RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN dampak GLOBALISA

RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN,
GLOBALISASI DAN KEDAULATAN NEGARA
Oleh: Syafuan Rozi Soebhan
(Periset di Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta)
Abstrak
Tulisan ini berusaha mengelaborasi lebih lanjut mengenai relasi kedaulatan dan
globalisasi kontemporer. Pembahasan tulisan dilakukan dengan cara mengkompilasi
berbagai konsep, debat teoretis dan contoh faktual yang terkait dengan konsep nasionalisme,
globalisasi dan kedaulatan negara, dan juga beberapa kemungkinan pola relasi ketiganya.
Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa konsep-konsep tersebut saling berinteraksi
dengan fakta, kepentingan dan konteks. Relasi mengenai nasionalisme dan kedaulatan
bangsa sendiri mengalami pasang surut ketika ada terpaan dan benturan kepentingan asing,
nasional dan lokal dalam globalisasi dalam berbagai aspek. Hal tersebut berimplikasi pada
posisi negara yang bisa kuat, sedang dan kadangkala melemah, seiring dengan pasang surut
kadar nasionalisme yang berkembang dalam suatu negara.
Premis penting yang diangkat dalam tulisan ini adalah pengaruh globalisasi dapat
memperkuat dan juga dapat memperlemah kedaulatan negara, sebagai ilustrasi tergantung
berapa tingkatan kadar Keindonesiaan akan diartikulasikan. Jika kadar nationhood atau
kebangsaan yang akan dimainkan tinggi oleh suatu negara maka dampaknya akan lahir
kebijakan-kebijakan yang memposisikan kepentingan nasional harus dimenangkan dalam
berhadapan dengan kepentingan global sehingga tercapai kondisi kedaulatan negara.

Ketiganya cenderung memiliki komposisi struktural dan fungsi yang mirip yaitu melibatkan
peran negara dan masyarakat, serta berfungsi sebagai perekat kepentingan kolektif
kebangsaan dan sebagai model interaksi warga dunia dalam konteks globalisasi. Ketiganya
tidak mungkin dipisahkan atau dikategorisasikan sebagai konsep tunggal yang berdirisendiri. Namun merupakan hasil perdebatan dinamis dan dialektika yang terus-menerus
berkembang, berkontestasi dan kemudian membangun kesimbangan baru, baik dalam
tataran konsep maupun praksis.
Kata kunci: Kajian Konseptual, Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi. Kedaulatan Negara.

A. Pengantar
Dalam perkembanganannya ada beberapa istilah yang terkait dengan konsep
kedaulatan, antara lain kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, kedaulatan bangsa, kedaulatan
negara-bangsa, kedaulatan nasion dan kedaulatan negara. Dalam tulisan ini, penulis memakai
konsep ‘kedaulatan negara’ dengan alasan bahwa relasi globalisasi dan nasionalisme ingin
dilihat dalam perspektif politik, yaitu unit analisisnya negara. Di dalam suatu negara, minimal
terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat atau warga negara, wilayah, pemerintah yang
berdaulat serta pengakuan dari negara lain
Dewasa ini dengan kekuasaan dan kedaulatan negara, bangsa dapat dibangun dan
diperkuat misalnya melalui batas wilayah nasional, bahasa persatuan, mata uang, politik
pangan, politik energi, politik pendidikan, politik transportasi, politik kesehatan, politik


16

perumahandan lain-lain, yang secara bertahap membentuk suatu indikasi menguat atau
melemahnya kedaulatan suatu negara. 1
B. Batasan Kajian Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Jika dilihat dari batasan kajian dan fungsinya, konsep nasionalisme akan membuat
suatu negara, mampu memiliki kekuatan dan kegigihan sentimen dan identitas nasionalnya
yang khas yang melahirkan konsep kedaulatan.2 Perasaan nasionalisme berciri dengan adanya
rasa memiliki, keinginan untuk merawat, menjaga dan memiliki kebanggaan menjadi bagian
darinya. Para nasionalis berbangga dengan adanya kedaulatan negara dengan menyebut
kejayaan masa lampau yang dimiliki Indonesia masa lalu hingga sekarang adalah sejarahnya
dan seakan-akan dialami oleh semua kelompok yang menjadi bagiannya.3
Di Indonesia wacana itu terlihat ketika orang bicara tentang kejayaan dan kedaulatan
negara Nusantara pertama dan kedua yang bernama Majapahit atau Sriwijaya. Keduanya,
dinilai megah dan hebat dinilai dari luasnya teritori daratan dan lautan sebagai wilayahnya
yang berdaulat. Wilayah Majapahit dan Sriwijaya digambarkan memiliki teritori yang lebih
luas hingga ke Madagaskar, Semenanjung Malaya, Mindanau, Formosa, hingga Papua.
Majapahit juga dibanggakan dengan adanya Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara
dan Seloka Bhineka Tunggal Ika sebagai nilai bersama dalam menghargai keberagaan yang
ada. Begitupun, Sriwijaya dibanggakan dengan poros maritim lautnya, bertahta di Temasik

Singapura, dan hadirnya perguruan Nalanda yang mengembangkan peradaban dan keutamaan
di jamannya.4
Dalam perkembangan kajian teoritik, batasan relasi nasionalisme dan globalisasi
terhadap kedaulatan negara dapat bersifat negatif, netral dan positif. Dalam konteks negatif,
relasi nasionalisme dan globalisasi terhadap kedaulatan bangsa ada dalam spektrum kiri,
menganggap globalisasi cenderung bersifat ancaman dan menggerus atau memperlemah
kadar nasionalisme suatu bangsa dan ujungnya memperlemah kedaulatan negara tersebut.
Indikasinya negara lebih membela kepentingan asing ketimbang kepentingan anak negerinya.
Hubungan yang terjadi adalah pola ketergantungan dan bekerjanya mesin komprador, elit
nasional yang lebih mengutamakan kepentingan asing dan kroninya ketimbang kepentingan
negara dan bangsanya sendiri.
Dalam spektrum positif, globalisasi malah akan memperkuat kadar nasionalisme suatu
bangsa, karena tantangan global malah akan secara positif membangun kesatuan, solidaritas
dan kemandirian sehingga melahirkan posisi kedaulatan negara untuk menentukan sendiri apa
yang mereka ingingkan tanpa didikte oleh pihak luar. Globalisasi dianggap sebagai hal positif
dan menguntungkan dengan munculnya sentimen kebangsaan yang menggerakan semua
pihak untuk bangkit menjadi kekuatan penting di tingkat global.
Globalisasi juga dapat dianggap sebagai suatu yang netral, tidak memperkuat dan
tidak juga menggerus nasionalisme, semuanya ada dalam kesimbangan yang bisa dikelola
1


Ibid,. Eriksen 1993:hlm. 102-4.
Lihat Benedict, Anderson, Imagined Communities. Reflections on the Origins and the Spread of
Nationalism, 2nd edition (London: Verso, 1991). Hlm. 9
3
Lihat, Thomas Hylland, Eriksen, Ethnicity and Nationalism, London (Chicago, Illinois: Pluto Press,
1993). Hlm. 101-102.
4
Lihat juga Muridan S. Widjojo, “Nasionalisme dan Etnisitas”, dalam Firman Noor, Nasionalisme,
Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia (Jakarta:LIPI Pers & P2P LIPI, 2007) hlm. 116.
2

17

dengan baik. Konteks globalisasi yang ada dalam spektrum tengah yang netral dan meyakini
adanya kemungkinan untuk mencapai kesimbangan antara semangat nasionalisme,
globalisasi dan kedaulatan bangsa yang ditunjukkan dalam bagan berikut ini.
Bagan 2.
Relasi Nasionalisme Kebangsaan dan Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara


Ket.: Diolah dari Muradi oleh Syafuan Rozi, P2P LIPI, Oktober 2015.

Sebagai ilustrasi dalam spektrum kanan yaitu paradigma positif yang optimis, menilai
bahwa globalisasi berdampak baik untuk memperkuat kedaulatan negara dan merawat
semangat nasionalisme itu sendiri. Kita juga dapat memasukan faktor interver-variable yaitu
pengaruh media internet ICT (Information Communication Technology) dalam menganalisa
kadar kebangsaan, kedaulatan negara dalam era globalisasi, ketika ada perang di dunia maya
atau cyberclash antar bloger-milister Indonesia dan Malaysia tentang ‘Malingsia’ dan
‘Indonesial’, telah memperkuat rasa kebangsaan dan pembelaan warga negara terhadap
kedaulatan Indonesia di dunia maya bagi pengguna internet Indonesia dalam membela
kepentingan dan kedaulatan nasional Indonesia terkait lepasnya pulau perbatasan Sipadan
Ligitan ke Kerajaan Malaysia dalam keputusan Mahkamah Internasional di Denhaag,
menolak klaim Batik, lagu ‘Rasa Sayange’, kuliner rendang, dan tarian reog sebagai warisan
budaya sesuai Akta Kebangsaan Malaysia, namun perlu disebut dan adanya pengakuan
bahwa hal tersebut merupakan warisan budaya Nusantara asal Indonesia.5
Dalam spektrum kiri yang skeptis, ada pandangan pengaruh negatif globalisasi
terhadap nilai- nilai nasionalisme dan kedaulatan bangsa. Globalisasi tanpa identitas dan
kebanggaan nasional akan
mampu melemahkan masyarakat Indonesia. Contohnya
liberalisme dengan pengutamaan prinsip ekonomi ‘dengan modal sekecil-kecilnya untuk

mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya’ dapat membawa kemajuan dan kemakmuran,
hanyalah impian semu belaka. Sehingga tidak menutup kemungkinan ‘kerakusan’ dan
‘keserakahan’ yang tersirat dalam ‘capitalisme greedy’ tersebut dapat mengubah semangat
5

Lihat Syafuan Rozi dalam Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI Vol.1 No.2. 2010, “Cyber clash di dunia
maya: cyberwar dan conflict resolution Indonesia-Malaysia”.

18

Pancasila anak-negeri Indonesia ke praktek liberalisme ekstrem, konsumerisme dan
hedonistik (hanya mencari kesenangan sesaat).
Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme dan kedaulatan nasional akan
hilang tergerus pelan-pelan menjadi oportunisme (aji mumpung), anomi (kebingunan nilai)
dan kondisi anarkhis (tak ditaatinya pengelola negara yang absah) sehingga menjadi
peringatan dini bagi antisipasi krisis politik identitas Indonesia dalam era globalisasi. Selain
itu, memunculkan sikap egoisme dan antisosial yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku
sesama warga, yang berlawanan dengan prinsip Pancasila, persatuan Indonesia. Dengan adanya sikap
egoisme individual maka orang Indonesia, namun tidak akan peduli dengan kehidupan dan nasib
bangsanya, yang melawan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Sebagi contoh untuk membumikan konsep kedaulatan negara, nasionalisme
kebangsaan dan adanya dampak globalisasi yang asimetris, bisa dijelsakan dengan adanya
gejala ketimpangan pola konsumsi kuliner berbahan dasar daging impor atau asing dibanding
kuliner nasional dan lokal, dalam konteks terjadinya lemah posisi kedaulatan pangan di
Indonesia era reformasi pasca Presiden Soeharto. Masa Soeharto, dengan peternakan Taposnya, ada ketahan pangan daging yang subsisten. Namun pasca-Soeharto, idealnya ada
kehadiran negara dalam politik pangan dalam hal kesimbangan antara rasa cinta terhadap
produk dalam negeri dengan banyaknya produk luar negeri yang hadir (seperti Mc Donald,
Coca Cola, Pizza Hut, daging impor Bistro Australia dengan daging sapi asal NTB-NTT,
dll.). Isu kedaulatan pangan akan bersinggungan dengan persoalan politik ketahanan dan
kecukupan pangan di Indonesia: siapa mendapat panganapa, kapan dan bagimana dalam
kerangka Harold Laswell.
Posisinya, kedaulatan pangan negara dalam hal komiditas pangan daging cenderung
melemah jika tidak ada keberpihakan pada peningkatan produksi peternak lokal dan
membangun sistem transportasi ternak antarpulau di Indonesia. Juga belum optimumnya
upaya negara mempromosiklan makanan rendang, rawon, soto dan sebagainya tidak cuma
simbolik kebanggaan nasional namun ‘go global’ menembus pasar dunia dalam bentuk
kedaulatan pangan kuliner nusantara di tingkat global. Sehingga secara sederhana misalnya
ada analisa bahwa dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri, menunjukkan
gejala berkurangnya rasa nasionalisme dan kebanggaan produk nasional. Hal itu akan

menggerus kedaulatan pangan Indonesia dan memperlemah kedaulatan negara. Terpaan
produk asing terhadap bangsa Indonesia yang kurang bangga memiliki identitas dan warisan
budaya kuliner nasional, akan mematikan kedaulatan pangan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, perkembangan konsep globalisasi menurut Robertson mengacu pada
gejala penyempitan dunia secara intensif akibat meningkatnya konektifitas atau
keterhubungan antar warga dunia layaknya sebuah perkampungan kecil, sehingga gaya hidup,
orientasi dan budaya yang tadinya berbeda (heterogen), dalam konteks ruang dan waktu,
mereka kemudian relatif tampak seragam (homogen).6 Ada beberapa pola dan konteks
globalisasi yang terkait interaksinya dengan semangat nasionalisme dan kedaulatan negara,
misalnya ada kategori westernisasi atau proses semangat nasionalisme yang cenderung

6

Lihat Roland Robertson, Mike Featherstone, Scott Lash, (edit.), Global Modernities (London:
Sage, 1992), hlm. 26. Khususnya artikel R. Robertson tentang “Glocalization:Time, Space and HomogenityHetrogenity”.

19

menjadi kebarat-baratan sebagai lawan bentuk modernisasi dengan identitas nasional yang
tangguh; ada internasionalisasi yaitu suatu posisi kebijakan negara untuk terbuka masuk ke

dalam ranah dunia; ada universalisasi ketika nilai-nilai negara mengadopsi nilai-nilai
berbagai bangsa dan ada liberalisasi yang menekankan peran pasar ketimbang peran dominan
negara dalam suatu era global. Hal ini tergambar dalam bagan sebagai berikut:7
Bagan 2.
Pandangan Globalisasi berdasarkan 4 Kategori

Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Pola Pertama yaitu: (a) Kadar nasionalisme dan kedaulatan negara mengalami proses
tantangan penggerusan oleh budaya barat atau gejala Westernisasi yaitu proses suatu politik
negara dan bangsa menjadi peniru mutlak sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga
teknologi Barat dengan cara menelai mentah begitu saja. Kondisi ini dinilai sebagai proses
etnosentrisme menjadi kebarat-baratan, suatu konsep yang berbeda dengan istilah
modernisasi, menjadi modern atau maju. Dalam konteks ini lahirlah kebijakan “Berdikariberdiri di atas kaki senidiri, keperbadian Indonesia dan kedaulatan ekonomi nasional sebagi
reaksi terhadap Westernisasi. (b) Internasionalisasi: proses suatu bangsa menjadi ‘go
internasional’, berdaya saing dengan luar negeri, bukan hanya ‘jago kandang’ di tingkat lokal
dan nasional. Think globally act locally. Berfikir global bertindak lokal. Dalam hal ini lah
pangan kita diekspor atau didorong menjadi waralaba di manca negara, Batik dan Rendang
sebagi warisan dunia asal Indonesia (c) Universalisasi : proses menjadi lebih luas ke alam
semesta universal, bukan hanya partikular, khusus dan menyempit. Ada semangat universal

yang digunakan untuk merawat semangat toleransi antar identitas primordial yang berbeda
dan negara hadir sebagai pengawal tegaknya keadilan sosial dan merawat perdamaian(d)
Liberalisasi: proses mengarah ke pasar bebas, bukan hanya serba dikuasai atas nama negara
dan pebisnis asing namun juga hadirnya pemain negara dan wirausaha nasional berdaya saing
global, sebagai indikator kuatnya kedaulatan suatu negara di era liberalisasi pasar global.
C. Definisi dan Konsep Nasionalisme Kebangsaan dan Kedaulatan Negara

7

Lihat presentasi narasumber Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD pada FGD di LIPI Bandung, tgl. 2

Juli 2015.

20

Definisi nasionalisme tidak tunggal dan bervariasi sesuai paradigma dan pendekatan
yang digunakan dalam mengkajinya. 8 Nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian.
Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini
bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling
selaras.9 Selanjutnya, Guibernau dan Rex mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan

bahwa dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada
sebuah teritori tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan sebuah kemauan untuk bersatu
tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan.10
Menurut Firman Noor, dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat tentang
nasionalisme Gellner sampai pada sebuah kesimpulan bahwa nasionalisme sesungguhnya
bukanlah sesuatu yang universal dan berlaku umum untuk seluruh manusia. Namun di sisi
lain keberadannya bagi suatu bangsa merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya, bahkan
dapat dikatakan sebagai suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan semata. Lebih
lanjut Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah
sebuah nasionalisme yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna
yang komprehensif.11
Grillo Gellner (1980) berpendapat bahwa ideologi nasionalisme muncul sebagai
reaksi terhadap industrialisasi dan tercerabutnya masyarakat dari komunitas lokal mereka
yang menuntut mobilitas geografis yang tinggi dan sejumlah besar orang menjadi bagian dari
sistem ekonomi yang sama dalam suatu negara. Sebagai ideologi, nasionalisme digunakan
untuk menciptakan kohesi dan loyalitas di antara individu yang berpartisipasi di dalam sistem
yang berskala besar yang disebut negara. Dia merangkai suatu eksistensi komunitas yang
diimajinasikan berdasarkan budaya yang sama dan menyatu di dalam negara di mana
loyalitas masyarakat dan keterlibatan mereka diarahkan ke negara, bukan pada komunitas
asal berdasarkan ikatan primordial atau kampung halamannya.
Dengan demikian nasionalisme kebangsaan dapat berperan dalam menyediakan rasa
aman dan stabilitas ketika dunia-kehidupan terpecah dan terbagi-bagi dalam ikatan primordial
suku, agama dan ras dan masyarakat tercerabut dari akar-akar budayanya. Jadi tujuan penting
nasionalisme adalah menciptakan kembali sentimen keutuhan dan kesinambungan dengan
masa lalu antar warga negara, mentransendensi alienasi dan keretakan antara individu dan

8

Lihat artikel Muridan S. Widjojo , “nasionalisme dan Etnisitas” dalam bab IV. Firman Noor (P2P LIPI,
2007) hlm. 115 Ia menjelaskan kapan munculnya nasionalisme dijelaskan berbeda-beda. Ada yang mengatakan
berasal dari pemberontakan Inggris melawan monarki pada abad XVII (Khan 1944, Greenfeld 1991),
perlawanan eli-elit dunia baru terhadap kolonialisme Iberian (Anderson, 1991), Revolusi Perancis 1789 (Alter
1989, Best 1988), dan reaksi Jerman terhadap revolusi tersebut dan terhadap perpecahan Jerman (Kedourie
1960, Breuilly 1982). Meskipun demikian hampir semua sepakat bahwa pada 1815 nasionalisme sudah
mendapatkan bentuknya. Pada masa awal jaman modern nasionalisme sebagai agregasi orang-orang yang
dikaitkan dengan lokasi dan karakteristik sosial budaya yang sama menggunakan konotasi politik dan budaya
dalam perjuangan dengan dan di antara negara-negara dalam hal state-building (Calhoun, 1993: 212-3).
9
Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Oxford : Basil Blackwell, 1983, hal. 1.
10
Montserrat Guibernau dan John Rex, (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and
Migrations, Cambridge: Polity Press, 1997, hal.8.
11
Lihat kutipan dari Ernest Gellner, Nationalism, London: Phoenix, 1998, hal.11, dalam tulisan Firman
Noor, bagian bab 1 Pendahuluan buku Nasionalisme, Demokrstisasi dan Ikatan Primordial di Indonesia
(Jakarta: P2P LIPI-LIPI Press, 2007) hlm. hlm. 11

21

masyarakat yang diakibatkan oleh modernitas dalam suatu tata kelola negara yang berdaulat
12

Ada setidaknya dua tipe nasionalisme yang berlaku menurut analisis Hutchinson. Satu
adalah nasionalisme ‘panas’ yang didaktis (bersifat pendidikan) dan transformatif (perubahan
nilai) yang bertujuan menanamkan ide tentang bangsa sebagai obyek pemujaan yang sakral
(suci) dan transenden untuk mana warganya harus berkorban. Ini merupakan fenomena
episodikal yang sadar-diri (self-conscious), sistematis, dan preskriptif, yang menyediakan
bentuk-bentuk perilaku teladan untuk mempersatukan semua komponen (kelas, etnis, agama,
daerah dan jender) bagi bangsa yang dibayangkan. Nasionalisme ini bekerja dalam
pengaturan batas-batas sosial yang intensif dan ekstensif. 13
Berikutnya, yang kedua, nasionalisme ideologis. Nasionalisme dengan cita-cita dan
kedisiplinan memperjuangkannya. Interaksi ini berlanjut pada masa kini. Signifikansi jangka
panjangnya adalah penciptaan mitos-mitos, citra, dan simbol-simbol nasional oleh publik
terdidik yang semakin luas yang ditujukan untuk menyediakan makna, status, arahnya pada
kehidupan sehari-hari. Ini adalah nasionalisme informal atau ‘banal’ penduduk yang
‘mengkonsumsi’ nasionalisme dengan cara yang relatif ‘tak-sadar-diri’ yang terwujud dalam
dekorasi rumah-rumah, pengaturan kebun-kebun, pernyataan kepatuhan mereka melalui
pertandingan olah raga internasional. Meskipun ada tendensi untuk melihat mereka dalam
terminologi yang linear, mereka beroperasi bersama di dalam suatu relasi yang interaktif
untuk membentuk identitas-identitas massa bangsa. 14
Selanjutnya, perlu dibahas ontologi konsep kedaulatan. Asal mula kata “kedaulatan”
dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab “daulah” atau “daulat” yang berarti
kekuasaan atau dinasti pemerintahan, juga disamakan dengan sovranita dalam bahasa Italia,
souvereignty/sovereignty dalam bahasa Inggris yang juga disamakan dengan kata
souvereiniteit, souvereinet dan sovranus, yang mana kata-kata tersebut berasal dari bahasa
Latin superanus yang berarti tertinggi atau dalam pustaka lain diartikan sebagai raja kepala
negara yang tertinggi.
Dalam literatur ilmu tata negara dan ilmu politik pendekatan tradisional disebutkan
bahwa kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan,
masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan
pemberian dari Tuhan atau Masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep
kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam
negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam
konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi
hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat
bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.15
Kedaulatan sebagai istilah kenegaraan timbul pada abad ke-16 oleh Jean Bodin
(1530-1596) dalam bukunya Les Six Livres de la Republique (1576). Kedaulatan menurut
beliau adalah “la puissance absolue et perpetuelle d’une republique” (terjemahan bebas:
“kekuasaan absolut dan berlangsung terus menerus dalam sebuah republik), maksudnya
12

Ibid,. Ernest Gellner.
Ibid., Hutchinson 2006: 304-5.
14
Ibid,- Hutchinson 2006: 304-5.
15
Lihat Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1991), bab 1 dan 2.
13

22

kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang tidak boleh dibatasi oleh
konstitusi, tetapi boleh oleh hukum ilahi dan hukum alamiah, kedaulatan ialah piranti dalam
tangan seorang raja dalam bentukan monarki atau berada dalam genggaman tangan rakyat
dalam suatu Negara berdasarkan demokrasi.
Sebagaimana dikutip oleh Boer Mauna, yang menyatakan bahwa kedaulatan juga
mempunyai pengertian negatif dan positif. Pengertian negatif dari kedaulatan mengandung
makna: Kedaulatan dapat berarti bawah negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi. Kedaulatan berarti bahwa Negara
tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara
yang bersangkutan. Sedangkan pengertian positif dari kedaulatan mengandung makna bahwa
kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga
negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari suatu negara. Kedaulatan memberikan
wewenang kepada Negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi
kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen atas sumbersumber kekayaan alam.16
Kedaulatan merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara. Dalam ilmu politik
disebutkan bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah adanya pemerintahan yang
berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan
(authority) yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas (unlimited). Dengan demikian,
kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh
wilayahnya tanpa adanya campur tangan dari negara lain.
Selanjutnya, Jean Bodin, seorang pemikir politik dan anggota parlemen Prancis, yang
hidup di antara tahun 1500 – 1596, memandang kedaulatan sebagai sesuatu kekuasaan
tertinggi untuk menentukan hukum dan kebijakan publik di suatu negara. Ia memandang pada
hakikatnya kedaulatan memiliki 4 (empat) sifat pokok sebagai berikut: Asli, artinya
kekuasaan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Permanen, artinya kekuasaan
tetap ada selama negara berdiri, sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti. Tunggal
(bulat), artinya kekuasaan merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara yang
tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan lain. Tidak Terbatas (absolut), artinya
kekuasaan tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya,
tentu kekuasaaan tertinggi yang dimilikinya itu akan lenyap.17
Pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki Negara, menurut Jean Bodin mempunyai
kekuatan yang berlaku ke dalam (interne souvereiniteit) dan ke luar (externe souvereinoteit),
yaitu sebagai berikut. Kedaulatan Ke Dalam : Pemerintah memiliki wewenang tertinggi
dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedaulatan Ke Luar : Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan
tidak tunduk kepada kekuasaan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
16

Lihat Boer Mauna, Sosialisasi Kementerian Luar Negeri RI "Mengenal Kemlu Lebih Dekat" Di Universitas
Megou Pak Tulang Bawang, Lampung" Kemlu RI, 12 April 2011. Diakses 18 November 2015.
17
Lihat Jean Bodin, The Six books of the Commonwealth (1576). For the Six books of the
Commonwealth only sixteenth- and seventeenth-century editions are at present available. An abridged version
by J. C. de Laire was published in 1755. Authorities; Jean Bodin. OEuvres philosophiques, texte établi, traduit,
et publié par P. Mesnard (Corpus général des philosophes français). Of this series the first volume has appeared,
Methodus ad facilem historiarum cognitionem (Paris, 1951); G. H. Sabine, A History of Political
Theory (London, 1937).

23

Demikian juga halnya dengan negara lain, harus pula menghormati kekuasaan negara yang
bersangkutan dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.18
Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah negara,
pemerintahan, masyarakat atau bangsanya. Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan bangsa
dan pemegang kedaulatan suatu negara, setelah revolusi Perancis pernah dikemukakan oleh
Jean-Jacques Rousseau yang membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto (secara
faktual, sesuai kenyataan) dan de jure (menurut hukum dan pengkuan pihak/negara lain).19
Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang disebut
Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat. Teori ini menganggap
bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota
masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract
social” (1762), Rosseau mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat
(volonte generale), demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah
penjelmaan kemauan rakyat. Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati
hukum. Sebelum bernegara para individu adalah orang baik, namun ketika bernegara ia bisa
menjadi egois dan jahat, karena itu diperlukan semacam kontrak politik yang akan mengikat
individu menjadi orang baik ketika bernegara. Teori ini kemudian dikritik dan dikembangkan
lebih lanjut oleh Thomas Hobbes (State as Leviathan), Montesquieu (The Nature and Trias
Politica), dan John Locke (The Traits).20 Hobbes misalnya menambahkan bahwa keadaan
alamiah sama sekali bukanlah keadaan yang aman, adil dan makmur, karena itu diperlukan
negara yang kuat untuk memaksa individu menjadi warga negara yang patuh dan baik.
Namun sebaliknya, keadaan alamiah Thomas Hobes merupakan suatu keadaan sosial
yang kacau (chaos), tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela, tanpa pemerintah,
dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku
adalah hukum rimba dimana yang terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan
merupakan binatang yang senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh
sesamanya dan menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari
padanya. Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (manusia
yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).21
Selanjutnya ada beberapa pemikir politik tentang kedaulatan negara. Tokoh-tokoh Teori
Kedaulatan Negara Klasik antara lain adalah Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan
Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian
Rakyat. Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa: Hukum adalah kehendak negara.
18

Ibid,- G. H. Sabine.
Jean-Jacques Rousseau, On The social contract (Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique
(Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik), (Amsterdam: Chez Marc Michel Rey-Dover Thrift
Edition: 1762), lihat chapter XII hlm. 127.
20
Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat telah menyerahkan seluruh
haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hobbes,
negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak. Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum
subjectionis tidak seluruh hak manusia yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang
diberikan oleh hukum alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak asasi manusia
yang terdiri dari hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja
dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke, negara itu seharusnya
berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.
21
Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
19

24

Hukum bukan kemauan bersama anggota masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak
terbatas; Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.22
Kemudian berkembang Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20, menjadi
antithesis dan menentang teori Kedaulatan Negara. Tokoh-tokohnya adalah Cruot (Perancis),
Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini berpendapat bahwa hukum berasal dari
perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat; hukum mewujudkan
perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat; Oleh karenanya hukum ditaati oleh
anggota masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”,
Krabbe menyebutkan bahwa rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum; hukum hanya
apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak; peraturan yang tidak sesuai dengan
rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat. Peraturan seperti itu bukan merupakan
hukum, meskipun masih ditaati orang atau dipaksakan; Masyarakat mempunyai perasaan
bagaimana hukum itu seharusnya, dan karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang
timbul dari perasaan hukum yang mempunyai kewibawaan.
Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah
perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara secara memaksakan, dan
biasanya ditaati; Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi di dalam suatu
negara. Sumber-sumber yang lain disebut sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate
sources). Menurut John Austin, hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom
dan dapat mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa
unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsurunsur yang bersifat historis didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari
perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu
negara.
Jeremy Bentham (1748-1832),23 seorang penganut utilitarian yang menggunakan
pendekatan tersebut ke dalam kawasan hukum, konstitusioanlisme dan nasionalisme, yaitu
sebagai berikut: bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia
mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya
penderitaan; Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan
paling besar dari sejumlah terbesar rakyat dan kepentingan nasional suatu negara dalam
payung semangat nasionalisme atau kebangsaan.
Kemudian ada tokoh John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy
Bentham, yaitu sebagai berikut: Bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya
kebahagiaan; Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul
kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen,
yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati; Keadilan bersumber pada
naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri,
maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan
memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual
melainkan juga kepada kepentingan orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri.
Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki
bagi kesejahteraan umat manusia.

22

Ibid, Ahmad Suhelmi.
Lihat karya Rosen, Frederick (1992). Bentham, Byron, and Greece: constitutionalism, nationalism,
and early liberal political thought. Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-820078-1; Bentham, Jeremy (1977).
Burns, J.H; Hart, H.L.A., eds. A Comment on the Commentaries and A Fragment on Government. London: The
Athlone Press. p. 393. ISBN 0485132125. Rosen, F. (1983). Jeremy Bentham and Representative Democracy: A
Study of the "Constitutional Code". Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-822656-X.
23

25

Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “social
utilitarianism”, mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan
menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill. Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang
“tujuan”, yaitu sebagai berikut:Tujuan negara adalah penciptaan dari seluruh hukum, tidak
ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif
yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasilhasil tertentu yang diinginkan; Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan
sejarah, namun menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa
hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak
direncanakan dan tidak disadari; Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan
ditujukan kepada tujuan tertentu.24
Selanjutnya dalam perspektif teori kritis (critical thinking theory) Thomas J.
Biersteker dan Cynthia Weber, berpendapat bahwa kedaulatan Negara sebagai konstruksi
sosial. Kedaulatan Negara adalah bagian dari konstruksi sosial atau sebuah proyek nasional
kepentingan elit yang melibatkan massa. Sistem Negara modern tidak berdasarkan pada
prinsip kedaulatan dalam konteks waktu yang tak terbatas. Kedaulatan Negara merupakan
hasil konsepsi normatif yang menghubungkan kewenangan/autoritas, wilayah, populasi
(masyarakat, bangsa, nasion) dalam mewujudkan suatu pengakuan dalam cara yang unik
dan berlaku di suatu tempat khusus dalam suatu negara. Kedaulatan Negara merupakan upaya
untuk mewujudkan kerja keras para negarawan, diplomat dan intelektual, yang merupakan
upaya dari pihak yang berkuasa dan pihak yang resisten terhadapnya.
Selanjutnya digambarkan bahwa ‘Kedaulatan Negara’ merupakan hasil
penggambaran, teoritisasi dan ilustrasi dari suatu praktik yang secara sosial dibangun
(socially constructed), dihasilkan kembali (reproduced), disusun ulang( reconstructed), dan
disusun kembali (deconstructed) sehingga dapat menjadi ideal dan mampu dipertahankan
terhadap para peganggunya. Bagian kedaulatan Negara tidak hanya pengakuan (recognition),
tetapi juga kewilayan (territory), penduduk (population), dan kewenangan (authority), semua
hal tersebut secara social politik dibangun dan menyatu dalam konteks sejarah tertentu.25

D. Relasi Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Dalam kasus faktual ada informasi bagaimana turis lokal diusir oleh bule asing ketika
menikmati matahari senja di pantai Gili Terawangan karena menganggap pantai tersebut
adalah hak milik mereka. Pengalaman yang sama juga dialami oleh turis lokal di Pantai
24

Ibid, Ahmad Suhelmi.

25

Lihat Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber, State Sovereignty as Social Construct (Cambridge
University Press, May 2, 1996). Penjelasan mereka adalah”… State sovereignty is an inherently social
construct. The modern state system is not based on some timeless principle of sovereignty, but on the production
of a normative conception which links authority, territory, population (society, nation), and recognition in a
unique way, and in a particular place (the state). Attempting to realize this ideal entails a great deal of hard
work on the part of statespersons, diplomats, and intellectuals. The ideal of state sovereignty is a product of the
actions of powerful agents and the resistances to those actions by those located at the margins of power. The
unique contribution of this book is to describe, theorize, and illustrate the practices which have socially
constructed, reproduced, reconstructed, and deconstructed various sovereign ideals and resistances to them.
The contributors analyse how all the components of state sovereignty - not only recognition, but also territory,
population, and authority - are socially constructed and combined in specific historical contexts..”.

26

Mande, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Masyarakat Bali di sanur dan Kuta Bali pun pernah
mengeluh karena wilayah akses mereka ke pantai untuk melasti, ngaben atau menangkap
ikan di tutup tembok oleh pengusaha hotel. Sehingga orang Bali ada yang protes dengan
ungkapan “Kembalikan Baliku Padaku”. Kedatangan oknum pihak asing untuk berinvestasi
pariwisata di Indonesia seolah telah merobek rasa kebangsaan dan kedaulatan negara.
Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai anak negeri yang disegani dan dihormati secara
sepantasnya dalam hubungan antarbangsa. Ada keluhan, negara lemah, ada negara dalam
negara. Sebagai ekspresi kekesalan terhadap gejala melemahnya kedaulatan negara di tanah
air pada masa tertentu.
Di masa lalu juga ada persoalan lepasnya pulau terluar Indonesia setelah disidangkan di
Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, yaitu kasus pulau Sipadan dan Ligitan di
Kalimantan Timur yang secara ‘de fakto’ dimanfaatkan oleh pihak Malaysia sebagai wilayah
pariwisata global mereka, yang dampaknya juga mengusik rasa kebangsaan Indonesia.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan sebanyak 47
pulau terluar di wilayah Indonesia akan disertifikasi pada tahun 2015 sebagai upaya
mempertahankan kedaulatan negara. Diantara 47 pulau terluar itu termasuk juga yang pulau
sengketa. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry
Mursyidan Baldan menegaskan upaya sertifikasi pulau terluar Indonesia dilakukan demi
kedaulatan wilayah Tanah Air. Ini untuk menghindari potensi konflik dengan negara lain yang
mau klaim.26
Di masa sekarang ada upaya negara di bawah kepemimpinan presiden Jokowi JK untuk
mengadakan kapal angkut ternak dari NTB dan NTT, untuk mengangkut sapi ke pulau Jawa,
dalam rangka peneggakan kedaulatan pangan, khususnya daging, yang harganya melangit
karena sebagian besar didatangkan dari Australia dan Selendia Baru. Presiden Joko Widodo
(Jokowi) meresmikan kapal angkutan khusus sapi KM Camara Nusantara I di Galangan
Kapal PT Adiluhung Saranasegara Indonesia, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Kapal yang
bisa mengangkut ternak sapi sebanyak 500 ekor sapi ini merupakan yang pertama di
Indonesia. Kapal ini milik kementerian perhubungan (Kemenhub). Kapal ternak pertama
yang pernah kita buat dan kita jalankan di Indonesia. Ini kapal ternak berkapasitas 500 sapi,
berukuran 200 GT, dibangun di galangan kapal dalam negeri. Kementerian Perhubungan
(Kemenhub) terus meningkatkan armada program tol laut. Rute kapal ternak ini yaitu
Kupang-Bima-Tanjung Perak-Tanjung Emas-Cirebon-Kupang, pulang pergi. Tahun 2015 ini
26

Lihat artikel: “Kementerian Agraria: Tahun Ini 47 Pulau Terluar Disertifikasi”. Sumber: BeritaSatu,
Senin, 02 Februari 2015 | 17:02. http://www.beritasatu.com/nasional/245750-kementerian-agraria-tahun-ini-47pulau-terluar-disertifikasi.html.Deputi Bidang Pengaturan dan Pengendalian Pertanahan Kementerian ATR/BPN
Doddy Imron Cholid menyatakan dari 92 pulau terluar, sisanya tinggal 47 pulau. Semuanya sudah disurvei dan
tahun 2015 diselesaikan sertifikasinya. Ke 47 pulau terluar yang berada di delapan provinsi itu, terdiri atas
pulau berpenghuni dan tak berpenghuni. Nantinya, sertifikat hak milik akan diberikan kepada warga penghuni
pulau terluar. Sementara untuk pulau tak berpenghuni akan diberikan sertifikat hak pakai yang kemudian
diserahkan kepada kepala daerah setempat. Doddy mengatakan sertifikasi pulau-pulau terluar Indonesia itu akan
diikuti oleh pendaftaran ke mahkamah internasional guna menghindari masalah klaim dari negara lain. Presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan perhatian lebih kepada pulau-pulau terluar di wilayah
Indonesia. Hal itu ditunjukkan melalui langkah sertifikasi dan elektrifikasi pulau-pulau terluar di Tanah Air yang
terkenal tak hanya indah tetapi juga menyimpan potensi energi yang luar biasa.Bahkan, pada HUT RI ke 70
pada 17 Agustus 2915, ditargetkan ke 47 wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia itu sudah bisa dialiri
listrik.

27

Kemenhub memesan pembuatan 200 kapal antara lain kapal penumpang, kapal fery, kapal
ternak, kapal navigasi, kapal penjaga pantai, dan sebagainya.27
Ada kecenderungan pola relasi nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan Negara,
bersifat positif, netral atau malah negatif. Akan positif bila hadirnya globalisasi, ada strategi
nasional untuk mampu membngun posisi tawar terhadap pihak luar untuk menguatkan sebuah
bangsa. Ini terjadi jika posisi Negara diakui berdaulat dan kuat. Posisi netral, jika globalisasi
dan nasionalisme mengalami kesimbangan. Selanjutnya akan berpola negatif jika relasinya
timpang atau asimetris dan eksploitatif, sehingga hadirnya globalisasi politik, ekonomi sosial
budaya akan berkemungkinan menggerus nasionalisme suatu negara dan bangsa.28
Sebagai ilustrasi, ada contoh kasus aktivis serikat petani Indonesia asal Medan,
Sumut, yang menjadi aktifis petani dunia bahwa gagasan demokratisasi memang telah
membuka ruang baru untuk keterlibatan warga negara dalam proses perumusan kebijakan.
Namun, proses demokratisasi secara luas dimaknai hanya sebatas terbentuknya kelembagaan
baru yang belum tentu mempengaruhi perubahan kebijakan yang pro terhadap kaum miskin
seperti petani dan nelayan kecil.
Sebaliknya, ruang baru tersebut justru lebih banyak bergantung dan dipengaruhi oleh
sifat relasi kekuasaan yang ada, baik relasi kekuasaan di tingkat lokal, nasional dan global.
Di satu sisi, negara dihadapkan pada kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara
khususnya kelompok miskin, untuk memperkuat bangunan nasionalisme. Namun di sisi
lainnya hadir aktor global yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan, yang
mengusung kepentingan pasar dalam konteks monopoli dan konglomerasi. Namun dalam
beberapa kasus mengabaikan tanggung jawab sosial, kultural dan rusaknya lingkungan.29

27

Lihat
http://finance.detik.com/read/2015/11/10/130038/3066888/4/kapal-angkut-sapi-yangdiluncurkan-jokowi-pertama-di-ri
28
Dalam perkembangannya ada yang menilai relasi negatif dari globalisasi yang menimbulkan
berbagai masalah nasionalisme dan kedaulatan negara dalam bidang politik kebudayaan, misalnya : –
berkurangnya peran negara dalam pelestarian dan pementasan budaya asli suatu daerah atau suatu negara –
terjadinya erosi nilai-nilai budaya oleh budaya Pop, – menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme –
hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong – kehilangan kepercayaan diri – gaya hidup kebarat-baratan
yang lazim disebut sebagai proses “Westernisasi”. Bandingakan dengan Malaysia yang telah lama memilik Akta
Kebangsaan yang membiayai perawatan berbagai budaya di sana lewat politik anggarannya untuk menegakkan
semboyan Malaysia is the truly Asia. Namun, globalisasi juga memba arus positif seperti: good governance,
deliberative, procedural and subtantive democracy, yang berdampak pada diterapkan politik kesejahteraan dan
unifikasi nasional yang terawat baik.
29
Lihat
Aprizal Kurniawan Amsar,
Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA,
RELASI
NASIONALISME, GLOBALISASI DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK: “Perjuangan Hak-Hak
Asasi Petani Sebagai Warga Negara, Ditengah Perubahan Relasi Kekuasaan Nasional dan Global” dalam FGD
di FISIP USU, Medan tgl. 12 Mei 2015.

28

Berikut ini beberapa pola relasi yang terkait dengan konsep nasionalisme kebangsaan,
globalisasi dan posisi kedaulatan negara, secara konseptual:
Bagan Relasi Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Pola relasi nasionalisme kebangsaan, globalisasi dan kedaulatan negara dapat
mengambil bentuk sling ketergantungan, adanya kedaulatan domestik negara, adanya
pengakuan kedaulatan hukum internasinal dan tradisi kedaulatan Westphalian, sebagai
berikut: proses globalisasi dan ‘Kedaulatan Negara’ yang berkemungkinan mengalami suatu
kondisi antar lain (a) Interdependensi: proses saling ketergantungan antar negara dalam era
globalisasi, bisa dirujuk teori sistem dunia Welerstein. Immanuel Wallerstein mengatakan
bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang sangat kuat pengaruhnya terhadap sejumlah
negara yang ada di dunia, sehingga dalam kaitan integrasi yang terjadi juga hanya
berdasarkan kepentingan ekonomi dari pada relasi politik. Dapat dikatakan bahwa hubungan
yang terjadi hanyalah bersifat profit dan defisit. Teori ini berkeyakinan bahwa tak ada
satupun negara yang mampu melepaskan diri dari sistem kapitalis. 30 (b) penguatan
Kedaulatan Domestik: berupa proses memperkuat peran bangsa sendiri. Ada istilah atau
konsep kedaulatan bermakna ‘berdikari’ yaitu: berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini dikenalkan
oleh Mahatma Gandhi dari India dengan prinsip Swadesi-nya kemudian dikembangkan pula
oleh Soekarno dengan prinsip Berdikari. (c) Kedaulatan Hukum Internasional: Bagi
mazhab John Austin, misalnya “hukum” pada kata hukum internasional bukanlah perintah
dari orang yang berdaulat. Hukum internasional adalah kumpulan aturan yang mengatur
hubungan antar negara yang tidak berasal dari persetujuan bebas`mereka tapi dari sumber
yang sama seperti hukum lain (Yurisprudensi).31
Selanjutnya juga ada pola relasi globalisasi dan kedaulatan bangsa dalam bentuk yang
dikenal sebagai (d) Kedaulatan Westphalian:32 Setelah munculnya perang panjang di Eropa
30
31

Lihat Frank W. Elwell. "Wallerstein’s World-Systems Theory". Diakses tanggal 27 November 2015.
Lihat Austin, John (1869). Campbell, Robert, ed. Lectures on Jurisprudence, or, The Philosophy of Positive

Law 1 (3rd ed.). London: John Murray. Retrieved 2012-12-14; Maine, Henry Sumner (1875). Lectures on the Early
History of Institutions (1st ed.). New York: Henry Holt. pp. 342–400. Retrieved 6 September 2015.
32

Lihat Terborch, Gerard The Treaty of Westphalia 1648, (Washington DC:2003) ; Cavendish, Richard
(1998) On October 24th 1648, the Treaty of Westphalia was signed, marking the end of the Thirty Years'
War [Online], http://www.historytoday.com/richard-cavendish/treaty-westphalia [diakses pada 18 November
2015]. Sekitar abad pertengahan, Eropa dilanda peperangan yang cukup dahsyat yang melibatkan kaum Katolik
dan Protestan. Perang tersebut berlangsung selama kurang lebih tiga puluh tahun dimulai tahun 1618 hingga

29

dan terbit damai pascaperjanjian Westphalia antara Tahta Suci Romawi Vatikan, Prancis,
Spanyol, Belanda dan Swedia, susunan masyarakat internasional didasarkan atas negara
nasional dan tidak hanya kerajaan dan memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari
pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia membuat banyak perubahan dalam bentuk negara
modern yang meliputi tumbuhnya “Representative Government, Revolusi Industri, Hukum
Internasional, metode diplomasi, saling ketergantungan antar negara-bangsa di bidang
ekonomi, timbulnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai. 33
Bagan Pola Relasi Globalisasi, Kedaulatan dan Respons Negara

Sumber: Muradi, HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Dalam perkembangannya relasi antara globalisasi dan kedaulatan bangsa, suatu
Negara berkemungkinan mengambil posisi setuju menjadi bagian dari globalisasi sehingga
tidak begitu mempersoalkan issu kedaulatan negara, yang penting ada keuntungan yang
didapatkan dari globalisasi dan mengabaikan kerugian yang dialami dan mengangagapnya
sebagai ongkos yang harus dibayar dan dimaklumi. Namun ada juga yang mengambil pola
respon relasi yang selektif dalam pengertian akan menyeleksi mana yang menguntungkan
bagi kedaulatan domestik diterima dan menolak arus globalisasi yang merugikan kepentingan
nasional. Selanjutnya, ada juga respon Negara yang menggambarkan relasi protektif
terhadap globalisasi demi penegakkan kepentingan nasional, seperti misalnya kedaulatan
bahasa, kedaulatan tenaga kerja domesitik, kedaulatan pangan nasional, kedaulatan energi,
dan sebagainya.
Selanjutnya, untuk menggambarkan bagaimana relasi aktor nasionalisme, globalisasi
dan kedaulatan negara, Azhari Akmal Tarigan, memakai kerangka pemikiran Budi
Winarno:2009, dengan mengutip Ludge:1991, untuk menjelaskan konsep globalisasi yaitu
suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain
1648. Perang tersebut juga merupakan hasil dari pertentangan kedua belah pihak yang dimulai oleh Reformasi
Protestan sampai pada kontra Reformasi Katolik. Di samping aspek agama ternyata juga terdapat persaingan
dinasti Hapsbruk dan Boubron hingga pada akhirnya tercapai Perjanjian Westphalia.
33
Perjanjian Westphalia sedikit banyak membawa pe