Suara Pembaruan agraria | Edisi Viii sEptEmbEr - NoVEmbEr 20 3

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

1

daftar isi
Editorial

............................................................................ 4-5

UpdatE kEgiatan kpa........... 22-34

Reforma Agraria dan Pemilu 2014

wawancara ................................. 35-37

Reforma Agraria adalah persoalan politik. Karena itu, tanpa adanya
kekuasaan politik dari kalangan gerakan, hampir mustahil reforma
agraria dijalankan dengan benar.

Wawancara bersama Dewi Kartika,
Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium

Pembaruan Agraria

Peran Perempuan dalam
Gerakan Reforma Agraria

BErita agraria ................................................................ 6-8
Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah
Kelola Rakyat
Pemetaan partisipatif adalah salah satu
alat yang efektif menyatakan ketimpangan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
serta pengelolaan sumber-sumber agraria.
Salah satu pra-syarat reforma agraria yaitu
kesediaan data yang akurat dan lengkap,
termasuk peta, dapat menjadi pintu masuk
bagi perjuangan keadilan agraria di berbagai wilayah. Data dari JKPP menyebutkan bahwa dari 3,9 juta Ha
wilayah adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah hutan. Hal ini dapat dijadikan
‘entry point’ bagi para pejuang agraria untuk membongkar carutmarutnya penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia. Buletin
Suara Pembaruan Agraria edisi VIII kali ini mengangkat salah satu

pandangan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang
giat melakukan pemetaan di wilayah-wilayah kelola rakyat.

opini .......................................................................................... 9-21

Minimnya perspektif gerakan untuk memahami perjuangan hak dan akses kaum perempuan atas tanah dalam gerakan reforma
agraria hingga saat ini masih menjadi kendala
tersendiri dalam tubuh gerakan reforma
agraria baik di level wilayah hingga nasional.
Seringkali posisi dan peran penting perempuan dalam gerakan agraria dan kehidupan pedesaan belum banyak muncul ke permukaan
sebagai kerangka acuan praktek perjuangan
kaum perempuan dalam reforma agraria.

lintas pEristiwa ................... 38-43
sosok ............................................... 44-46
rEsEnsi

.......................................... 47

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas dukungan dari

Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi
berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik
redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi

2

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

salam rEdaksi
Salam Reforma Agraria sejati,
Pada edisi Suara Pembaruan Agraria kali ini, kembali akan memuat isuisu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Editorial Suara Pembaruan Agraria mengulas reforma agraria dan
Pemilu 2014. Para pegiat dan pejuang agraria di seluruh penjuru tanah-air
harus mampu membaca situasi dan kondisi kekinian dengan tepat demi
menetapkan langkah maju meletakan isu reforma agraria sebagai agenda
bangsa yang wajib dilaksanakan oleh rezim 2014 ke depan.
Pada rubrik “Berita Agraria”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat
tema Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah Kelola Rakyat. Ketimpangan penguasaan sumber kekayaan alam (agraria) adalah pintu masuk yang
harus dinyatakan secara luas dalam rangka mendorong terlaksananya reforma agraria sejati. Kami sajikan bahasan ini, dalam bentuk wawancara
eksklusif dengan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Kasmita
Widodo.

Pada rubrik “Opini”, redaksi berupaya mendorong tema bahasan, 53
tahun cita-cita reforma agraria, pelaksanaan serta tantangannya dari berbagai sudut pandang yaitu perjuangan petani, buruh, mahasiswa dan pegiat globalisasi. Hal ini bertujuan untuk menyatukan semangat dan kekuatan berbagai elemen gerakan pendukung Reforma Agraria. Harapannya
publik dapat membaca situasi bahwa gerakan reforma agraria bukanlah
mengedepankan gerakan sektoral elemen, namun menjadi bagian agenda
perjuangan nasional yang didukung seluruh elemen kekuatan progresif.
Pada rubrik Opini juga mengulas pengaruh dominasi neoliberalisme melalui Bank Dunia yang aktif mempengaruhi tanah-air Indonesia.
Tak ketinggalan, dalam Suara Pembaruan Agraria edisi 8 ini, memuat
perkembangan kegiatan organisasi KPA diantaranya: Tantangan Utama
Masalah Agraria di Indonesia melalui Workhsop Persiapan “National
Engagement Strategy”; Sikap Politik KPA: Menolak Penjarahan Tanah-Air
dan Liberalisasi Pangan di Indonesia ; liputan Peringatan Hari Tani Nasional KPA di Wilayah; Dialog Agraria Nasional: Masa Depan Reforma Agraria
di Indonesia; Pertemuan Regional ILC Asia: Laporan Pandangan Mata;
Workhshop dan Pelatihan “Gender Evaluation Criteria”: Mengukur Keadilan Gender dalam Kebijakan Pertanahan serta Peran Perempuan dalam
Gerakan Reforma Agraria yang memuat wawancara bersama Wasekjen
KPA, Dewi Kartika.
Dalam rubrik “Lintas Peristiwa” menyajikan rangkaian beragam peristiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: kriminalisasi petani Lumajang; Pasal karet yang melemahkan gerakan tani di Lubai, Muara Enim;
Belajar bangkit dari petani Sragen; liputan soal perusahaan sawit Malaysia
yang merampas lahan petani di Jambi serta ulasan mengenai pemogokan
nasional kaum buruh bagi petani dan gerakan reforma agraria.
Pada “Rubrik Sosok”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat profil para

koordinator KPA wilayah periode 2013-2016. Di bagian akhir, kami juga
mengangkat resensi buku “Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah” yang
mengurai persoalan fundamental kebangsaan. Demikianlah ragam bacaan
yang kami sajikan pada edisi 8 kali ini. Harapannya, buletin ini dapat hadir
mengisi arus informasi yang aktual kepada seluruh pejuang dan pegiat
agraria di Indonesia dan dapat menambah modal perjuangan di bidang
pengetahuan dan informasi. Salam agraria
Redaksi

EDISI: VIII/SEPTEMBER-NOVEMBER 2013

PENANGGUNG JAWAB
Iwan Nurdin
PEMIMPIN REDAKSI
Dewi Kartika
DEWAN REDAKSI
Galih Andreanto, Jarwo
Susilo, Andria Perangin-angin,
Yusriansyah, DD Shineba,
Yayan Herdiana, Agus

Suprayitno, Adang Satrio,
Diana, Roy Silalahi
FOTOGRAFER
Kent Yusriansyah
LAYOUT
Syawaludin
ALAMAT REDAKSI
Kompleks Liga Mas Indah
Jl Pancoran Indah 1, Blok
E3 No. 1, Pancoran, Jakarta
Selatan 12760
Telp 021-7984540
Fax 021-7993834
Email: kpa@kpa.or.id
Website: sss. kpa.or.id

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

3


Editorial

Reforma Agraria
dan Pemilu 2014

R

eforma Agraria adalah persoalan
politik. Karena itu, tanpa adanya
kekuasaan politik dari kalangan
gerakan, hampir mustahil reforma
agraria dijalankan dengan benar.
Dalam nuansa yang sama, pakar politik agraria, Gunawan Wiradi (82), mengungkapkan
sejumlah prasyarat agar reforma agraria berhasil dilaksanakan. Dari beberapa tersebut,
ada dua yang sangat penting yaitu adanya
kemauan politik yang kuat dari pemerintah
yang berkuasa dan kuatnya organisasi rakyat
yang memperjuangkan dan aktif mendesak
pelaksanaan reforma agraria.
Sejak reformasi, hujan desakan tentang

pentingnya pelaksanaan reforma agraria oleh
organisasi masyarakat petani bukanlah hal
yang kecil. Namun, pemerintah masih bergeming. Paling banter, reforma agraria dijadikan
program yang menempel pada program di
kementerian dan BPN. Agaknya dibutuhkan
sebuah rancang bangun gerakan reforma agraria yang lengkap, konsisten dijalankan, dalam membangun jalan menuju sebuah
kuasa politik oleh kalangan gerakan
reforma agraria.
Soal kuasa politik, salah satu
jalur yang tersedia, yang hasilnya
diharapkan bisa

4

Soekarno adalah
salah satu tokoh
Bangsa yang dalam
cita-cita politiknya
meletakan land
reform sebagai suatu

cara mewujudkan
tatanan masyarakat
yang adil dan
makmur.
Sumber foto: Poster
50 tahun peringatan
UUPA, STPN

mendukung transformasi struktur agraria ke
arah yang berkeadilan sosial melalui pelaksanaan reforma agraria adalah melalui pemilu.
Sayang, partai politik peserta pemilu tahun
2014, belum ada yang menjadikan reforma
agraria sebagai basis utama transformasi
ekonomi politik dan sosial di Indonesia.
Selain itu, calon legislatif dan eksekutif yang
ditawarkan, bagian terbesarnya mempunyai
rekam jejak yang anti reforma agraria.
Membincangkan pemilu, setelah daftar
partai dan caleg sudah ditetapkan, setidaknya
ada dua proses utama yang patut diisi atau

dipengaruhi oleh kalangan gerakan reforma
agraria. Pertama, pada saat pra-pemilihan,
prosesi kampanye dialogis, rapat akbar,
mobilisasi rakyat wajib diisi dengan masalah
reforma agraria sehingga menjadi janji politik
yang resmi. Kedua, saat konsolidasi kekuasaan rezim baru terbentuk dari hasil pemilu.
Proses ini penting untuk memastikan bahwa
reforma agraria tidak saja menjadi agenda
namun dilaksanakan.
Masalahnya adalah, sejauh mana
kalangan gerakan reforma agraria
mampu mewarnai proses yang
sedemikian kompleks dan high
politics tersebut jika tidak menyiapkan diri sejak awal. Selain itu,
kelemahan lainnya, karena ran-

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

cang bangun sistem pembangunan neoliberal
telah dibentuk melalui aneka kesepakatan

yang telah dilaksanakan rezim sebelumnya
seperti AFTA, APEC dan WTO serta perjanjian
internasional lain yang mengikat dan anti
pelaksanaan reforma agraria.
Namun, bagaimanapun pemilu 2014 adalah pasar politik yang tersedia, dimana gagasan reforma agraria harus dipertandingkan,
diperjuangkan dan dituntut pelaksanaannya
oleh para pejuangnya. Bukan saja untuk memasukkan ide kedalam pusaran politik kekuasaan, namun untuk dilaksanakan.
Bagi kalangan gerakan reforma agraria
yang menganggap pemilu 2014 adalah berulangnya proses politik politik formal yang telah lama membusuk. Sehingga diabaikan atau
dijadikan ajang propaganda bagi kebusukan
rezim pemilu yang tengah berlangsung. Tak
ada masalah dengan hal tersebut.
Sekali lagi, reforma agraria adalah soal
politik kekuasaan. Di dalamnya kita membutuhkan sebuah gerakan. Sebuah gerakan dengan basis utama petani. Ia wajib mempunyai
tali temali yang terhubung dengan kelompok
lain seperti buruh, jurnalis, akademisi dan
kalangan masyarakat sipil lainnya demi perluasan pemahaman agenda reforma agraria.

Kelompok pengusung
reforma agraria tetap
melakukan kampanye
promosi di berbagai
wilayah tanah air
pada peringatan HTN
2013.
Sumber foto: KPA

Bukankah tingkat melek reforma agraria yang
tinggi di kalangan masyarakat akan memudahkan desakan pelaksanaan reforma agraria
itu sendiri.
Sebuah gerakan juga membutuhkan kader
yang tak kenal lelah menyuarakan isu ini. Ia
bisa berangkat dari kasus-kasus perampasan
tanah, konflik agraria hingga mengarah kepada tuntutan pelaksanaan reforma agraria.
Bisa juga berangkat dari hal-hal lain, seperti
perlindungan pekerja migran, kemiskinan pedesaan, perlindungan masyarakat adat yang
semuanya bermuara pada solusi pelaksanaan
reform agraria. Karena itu di dalamnya wajib
ada sebuah pendidikan kader yang bertahap.
Berbicara gerakan, adalah membicarakan perubahan. Mustahil ia berdiri sendiri,
sibuk secara terus menerus terus menerus,
misalnya oleh kasus-kasus yang didampingi
semata tanpa merangkaikannya dalam sebuah kerangka sosial poitik yang lebih luas.
Oleh karena itu, perlu langkah perubahan
dalam serikat-serikat tani yang ada. Berubah
dari organisasi kasus menuju organisasi perjuangan reforma agraria. Berubah dari watak
dan perilaku “korban” menjadi para pejuang
reforma agraria.
n Tim Suara Pembaruan Agraria

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

5

BErita agraria

Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari
Peta Wilayah Kelola Rakyat
Pemetaan partisipatif
adalah salah satu alat
yang efektif menyatakan
ketimpangan penguasaan,
pemilikan, pemanfaatan serta
pengelolaan sumber-sumber
agraria. Salah satu prasyarat reforma agraria yaitu
kesediaan data yang akurat
dan lengkap, termasuk peta,
dapat menjadi pintu masuk
bagi perjuangan keadilan
agraria di berbagai wilayah.
Data dari JKPP menyebutkan
bahwa dari 3,9 juta Ha wilayah
adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah
hutan. Hal ini dapat dijadikan
‘entry point’ bagi para pejuang
agraria untuk membongkar
carut-marutnya penguasaan
sumber-sumber agraria di
Indonesia. Buletin Suara
Pembaruan Agraria edisi VIII
kali ini mengangkat salah satu
pandangan Direktur Jaringan
Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP) yang giat melakukan
pemetaan di wilayah-wilayah
kelola rakyat.
6

Profil: Kasmita
Widodo ialah
Direktur Jaringan
Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP),
Ia pernah menjadi
kepala Badan
Registrasi Wilayah
Adat pada 2010
hingga 2012 lalu.
Alumnus Institut
Pertanian Bogor
ini kini aktif dalam
memberikan
pelatihan mengenai
pemetaan partisipatif
kepada masyarakat
adat.

Hubungan antara pemetaan partisipatif dengan reforma agraria?
Pertama, untuk melaksanakan reforma
agraria kita butuh data akurat mengenai
sumber-sumber agraria yang timpang, maka
untuk menyatakan ketimpangan penguasaan
sumber-sumber agraria kita harus memetakan wilayah kelola rakyat, selain itu pemerintah juga harus memetakan atau mengidentifikasi kondisi objek reform melalui pemetaan.
Selama ini, belum terlihat upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan reforma
agraria, karena pra-syaratnya mengharuskan
adanya data yang lengkap terlebih dahulu
soal informasi kewilayahan, sehingga bisa

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

dideteksi ketimpangan agraria dan ketimpangan-ketimpangan lainnya. Itulah hambatannya, Kita belum mempunyai data spasial,
informasi ruang kewilayahan, atau peta yang
kita tentukan bersama-sama. Kebijakan dari
pemerintah mengenai satu peta belum ada,
meskipun inisiatifnya ada. Faktor ego sektoral
sangat menghambat, karena belum adanya
satu visi dalam pengelolaan sumber-sumber
agraria.
Kedua, kita juga harus mengetahui dan
melihat kondisi penguasaannya? Apa saja dan
siapa saja yang menguasai wilayah-wilayah
dan apa saja izin di dalamnya. Ketiga¸peta
claim rakyat juga harus dibuat, rakyat harus
memetakan dan mengetahui wilayah tata kelola rakyat. Jika ada kebijakan melaksanakan
reforma agraria, harus memahami data penguasaanya, agar tidak terjadi persinggungan
penguasaan lahan, terutama di luar jawa
yang lebih rumit karena faktor kesejarahan
dan berpotensi konflik horisontal antar masyarakat.
Untuk menyatakan ketimpangan penguasaan lahan, harus dipersiapkan informasi
spasial kewilayahan melalui registrasi dalam
rangka mengidentifikasi kondisi objek reform
atau kesesuaian lahannya. Selama ini belum
ada referensinya, maka dari itu registrasi atau
pendaftaran hak atas tanah dan izin-izin yang
ada di atasnya harus dilakukan. Jika registrasi
sudah berhasil dilakukan, kemudian bisa direview izin-izin yang legal maupun ilegal dan
dapat juga dideteksi dugaan korupsi izin di
dalamnya.

Terkait dengan pemetaan partisipatif bagaimana peran dan respon pemerintah selama
ini ?
Semua instansi pemerintah harus terlibat,
misalnya BPN harus share data HGU dan Pemda juga harus terbuka. Sebenarnya, kebijakan
operasional (one map) juga telah disiapkan.
Ke depan akan ada upaya-upaya melakukan
pemetaan wilayah adat oleh pemerintah,
karena jika tidak meregristrasi penguasaan
sumber agraria maka rumit untuk memulai
dari mana. Harus diketahui data jumlah penduduknya dan luasan wilayah, lalu jika timpang, sasaran pemindahan penduduk juga
harus dipikirkan. Bukan hanya soal demografi
semata, namun harus dibereskan dulu persoalan tenurialnya. Registrasilah yang sangat
penting untuk mengetahui pola tenurialnya,
sebab ketimpangan sosial bisa saja muncul
jika tidak dibereskan soal tenurial atau pola
penguasaan tanahnya.
Misalnya, pada registrasi wilayah-wilayah
adat, yang sudah dibentuk 2010 dan sekarang sedang disiapkan peta indikatif wilayah
adat Indonesia. Penting untuk diketahui
bahwa, itu barulah satu versi penguasaan
wilayah oleh rakyat yg akan dioverlay dengan
peta sektor-sektor pemerintah (kehutanan
dll). Kita selalu bilang ada ketimpangan, itu
yang timpang ada dimana? berapa luasnya?
siapa saja orangnya? andaikata setiap kantor
pemerintah yang berwenang ada data-data
itu, maka bisa dipertimbangkan keluarnya
izin kemudian mencegah proses perampasanperampasan tanah.

Jika pemerintah tidak berkomitmen melaksanakan penyiapan informasi
spasial maka konflik-konflik agraria akan terus berlanjut. Itikad
pemerintah diuji di tahapan penyediaan pra-syarat reforma agraria
ini, tentu dengan pelibatan rakyat dalam prosesnya. Agar pemerintah
ke depan punya modal awal melaksanakan reforma agraria, yaitu
kelengkapan informasi penguasaan sumber-sumber agraria. Kabarnya,
pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial telah menyiapkan
“One Map” untuk mengatasi tumpang tindih pemetaan lintas sektoral.

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

7

BErita agraria
JKPP banyak melakukan kerja pemetaan, bagaimana proses pemetaan partisipatif yang
selama ini berlangsung?
Penerima manfaat dari pemetaan partisipatif yaitu masyarakat adat dan petani,
keduanya memiliki karakter yang berbeda.
Masyarakat adat berada di wilayah adat dan
lebih besar berada di luar jawa, sedangkan
petani terkait dengan wilayah-wilayah reclaiming. Pemetaan partisipatif oleh petani berguna untuk menguatkan hasil reclaiming dan
untuk kepentingan redistribusi lahan. Untuk
wilayah adat prosesnya lebih panjang karena
harus lahir dari kesepakatan komunitas.
0,9 juta Ha wilayah adat yang berada di
luar hutan negara belum dioverlay dengan
yang lain. Ada persoalan karena wilayah adat
tumpang tindih dengan kehutanan dan 88%
wilayah hutan belum mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan belum juga punya
peta. Dengan keluarnya keputusan MK 35 telah menyatakan ketidaksesuaian kebijaksanaan agraria dengan hak konstitusi masyarakat
adat.
Pemetaan prosesnya harus ada kesepakatan, masyarakat menghendaki peta jenis apa.
Untuk masyarakat adat, peta dasarnya adalah
peta adat karena ada faktor sejarah. Harus
ditelusuri asal usul sejarah penguasaannya.
Sedangkan untuk petani, peta digunakan
sebagai basis penguatan penguasaan lahan
serta interaksi petani atas tanah garapannya.
Apa Kendala dan Rencana ke Depan dalam
Proses Pemetaan Partisipatif?
Kendala saat ini bagi pemetaan partisipatif
adalah konsolidasi kapasitas yang terbatas sementara wilayah luas dan SDM sedikit. Tetapi
bukan zamannya lagi kerja sendiri, pemerintah harus digerakan infrastrukturnya. Pemerintah juga harus bertanggung jawab karena
punya sumber daya. Pemerintah daerah juga
harus ambil bagian karena sekarang sudah
Otonomi Daerah, tidak boleh sibuk jual izin
demi APBD, tetapi harus urus wilayah kelola
rakyat. Pemerintah pusat dan daerah harus
giat melahirkan kebijakan yang memadai dan
anggaran yang cukup.
Tantangan yang cukup relevan adalah menyoal hutan adat, keputusan MK bukan hanya
semata-mata soal hutan, tetapi lebih luas
menyoal sumber agraria, soal wilayah dan

8

Tantangan ke
depan adalah
menyiapkan
informasi spasial
terkait peta
wilayah adat
dsb. Setelah itu
kita baru bisa
bicara soal konflik
agraria dan upaya
penyelesaian
dan sejauh mana
penyelesaiannya.
Tantangan
berikutnya datang
dari pemerintah,
karena
egosektoralisme
yang mendominasi
maka perlu
adanya kerjasama
dari seluruh
kementrian
lembaga terkait
sektor sumber
daya alam.

ulayat. Hutan memang salah satu sektornya
saja, tapi keputusan MK dipandang sebagai
pengakuan negara atas tanah-tanah masyarakat adat. Pemerintah harus punya peta
kerja yang menjelaskan wilayah adat, siapa
yang punya otoritas dan situasi tenurialnya
dan sekarang wilayah adat bukan lagi ruang
hampa tapi ada tambang dsb.
Tantangan ke depan adalah menyiapkan
informasi spasial terkait peta wilayah adat
dsb. Setelah itu kita baru bisa bicara soal
konflik agraria dan upaya penyelesaian dan
sejauh mana penyelesaiannya. Tantangan
berikutnya datang dari pemerintah, karena
egosektoralisme yang mendominasi maka
perlu adanya kerjasama dari seluruh kementrian lembaga terkait sektor sumber daya
alam.
Kita bisa siapkan informasi spasial claimclaim rakyat atau wilayah kelola rakyat bisa
jadi bukan hanya wilayah masyarakat adat
saja. Bisa digunakan untuk mengamputasi
izin-izin yang melanggar dan mengetahui wilayah-wilayah yang terlantar dsb. Masyarakat
harus siapkan claim wilayah adatnya juga.
Jangan sampai tak punya bukti awal interaksi
dan tanah dengan rakyat. Butuh kerja keras,
karena bukan hanya tugas NGO tetapi juga
tanggung jawab pemerintah untuk pemetaan
wilayah adat itu namun hambatannya, peraturannya belum ada.
Ke depan Kita akan buat Geo Data Nasional, kita bisa munculkan info spasial dan ketimpangan agrarianya bagaimana. Misalnya
satu provinsi diregister semua perizinan dan
wilayah kelola rakyatnya. Gerakan Pemetaan
Partisipatif harus massif dilakukan, peningkatannya harus terukur, misal dalam lima tahun
ada peningkatan eksponensial berapa peta
partisipatif yang sudah kita petakan.
Momentum keputusan MK 35 tahun 2012
soal Hutan Adat bukan lagi bagian dari Hutan
Negara harus digunakan oleh pemerintah
sebagai pelajaran untuk mengubah kebijakan
dan dapat memaksa pemerintah untuk mengkoreksi kebijakan pengelolaan wilayahnya.
Pemerintah jangan merasa benar dan mengabaikan peta claim yang lain. Langkah yang
harus diambil pemerintah bisa dalam bentuk
Intruksi Presiden dalam konteks penyediaan
informasi spasial wilayah yang lintas sektor
(one map). n (GA)

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

opini

Reforma Agraria, Jalan
Menuju Kesejahteraan Petani
Oleh : M Fadlil Kirom
(Ketua Departemen Pendidikan, Advokasi dan Penguatan Organisasi API)

R

asanya sudah ada ribuan tulisan
yang membahas reforma agraria,
namun pelaksanaan reforma agraria
yang sejati dan holistik masih belum
menjadi prioritas pemerintah hari ini. Konsep
reforma agraria masih tertutup awan hitam
yang tak kunjung menjadi hujan yang bisa
memberi keberkahan bagi petani Indonesia.
Pasca reformasi 1998, dorongan berbagai
organisasi petani dan organisasi masyarakat
sipil lainnya telah melahirkan Tap MPR No IX
tahun 2001 yang menjadi dasar hukum yang
kuat agar pemerintah segera melaksanakan
reforma agraria. Sayang sekali, Lagi-lagi Tap
MPR ini sebagaimana nasib UUPA 1960 “dimandulkan”. 15 tahun reformasi, konflik agraria malah semakin meningkat, kriminalisasi
tak ada hentinya dan penguasaan perusahaan
atas tanah juga semakin luas.
Sampai saat ini organisasi petani khususnya Aliansi Petani Indonesia masih meyakini
bahwa Reforma Agraria merupakan jalan
yang harus dilalui dalam upaya menggapai
kesejahteraan petani; ada beberapa alasan
penting dan pokok mengenai hal ini, yaitu :
1. Fakta lebih dari 50 juta penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai petani
(hortikultura, pangan, perkebunan rakyat)
yang hidup dalam situasi kemiskinan dan
ketidakberdayaan. Kemiskinan yang terjadi
sudah lebih dari satu abad. Tentunya kita
mengerti bahwa para petani di zaman kolonial tidak mendapatkan hak atas tanah.
Petani hanya dijadikan komoditas sebagai
tenaga kerja murah untuk memproduksi
barang-barang murah yang sangat menguntungkan pemerintahan kolonial saat itu.
2. Fakta ketimpangan struktur agraria, dimana beberapa perusahaan menguasai

jutaan hektar, sementara petani hanya
memiliki lahan kurang dari 0,3 ha, bahkan
terjadi peningkatan jumlah petani penggarap dan buruh tani. Artinya, petani menjadi semakin miskin dikarenakan kehilangan
tanahnya.
3. Fakta semakin tergusurnya lahan pangan
akibat konversi ke non pertanian membuat rumah tangga petani selalu mengalami
rawan pangan. Hal ini juga membuat petani tidak lagi menjadi produsen utama
pangan, tetapi menjadi konsumen pangan
fabrikan
4. Fakta pendapatan rumah tangga petani
yang sangat rendah, hasil perhitungan API
menunjukkan bahwa pendapatan rumah
tangga petani jauh dari hidup layak, ratarata per bulan masih dibawah Rp 500.000.
Pendapatan yang rendah disebabkan
minimnya lahan yang dimiliki oleh petani.
Skala ideal untuk usaha di pertanian minimal 2 ha, sementara petani, khususnya
petani pangan hanya memiliki kurang dari
0,3 ha.

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

9

opini
5. Fakta semakin minimnya gairah anak muda
untuk hidup sebagai petani menunjukkan
bahwa profesi petani tidak memiliki prospek yang baik di masa depan. Hal ini tentu
sangat mengkhawatirkan, mengingat jika
bangsa ini ingin berdaulat secara penuh,
maka syarat dasarnya adalah terwujudnya
kedaulatan pangan, dimana petani kecil
sebagai subyek utama produsen pangan.
Tantangan besar menghadang pelaksanaan reforma agraria, liberalisasi pertanian
yang ditandai dengan semakin kuatnya pasar
(baca: pemodal) menguasai tanah hingga
pemasaran hasil pertanian. Munculnya spekulan tanah hingga spekulan harga semakin
meminggirkan petani di Indonesia. Tantangan-tantangan pokok yang dihadapi dalam
rangka pelaksanaan reforma agraria sebagai
berikut :
1. Tidak adanya komitmen (political will) dari
pemerintah untuk menjalankan reforma
agraria. Kondisi ini mudah dimengerti
mengingat, Pemerintah hari ini dibentuk
oleh partai-partai yang tidak memiliki
agenda reforma agraria sebagai agenda
utama. Partai lebih berkonsentrasi pada
upaya mempertahankan kekuasaan dengan cara berkolaborasi dengan pengusaha baik asing maupun nasional. Komitmen
peningkatan kesejahteraan petani sangat
lah rendah, contoh yang paling sederhana
adalah APBN pertanian tidak pernah lebih
dari 5%, tentu ini sangat memprihatinkan mengingat lebih dari 40% penduduk
mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian.
2. Semakin menguatnya investasi asing
(baca: modal asing) yang masuk ke berbagai sektor, mulai dari infrastruktur hingga
perbankan. MP3EI dan Zona Ekonomi Khusus (ZEE) sebagai contoh nyata bagaimana
pemerintah memberikan kemudahan
akses lahan pada para pengusaha.
3. Masih tingginya kriminalisasi terhadap
petani menunjukkan pemerintah masih
menggunakan cara-cara lama dan tidak
manusiawi. Konflik tanah yang terjadi diberbagai wilayah bahkan tak kunjung selesai akibat energinya habis untuk persoalan
kriminalisasi petani.
4. Menjamurnya organisasi petani yang
menginduk pada partai politik tertentu,

10

akan semakin mengaburkan gerakan
reforma agraria. Isu reforma agraria laris
manis hanya pada saat menjelang pemilu, setelah pemilu berakhir maka ia akan
membeku dengan sendirinya.

Peluang
pelaksanaan
reforma agraria
jelas masih luas
terbentang,
memang butuh
waktu untuk
meyakinkan semua
elemen bangsa
agar menyadari
betapa pentingnya
penataan struktur
agraria yang adil.

Lalu bagaimana peluang pelaksanaan reforma agraria di masa mendatang?
Reforma Agraria adalah kebutuhan
mendasar jika kita mengingat kembali spirit
kemerdekaan, sila ke 5 pancasila, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia, pasal 33
UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR RI No IX
tahun 2001. Negara dalam hal ini berkewajiban untuk melaksanakan reforma agraria demi
terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Sebagai bahan refleksi, Kami mencoba
mengutip ayat Al Quran, surat Al Balad: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi
sukar itu? (al balad :12); (yaitu) melepaskan
budak dari perbudakan, (al balad : 13); atau
memberi makan pada hari kelaparan, (al
balad : 14);(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, (Al Balad : 15); atau kepada
orang miskin yang sangat fakir. (al balad : 16);
Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang
yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang. (al balad : 17); Mereka (orang-orang
yang beriman dan saling berpesan itu) adalah
golongan kanan. (al balad : 18)”
Ayat diatas sudah sangat jelas menjelaskan tentang tanggung jawab negara mewujudkan kemerdekaan, melawan
kelaparan hingga mengentaskan kemiskinan.
Ada satu contoh menarik; Bahwa Sahabat
Nabi yang bernama Bilal, awalnya seorang
budak, kemudian dimerdekakan oleh Sahabat Abu Bakar, setelah merdeka dia diberi tanah untuk bertani dan beternak. Maka Bilal
pun menjadi manusia yang bermartabat dan
hidup layak.
Sebagai pribadi, penulis sangat yakin
bahwa kekayaan alam negeri ini dianugerahkan oleh Allah SWT kepada penduduk bumi
Indonesia agar didistribusikan secara adil.
Sebagai manusia yang percaya pada Tuhan
Yang Maha Esa, tindakan sewenang-wenang
sekelompok orang dalam menguasai tanah
untuk kekayaan diri dan golongannya saja
merupakan bentuk yang mengingkari kodrat

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

bangsa. Dan segala upaya penduduk negeri
ini untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam secara adil jelas-jelas akan mendapatkan legitimasi dari aspek religiusitas
hingga konstitusi.

Peluang pelaksanaan reforma agraria jelas
masih luas terbentang, memang butuh waktu untuk meyakinkan semua elemen bangsa
agar menyadari betapa pentingnya penataan
struktur agraria yang adil. Organisasi petani
dan organisasi masyarakat sipil lainnya harus
bahu membahu dalam memperjuangkan reforma agraria, persatuan menjadi kata kunci
untuk memenangkan agenda besar ini. Terkadang benar juga ada pepatah yang mengatakan :” Bukan musuhmu yang kuat, tetapi
karena kita yang tak mampu memaksimalkan
kekuatan kita sendiri”.
Akhirnya, 53 tahun UUPA jangan disamakan dengan umur manusia dimana pada
umur 53 sudah sangat mapan dan mendekati
kematian, tetapi jadikan 53 tahun sebagai
jumlah ketukan palu, mudah-mudahan pada
ketukan ke 60, reforma agraria sejati bisa terlaksana, dan Petani pun bisa hidup sejahtera,
Amien ya Rabbal Alamien. n
Petani penggarap yang identik dengan
kemiskinan.
Sumber: KPA dan poskota.co.id

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

11

opini

Reforma Agraria Sejati Basis
Industrialisasi Nasional
Oleh: John Silaban, Spsi.
Sekretaris Jenderal Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI)

Pergeseran Makna UUPA
Pada dasarnya sudah terang bahwa UUPA
No.5 Tahun 1960 merupakan aturan hukum
yang paling dasar dalam mendorong pemerataan-distribusi agraria bagi kepentingan
seluruh rakyat. (struktur kepemilikan hak
atas agraria) termasuk distribusi dalam arti
pemerataan tanah sebagai perkakas produksi
untuk kebahagian dan kesejahteraan rakyat.
Lebih khusus UUPA 1960 menjelaskan
bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi
sosial bukan fungsi individualistik, sehingga
dalam UUPA 1960 lebih lanjut menjelaskan
bahwa terdapat pembatasan atas kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Karenanya
dalam struktur kepemilikan atas tanah seharusnya tidak melahirkan ketimpangan akan
tetapi mewujudkan pemerataan.
Garis umum UUPA 1960 mengartikan
bahwa tujuan penguasaan dan kepemilikan
hak atas tanah adalah menuju kemerdekaan
dan kesejahteraan sepenuh-penuhnya massa
rakyat Indonesia sebagai sebuah kesatuan.
Sehingga sangat jelas, agraria menjadi bagian
terpenting dalam pembangunan nasional karenanya reforma agraria (land reform) merupakan suatu keharusan yang seharusnya tidak
perlu ditunda-tunda dalam pelaksanaannya.
Pada kenyataannya struktur kepemilikan dan penguasaan agraria seperti; tanah,
hutan, laut dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya sejak kekuasaan orde baru-era
reformasi hanya sekedar wacana sebatas
teoritis belaka. Aturan sebatas aturan di atas
kertas karena tidak ada political will dari penguasa untuk melakukan penataan struktur
agraria secara konsisten adil dan merata.
Land reform versi pemerintah sesungguhnya tidak menyentuh substansi dari penataan

12

struktur kepemilikan, penguasaan dan peruntukkan agraria sehingga cita-cita agraria sejati
sampai sekarang tidak pernah terwujud.
Program-program versi pemerintah seperti
sertifikasi hanya akan menguatkan posisi
monopoli atas penguasaan sumber-sumber
agraria, selain itu program tersebut semakin
mempermudah dan atau mempercepat proses pembebasan lahan untuk kepentingan
perluasan dan memperlancar proses akumulasi modal bagi para pemilik modal.
Prinsip dari program land reform ala pemerintah tidak lebih sebuah proses liberalisasi untuk kepentingan para pemodal atas
nama kepentingan pembangunan. Hak-hak
atas tanah sebagaimana termaktub dalam
pasal 16 (1), UUPA 1960 meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna-usaha;
c. hak guna-bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut-hasil hutan;

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hakhak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam pasal 53.
Semuanya itu faktanya menjadi hak para
pemilik kepentingan yaitu para investor/
pengusaha (dalam dan luar negeri) dan
para penguasa dengan kekuasaan politiknya
memperkaya pribadi dan keluarganya. Bahwa
70 persen aset nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 0.02 persen penduduk, 50 persen
aset tersebut dalam bentuk tanah beserta
kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Sementara massa rakyat sebagaimana amanat UUPA 1960 sangat jauh dari harapan, justru tanah milik rakyat atas nama kepentingan
negara diambil alih dengan cara-cara primitif,
seperti penggusuran dengan cara paksa melalui perangkat kekerasan negara. Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir
tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi
163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang
menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang
menggarap lahan. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini kasus-kasus atau konflik
agraria semakin bertambah dan itu bergaris
lurus dengan semakin meningkatnya massa
rakyat yang kehilangan atas tanahnya.
Akibat lain atas hal tersebut terlihat adanya ketimpangan social ekonomi massa rakyat
seperti; kemiskinan, pengangguran, urbanisasi yang terus meningkat dan lain sebagainya,
fakta ini merupakan buah dari kegagalan penguasa melakukan penataan struktur agraria.
Karenanya distribusi kepemilikan dan penguasaan atas agraria yang adil dan merata bagi
seluruh massa rakyat sebuah keharusan.
Pada sisi yang lain-diluar persoalan kepemillikan dan penguasaan, kegagalan penataan agraria ala rezim borjuasi terlihat dari sisi
struktur produktifitas agraria. Struktur produktifitas dalam konteks jumlah kepemilikan lahan
dibandingkan dengan kemampuan pengelolaan lahan tersebut, misalnya dengan perkembangan teknologi pertanian saat ini satu keluarga mampu mengelola secara produktif luas
lahannya sebesar 5 ha, lebih dari itu dia harus
bayar buruh tani untuk pengelolaannya.
Artinya persoalan pengetahuan dan teknologi menjadi bagian penting untuk melaku-

Pada sisi yang laindiluar persoalan
kepemillikan
dan penguasaan,
kegagalan
penataan agraria
ala rezim borjuasi
terlihat dari
sisi struktur
produktifitas
agraria. Struktur
produktifitas
dalam konteks
jumlah
kepemilikan lahan
dibandingkan
dengan
kemampuan
pengelolaan
lahan tersebut,
misalnya dengan
perkembangan
teknologi
pertanian saat
ini satu keluarga
mampu mengelola
secara produktif
luas lahannya
sebesar 5 ha,
lebih dari itu
dia harus bayar
buruh tani untuk
pengelolaannya.

kan struktur produktifitas agraria. Sementara
program pemerintah tidak pernah menyentuh soal tersebut, maka tidak mengherankan
program-program kesejahteraan massa rakyat dari sumber-sumber agraria tidak pernah
terwujud seperti; program menuju kedaulatan pangan yang sebatas wacana akademisi
tanpa realisasi.
Demikianlah akibat dari praktik ekonomi
politik kapitalisme yang diagung-agungkan
dan dijalankan oleh para penguasa (Rezim
Borjuasi). Persoalan agraria versi liberalism
(Market Land Reform Scheme) tidak pernah
menyentuh persoalan kesejahteraan, kemerdekaan bersama tapi prinsip kepemilikan dan
penguasaan atas sumber-sumber agraria
bertujuan untuk eksploitasi, ekspansi dan
akumulasi modal tanpa batas.
Padahal kalau kita kembali pada UUPA
1960 tentang tanah-air serta isi yang terkandung di dalamnya dan juga menyangkut
kepemilikaan dan penguasaan hak atas ruang angkasa seharusnya menjadi hak semua
massa rakyat yaitu distribusi kepemilikan
secara merata dan peruntukan yang digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
bersama.

Relasi Reforma Agraria Sejati dengan
industrialisasi nasional
Urgensi reforma agraria yang tidak hanya
sekedar redistribusi tanah atau pembagian
tanah semata akan tetapi lebih dari itu yaitu
penguasaan dalam arti pemanfaatan kekayaan agraria secara merata bagi seluruh massa
rakyat Indonesia tentu berperan sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi
massa rakyat yang itu bergaris lurus dengan
kepentingan nasional.
Urgensi landreform tersebut tentu tidak
bisa bediri sendiri sebagai bagian yang terpisah dengan bagian yang lainnya, akan tetapi
saling memiliki keterkaitan atau saling berhubungan. Bahwa akan tidak memungkinkan
sektor agraria menjadi faktor penting dalam
memajukan kesejahteraan massa rakyat manakala tidak disandingkan atau dihubungkan
dengan sektor yang lain.
Pada kenyataannya sampai sekarang sejak
terjadinya dikotomi antara agraria dengan sektor yang lainnya, antara desa dengan kota dan
lain sebagainya, sehingga dampak yang sangat

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

13

opini
terlihat jelas adalah semakin jelasnya ketimpangan struktur ekonomi antara yang kaya
dengan yang miskin, antara kesejahteraan di
desa dengan kesejahteraan di kota, antara pemilik perkakas produksi dengan pekerja/buruh
singkat katanya agraria yang terpisah dengan
sektor yang lain akhirnya tidak memiliki urgensi terhadap pembangunan nasional.
Pada kerangka itulah pentingnya relasi
yang sinergis antar berbagai sektor salah
satunya adalah agraria untuk kepentingan
industrialisasi nasional. Reforma agraria sejati
yang tidak sekedar redistribusi tanah sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat kuat
dengan basis industrialisasi nasional.
Basis agraria merupakan penyedia (supply)
bahan mentah bagi industri nasional. Bahwa
Indonesia memiliki bahan mentah sebagai
pemasok bagi industri nasional, hal ini sangat
mudah kita buktikan diantaranya: Kekayaan
hutan mampu menyediakan bahan mentah
bagi industri pengolahan kertas dsb. Artinya
ada begitu banyak bahan mentah tersedia
dari kekayaan hutan untuk pemenuhan proses produksi industri nasional.
Kekayaan yang bersumber dari tanah.
Pada fungsi sebagai lahan tanah juga menyediakan berbagai bahan mentah untuk supply
industri seperti; sawit, bahan makanan, tembakau dan lain sebagainya. Disisi yang lain tanah sebagai lahan yang menyimpan berbagai
kekayaan di dalamnya seperti; emas, batu
bara, mineral, kekayaan laut dsb.
Pengalaman sejarah republik ini memberikan bukti yang cukup penting, bahwa Indonesia masa lalu menjadi wilayah yang mampu
mensupply kebutuhan industri Eropa pada
awal-awal kebangkitan kapitalisme, sampai
Indonesia dijadikan sebagai negara koloni
yang bertugas untuk memberikan supply
bahan mentah bagi industri.
Histori tersebut seharusnya menjadi catatan berharga bagi Indonesia, artinya sektor agraria yang begitu banyak menyediakan bahan
mentah untuk kebutuhan industri nasional. Di
sinilah urgensi penataan struktur agraria sebagai kesatuan yang tidak terpisah-tidak sekedar
pemanfaatan hasil untuk kebutuhan konsumsi
dan distribusi tanah sekedar kuantitas hak kepemilikan tapi agraria sebagai jawaban untuk
kepentingan pembangunan industri nasional
yang kuat, mandiri dan berdaulat.

14

Persatuan perjuangan multisektor
menuju cita-cita reforma agraria sejati sebagai kebutuhan mendesak
Proses reforma agraria dalam tata produksi, distribusi yang kapitalistik tentu bukan
sebuah pekerjaan mudah dan cepat, tapi
membutuhkan sebuah proses yang panjang
secara waktu, membutuhkan konsepsi teoritis, strategi taktik yang tepat dan tindakan
yang tepat. Ada berbagai tantangan dalam
proses mencapai cita-cita reforma Agraria
sejati beberapa diantaranya :

Proses reforma
agraria dalam tata
produksi, distribusi
yang kapitalistik
tentu bukan
sebuah pekerjaan
mudah dan cepat,
tapi membutuhkan
sebuah proses
yang panjang
secara waktu,
membutuhkan
konsepsi teoritis,
strategi taktik yang
tepat dan tindakan
yang tepat.

1. Tantangan dari segi eksternal.
Pertama, secara yuridis formal selain
UUPA proses reforma agraria akan terhambat
karena ada berbagai regulasi yang dikeluarkan
oleh rezim yang semakin menghambat proses
terwujudnya reforma agraria sejati seperti;
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan
Umum. UU ini kemudian diperkuat oleh Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Dua peraturan ini telah memuluskan
proses pembebasan tanah atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Hal ini
membuktikan secara jelas bahwa tidak ada
political wiil dari rezim untuk melakukan reforma agraria secara sunguh-sungguh kecuali
untuk kepentingan modal.
Kedua, Penetrasi modal di sektor agraria
menjadi tantangan khusus karena kekuatan
modal terus bergerak untuk kepentingan
penguasaan dan kepemilikan atas berbagai
sumber-sumber agraria seperti; tanah, air
termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kebutuhan pasar industri semakin
mendesak kebutuhan untuk melakukan pembebasan atas penguasaan dan kepemilikan
tanah seperti; pembebasan lahan untuk infrastruktur, pembebasan lahan untuk perluasan
obyek tambang, pembebasan lahan untuk
kepentingan perluasan industri perkebunan
hingga pembebasan lahan untuk bisnis pariwisata dan prospertis.
2. Segi Internal
Tantangan proses reforma agraria juga
bersumber dari internal tani itu sendiri.
Perwujudan cita-cita reforma agraria akan
terhambat jika tidak dibarengi dengan pem-

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

bentukan kekuatan organisasi tani, tidak
dibarengi dengan perluasan organisasi dan
pembangunan organisasi perjuangan demokratik dengan seluruh rakyat dengan tetap
mengacu pada prinsip kemerdekaan, kesejahteraan menuju massa rakyat yang adil dan
makmur.
Perpecahan di tubuh organisasi tani
obyektifnya menyebabkan lambatnya perjuangan tani dalam menuntut reforma agraria
sejati karena kekuatan-kekuatan yang bergerak tidak terfokus pada satu pandangan akan
cita-cita reforma agraria sejati, justru akan
semakin mempermudah para pemilik modal
dan penguasa untuk terus melakukan perampasan lahan tani.
Beberapa kasus perampasan lahan sepanjang tahun 2012-2013 memperlihatkan kita
bagaimana gerakan tani tidak terkonsentrasi
dalam satu kekuatan besar, tidak mendapatkan solidaritas yang tinggi dari sektor
lainnya. Bahwa kasus perampasan tanah di
wilayah sumatera atau satu daerah menjadi
tanggungjawab sendiri-sendiri, begitu juga
halnya dengan konflik agraria di daerah yang
lain hampir semua konflik bergerak sendirisendiri dan tidak mendapatkan dukungan
yang luas dari seluruh rakyat.
Fenomena di mana terdapat serpihanserpihan kekuatan berlawan berdampak pada
penyelesaian kasus, berdampak pada semakin jauhnya harapan massa rakyat akan keadilan agraria-bukan kah ini yang diinginkan
oleh para penguasa dan pemilik modal??.
Situasi internal gerakan tani menjadi tantangan untuk mencapai cita-cita landreform
sejati karena situasi internal gerakan tani
yang masih menunjukkan perpecahan, eksistensi masing-masing organisasi merupakan
sisi yang menentukan juga dalam proses perjuangan landareform sejati.
Beberapa tantangan di atas menjadi dasar
atas kebutuhan pembangunan persatuan
perjuangan multisektor sebagai satu kesatuan
yang terpisahkan satu sama yang lain. Dalam
perwujudan land reform sejati gerakan tani
seharusnya bersatu dengan gerakan rakyat
yang lain seperti gerakan buruh, gerakan
mahasiswa, gerakan pemuda dan gerakan
yang lainnya karena landreform sesungguhnya adalah kebutuhan nasional yang berarti
kebutuhan seluruh massa rakyat.

Massa Federasi
Perjuangan Buruh
Indonesia (FPBI)
dalam peringatan
hari buruh
internasional 2013.
Sumber: FPBI

Demikian halnya dengan gerakan buruh,
perjuangan gerakan buruh harus juga bicara
tentang gerakan reforma agraria karena selama gerakan buruh selasai pada persoalan
normatif perburuhan maka selama itu pula
gerakan buruh tidak akan mendapatkan dukungan yang luas tapi hanya gerakan sektoral
yang terpisah dengan sektor yang lain.
Konteks agraria sebagai bagian tulang
punggung pembangunan nasional, maka
gerakan tani atau perjuangan perebutan hak
atas sumber-sumber agaria tidak akan pernah
terwujud dan akan menjadi perjuangan yang
terpisah-pisah.
Bahwa pembangunan persatuan perjuangan multisektor sebagai manifestasi menuju cita-cita reforma agraria sejati merupakan
tugas mendesak bagi semua gerakan rakyat
dalam mencapai reforma agraria sejati yang
meliputi :
1. Distribusi tanah secara adil dan merata;
2. Distribusi pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas agraria;
3. Distribusi modal sebagai kebutuhan dalam
pemenuhan proses pengolahan sumbersumber agraria.
Kebutuhan tersebut yang harus segera
dipenuhi selain beberapa kemenangan-kemenangan perjuangan perebutan sumbersumber agraria diberbagai daerah sebagai
kenyataan yang harus dicatatat oleh semua
massa rakyat sebagai aktualisasi menuju citacita reforma agraria sejati. n

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

15

opini

Liberalisasi Ekonomi dan
Agenda Pembaruan Agraria
oleh: M. Riza Damanik
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)

D

i tengah miskinnya prestasi negara
menjalankan agenda pembaruan
agraria, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono justru menggunakan sisa satu tahun kepemimpinannya untuk
memperluas liberalisasi sektor investasi, perdagangan, dan keuangan. Pada demikian itu,
pemulihan hak-hak rakyat tidak lagi menjadi
prioritas.
Sebut saja hasil dari Konferensi Tingkat
Tinggi G-20, pada 5-6 September 2013, di
Saint Petersburg Rusia, yang juga dihadiri oleh
Presiden SBY. Berlatarkan isu krisis ekonomi
dunia, para pemimpin negara bersepakat untuk memperbesar keterlibatan sektor swasta
dan lembaga keuangan internasional dalam
sederet proyek pembangunan infrastruktur
rakyat.
Strategi lain adalah dengan melakukan fiscal sustainability. Cara ini dimaksudkan agar
tiap-tiap negara melalukan penghematan terhadap pengeluaran domestiknya, termasuk
dengan mengurangi (bahkan menghapuskan)
subsidi kepada petani dan nelayan, agar kewajiban pembayaran utang luar negeri tetap
berjalan lancar.

Menghilangkan peran negara
Keputusan buruk serupa juga lahir dari
serangkaian pertemuan Forum Kerjasama
Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2013, di Bali
Indonesia. Para Menteri Keuangan APEC bersepakat melawan seluruh bentuk proteksionisme dan memastikan pasar tetap terbuka.
Seolah dayung-bersambut, kesepakatan 20
September itu sekaligus menjadi “undangan
resmi” kepada swasta asing untuk mengelola
proyek-proyek infrastruktur, termasuk dengan memobilisasi sumber pembiayaan dari
utang luar negeri. Atas kepentingan itulah,

16

Keputusan buruk
serupa juga lahir
dari serangkaian
pertemuan
Forum Kerjasama
Ekonomi AsiaPasifik (APEC)
2013, di Bali
Indonesia. Para
Menteri Keuangan
APEC bersepakat
melawan
seluruh bentuk
proteksionisme
dan memastikan
pasar tetap
terbuka.

APEC menyepakati dibentuknya Private Public Partnership (PPP) dan Indonesia sebagai
pusat uji cobanya.
Di sektor pangan, APEC menjadi “pintu”
lain perluasan liberalisasi. Caranya, memastikan kran investasi bagi perusahaan trasnasional tetap terbuka, mendorong kerjasama
antara petani-nelayan lokal (small scale)
dengan sektor swasta dalam pembangunan food supply-chains, serta mewajibkan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
menyesuaikan dengan standar internasional.
Terakhir, menyelaraskan seluruh kesepakatan
tersebut ke dalam aturan Organisasi Perdangan Dunia atau WTO (baca selengkapnya: Joint
APEC Ministrial Statement 2013).
Pada konteks itulah kita mengetahui benang merah antara G-20, APEC serta kaitannya dengan Konferensi Tingkat Menteri (KTM)
ke-9 WTO, 3-6 Desember mendatang, di Bali
Indonesia. Pertama, WTO telah dan akan terus digunakan sebagai instrumen legal untuk
memperbesar hegemoni sebagian negaranegara anggota terhadap mayoritas negara

SUARA PEMBARUAN AGRARIA | EDISI VIII SEPTEMBER - NOVEMBER 2013

lainnya (baca: anggota dan non-anggota) melalui kebijakan perdagangan bebas. Caranya,
dengan mengurangi bahkan menghilangkan
hambatan perdagangan seperti tarif dan nontarif, termasuk mendorong penghapusan
subsidi bagi sektor-sektor strategis rakyat.
Kedua, WTO masih akan digunakan untuk
memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karenanya,
guna mengikat berbagai kesepakatan di G20, APEC, dan berbagai inisiatif perjanjian
perdagangan bebas, pertemuan WTO hendak menyepakati “Paket Bali” (Bali Package),
masing-masing: fasilitasi perdagangan (trade
facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture).

Koreksi mendasar
Di Indonesia, minimnya dukungan pemerintah kepada sektor pertanian dan perikanan
rakyat telah memperparah ketergantungan
terhadap berbagai produk pangan impor. Di
2012, nilai impor pangan mencapai US$ 17,2
miliar atau meningkat 47% dibandingkan
dengan tahun 2010 sebesar US$ 11.7 milyar.
Akibatnya, memperparah
pula defisit neraca perdagangan di sektor pertanian,
termasuk perikanan dan
peternakan. Sampai kwartal
ketiga 2012, tercatat defisit
mencapai lebih dari US$ 6,5
miliar atau setara dengan
11,4 juta ton produk pangan.
Kondisi tersebut diperparah
dengan kian membesarnya
keterlibatan asing dalam
pengelolaan sektor-sektor
strategis nasional.
Berdasarkan data Badan
Koordinasi Penanaman Modal, diketahui lebih dari 90%
investasi di sektor perkebunan, peternakan, pertanian,
perikanan, dan pertambangan berupa penanaman
modal asing. Dominasi investasi asing masih berlanjut
di 2013. Celakanya lagi, dari

SBY dinggap telah
menggadaikan
Indonesia pada
forum APEC di Bali, 6
Oktober lalu.
Sumber: repro

berbagai kegiatan investasi asing tersebut
ditemukan praktek pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan perusakan lingkungan. Bahkan
di 2012, Markas Besar Kepolisian RI menemukan sedikitnya 588 potensi konflik agraria
yang melibatkan petani, nelayan, masyarakat
adat, dan sektor swasta.
Teranyar di 2013, konflik berbuntut kriminalisasi terhadap 26 orang petani dan aktivis
lingkungan