THE IMPLEMENTATION OF ADDITIONAL CRIMINAL CHARGES OF CORPORATE CRIME LIABLITY IN ENVIRONMENTAL CRIME
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015
THE IMPLEMENTATION OF ADDITIONAL CRIMINAL CHARGES OF CORPORATE CRIME LIABLITY IN ENVIRONMENTAL CRIME
Hariman Satria
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10, Kendari 93117 E-mail: hariman85antikorupsi@gmail.com
An Analysis of Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015
Naskah diterima: 23 Januari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017
subject to additional criminal charges. As a result, a quo offender. decision is not maximal both in terms of state financial
Keywords: additional charges, criminal liability, losses recovery and criminal sanction of fines to the corporate, environment.
I. PENDAHULUAN
meyakinkan (Satria, 2016: 290). Itu artinya sejak undang-undang lingkungan hidup diformulasi
A. Latar Belakang
dan diberlakukan, hanya ada satu korporasi yang Berbicara mengenai tindak pidana dipidana yakni PT KA. lingkungan hidup, tentunya tidak dapat dipisahkan
Menelusuri jejak keterlibatan PT KA, dari aktor atau pelakunya ( dader). Akhir-akhir
dalam tindak pidana lingkungan hidup di ini aktor kerusakan lingkungan mengerucut pada
Kabupaten Nagan Raya, Meulaboh –dapat dilihat dua subjek hukum yakni manusia ( naturalijke
melalui pertimbangan hukum ( ratio decidendi) person) dan badan hukum (recht person). Atas
majelis hakim melalui Putusan Nomor 1554 K/ dasar itu, dalam Pasal 1 butir 32 Undang-Undang
Pid.Sus/2015. Berawal dari pembukaan lahan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
dengan cara membakar semak-semak dan jalur- Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan
jalur rumpukan yang terletak dalam blok milik bahwa setiap orang adalah orang perseorangan
PT KA. Kemudian api menyebar dengan cepat atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
sehingga membakar hutan yang ada di sekeliling maupun yang tidak berbadan hukum.
wilayah usaha PT KA.
Pendeknya peraturan lingkungan hidup Peristiwa ini terjadi berulang kali sehingga
telah mengidentifikasi sejak awal bahwa pelaku mengakibatkan kebakaran yang semakin meluas.
kejahatan, tidak melulu manusia, tetapi bisa Dari kebakaran ini telah dilakukan penyelidikan
juga badan usaha/korporasi. Oleh karena itu, oleh PPNS Kehutanan dan penyidik Polres
penegakan hukum lingkungan adresatnya adalah Meulaboh, kemudian didapati fakta bahwa
manusia dan korporasi. Namun demikian, sejak pelakunya bernama KY, yang notabene adalah
Indonesia memberlakukan undang-undang karyawan PT KA. KY sendiri dalam persidangan
lingkungan hidup, sangat sedikit di antara mengakui, bahwa ia hanya menjalankan
korporasi yang diproses pidana – padahal aroma kebijakan perusahaan PT KA dalam hal
keterlibatan korporasi pada sejumlah tindak melakukan pembakaran lahan. Atas perbuatannya
pidana lingkungan sangat kental terasa. KY ditersangkakan sebagai pelaku tindak pidana
Tercatat hanya ada dua korporasi yang pembakaran hutan yang merusak lingkungan. telah diproses pidana karena dugaan perusakan
Penyidik dan penuntut umum, kemudian lingkungan yakni PT NMR (Putusan Nomor
menghadirkan ahli di bidang kehutanan untuk 284/Pid.B/2005/PN.Mdo) dan PT KA (Putusan
menganalisis dan memberi penjelasan tentang Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015). Kecuali PT
kebakaran hutan tersebut. Adapun ahli yang KA, PT NMR oleh putusan Pengadilan Negeri
dihadirkan adalah Bambang Hero Sahardjo (guru Manado dinyatakan tidak bersalah secara sah dan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
yang menunjukkan adanya suatu kontradiksi yang mesti dianalisis. Pertama, majelis hakim
Kedua, hasil analisa juga menunjukkan menegaskan bahwa PT KA telah terbukti secara
bahwa tanah yang dibakar menimbulkan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
kerusakan lingkungan sifat fisik, kimia, dan pidana membuka lahan untuk perkebunan kelapa biologi. Ketiga, akibat yang lain adalah kerusakan sawit dengan cara merusak lingkungan secara aspek flora dan keragaman spesies sehingga berlanjut. Kedua, PT KA kemudian dijatuhi
menyebabkan hutan dan populasi menjadi hilang pidana denda sebesar Rp3 miliar. Dalam putusan
seketika. Keempat, PT KA sama sekali tidak
a quo juga ditegaskan, bahwa PT KA diwakili punya menara pengawas api yang memadai
oleh SR selaku direktur.
sehingga ketika terjadi kebakaran, sulit dihindari. Ketiga, majelis hakim mengakui dalam
Atas kejadian ini, negara ditaksir mengalami pandangannya, bahwa kerugian negara
kerugian sebesar Rp366.098.669.000,- termasuk dalam tindak pidana tersebut berjumlah
di dalamnya adalah biaya yang dibutuhkan Rp366.098.669.000,- Keempat, karena kerugian untuk pemulihan kondisi lingkungan. Dalam
keuangan negara dalam bentuk rehabilitasi kasus kebakaran lahan ini, penyidik selain
telah dibebankan dalam Putusan Nomor 651 K/ menersangkakan KY selaku karyawan PT KA,
PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a penyidik juga ikut menersangkakan PT KA yang quo, maka dalam perkara a quo tidak dibebankan
diwakili oleh SR selaku direktur utama, dengan lagi. Kelima, majelis hakim tidak memperbaiki tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat
putusan pidana Pengadilan Negeri Meulaboh (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118,
yang tidak memberikan pidana tambahan kepada dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
terdakwa PT KA padahal hal itu menjadi pintu 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
masuk untuk meminta ganti rugi. Lingkungan Hidup dan jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dalam perkembangannya, merujuk Bertalian dengan Putusan Nomor 651 K/ pada fakta persidangan di Pengadilan Negeri PDT/2015 tersebut, dapat penulis abstraksikan, Meulaboh, diketahui bahwa PT KA yang diwakili bahwa PT KA digugat oleh Menteri Negara oleh SR dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar. Lingkungan Hidup dengan dalih melakukan Putusan ini kemudian dikuatkan dalam Putusan perbuatan melawan hukum ( onrechtmatige daad) Nomor 1554 K/PID.SUS/2015.
sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk Wetboek jo. Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan
Terkait dengan Putusan Nomor 1554 K/ dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berupa PID.SUS/2015 ini, secara eksplisit menunjukkan pembukaan lahan dengan cara membakar yang adanya suatu progresif positif dalam upaya merusak lingkungan. Pengadilan kemudian melakukan penuntutan dan penghukuman kepada memutuskan, bahwa PT KA terbukti melakukan
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
Pasal 119 huruf c Undang-Undang lingkungan atas kebakaran lahan yang terjadi.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Namun demikian, dalam putusan a quo sama Hidup, membuka kemungkinan penjatuhan
sekali tidak menyebutkan bahwa dengan adanya pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa
sanksi ganti kerugian ini maka tergugat (PT KA) perbaikan akibat tindak pidana. Di sinilah letak
sudah tidak dapat diproses hukum lagi untuk permasalahannya, sebab putusan perkara pidana
mempertanggungjawabkan perbuatannya. hanya berupa pidana denda dalam jumlah yang
Kembali pada putusan perkara pidana, minimal tanpa ada pidana tambahan kepada menurut penulis dalam putusan a quo, terdakwa PT KA. Inilah salah satu alasan yang pertimbangan majelis hakim menyimpan mendasari penulis sehingga melakukan penelitian sejumlah masalah serius dan cenderung ambigu. dalam putusan a quo. Di satu sisi majelis hakim meyakini bahwa
perbuatan terdakwa PT KA menimbulkan B. Rumusan Masalah
kerugian negara dalam jumlah yang tidak sedikit yaitu sebesar Rp366.098.669.000,-. Di sisi yang
Merujuk pada latar belakang di atas, lain, majelis hakim justru menguatkan putusan permasalahan yang akan diteliti dalam
Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukum tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan terdakwa untuk membayar pidana denda hanya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam sebesar Rp3 miliar.
tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian
Putusan ini tentu jumlahnya tergolong akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? sedikit sebab setara dengan ancaman pidana minimal pada Pasal 108 Undang-Undang
C. Tujuan dan Kegunaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal majelis hakim sebetulnya masih
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui, bisa mengenakan ancaman pidana denda yang mengidentifikasi, dan menganalisis penerapan lebih berat. Sebab dalam Pasal 108 a quo ancaman pertanggungjawaban pidana korporasi dalam pidana denda maksimalnya sebesar Rp10 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian Cara pandang hakim dalam menilai perlu
akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. tidaknya, terdakwa PT KA membayar biaya
pemulihan ternyata dipengaruhi oleh kenyataan Kegunaan bagi ilmu pengetahuan adalah bahwa terdakwa juga telah dihukum secara perdata diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya dan diwajibkan membayar biaya pemulihan. Jadi pemahaman filosofis, teoritik, dan praktis serta majelis hakim dalam perkara a quo menyerahkan dapat memberikan wacana yang utuh mengenai biaya pemulihan kepada majelis hakim yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam menangani gugatan keperdataan terhadap PT tindak pidana lingkungan hidup.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
D. Tinjauan Pustaka
ini ditandai dengan usaha-usaha agar perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi
1. Teori-Teori Pertanggungjawaban
pada perorangan ( naturalijek persoon).
Pidana Korporasi
Kedua, pasca Perang Dunia I. Pada tahap Secara etimologis, kata korporasi berasal ini dalam undang-undang telah ditentukan dari bahasa latin, corporatio. Kata ini berasal bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan dari bahasa latin yang lebih tua yakni corporare. Corporare sendiri berasal dari kata corpus yang oleh korporasi namun tanggung jawab untuk
itu masih menjadi beban dari pengurus atau berarti memberikan badan atau membadankan anggota pimpinan dari badan hukum tersebut. (Stone, 2005: 17). Dari kata corporatio tersebut Ketiga, pada waktu dan sesudah Perang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Dunia II, tanggung jawab pidana langsung Eropa, seperti corporatie (Belanda), corporation dari korporasi dianut juga. Secara kumulatif (Inggris), corporation (Jerman). Dapat diduga korporasi dipertanggungjawabkan menurut dari kata corporatie (Belanda) tersebut akhirnya hukum pidana, di samping mereka yang memberi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi perintah atau memimpin secara nyata telah
korporasi. Thomas W. Dunfee mendefinisikan berperan dalam perbuatan pidana itu. Apabila
korporasi sebagai personae fictie, latin for fictious legal persons entities which the law threat, in most kita memperhatikan narasi pengakuan korporasi
cacses, as being separate and distinct from the sebagai subjek hukum pidana, berikut tahapan shareholders who own them (Sjawie, 2013: 32). pertanggungjawabannya yang dikemukakan
oleh Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius tersebut, Awal mulanya, gagasan sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa korporasi pertanggungjawaban pidana korporasi dapat melakukan kejahatan. Dikatakan demikian mengalami penolakan dengan berpegang pada karena ia mulai diakui sebagai subjek hukum asas universitas delinquere non potest artinya sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban korporasi tidak dapat dipidana dan asas societes pidana. Pertanyaan kemudian adalah apakah delinqere non potest artinya korporasi tidak kejahatan korporasi itu? Simpson (2005: 6),
mungkin melakukan tindak pidana, yang sangat mengatakan: corporate crime is type of white dipengaruhi oleh ajaran Savigny. Savigny collar crime. Demikian pula Braithwaite (1984: berpendapat bahwa badan hukum hanyalah suatu 6), mengatakan bahwa corporate crime is the fiksi saja (persona ficta; legal fiction). Bahwa conduct of a corporation, or of employees acting kepribadian hukum sebagai satu kesatuan dengan on behalf of a corporation, which is prescribed manusia hanya khayalan semata. Kepribadian and punishible by law. yang sebenarnya hanya ada pada manusia
Menyangkut istilah white collar crime, (Remmelink, 2003: 272). sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari seorang
Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius sosio kriminolog yang bernama Sutherland. (1995: 274-276) menyebutkan bahwa proses Pada tahun 1939 di hadapan American penerimaan korporasi sebagai subjek hukum Sociological Society, Sutherland berpidato dan pidana terbagi dalam tiga tahap. Pertama, yaitu memperkenalkan istilah white collar crime sejak KUHP dibentuk tahun 1886. Pada tahap dengan mengatakan bahwa the concept of white
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
liablity atau pertanggungjawaban pidana Secara teoritis dikenal tiga prototipe korporasi secara langsung (Pinto & Evans, 2003: kejahatan korporasi yaitu: crimes for corporation, 46). Menurut teori ini korporasi bisa melakukan
crimes against corporation, dan criminal sejumlah delik secara langsung melalui pengurus corportions. Pada dasarnya c rimes for corporation yang sangat berhubungan erat dengan korporasi,
inilah yang disebut sebagai kejahatan korporasi. bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga
Dalam hal ini dapat dikatakan corporate crime dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Reid,
are clearly commited for the corporate, and
not against. Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya.
Kedua, strict liability. Smith & Hogan Sementara itu crimes against corporation adalah (1998: 79), mendefinisikan strict liability sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi crimes which do not require intention, recklessness itu sendiri ( employes crime). Dalam hal ini or even negligent or more element in the actus korporasi sebagai korban dan pengurus sebagai reus. Karena itu strict liability diartikan sebagai pelaku. Sedangkan criminal corporation adalah pertanggungjawaban yang ketat menurut undang- korporasi yang sengaja dibentuk untuk melakukan undang tanpa memandang siapa yang melakukan kejahatan (Simpson & Weisburd, 2009: 3).
kesalahan. Berkenaan dengan itu Dobson (2008:
22) menarasikan strict liability sebagai some Secara substantif terdapat tiga model crimes for which with regard to at least one
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama, element of the actus reus, no mens rea is required. pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab. Gagasan Ketiga, vicarious liability. Pada dasarnya ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan ajaran ini erat hubungannya dengan doctrine hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan of respondeat superior yaitu adanya hubungan secara pidana, karena penguruslah yang akan antara master dan servant atau antara principal selalu dianggap sebagai pelaku dari delik dan agent. Hubungan itu kemudian dikuatkan tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan oleh adagium yang berbunyi qui facit per alium pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model facit per se artinya seseorang yang berbuat ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan melakukan perbuatan itu (Sjahdeini, 2006: 84). kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai
Menurut LaFave (2003: 224), vicarious pembuat dan juga sebagai yang bertanggung
liability is one wherein one person, though without jawab. Model ini memperhatikan perkembangan personal fault, is more liable for the counduct of korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya another. Intinya adalah bahwa vicarious liability dengan menetapkan pengurus sebagai yang
merupakan pengecualian pertanggungjawaban bertanggung jawab, tidaklah cukup (Muladi & individu yang dianut dalam hukum pidana Priyatno, 2010: 148)
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
dihukum karena perbuatan orang lain). pidana. Prodjodikoro (2003: 59), menyebutnya sebagai tindak pidana. Sementara Saleh (1980:
Keempat, teori agregasi. Ajaran ini 13), di samping memakai istilah perbuatan pidana
memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan juga menggunakan istilah delik. Sedangkan
dari sejumlah orang, untuk diatribusikan kepada Hiariej (2014: 121), memiliki pandangan yang
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani sama dengan Moeljatno (2008) dan Saleh
pertanggungjawaban (Sjahdeini, 2006: 108). (1980), yang mengartikan strafbaar feit sebagai Intinya, doktrin ini menekankan bahwa semua
perbuatan pidana.
perbuatan dan semua unsur mental ( mens rea) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam
Terkait dengan perbedaan pemaknaan lingkungan perusahaan dianggap dilakukan oleh strafbaar feit oleh beberapa ahli hukum pidana satu orang saja (Clarkson & Keating, 2007: 242- maka Sudarto mengatakan, pemakaian istilah 260).
yang berbeda-beda di atas sebaiknya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang mengetahui isi
Kelima, doktrin corporate cultural model dari pengertian istilah tersebut. Tindak pidana
atau model budaya kerja. Doktrin ini pada merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
intinya menegaskan bahwa badan hukum dapat pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian
dipertanggungjawabkan secara pidana apabila yuridis yang berbeda dengan istilah perbuatan
tindakan seseorang memiliki dasar yang rasional jahat atau kejahatan yang dapat dimaknai secara
bahwa badan hukum tersebut memberikan yuridis atau kriminologis (Supriyadi, 2015: 159).
wewenang atau mengizinkan perbuatan dilakukan Menurut Moeljatno (2008: 20) perbuatan pidana
(Hiariej, 2014: 207). Secara gamblang diuraikan adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-
oleh Laufer (2006: 44), corporate culture is an undang dan diancam dengan pidana barang siapa
attitude, policy, rule, course of conduct or practice
yang melanggar larangan itu.
existing within the body corporate generally or within the area of the body corporate in which the
Senada dengan Moeljatno, ahli hukum relevant activities take places. Inti dari ajaran ini pidana Indonesia yang lain – Saleh (1980: 13),
adalah kebijakan badan hukum yang tersurat dan menyebut perbuatan pidana sebagai perbuatan tersirat memengaruhi cara kerja badan hukum yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan tersebut.
sebagai perbuatan yang terlarang. Sementara itu Jonkers mendefinisikan perbuatan pidana dalam
2. Konsep Tindak Pidana Lingkungan dua bentuk. Pertama, definisi singkat –sempit.
Kedua, definisi panjang –luas. Definisi singkat: perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut
Hidup
Terminologi tindak pidana pada dasarnya undang-undang dapat dijatuhi pidana. Definisi diterjemahkan dari kata strafbaar feit dalam luas: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan hukum pidana Belanda (Poernomo, 1993: 90- dengan sengaja atau alpa yang dilakukan 91). Mengenai strafbaar feit ini, para ahli dengan melawan hukum oleh seseorang yang hukum pidana Indonesia memiliki pandangan dapat dipertanggungjawabkan. Tegasnya dalam
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil (Mcleod, 1999: 144).
Merujuk pada uraian perbuatan pidana di atas, maka kontekstual perbuatan pidana
Kedua, pendekatan konseptual (conceptual lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang approach). Pendekatan konseptual adalah dilarang dalam undang-undang lingkungan bertolak dari pandangan-pandangan dan hidup atau peraturan lain yang terkait dengan itu, doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu yang mana pelanggaran atas larangan tersebut hukum. Pemahaman terhadap pandangan dan diancam dengan pidana oleh badan yang berhak. doktrin tersebut dapat menjadi sandaran dalam Rahmadi (2014: 221) kemudian menegaskan membangun dan memecahkan permasalahan bahwa perbuatan pidana lingkungan hidup adalah penelitian (Marzuki, 2014: 95). perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana dengan tujuan melindungi lingkungan hidup secara
Apabila kita memperhatikan dengan keseluruhan.
saksama Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015, kelihatannya tidak ada masalah serius. Putusan ini bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu putusan
II. METODE
yang paling progresif dan membawa angin segar Menurut Istanto (2007: 29), penelitian dalam upaya menuntut dan menghukum korporasi hukum adalah penelitian yang diterapkan atau nakal. Dikatakan demikian, sebab untuk pertama diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Cohen & kalinya pengadilan memidana korporasi sebagai
Olson (1992: 1) mendefinisikan penelitian hukum pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Karena sebagai the process of identifing and retrieving itu kita patut mengapresiasi majelis hakim dalam
information necessary to support legal decision- perkara a quo, yang secara responsif memberi making.
putusan yang monumental.
Berangkat dari pemikiran Istanto dan Cohen Putusan a quo tetap saja dapat dianalisis tersebut, maka usulan penelitian ini merupakan secara kritis sehingga dapat bermanfaat bagi penelitian hukum ( legal research). Sesuai dengan peradilan dan masyarakat pada umumnya. permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini Singkatnya bahwa di satu sisi kita menghargai merupakan penilitian hukum normatif ( normative terobosan majelis hakim dalam menghukum law research). Untuk mencari dan menemukan korporasi, tetapi di sisi yang lain masih ada jawaban permasalahan dalam penelitian ini maka sejumlah catatan kritis yang perlu disoroti. Secara penulis menggunakan dua metode pendekatan.
praktis ada dua alasan yang menarik sehingga putusan a quo layak dianalisis, yaitu: 1) telah
Pertama, pendekatan kasus (case berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde);
approach). Dalam menggunakan pendekatan dan 2) secara substantif menyangkut pemidanaan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
Secara sistematis, dalam putusan a quo tertuang tiga hal, yaitu: 1) surat dakwaan; 2) surat
Syarat materiil terdiri atas dua yaitu: 1) tuntutan; dan 3) amar putusan majelis hakim. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tiga poin ini saling berkorelasi satu sama lain tindak pidana yang didakwakan; dan 2) menyebut sehingga perlu disampaikan dalam ulasan ini. waktu dan tempat tindak pidana dilakukan ( locus Namun demikian fokus utama analisis adalah delicti dan tempus delicti). Jika syarat formal tidak terhadap pertimbangan hukum majelis hakim terpenuhi maka surat dakwaan dapat dibatalkan ( ratio decidendi) sehingga sampai pada amar ( vernietigebaar), sedangkan bila syarat materiil putusan yang memidana PT KA (terdakwa).
tidak terpenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (3), surat dakwaan tersebut batal demi
hukum atau null and void (Harahap, 2009: 391). Itu berarti surat dakwaan dianggap tidak pernah
A. Surat Dakwaan
Terdakwa (PT KA) didakwa melakukan ada. perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal
Dilihat dari bentuk surat dakwaan maka 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 dakwaan yang digunakan penuntut umum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang dalam perkara a quo adalah dakwaan kumulatif Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan ( cummulative en lettslegging) yaitu surat dakwaan Hidup, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Secara yang disusun secara berlapis dan seluruhnya substantif Pasal 108 menyangkut tindakan setiap harus dibuktikan. Dengan kata lain penuntut orang yang melakukan pembakaran lahan; Pasal umum menggunakan dakwaan kumulatif dalam 116 ayat (1) huruf a bertalian dengan tuntutan concursus idealis yaitu satu perbuatan yang dan sanksi pidana kepada badan usaha; Pasal 118 melanggar lebih dari satu pasal peraturan pidana, terkait dengan pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (1) jika terjadi tindak pidana atas nama badan usaha; KUHP. In qasu a quo terdakwa melanggar Pasal Pasal 119 berhubungan dengan pidana tambahan. 108 jo. Pasal 116 ayat 1 huruf a dan Pasal 64 ayat Sedangkan Pasal 64 KUHP bertalian dengan (1) KUHP. Dalam hal ini, terdakwa melakukan perbuatan berlanjut. Bila dihubungkan dengan pembakaran lahan secara berlanjut. Jadi kita surat dakwaan pada putusan a quo, dengan jelas dapat menyimpulkan bahwa penuntut umum menunjukkan bahwa baik syarat formal maupun dalam menyusun surat dakwaan secara kumulatif syarat materiil telah terpenuhi.
berbentuk concursus idealis dan perbuatan berlanjut ( vooertgezettehandeling). Dimulai
Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP dari Pasal 108 jo. Pasal 116 Undang-Undang disebutkan ada dua syarat sahnya surat dakwaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat Hidup, kemudian diikuti dengan penerapan formal harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1) ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut kata lain penuntut umum meyakini bahwa umum; dan 2) menyebutkan identitas terdakwa terdakwa secara berlanjut melakukan perbuatan
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
hakim dalam pembuktian. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
2. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa Hidup. Pembakaran lahan tersebut kemudian
terdakwa diwakili oleh direkturnya yang menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga
bernama SR. Hal ini telah sesuai pula terdakwa dituntut secara pidana.
dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a sebagaimana disebutkan dalam surat
B. Surat Tuntutan
dakwaan. Bahwa ketika korporasi yang Tercatat ada empat poin penting yang
dituntut maka korporasi tersebut diwakili menjadi tuntutan penuntut umum dalam perkara a oleh pengurusnya. In qasu a quo diwakili
quo, yaitu: oleh direktur PT KA (SR). Dengan demikian surat tuntutan penuntut umum adalah tepat.
1. Menyatakan terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur telah terbukti 3. Tuntutan pidana denda kepada terdakwa (PT melakukan pembakaran lahan sebagaimana
KA) sebesar Rp3 miliar. Bila dihubungkan dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h
dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan diatur dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1)
Hidup maka pada dasarnya jumlah tuntutan huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118,
pidana denda kepada terdakwa tentu masih Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
jauh perbedaannya. Sebab dalam peraturan 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
a quo kisaran ancaman pidana dendanya Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP;
adalah minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar.
2. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR Artinya penuntut umum menuntut selaku direktur, dengan pidana denda
terdakwa dengan ancaman pidana denda sebesar Rp3 miliar;
minimal. Hal ini sebetulnya masih terlalu ringan bagi korporasi sebab mengingat
3. Menyatakan barang bukti PT KA nomor perbuatannya berupa pembakaran lahan
1 sampai dengan 9 tetap terlampir dalam secara berlanjut sehingga menimbulkan berkas perkara; dan
kerusakan lingkungan yang luar biasa, maka sudah sepantasnya terdakwa dituntut pidana
4. Menetapkan supaya terdakwa PT KA yang denda yang lebih berat, misalnya dengan
diwakili oleh SR dibebani biaya perkara mengikuti ancaman pidana denda maksimal
sebesar sepuluh ribu rupiah. sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108
Berdasarkan surat tuntutan di atas terdapat
tersebut.
beberapa hal penting yang dianalisis secara kritis, Penggunaan ancaman pidana denda
yaitu: maksimal ini secara teori dapat dibenarkan
1. Secara sistematis ada korelasi positif antara sebab peraturan a quo mengadopsi stelsel surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut
strafmaat berupa indeterminate sentence
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
bahwa sanksi pidana ( straf) berkenaan maksimum khusus pidana yang dapat
dengan pembalasan berupa pemberian dijatuhkan oleh hakim (Frankel, 1993: 90).
derita atau nestapa sebagai upaya menjaga ketenteraman masyarakat sehingga lebih
Penuntutan dan penjatuhan pidana secara condong pada prevensi umum ( general maksimal akan memberikan efek jera
preventie). Sedangkan sanksi tindakan kepada pelaku. Hal ini selaras dengan
( maatregel) meskipun tetap memberikan teori relatif ( doel theorien) yang pada
derita kepada terpidana tetapi lebih condong intinya menegaskan bahwa pencegahan
pada prevensi khusus atau speciale preventie ditujukan kepada masyarakat sebagai
(Remmelink, 2003: 458). Masih mengenai pencegahan umum atau generale preventie double track system, pada hakikatnya sistem dan pencegahan yang ditujukan kepada si
ini menghendaki agar unsur pencelaan/ penjahat itu sendiri sebagai pencegahan
penderitaan dan unsur pembinaan sama- khusus atau speciale preventie (Samaha,
sama diakomodasi. Inilah yang menjadi 2014: 26).
dasar penjelasan mengapa dalam double Terkait dengan pencegahan ini von Feuerbach
track system dituntut adanya kesetaraan mengenalkan teori de psicologische dwang
antara sanksi pidana dan sanksi tindakan atau paksaan psikologis yang berarti
(Sholehuddin, 2004: 23).
adanya pidana yang dijatuhkan kepada Dalam konteks perkara a quo, tuntutan seseorang yang melakukan kejahatan akan
penuntut umum seharusnya tidak hanya memberikan rasa takut kepada orang lain
fokus pada sanksi pidana semata tetapi untuk tidak berbuat jahat (Fletcher, 2000:
juga sanksi tindakan seperti kewajiban 652).
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak
4. Tidak ada tuntutan pidana tambahan (pembayaran biaya pemulihan lingkungan) berupa tindakan tata tertib sementara,
dan penutupan seluruh atau sebagain tempat seperti perbaikan akibat tindak pidana dan
usaha.
penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha, sebagaimana disebutkan dalam Pasal C. Ratio Decidendi Majelis Hakim
119 Undang-Undang Perlindungan dan Paling tidak terdapat lima pertimbangan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal hukum majelis hakim yang menarik disoroti
pembentuk undang-undang, jauh-jauh hari
dan dianalisis dalam putusan
a quo. Sebab ratio
secara sengaja menggunakan konsep
double
track system atau sistem dua jalur dalam decidendi tersebut akhirnya menjadi jalan lapang
dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa (PT menyusun pemidanaan kepada badan usaha.
KA).
Artinya jika badan usaha yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup maka selain
Pertama, majelis hakim berpendapat bahwa dikenai sanksi pidana, dikenai pula sanksi cara-cara kebiasaan yang selama ini dilakukan
tindakan tata tertib. oleh perusahaan, termasuk PT KA adalah
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
In qasu a quo, terdakwa sama sekali tidak Prinsip ini dihasilkan dari United Nations menggunakan prinsip ini dalam melaksanakan Conference on Enviroment and Development kegiatannya. Dengan demikian, ia layak (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-4 dihukum atau dipidana atas kesalahannya. Sebab Juni 1992. Secara gamblang dinyatakan bahwa in telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang
order to protect the enviroment, the precautionary massif dan merugikan negara dalam jumlah yang approach shall be widely applied by states signifikan. according to their capabilities. Where there are
Kedua, bahwa perbuatan terdakwa PT KA threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan telah
reason for postponing cost-effective measures merugikan keuangan negara dalam bentuk biaya to prevent envirometal degradation (Frestone, pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan
kembali ekologi yang rusak sebesar 1994: 193-200).
Rp366.098.669.000,-. Dalam pertimbangan Merujuk pada Deklarasi Rio tersebut, selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa maka White (2011: 123-128) mengatakan karena kerugian keuangan negara dalam bahwa the essence of precautionary concept, the bentuk pemulihan/rehabilitasi telah dibebankan precautionary principle, is that once a risk has dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang been identified the lack of the scientific proof of berhubungan dengan perkara a quo maka tidak cause and effect shall not be used as a reason for dibebankan lagi. not taking action to protect the enviroment.
Dua pertimbangan majelis hakim tersebut, Tegasnya, dalam prinsip kehati-hatian intinya menegaskan bahwa di satu sisi negara terkandung tiga hal, yaitu: 1) apabila telah mengalami kerugian akibat ulah terdakwa PT
diidentifikasi potensi kerugian yang akan terjadi; KA yang melakukan pembakaran lahan sehingga
2) ada ancaman serius atau kerugian yang merusak lingkungan tetapi karena terdakwa telah sulit dipulihkan kembali sehingga berdampak dihukum secara perdata untuk memulihkan atau selamanya pada lingkungan hidup; dan 3) apabila merehabilitasi lingkungan hidup, maka terdakwa tidak ada kemampuan untuk menganalisis tidak lagi dikenai pidana denda dalam jumlah kemungkinan adanya akibat.
yang lebih besar. Ratio logis yang dibangun oleh majelis hakim dalam perkara a quo rasanya
Intinya bahwa prinsip kehati-hatian terlalu sumir dan ambigu. Sebab meskipun
tidak hanya dibebankan kepada negara dalam
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
Rezim hukum keperdataan telah pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada
membuktikan bahwa PT KA merusak lingkungan badan usaha dan/atau orang yang memberi
sehingga dibebani biaya pemulihan lingkungan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
hidup melalui Putusan Nomor 651 K/PDT/2015. atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
Namun demikian rezim hukum pidana juga kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
mengatur sanksi pidana sendiri yang tentu berbeda dengan sanksi perdata. Jadi sanksi pidana
Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam kepada terdakwa juga harus maksimal sehingga Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan menghilangkan atau paling tidak mengurangi Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi: niat jahat ( dolus malus) terdakwa atau korporasi terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud lain untuk melakukan tindakan yang serupa.
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
Singkat kata, seharusnya majelis hakim oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam
dalam perkara a quo memberi sanksi pidana dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
yang berat kepada terdakwa berupa pidana denda perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
maksimal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Dalam perkara a quo, majelis hakim Lingkungan Hidup. Denda makismal ini akan telah menghukum terdakwa yang diwakili lebih efektif dan logis bila jumlahnya disesuaikan oleh SR selaku direktur PT KA. Artinya proses dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
hukum kepada pelaku sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf a jo. Pasal 118
Ketiga, bahwa pertanggungjawaban Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan korporasi harus memiliki kewajiban untuk Lingkungan Hidup. Hal ini selaras dengan ajaran membuat kebijakan dan melakukan langkah- kepelakuan fungsional ( functioneel daderschap) langkah yang harus diambilnya. Direktur tidak yang dikemukakan oleh Roling (Kelsen, 2006: dapat melepaskan diri dan tanggung jawab pidana 96). Ajaran ini pada pokoknya menegaskan dalam hal terjadi tindak pidana pencemaran bahwa pertanggungjawaban pidana diperluas atau kerusakan lingkungan berupa pembakaran, kepada yang memberikan perintah atau pimpinan karena direksi memiliki kemampuan dan dalam suatu badan hukum yang secara fisik
kewajiban untuk mengawasi kegiatan korporasi bukanlah sebagai pelaku tindak pidana ( fysieke termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian daderschap).
lingkungan. Bahwa dalam hal terjadi kebakaran lahan yang bertanggung jawab adalah pemilik
Shofie (2011: 31-32) mengatakan bahwa lahan (pengurus dan korporasi).
ajaran ini memberi ruang yang lebih luas bagi
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang kesalahan individu pimpinan atau pengurus Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada perkara korporasi yang memberi perintah pada suatu
a quo, pembuktian adanya tindak pidana badan hukum atau yang menjalankan perintah lingkungan hidup ditempuh melalui tiga alat
(pelaku fisik) diatribusikan sebagai kesalahan bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, korporasi tersebut. Menurut Wolter sebagaimana dan surat berupa hasil pemeriksaan laboratorium. dikutip oleh Sahetapy, bahwa kepelakuan
Ketiga alat bukti inilah yang mendukung fungsional adalah karya interpretasi kehakiman.
keyakinan majelis hakim sehingga memidana Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu
terdakwa PT KA. Dengan kata lain sistem sedemikian rupa sehingga pemidanaannya
pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie memenuhi tuntutan masyarakat (Sahetapy, 2002:
yaitu pembuktian menurut keyakinan hakim yang 37-38).
timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang Dalam perkara a quo, bila dianalisis secara secara negatif telah diadopsi oleh majelis hakim normatif dan doktrinal –keputusan majelis hakim dalam perkara a quo. yang menghukum terdakwa PT KA yang diwakili
Kelima, pertimbangan majelis hakim oleh SR sebagai direktur sudah sangat tepat.
yang lain dan menarik dianalisis adalah ihwal Namun demikian majelis hakim seharusnya bisa
perdebatan antara penuntut umum dan terdakwa mengeksplorasi lebih jauh keterangan para saksi
yang menyoal adanya dugaan pelanggaran asas apakah pembakaran lahan tersebut semata-mata
nebis in idem dalam putusan a quo. Munculnya hanya diketahui oleh direktur atau ada pihak
dugaan ini disebabkan oleh adanya gugatan lain yang memerintahkan suatu tindakan. Bila
perdata terlebih dahulu terhadap PT KA dengan ada yang memberi perintah maka seharusnya ia
reg Nomor 12/Pdt.G/2012, PN. Mbo. ikut diproses hukum sebagaimana ditekankan
pada Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Terdakwa PT KA dituntut secara pidana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. atas tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116 Proses hukum kepada pemberi perintah ini, ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan secara doktrin juga dapat dibenarkan karena hal dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal ini didukung oleh ajaran functioneel daderschap
64 KUHP dengan locus dan tempus yang sama. baik yang dikemukakan oleh Roling maupun Melihat perdebatan tersebut majelis hakim dalam oleh Wolter.
pertimbangannya menyatakan bahwa perkara
a quo tidaklah melanggar prinsip nebis in idem Keempat, bahwa membuka lahan sebab ada perbedaan ranah hukum yakni ranah perkebunan dengan cara merusak lingkungan, hukum perdata dan ranah hukum pidana. dapat dibuktikan berdasarkan keterangan
beberapa orang saksi, keterangan ahli, dan Komentar penulis atas pertimbangan saksi ahli yang diperoleh berdasarkan hasil majelis hakim tersebut sebagai berikut: bahwa pemeriksaan laboratorium. Pertimbangan ini asas nebis in idem atau nemo debet bis vexari secara implisit mengarah pada alat-alat bukti berarti tidak seorangpun atas perbuatannya dapat dan sistem pembuktian yang disebutkan dalam dituntut untuk kedua kalinya. Dalam sistem Pasal 184 jo. Pasal 183 Undang-Undang Nomor hukum Anglo Saxon istilah ini diterjemahkan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
double jeopardy.
Hal ini selaras dengan postulat nihil in lege intolerabilius est (quam) eandem rem diverso IV. KESIMPULAN
jure censeri artinya hukum tidak membiarkan Dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.
kasus yang sama diadili di beberapa pengadilan. Sus/2015, terdakwa PT KA yang diwakili oleh Secara teori, ada tiga tujuan perumusan asas SR selaku direktur, dipidana dengan pidana denda nebis in idem, yaitu:
sebesar Rp3 miliar. Artinya, bahwa terdakwa dipidana dengan menggunakan ancaman pidana
1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran minimal sebagaimana yang disebutkan dalam
martabat hakim yang telah memutus suatu Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan
perkara. Res judicata in criminalibus: Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal selain
hakim tidak dipaksa untuk mengulang- ancaman pidana minimal peraturan
a quo juga mengadopsi ancaman pidana maksimal. Karena
ulang dalam memeriksa suatu kasus atau
membantah pandangan-pandangan hakim perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang
lain (Remmelink, 2003: 425). sangat signifikan maka idealnya ia dijatuhi
2. Untuk menjamin hak asasi manusia. pidana maksimal, sehingga mampu memberi Dalam hal ini seorang individu tidak dapat efek jera baik kepada terdakwa maupun kepada lagi diadili atas perkaranya yang telah perusahaan lain. berkekuatan hukum tetap.
Demikian pula, terdakwa tidak dikenai
3. Negara harus memberikan kepastian hukum pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan (Hiariej, 2014: 423). Tegasnya syarat akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian adanya nebis in idem adalah res judicata keuangan negara. Terdakwa juga tidak dikenai artinya ada suatu tindak pidana yang telah pidana tambahan berupa pencabutan seluruh diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang atau sebagai tempat usaha, padahal Pasal 119 telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan van gewijsde).
Lingkungan Hidup telah membuka kemungkinan penjatuhan sanksi tindakan tata tertib atau pidana
4. Dalam konteks perkara a quo, pemeriksaan tambahan. Padahal dalam Undang-Undang
terhadap terdakwa sama sekali tidak dapat Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dikaitkan melanggar asas nebis in idem. secara ekspressive verbis telah mengakomodasi Sebab perkara tindak pidana lingkungan konsep double track system atau sistem dua jalur hidup yang dilakukan oleh terdakwa PT yakni penjatuhan sanksi pidana dan tindakan
KA belum pernah diperiksa dan diputus secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana
oleh pengadilan lain. Meskipun di saat lingkungan hidup. Namun demikian dalam
bersamaan ada gugatan perdata kepada putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari terdakwa tetapi hal itu adalah dua hal yang sisi pemulihan kerugian keuangan negara maupun
berbeda. Dengan demikian proses hukum dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
kepada terdakwa PT KA adalah tepat dan
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
DAFTAR PUSTAKA
mind: The failure of corporate criminal libility. Chicago & London: The University of Chicago
Braithwaite, J. (1984). Corporate crime in the
Press.
pharmaceutical industry. London: Routledge & Kegan Paul.
Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum (Edisi revisi). Jakarta: Kencana Pernada Media.
Clarkson & Keating. (2007). Criminal law: Text and material. London: Sweet and Maxwell.
Mcleod, T.I. (1999). Legal theory. London:
Macmillan.
Cohen, M.L., & Olson, K.C. (1992). Legal research. New York: West Thompson Publishing Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Edisi Company.
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Dobson, P. (2008). Criminal law (Eight edition). Muladi & Priyatno, D. (2010). Pertanggungjawaban
London: Thomson Sweet and Maxwell. pidana korporasi (Edisi revisi). Jakarta: Kencana Pernada Media Group.
Fletcher, G.P. (2000). Rethinking criminal law. New York: Oxford University Press.
Pinto, A., & Evans, M. (2003). Corporate criminal liability. London: Sweet and Maxwell.
Frankel, M.E. (1993). Criminal sentences: Law without order ( Third edition). New York: Hill Poernomo, B (1993). Asas-asas hukum pidana. and Wang.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Frestone, D. (1994). The road from Rio: International Prodjodikoro, W. (2003). Asas-asas hukum pidana di
enviromental law after the earth summit. Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Journal of Enviromental Law, 6, 193-200.
Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia. Harahap, M.Y. (2009). Pembahasan permasalahan &
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan.
Reid, S.T. (1995). Criminal law (Third edition). New Jakarta: Sinar Grafika.
York: Prentice Hall.
Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Remmelink, J. (2003). Hukum pidana: Komentar atas Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka. pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-
Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: Undang Hukum Pidana Belanda & padanannya CV Ganda.
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jonkers, J.E. (1987). Buku pedoman hukum pidana Hindia Belanda. Jakarta: PT Bina Aksara.
Sahetapy, J.E. (2002). Kejahatan korporasi. Bandung:
Refika Aditama.
Kelsen, H. (2006). General theory of law & state. New York: Russel & Russel.
Saleh, R. (1980). Perbuatan pidana & pertanggungjawaban pidana: Dua pengertian
LaFave, W.R. (2003). Principle of criminal law dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara
(Second edition). New York: West A Thomson
Baru.
Reuters Bussines. Samaha, J. (2014). Criminal law (11th edition).
Laufer, W.S. (2006). Corporate bodies & guilty
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
United States-Minesota: Wadsworth Cengage Sutherland, E.H., & Cressey, D.R. (1955). Learning.
Criminology (Sixth edition). New York: JB Lippincott Company.
Satria, H. (2016, Juni). Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana sumber daya White, R. (2011). Transnational enviromental crime: alam. Jurnal Mimbar Hukum, 28(2), 288-300.
Toward an eco-global criminology. London dan New York: Routledge Taylor and Francis
Schaffmeister, D., Keijzer, N., & Sutorius, E.P.H.
Group.
(1995). Hukum Pidana. Sahetapy, J.E. (Ed). Yogyakarta: Liberty.
Shofie, Y (2011). Tanggung jawab pidana korporasi dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sholehuddin, M. (2004). Sistem sanksi dalam hukum pidana: Ide dasar double track system &
i mplementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simpson, S.S., & David Weisburd. (2009). The Criminology of White-Collar Crime, New York: Springer Science and Business Media.
Simpson, S.S. (2005). Corporate crime, law, and social control. New York: Cambridge University Press.
Sjahdeini, S.R. (2006). Pertanggungjawaban pidana korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.
Sjawie, H.F. (2013). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban pidana korporasi.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Smith, J.C., & Hogan, B. (1998). Criminal law
(Fourth edition). London: Butterworths. Stone, J.R. (2005). Dictionary of Latin quotations:
The illiterati’s guide to Latin maxims, mottoes, proverbs, & sayings. New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Supriyadi. (2015). Reformulasi kewenangan mengadili tindak pidana umum oleh militer di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 171