutkan

dengan

menjelaskan

pentingnya

berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan
antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan
kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi
teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna
tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :

Azkia Muharom Albantani

“Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda

meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur
oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya.
Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya.
Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran
bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi
hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas
keteraturannya. Beliau menulis:
“Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu
yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya –
jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna
ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar
atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah,
kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau
tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna
dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan
dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari
timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang
sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat),

perentangan

(al-tathwil),

pemendekan

(al-taqshir),

peleburan

(al-idgham),

pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal), pencacatan (al-i’lal), serta keadaan
saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa
titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (alkalimat).

Azkia Muharom Albantani

Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari
pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta

cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang
mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).
Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi)
makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan
makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang
makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna
kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya,
makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan
makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu
kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial,
kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan
ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu
cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu
yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya
apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan. Ambillah gambaran tentang
nomor telepon. Ia merupakan susunan tertentu dari beberapa angka, misalnya
751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut memiliki posisi numeralnya sendirisendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun bukanlah 2 atau 1. Demikian seterusnya. Ada
yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka 5 pada posisi satuan
berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang pertama berarti 5

sementara yang belakangan berarti 50000.
Demikianlah nomor telepon melakukan fungsinya dimana semua
persyaratan yang telah diterangkan diatas harus terpenuhi tanpa kecuali. Apabila
salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah seperti 5 diubah menjadi
4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun akan hilang.

Azkia Muharom Albantani

Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya
dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau
penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa
ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut
hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari
secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema,
tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan
dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan
pendidikan.
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu
merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu
dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman

dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik
dan funsi ilmu nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah
sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat
dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar
masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara
tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun
berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah
kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang berbedabeda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum
berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu menyusun katakata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam
dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi
kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk
dalam aturan-aturan nahwu.

Azkia Muharom Albantani

C. PENYUSUNAN ILMU NAHWU
Di antara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah
ialah penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di
Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena

ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukumhukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah
sekaligus prestasi pioner dalam bahasa, yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci
Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw. Disamping itu, semua ini juga karena
lingkungan yang khas dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan
pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran yang demikian itu telah
menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan sintesis,
kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving
melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah
memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman,
yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai
kesalahan dan kekeliruan.
Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini.
Adapun orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk
menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa
asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka
menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh
para ahli tata bahasa lain.
Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang
penyusunan ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para
generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan

tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan
bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi
terdahulu mereka, membentengi diri mereka dari gelombang peragu-raguan dan

Azkia Muharom Albantani

inferioritas, dan penghancuran khazanah klasik kita yang dilakukan oleh musuhmusuh Islam dan Arab.
Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan
persoalan yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan
ini ialah pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa
yang pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun
secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini?
Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang
semua persoalan tersebut akan dibahas berikut ini.
D. SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang
khas dan unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan
bahasa secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsabangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa
mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman sesudah Islam,
dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.
Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:
1.

Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati,
dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan,
politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab
menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.

2.

Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah
yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu
sama lain sampai pada batas-batas tertentu.
Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan

tersebut, yang fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila

Azkia Muharom Albantani

sedang bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain
dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan melakukannya
tanpa merasa kesulitan.
E. NAHWU

SEBAGAI

PROSES

ILMIAH

BAHASA

ARAB

DAN

LATARBELAKANG KELAHIRANNYA
Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql
al-Arabi” menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani,
maka pengetahuan tentang bahasa adalah mukjizat bangsa Arab.1 Menurutnya,
sumbangan terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada
dunia adalah “agama dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat
dipisahkan.
Munculnya berbagi perselisihan mazhab, baik dalam fiqih maupun kalam
jika dicermati, di antaranya, juga disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah
masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an. Begitu pula dalam perselisihan politik,
meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan golongan, namun adakalanya pula
timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.
Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi
intelektual Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi
bahasa, meletakkan dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode
ilmiah yang digunakan dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam
berbagai aktifitas intelektual lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang
berkembang setelah ilmu bahasa sangat terwarnai oleh metode dan cara berpikir
para linguist dan grammarian generasi pertama.
Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali
mula pertama aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu

Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah Wahdah alArabiyyah, 1989), cet. IV, h. 76.
1

Azkia Muharom Albantani

nahwu,

terutama

yang

terkait

dengan

penggagas

disiplin

tersebut

dan

perkembangannya.
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat
dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu
terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua
latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang
mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan
nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat
lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu;
Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin
Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.2
Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab
hampir dapat dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masingmasing dalam membidani kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad alDu’ali dan para muridnya yaitu Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan
Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam berbagai literatur diakui sebagai penggagas
awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa merumuskan “i’rab” dan
pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya dan menemukan
istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”. Kemudian murid
dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa bin Umar alTsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang telah
dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas
dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga
dianggap sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu.3 Lebih dari itu,

2

Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah,
(Mesir: Dar al-Maarif, t.t), h. 49.
3

Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maaris, t.t), h. 18.

Azkia Muharom Albantani

generasi ini juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh
Isa bin Umar dalam karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil ”.4
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu
nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena
semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut
standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “alLahn”.5
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab
(kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian
bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti
disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini,
yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah
intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia
kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari
sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi
bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek
ilmiah lainnya.
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang
sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam
bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa,
matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar
biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun
cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi
bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri secara metodologis dan sistematis sejak ia
dibuat rumusan tatabahasanya yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-

4

Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah ”Majallah”, Jami’ah
al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.
5

50.

Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, h. 45-

Azkia Muharom Albantani

Farahidi ini.6 Oleh karena itu, pada umumnya kajian seputar metode dalam proses
ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran metode yang digunakan oleh
Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal yang serupa pula.

F. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU
Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara
keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu
semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari
timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk
perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan, penambahan, perentangan,
pemendekan, peleburan, pembalika, penggantian, pencacatan, serta keadaan saat
terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata .
Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara. Sementara, ilmu
semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna.
Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna
leksikon dari suatu kata, makna kontekstualnya, makna individual, makna sosial,
dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan
dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak
variabel seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lainlain. Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat. Ia secara khusus berbicara
tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan
mengenai hubungan antar elemen tersebut.
Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara
sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut
dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi
ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya,
6

Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 34-46.

Azkia Muharom Albantani

namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan
merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmuilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita
tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu
atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya
sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para
pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah),
Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari
sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi
utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu
Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama. Dua bentuk
pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang
secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai
sekarang.
Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai
sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak
jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran
mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi,
Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh
handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka
dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokohtokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus,
dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam,
bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu judul
buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih, AlFarra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu
Nahwu. Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Marakizud-Dirasat an- Nahwiyyah

Azkia Muharom Albantani

membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu
dan peta penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema
perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut.
G. PETA PERKEMBANGAN ILMU NAHWU
Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke
1.

Bashrah, Mekah, Medinah Kufah,Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus (1) kesatu

2.

Marocco, Persi (2) kedua

3.

Mesir (3) ketiga

4.

Damaskus, Haleb (4) keempat

5.

Nejed, Yaman (5) kelima

6.

Hulah, Eropa (6) keenam

7.

India (7) ketujuh

8.

Romawi (8) kedelapan
Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-

negara Asia Tenggara sepertiIndonesia dan Malaysia dalam peta. Padahal
bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di
samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat
dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di
antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam
memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu.7
Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu
berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang
dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu
sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)aliran Baghdad, (4) aliran

7

Agus Bajang, Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu, http://agusbajang.blogspot.com
/2009/12/perkembangan-dan-sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada 19 Juni 2012 pukul 21.30 wib.

Azkia Muharom Albantani

Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya
sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang
tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik,
sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain
disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau
merupakan hasil paduan antara keduanya.
Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu
juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak
sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu,
referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan
textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu
pembelajaran agama (Islam), sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis
cenderung kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak
ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam
adalah buku-buku semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah
Ibnu Malik dengan berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku
yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu
Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab 1 Syarah
adalah kitab perluasan dari matan. Matan adalah karya orisinil yang ditulis oleh
seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan padat isi, sedangkan syarah
berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata, kalimat atau wacana
yang ada pada matan, karya Ibnu Hisyam kurang populer.
Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada
khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang
penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika
Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh
toleransi yang tinggi terhadap perbedaan - perbedaan yang ada. Selain itu, karyakarya monumental para pakar Ilmu Nahwu sejak abad permulaan sampai

Azkia Muharom Albantani

pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan.
Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan ini penulis memaparkan
secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan. Paparan itu mencakupi
cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu, dan tokohtokoh pemrakarsa Ilmu Nahwu.
Selain itu kami paparkan perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut
menjadi tiga periode:
a. Periode Perintisan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman
Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad
kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa
kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki
masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas
(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha
kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar,
pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat,
mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai
dipakainya metode analogi.
b. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi
Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu
dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya.
Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut
sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima
besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam AlKisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas
tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
c. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)

Azkia Muharom Albantani

Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah
meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu
sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak
masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa
ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru
Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa
fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha
mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru
yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu
telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal
abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat
Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu
klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia
(Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke
zaman kita saat ini.
H. TAHAP PERKEMBAGAN SEJARAH NAHWU KONTEMPORER
1. Tahap Pertama
Sejak sebelum masa Islam bahasa Arab telah menjadi bahasa yang
sempurna. bahasa Arab cukup memenuhi kehidupan pemiliknya, baik untuk
keperluan komunikasi antar anggota masayarakat dalam berbagai bidang kehidupan
maupun untuk menciptakan kesusasteraan.
Pergaulan orang Arab dengan orang-orang non-Arab sebelum Islam
masih terbatas, sehingga lahn yang timbul akibat pergaulan merekapun tidak
seberapa banyak dan tidak dikuatirkan akan merusak bahasa Arab itu. Akan tetapi
setelah memasuki masa Islam pergaulan orang Arab dengan bangsa-bangsa
sekitarnya semakin meningkat dan lahn pun meningkat pula sehingga dirasa akan
merusak bahasa Arab. Pada abad 1 H. lahirlah lahiran nahwu untuk memberantas

Azkia Muharom Albantani

lahn itu. Kelahiran nahwu juga bertujuan agar orang-orang terutama non-Arab dapat
menguasai bahasa Arab dengan baik.8oleh karena itu, mualilah dibahas masalah
i’rab dan kaidah-kaidahnya.
Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Du’ali mulai
kegiatannya dengan mengumpulkan masalah-masalah lahn. Setiap orang mendengar
lahn segera ia menunjukan contoh yang benar dari kalimat-kalimat dalam al-Qur’an
al-Hadist atau ungkapan-ungkapan yang baik dan benar dari orang Arab. Oleh
karena itu, kaidah yang dibuat pada waktu itu selalu sejalan dengan keperluan
masyarakat dan berkaitan dengan lahn yang terjadi pada lisan pemkai bahasa Arab
itu.9
Abu al-Aswad al-Du’ali mengajarkan nahwu itu di masjid jami Basrah.
Banyak murid-muridnya, antara lain Yahya ibn Ya’mur yang bersama Atha, anak
Abu al-Aswad al-Du’ali mengembangkan dan mengelompokan bahasanya menjadi
bab-bab dan menambhkan beberapa masalah nahwu dalam lingkup al-Qur’an.10
Sebagai ilmu yang baru dan masih tahap awal pertumbuhannya,
kaidah-kaidah yang dihasilkan pada periode awal oleh angkatan pertama ini baru
merupakan kaidah umum yang dibuat atas dasar sima’(yang didengar dari orang
Arab). Periode awal angkatan pertama belum menghasilkan kitab-kitab yang
disusun secara sistematis yang ditinggalkan untuk generasi berikutnya.
Namun, studi nahwu terus berkembang. Kaidah-kaidahnya bertambah.
Pada masa angkatan kedua periode kedua terjadi loncatan pemikiran nahwu dalam
prisip pengembangan nahwu. Abu Amr al-‘Ala (w. 154 H) memasukan qiyas
kedalam prisip penyusunan kaidah nahwu. Ia membuat kaidah atas dasar qiyas
kepada ungkapan-ungkapan orang Arab yang banyak terpakai, sedangkan
8

Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h, 26

9

Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, (t.t: maktabah al-Manar, t.t), h.21

10

Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 26.

Azkia Muharom Albantani

ungkapan-ungkapan yang kurang banyak terpakai tidak dijadikan sumber qiyas dan
disebut olehnya dengan nama lahjah.11 Selanjutnya qiyas ini disebut qiyas bashri.
Berbeda dengan Abu ‘Amr ibn al-‘ala, Abdullah ibn Abi Ishak
menggunakan ungkapan-ungkapan yang oleh Abu ‘Amr ibn al-A’la sisebut lahjah
sebagai qiyas, tidak hanya terbatas pada ungkapan-ungkapan yang banyak terpakai
saja.
Apabila ulama Basrah untuk sumber qiyas hanya mengambil teks atau
kata yang banyak dipakai oleh orang-orang yang diakui ke-fasihannya saja, maka
ulama kuffah tidak membuat prinsip qiyas, kecuali prisip yang diambil dari
gurunya, yaitu ulama Basrah terutama al-Hadrami. Tetapi penerapannya longgar.
Karena tidak prisip membuat qiyas yang ketat itu, maka ketika menemukan kalimat
syadz atau lahn bahkan yang sebenarnya salah, mereka membuat kaidah khusus
untuk mereka sendiri. Akibatnya terjadi bermacam kaidah yang kurang singkron
antara satu sama lainnya.12
2.

Tahap kedua

Pada tahap pertama Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ telah menghasilkan
beberapa buku sebagai karya tulisnya, hanya saja tidak ada yang sampai kepada
generasi berikutnya.13 Adapun prinsip qiyas yang dicetuskan mendapat perhatian
generasi berikutnya bahkan pada periode kedua ini qiyasnya Abu ‘Amr ibn al- ‘Ala
itu disempurnakan oleh al-Khalil, sedang qiyas Abdullah ibn Abi Ishak al-Hadrami
dibatalkan.14

11

Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 30.

12

Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 72.

13

Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 70.

14

Muhammad khairuddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-’Araby, (Baerut:
Muassah al-Risalah, t.t), h.176.

Azkia Muharom Albantani

Dengan munculnya yunus ibn Habib al-Khalil, nahwu memasuki fase
baru, yang berbeda denghan fase sebelumnya. Periode ini ditandai, anatara lain
denga:15
1. Munculnya teori ‘amil nahwu, kemudian berkembang dan mendominasi
proses analisis kalimat,
2. Meningkatnya penggunaan qiyas nahwu sebagai pengaruh dari fiqh,
terutama oleh al-Khalil al-Faharadi,
3. Meningkatnya penggunaan ‘llah nahwu, dan
4. Penggunaan peninggalan bahasa zaman jahili dan zaman Islam dalam
argumentasi
Pada masa ini nahwu mulai tegak sendiri, mempunyai sumber data
yang banyak terutama terdiri dari fenomena kebahsaan dan kekayaan budaya.
Tokoh-tokonya yang utama adalah Yunus ibn Habib yang berorientasi kepada
gurunyaAbu ‘Amr ibn al-‘Ala yaitu berpegang kepada sima’.16tokoh yang lain
adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang lebih berpegang pada qiyas dan ta’wil.
Pada masa al-Khalil nhwu sangat dekat dengan ilmu fiqh dan ilmu
kalam,17 terutama dikota basarah. Sebenarnya sejaka abad 1 H, masa guru-guru Abu
Hanifah, guru-guru imam Syafi’i dan wasil ibn Atha telah banyak terjadi perdebatan
dalam bidang pemikiran keagamaan antara para ulama, termasuk ulama nahwu. Jadi
pengaruh fiqih terhadap nahwu terjadi sejak periode pertama, yaitu pada saat
mereka menganggap fiqih sebagai salah satu pokok ilmu keIslaman. Semua ulama,
termasuk ulama nahwu sangat menaruh perhatian, banyak yang menekuni dan
memanfaatkan ilmu fiqh. Sebagai contoh adalah keterpengaruhan al-Khalil oleh
qiyas Abu Hanifah.

15

Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 35.

16

Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 202.

17

Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 280-281.

Azkia Muharom Albantani

Al-Laits ibn al Mudzaffar bertanya kepada al-Khalil. Kata

‫عشرين‬

adalah jamak dari kata ‫عشر‬, jadi ‫ عشرين‬sama dengan tiga kali Sembilan atau dua
puluh tujuh. Mengapa ‫عشرين‬sama dengan dua puluh?
Al-Khalil menjawab ‫ عشران‬sama dengan 2 X 9 ATAU 18 ( ‫) عشرثمانية‬.
Dua lagi merupakan bagian dari ‫عشر‬yang ketiga digabung dengan ‫( عشران‬18)
menjadi 18 + 2 = 20 atau ‫عشرين‬jadi benar bahwa ‫عشرين‬sama denga 20, jamak dari
‫عشر‬.
Al- Laiy berkata mengapa begitu? Bukankah itu belum sempurna 3X
‫ ?عشر‬apa boleh saya katakana bahwa satu dirham ditambah satu danaq sama
dengan tiga dirham?
Al-khalil menjawab saya tidak senang mengqiyaskan dengan dirham,
melainkan dengan ucapan

Abu Hanifah. Anda mengetahui Abu Hanifah

mengatakan bahwa kalimat saya talak dia dengan dua talak dan sepuluh talak ( ‫طلقتها‬
‫ )تطليقتين و عشر تطليقات‬sama dengan talaq tiga. Sebabnya sepuluh talak

‫تطليقات عشر‬

yang terakhir itu berkedudukan sebagai talak yang ketiga. Hitungan Abu hanifah
sepuluh (‫ )عشر‬itu sama dengan hitungan saya dua tadi. Jadi 18 ditambah dua sama
dengan ‫عشران‬ditambah ‫عشر‬jadi ‫ عشرين‬sama dengan 20, karena ‫ تطليقتين‬ditambah
‫ تعشر تطليقا‬sama dengan ‫تثالث تطليقا‬.
Di samping itu, ulama nahwu menggunakan ijtihad dalam member
fatwa dan menggunakan ta’wil pada teks-teks untuk menyesuaikan dengan kaidah
yang telah dibuat, seperti halnya ulama fiqih.
Adapun kedekatannnya dengan ilmu kajian tampak pada pengambilan
kaidah induk terutama dalam hal ’amil. Mereka menyatakan bahwa semua kejadian,
dalam hal ini ilmu nahwu menyebutkan I’rab, tentu ada penyebabbnya. Mereka
menamakan penyebab ini dengan ‘amil. Apabila ada 2 ‘amil tentu ada 2 ma’mul.
Demikian sebaliknya. Kemudian tidak mungkin 2 ‘amil bertemu dengan satu
ma’mul, karena akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah
bahwan dua ‘amil mempunyai fungsi yang sama, yaitu sama-sama me-rafa’-kan,
men-nashab-kan atau men-jar-kan, sehingga disebut tahshil al-hashil. Hal itu tidak
masuk akal. Kemungkinan kedua adalah bahwa dua ‘amil itu berbeda fungsi.

Azkia Muharom Albantani

Umpamanya yang satu me-rafa’-kan, sedangkan yang lain me-nashad-kan. Hal ini
tidak mungkin dan tidak masuk akal.
Pengaruh ilmu kalam dalam pembentukan kaidah nahwu tampak jelas
diterapkan dalam menganalisis pola tanazu’ seperti kalimat ( ‫)جاء و جلس الطالب‬.
Dalam kalimat ini ada dua ‘amil, yaitu (‫ )جاء‬dan (‫)جلس‬, sedangkan ma’mul-nya
hanya ada satu, yaitu (‫)الطالب‬. Dalam hal ini terjadi dua pendapat. Pertama, menurut
ulama Bashrah yang beramal hanya ‘amil yang kedua, yaitu kata (‫ )جلس‬karena ‘amil
itu dengan mu’mil, sedangkan ‘amil yang pertama, yaitu (‫)جاء‬, diberi ma’mul lain,
yaitu dhamir yang sesuai dengan ma’mul, maka kalimat itu menjadi ( ‫جاؤاوجلس‬
‫)الطالب‬. Kedua, ulama Kufah berpendapat sebaliknya. Mereka menganggap bahwa
yang beramaladalah ‘amil yang pertama. ‘Amil yang kedua diberi ma’mul lain,
yaitu dhamir yang sesuai dengan mu’,il tersebut (‫)الطالب‬. Maka kalimat itu berubah
menjadi (‫) جاء وجلسواالطالب‬, sesuai dengan kaidah tanazu’ pada bait=bait berikut.
‫ قبل فللوا حد منهما العمل‬+ ‫إن عامالن اقتضيا في اسم عمل‬
‫ واحتار عكسا غيرهم ذا اسرة‬+ ‫ولثاني أول عند اهل البصرة‬
‫ تنازعاه والتزم ما النزم‬+ ‫وأعمل المهمل في ضميرما‬
‫ وقد بغي واعتديا عبداك‬+ ‫كيحسنان وبسيء ابنك‬
Dalam pola tanaz’u ulama nahwu tampak jelas menerapkan kaidah
tersebut di atas, yang memberikan gambaran keterpengaruhan dan kedekatan
mereka dengan ilmu kalam. Padahal dalam Al-Qur’an dan lain-lain banyak terdapat
pola yang disebut mempunyai dua ‘amil itu, seperti (‫)عبس وتولى أن جاءه األعمى‬. Juga
dalam syair seperti
‫ نمخل فاستاكت به عواد اسحل‬+ ‫إذا هي لم تستك يعود أراكة‬
‫ وأبي فكان وكنت غير غدور‬+ ‫إنى ضمنت لمن أتاني ما جنى‬
Keterpengaruhan nahbisa di-tashrifkan wu oleh ilmu kalam dan ilmu
fikih tampak pada gagsan al-Khalil tentang teori ‘amil, terutama dalam pola tanazu’
seperti dijelaskan di atas. Lebih lanjut al-Khalil membagi ‘amil menjadi ‘amil lafzhi
dan ‘amil ma’nawi. ‘Amil ada yang lebih kuat dari ‘amil.
Al-khalil orang pertama yang menyatakan bahwa ‘amil ada yang kuat
dan ada yang lemah atau yang disebut masing-masing ‘amil asli dan ‘amil cabang.

Azkia Muharom Albantani

Contoh

‘amil yang lemah adalah (‫ )إن‬yang mempunyai dua amal, yaitu

mubtada’dan khabar seperti ( ‫)إن الساعآأتية أكاد أخافيها‬. Tetapi ‘amil ‫ إن‬itu lemah
disbanding, ‫ كان‬karena ‫ إن‬itu tidak dapat di-tashrif dan mempunyai isim dhamir,
sedangkan ‫ كان‬bias di-tasrif menjadi fi’l mudhari seperti ‫يكون‬fi’il amr seperti ‫ كن‬,
dan mashdar seperti ‫كون‬. masing-masing kata yang ditasrif dari ‫كان‬itu ber-amal
pula seperti amal ‫كان‬. bahkan kata-kata yang ditasrif itu dalam bentuk mudzakar
dan mua’nast, baik mufrad (tunggal), mutsanna, jama’, semuanya ber-amal merafakan isism dan me-nasabkan khabar, seperti:

‫وما كان ربك نسيا‬
‫كان صديقا نبيا إنه‬
‫ياآبت إنى أخاف أن يمسك عذاب من الرحمن فتكون للشيطان وليا‬
‫كونو قردة خاسئين‬
Demikian pula saudara-saudara ‫ كان‬seperti ، ‫ أصبح‬، ‫ بات‬، ‫ ظل‬، ‫ كاد‬،

‫صارليس‬dan lain-lain lebih kuat dari saudara-saudara ‫إن‬seperti anna, lakina, la’alla
dan kaanna.
Al-Khalil berperan besar dalam meletakan dasar-dasar penciptaan
kaidah nahwu. Ia menyempurnakan dasar-dasar yang telah diletakan oleh Abu alAswad al-Du’ali dan ulama berikutnya hingga akhir angkatam periode pertama,
yaitu sampai masa Abu Amr ibn al-A’la mereka telah mengadakan penelitian,
membuat prinsip analisis, kemudian menarik kesimpulan tentang aturan-aturannya,
sedang al-Khalil meneliti kembali, memperdalam analisis, kemudian memberikan
deskripsi lebih luas dan jelas.18
Tidak berlebihan kiranya al-Khalil disebut sebagai ulama nahwu
terbesar di Irak, bahkan terbesar sepanjang masa. Dari pikiran-pikirannya timbul
karya-karya besar ditangan murid-muridnya dan ulama sesudahnya, seperti, al-Kitab
karya sibawih.
1. Penjelasan Singkat Perkembangan Ilmu Nahwu
18

Muhammad Khairaddin al-Halwani, al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-’Araby, h. 263.

Azkia Muharom Albantani

Dorongan utama dari penyusun nahwu ini adalah semata-mata untuk
membentengi bahasa arab Arab dari kesalahan ungkapan (lahn) yang ada pada masa
itu mulai menular serta merusak “edisi” Arab fusha. Dengan dilemma yang ada,
maka para ulama mersa khawatir atas keautentikan bahsa Arab yang akan
berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan memahami al-Quran.
Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum bahasa arab jerjankit lahn,
masyarakat Arab senddiri sudah mendapat masalah internal dalam keterbatasan :
mereka terbagi kedalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan memiliki
bahasa yang berbeda-beda antara suku satu dan yang lain. Upaya menyatukan
bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn lain yang
dating setelah agenda penaklukan (Arab : al-futuhat). Atas perintah Ali bin Abi
Thalib, Abu al-Aswad al-duali (Dhalim ibn ‘Amru ibn Hambal ibn Jundl ibn
Sulaiman ibn Hils al-Duali al-Kinnani) 1 SH-69 H/605-688 M. Berjuang untuk
menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab yang akan menjadi rujukan dikala
terjadi kesalahan ungkapan tersebut.
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad
sebagai peletak dasar ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa disana
banyak sekal;I pendapat yang menguatkan keabsahannya sebagai pioneer ilmu
nahwu (Arab : wadhi’-u ‘ilm al-Nahwu) itu sendiri, seperti disinggung dengan
bagus oleh Ahmad

Amien, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al ma’arif

mangafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang:” yang pertama kali meletakan
dasar pondasi Nahwu” orang yang pertama kali memberikan titik di mushaf dan
meletkan pondasi nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang digagas oleh Abu alAswad ini, lambat laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala
itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan
banyak generasi mahir dibidang ilmu bahasa Arab.
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu : Nashr ibn Ashim
al-Laitsi (wafat 89 H) dan Yahya ibn ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap
mengambil tongkat estafeta gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa

Azkia Muharom Albantani

Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian muridmurid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya
menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu : Khalil ibn Ahmad alFarahidi. Estafeta al-Khalil ini melahirkan murid brilian, sibaweh dengan karya
besarnya: “al-Kitab”.
Lagi-lagi disini menarik sekali menyelipkan argument Ahmad Amien,
bahwa Sibaweh tercatat sebagai murid Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, pengarang alKitab “Mu’jam al-Ayn”, darinya pula ia belajar gramatika bahasa Arab dengan
benar. Ahmad Amien memuji Khalil telah member sumbangsih banyak dalam
memperkaya khazanah Nahwu, tetapi herannya selepas al-Kitab Sibaweh muncul
pamor nomer satu Khalil merosot. Malah seperti amatan Ahmad Amien, dalam
kitab al-Zubaidi Mukhtasar kitab al-‘Ain misalnya menyebut al-Kitab karya
Sibaweh telah melumpuhkan kitab-kitab nahwu sebelumnya dan mematahkan kitabkitab Nahwu yang dating setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran Sibaweh sudah
melampaui gurunya sendiri.
- Polemik ahli nahwu basrah dan kuffah
Sejarah mencatat bahwa formulasi gramatika bahasa arab tidak
berjalan mulus apa adanya, disana ada pergolakan yang akut. Kiranya tiga kota
besar : Basrah, Kuffah, dan Baghdad patut diperhitungkan untuk meninjau kasus
polemic ilmu nahwu.
Di antara tiga kota besar itu adalah Basrah dan Kuffah yang banyak
mewarnai polemic pembahasan ilmu bahasa Arab. Factor penyebabnya tiada lain
karena kedua kota tersebut sama-sama memiliki ulama ahli bahasa andalan. Basrah
memiliki pakar bahasa sekaliber khalil ibn Ahmad al-Farahidi dan sibaweh,
sedangkan di Kuffah, sejak munculnya Abu Ja’far al-Ruasi kemudian disusul dua
orang muridnya : al-Farra’ dan al-Kisai’, tercatat. Menjadi lawan (oposan) bagi
ulam bahasa Basrah.

Azkia Muharom Albantani

Penting diketahui bahwa imbas perbedaan ulama Basrah dan Kuffah,
dengan sendirinya membuat madhab pemikiran keduanya berbeda dramatis. Aliran
Basrah berpijak pada qiyas karena terpengaruh pada logika Yunani yang kuat waktu
itu, sedangkan Kuffah lebih tergiur pada pendengaran (sama’ie).
Sementara itu kegiatan mengembangkan bahasa di Basrah dan Kuffah
semakin sistematis, masing-masing dari dua kubu tersebut memiliki sebuah majlis
bagi pecinta bahasa maupun syi’ir. Majlis hanya dipergunakan untuk mengkaji,
mendalami, dan meningkatkan bakat bahsa Arab. Kelompok ini kemudian dikenal
dengan “Madrasah” dalam perkembangannya. Basrah telah mendirikan madrasa
lebih lama dari pada Kuffah, dengan selisih 100 tahun lamanya. Di Basrah nama
madrasah itu

“Ukadz” yang berdiri sejak zaman jahiliyah, sementara nama

madrasah di Kuffah adalah “al-Naqasyah”.
Dalam mempelajari ilmu tata Arab, prioritas yang harus diutamakan
adalah ilmu Nahwu dan Sharf sebagaimana kata sebagian ul