Junta Militer Myanmar tahun 1988 Pemerin

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Myanmar berdiri sebagai sebuah negara demokrasi yang merupakan hasil
pemberian dari kependudukan Inggris, tepatnya pada 4 Januari 1948.1 Secara
umum, demokrasi diartikan sebagai sebuah sistem politik yang diyakini paling
baik dengan konfigurasi pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai
komponen terpenting dan dijadikan acuan untuk segala praktik kenegaraan. 2
Secara khusus, demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memiliki
keseimbangan antara mendahulukan kepentingan negara tanpa melupakan
kepentingan rakyat sebagai dasar utama penyelenggaraan suatu negara.3
Namun, seiring dengan berjalanya pemerintahan yang masih terbilang
infant, Myanmar mengalami berbagai masalah terkait konflik etnis, perang sipil
hingga konflik bersenjata.4 Menurut salah satu laporan tahunan terkait isu
perdamaian dunia, beberapa konflik yang melibatkan aksi pemberontakan dari
etnis tertentu yang terjadi di Myanmar ditengarai sebagai akibat dari
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.5 Bentuk negara persatuan
dirasakan tidak mampu mengakomodir kesetaraan hak dan otonomi daerah.6
Pada tahun 1962, pergolakan politik yang cukup buruk membuat

Myanmar tidak mampu mempertahankan pemerintahan yang demokratis.
Kudeta militer dilakukan di bawah perintah Jenderal Ne Win yang ingin
menggulingkan pemerintahan sipil PM U Nu dan kemudian membentuk junta

1 Burma Country Profile, diakses dari http://news.bbc.co.uk.2/hi/country_profiles/130000.stm. Diunduh pada Sabtu,
6 Juli 2013. Pukul 13.09 WIB
2 The National Convention in Burma (Myanmar): An Impediment to the Restoration of Democracy. Diakses dari
http://www.ibiblio.org/obl/docs/LHR-Diller3.html. Diunduh pada Sabru, 6 Juli 2013. Pukul 13.15 WIB
3 Ibid.

4 Tom Kramer dalam “

Ending 50 years of Military Rule? Prospects for Peace, Democracy and Development in
Burma. Norwegian Peacebuilding Resource Centre (NOREF) Report. November 2012. Diakses dari
http://www.peacebuilding.no/var/ezflow_site/storage/original/application/00a4e800d45def2a0a82e6f0f71eb3c8.pdf.
Diunduh pada Sabtu, 6 Juli 2013. Pukul 15.22 WIB
5 Ibid.

6 Ibid.


1

militer sebagai sumber kekuatan.7 Di bawah pemerintahan otoriter Ne Win,
Myanmar berubah menjadi sebuah negara yang memiliki rezim militer yang
represif dan meninggalkan banyak catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam pelaksanaannya.8 Ide Ne Win yang ingin menyatukan negara dari segala
bentuk perpecahan mendorong dirinya untuk melakukan kudeta militer tersebut.
Ne Win yakin bahwa kekuatan militer mampu menjadi instrumen yang efektif
untuk mengatasi disintegrasi negara.9 Akan tetapi, praktik di lapangan
menunjukkan bahwa rezim militer yang berkuasa telah mengambil alih seluruh
fungsi negara dan mengendalikan seluruh aspek kehidupan, seperti ekonomi,
politik dan sosial-budaya tidak lantas membawa Myanmar pada situasi
pemerintahan yang lebih baik.10
Semenjak berkuasanya junta militer, aksi demonstrasi yang dimotori oleh
para aktivis mahasiswa dan tokoh agama seperti biksu kerap terjadi. 11 Mereka
mengecam kekuasaan militer di kursi pemerintahan yang seharusnya dijalankan
oleh sipil. Akan tetapi, respon pemerintahan pada saat itu dinilai tidak kooperatif
sehingga demonstrasi terbesar sepanjang sejarah berkuasanya militer di
Myanmar terjadi pada 8 Agustus 1988.12 Perjuangan rakyat Myanmar untuk
menumbangkan rezim militer Ne Win menemukan titik terang. Pemerintahan

otoriter Ne Win berhasil digulingkan dan Ne Win menyatakan pengunduran diri
secara resmi.13 Akan tetapi, kekuasaan junta militer di Myanmar belum berakhir.
Dengan Jenderal Maung Maung sebagai pengganti Ne Win, corak pemerintahan
Myanmar masih berbau militerisitik namun kebijakan yang dibuat lebih bersifat

7 Monique Skidmore & Trevor Wilson dalam “Dictatorship, Disorder and Decline in Myanmar”. 2008. Diakses dari
http://epress.anu.edu.au/myanmar02/pdf/whole_book.pdf. Diunduh pada Sabtu, 6 Juli 2013. Pukul 15.34 WIB
8 Ibid.

9 Ibid.
10 Ibid.
11

Myanmar
Kenang
Demonstrasi
1988.
Diakses
dari
http://lipsus.kompas.com/read/2008/08/08/08513757/Myanmar.Kenang.Demonstrasi.1988. Diunduh pada Sabtu, 6

Juli 2013. Pukul 16.33 WIB
12 Ibid.

13 Roger Lee Huang dalam “Re-thinking Myanmar’s Political Regime: Military Rule in Myanmar and Implications

for Current Reforms”. Working Paper Series. No 136. City University of Hong Kong. Desember 2012. Diakses
http://academia.edu/3184529/Rethinking_Myanmars_Political_Regime_Military_rule_in_Myanmar_and_implications_for_current_reforms. Diunduh
pada Sabtu, 6 Juli 2013. Pukul 17.43 WIB

2

demokratis.14 Disisi lain, hal tersebut dilihat sebagai ancaman besar bagi
kekuasaan junta militer di kursi pemerintahan, sehingga satu bulan kemudian
terjadi kudeta militer kedua yang dilakukan di bawah perintah Jenderal Saw
Maung pada 19 September 1988.15
1.2

Rumusan dan Batasan Masalah
Kekuasaan junta militer di Myanmar berhasil melakukan dua kali kudeta
terhadap rezim pemerintahan Ne Win dan Maung Maung. Hal ini kemudian

berdampak pada instabilitas politik negara dimana roda pemerintahan yang
dijalankan tidak berada pada kekuasaan sipil melainkan militer. Kelangsungan
hidup masyarakat ditekan oleh kekuasaan militer yang represif sehingga
berakibat pada sejumlah pelanggaran kemanusiaan dan penyalahgunaan
wewenang. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut
tentang bagaimana tingkat intervensi militer yang ada di Myanmar dari
tahun 1988 hingga pemerintahan Than Shwe?
Untuk menghindari adanya perluasan masalah, maka penulisan dalam
makalah ini dititikberatkan kepada penjabaran seputar dinamika militer dan
politik yang ada di Myanmar hingga pada pemerintahan Than Shwe. Penulis
juga akan membahas secara umum tentang polemik muncul serta membagi

1.3

periodisasi peristiwa secara urut.
Kerangka Konseptual
1.3.1 Level Intervensi Militer16
Disarikan dari buku

The


Man

On

Horseback,

Finer

mengemukakan empat level intervensi militer yang dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu; (1). Influence, (2). Pressure/Blackmail, (3).
Displacement dan (4). Supplantment. Finer juga menjelaskan bahwa
setiap level intervensi memiliki karakter atau indikasi masing-masing.
Disebutkan bahwa pada level Influence, intervensi yang diperlihatkan
hanya pada sebatas pengaruh, sementara pada level Pressure, aksi
intimidatif mulai ditujukan bagi otoritas sipil. Sedangkan di level
Displacement dan Supplantment, intervensi militer yang dilakukan
berupa bentuk ancaman hingga kekerasan yang mengancam otoritas sipil
14 Ibid.
15 Ibid.

16 Samuel E. Finer dalam “The Man on Horseback”. Hal 140. 2006

3

1.3.2

dalam suatu negara.
Supremasi Sipil (Civilian Supremacy)
Penjelasan akan dilakukan dengan berfondasi pada konsep
pertama, yakni supremasi sipil (civil supremacy) yang mengatur: (1).
Kekuasaan dan tanggung-jawab antara kelompok militer dan sipil harus
terpisah, (2). Transparansi kekuasaan dan kekuatan militer kepada
otoritas sipil/pemerintah dan (3). Praktik transparan ketika militer
menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan.17 Menurut S.E. Finer,
kepatuhan militer terhadap konsep supremasi sipil merupakan salah satu
mekanisme efektif (selain profesionalisme militer) untuk mencegah
intervensi militer atas pemerintahan sipil.18

1.3.3


Budaya Politik19
Dijelaskan dalam buku yang sama, Finer mengemukakan bahwa
tingakt budaya politik yang dimiliki oleh suatu negara akan berdampak
pada kemungkinan militer untuk melakukan intervensi maupun kudeta.
Secara umum, budaya politik dapat diartikan sebagai bentuk perilaku
atau orientasi terhadap politik dalam suatu negara. Setiap negara akan
memiliki kecenderungan budaya politik yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena terdapat perbedaan norma politik yang berpengaruh
besar terhadap cara masyarakat berfikir dan bertindak dalam sistem
politik yang ada. Dalam kaitannya dengan militer, semakin rendahnya
tingkat budaya politik yang dimiliki oleh suatu negara akan berdampak
pada tingginya peluang serta kesempatan militer untuk memainkan peran
diranah politik.

17 Lihat Edmonds (1988) halaman 70-92; Welch (1987) halaman 9-14; Danopoulos (1992) hal. 3
18 Samuel E. Finer dalam The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics. Hal. 28
19 Samuel E. Finer dalam The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics. Hal. 129-139

4


BAB 2
PENDAHULUAN
2.1

Era Pemerintahan Saw Maung
Setelah tumbangnya rezim junta militer Ne Win yang dirasakan sangat
represif dan keji, kehadiran Jenderal Saw Maung seolah menjadi angin segar
bagi atmosfir perpolitikan di Myanmar. Semenjak Maung resmi dilantik, junta
militer memiliki status baru sebagai State Law and Order Restoration Council
(SLORC) ketika sebelumnya masih sebagai The State Peace and Development
Council (SPDC) pada masa pemerintahan Ne Win. 20 Dengan adanya pergantian
status tersebut, masyarakat menaruh harapan agar fungsi junta militer dapat
berjalan seiring dengan kepentingan sipil, yaitu melindungi dan menjaga
keamanan negara. Di bawah kepemimpinan Maung, bentuk kebijakan yang
dikeluarkan cenderung berbeda dibandingkan pada masa pemerintahan
sebelumnya. Kebijakan versi Maung dinilai lebih dinamis dan lebih terbuka,
terutama pada bidang ekonomi dan militer.21 Maung berusaha untuk
menghilangkan stereotype dunia yang menilai Myanmar sebagai negara yang
isolatif.22
Akan tetapi, nuansa demokrasi yang dirasakan mulai mengalami

pergolakan ketika SLORC mengeluarkan rancangan hukuman mati bagi
masyarakat yang mencoba untuk melakukan demonstrasi melalui konstitusi yang
disahkan oleh legislatif.23 Masyarakat kembali mengendus kejanggalan yang ada
dan kemudian menyadari bahwa janji demokrasi Maung hanya sebatas simbolis.
Perasaan terkekang dan trauma yang dirasakan kembali mengundang aksi
pemberontakan terhadap pemerintahan Maung. Meski dipelopori oleh para
aktivis mahasiswa dan ribuan masyarakat sipil lainnya, akan tetapi gerakan

20 Marry P. Callahan dalam “Myanmar’s Perpetual Junta: Solving The Riddle of Tatmadaw’s Long Reign”. New
Left Review. Desember 2009. Hal 27-43
21Ibid.

22 Ibid.
23 Ibid.

5

tersebut menuai kecaman represif dari pemerintah. Hingga kemudian Maung
kembali melakukan kudeta miter melalui SLORC sekaligus mengumumkan
diberlakukannya hukum darurat militer guna menangani aksi protes besarbesaran dari rakyatnya pada tahun 1989.24 Ratusan junta militer dan polisi

dkerahkan untuk menghentikan aksi protes tersebut secara brutal hingga
menewaskan sebanyak 3000 masyarakat sipil.25
Selain

melakukan

aksi

pembungkaman

hak

masyarakat

untuk

berpendapat, praktik pemerintahan yang otoriter kembali mewarnai Myanmar.
Dengan berbagai kasus terkait aksi keji junta militer, pemerintah melakukan
pengawasan ketat terhadap media massa, dimana kebebasan pers sangat dibatasi
serta menutup hampir seluruh akses wartawan asing untuk meliput berita. 26 Akan
tetapi,

segelintir

berita

yang

berhasil

dipublikasi

kemudian

menjadi

permasalahan internasional dan Myanmar menuai reaksi keras dari berbagai
pihak dunia.27 Sementara itu, rasa takut dan pengalaman traumatis terus
menghantui pikiran masyarakat yang tidak menginginkan terulangnya tragedi
berdarah ketika pertama kali kudeta militer dilakukan. Akhirnya, tepat pada 23
April 1992, Jenderal Saw Maung secara resmi mengundurkan diri.28
2.2

Sekilas Tentang Aung San Suu Kyi29
Pengunduran diri Jenderal Ne Win pada tahun 1962 silam membuat
Aung San Suu Kyi tergerak untuk menjadi pelopor demokratisasi di Myanmar.
Berbekal dengan latar belakang keluarga yang aktif berpartisipasi dalam ranah
politik, Aung San Suu Kyi yang merupakan anak dari mantan Sekretaris
Jenderal PBB U Thant mencoba untuk memberikan semangat demokrasi kepada
masyarakat. Rasa kecewa mendalam paska aksi brutal junta militer membuat
Aung San Suu Kyi memutuskan untuk terjun dalam dunia politik. Keberanian

24 Ibid.
25 Ibid.
26 Vincent

Bodreau dalam “Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia”. Cambridge
University Press. 2004. Hal 56-63
27 Ibid.

28 Ibid.
29 Penulis

menyarikan
keseluruhan
informasi
dengan
acuan
skripsi
yang
diakses
dari
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1hubunganinternasional/206613027/BAB%20II.pdf. Diunduh pada Minggu, 7
Juli 2013. Pukul 10.16 WIB

6

Aung San Suu Kyi dengan mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah dan
mendesak dibentuknya partai politik yang independen terpaksa harus
mengantarkankannya pada penangkapan, penahanan dan penjatuhan hukuman
tanpa proses pengadilan oleh pemerintah junta militer. Meskipun dihujani
dengan begitu banyak kekerasan dan pelecehan seksual, Aung San Suu Kyi kian
gentar menyuarakan protes keras terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai salah
satu pro-demokrasi, Aung San Suu Kyi berhasil membentuk Liga Nasional
Demokrasi (NLD) sebagai partai politik penggagas demokrasi dan anti
kekerasan pada 24 September 1988. Selanjutnya, Pemilihan Umum (Pemilu)
yang diselenggarakan pada tahun 1990 menyatakan kemenangan mutlak NLD
dengan total peraihan kursi sebanyak 392 dari 489. Akan tetapi, pemerintah
junta militer tidak mengakui kemenangan partai politik bentukan Aung San Suu
Kyi tersebut. Alibi yang dikemukakan adalah kecurigaan pemerintahan junta
militer terhadap jumlah suara yang dimenangkan pihak oposisi sarat rekayasa
dan kecurangan. Semakin terlihat bahwa kedudukan SLORC sebagai kaki
tangan pemerintah untuk mempersiapkan Pemilu yang demokratis dan
mengedepankan kepentingan sipil sebagai pemegang kekuasaan hanyalah
gurauan belaka.
2.3

Era Pemerintahan Than Shwe
Pengalihan kekuasaan yang diterima Shwe semakin mempertegas
rapuhnya sistem politik yang ada di Myanmar. Shwe merupakan kaki tangan lain
warisan dari pemerintahan junta militer. Selama pemerintahan Shwe, junta
militer bermetamoforsa sebagai rezim pemerintahan militer yang tidak hanya
brutal namun juga rasial.30 Mengacu pada pengalaman terdahulu, kudeta militer
selalu dilakukan oleh etnis Burmayang merupakan etnis mayoritas di
Myanmar. Dominasi intervensi militer oleh etnis Burma tersebut menimbulkan
spekulasi rasial terkait dengan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan
pemerintah. Pada kenyataannya, praktik penindasan yang mengarah kepada etnis

30 Amnesty International. 2004. Myanmar: The Rohingya Minority: Fundamental Rights Denied. London: Amnesty
International.

7

non-Burma seolah memperlihatkan bagaimana rezim junta militer di Myanmar
menyebabkan tingkat insekuritas masyarakat semakin tinggipemerintahan di
Myanmar telah gagal.31
Lebih jauh, rencana untuk menjadi negara yang demokratis tinggal
sebuah wacana. Masyarakat sipil hanya berperan sebagai penonton setia,
menyaksikan kekejian pemerintahan rezim militer yang ada.32 Tidak hanya itu,
hak sebagai warga negara juga tidak didapatkan. Masyarakat sipil yang seraya
berbondong-bongong untuk melakukan aksi protes harus dihadapkan pada
kenyataan bahwa, pembunuhan karakter yang semenjak awal dilakukan
pemerintah sudah mengakar kuat.33 Absennya peran masyarakat untuk turut
terlibat

dalam

usaha

demokratisasi

partisipatoris

menunjukkan

bahwa

kedaulatan di Myanmar berada di tangan junta militer. 34 Harapan untuk menuju
negara yang berdaulat seutuhnya mengalami stagnansi berkepanjangan. Pada
akhirnya, penerapan asas-asas demokrasi yang minim dan penekanan terhadap
supremasi sipil adalah bukti nyata langgengnya rezim junta militer di Myanmar.

31 Burma/Myanmar: “How Strong is the Military Regime?”. Asia Report N°11, 21 December. 2000
32 Ibid.
33 Myanmar: The Role of Civil Society, Asia Report N° 27, 6 December. 2001
34 Ibid.

8

BAB 3
KESIMPULAN
Myanmar berdiri sebagai sebuah negara demokrasi yang merupakan hasil
pemberian dari kependudukan Inggris, tepatnya pada 4 Januari 1948. Secara umum,
demokrasi diartikan sebagai sebuah sistem politik yang diyakini paling baik dengan
konfigurasi pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai komponen terpenting dan
dijadikan acuan untuk segala praktik kenegaraan. Namun, seiring dengan berjalanya
pemerintahan yang masih terbilang infant, Myanmar mengalami berbagai masalah
terkait konflik etnis, perang sipil hingga konflik bersenjata.
Pada tahun 1962, pergolakan politik yang cukup buruk membuat Myanmar tidak
mampu mempertahankan pemerintahan yang demokratis. Kudeta militer dilakukan di
bawah perintah Jenderal Ne Win yang ingin menggulingkan pemerintahan sipil PM U
Nu dan kemudian membentuk junta militer sebagai sumber kekuatan. Di bawah
pemerintahan otoriter Ne Win, Myanmar berubah menjadi sebuah negara yang memiliki
rezim militer yang represif dan meninggalkan banyak catatan pelanggaran Hak Asasi
Manusia dalam pelaksanaannya. Perjuangan rakyat Myanmar untuk menumbangkan
rezim militer Ne Win menemukan titik terang. Pemerintahan otoriter Ne Win berhasil
digulingkan dan Ne Win menyatakan pengunduran diri secara resmi.
Setelah tumbangnya rezim junta militer Ne Win yang dirasakan sangat represif
dan keji, kehadiran Jenderal Saw Maung seolah menjadi angin segar bagi atmosfir
perpolitikan di Myanmar. Namun, masyarakat kembali mengendus kejanggalan yang
ada dan kemudian menyadari bahwa janji demokrasi Maung hanya sebatas simbolis.
Terutama dengan diterbitkannya rancangan hukuman mati bagi masyarakat yang
mencoba untuk melakukan demonstrasi melalui konstitusi yang disahkan oleh legislatif.
Hingga kemudian Maung kembali melakukan kudeta miter melalui SLORC sekaligus
mengumumkan diberlakukannya hukum darurat militer guna menangani aksi protes
besar-besaran dari rakyatnya pada tahun 1989. Ratusan junta militer dan polisi
dkerahkan untuk menghentikan aksi protes tersebut secara brutal hingga menewaskan

9

sebanyak 3000 masyarakat sipil.
Hadirnya Aung San Suu Kyi sebagai pelopor demokratisasi di Myanmar adalah
sebagai penyambung suara rakyat yang mengalami penderitaan berkepanjangan selama
dipimpin oleh rezim pemerintahan junta militer. Aung San Suu Kyi kian gentar
menyuarakan protes keras terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai salah satu prodemokrasi, Aung San Suu Kyi berhasil membentuk Liga Nasional Demokrasi (NLD)
sebagai partai politik penggagas demokrasi dan anti kekerasan pada 24 September 1988.
Selanjutnya, Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan pada tahun 1990
menyatakan kemenangan mutlak NLD dengan total peraihan kursi sebanyak 392 dari
489. Akan tetapi, pemerintah junta militer tidak mengakui kemenangan partai politik
bentukan Aung San Suu Kyi tersebut. Memasuki era pemerintahan Than Shwe, terlihat
bahwa kekuasaan rezim militer semakin memperburuk keadaan. Adanya dominasi
intervensi militer oleh etnis Burma yang menimbulkan spekulasi rasial, rencana untuk
menjadi negara yang demokratis juga tinggal sebuah wacana dan absennya peran
masyarakat untuk turut terlibat dalam usaha demokratisasi partisipatoris menunjukkan
bahwa kedaulatan di Myanmar berada di tangan junta militer.
Pemaparan tentang runutan waktu disetiap era pemimpin rezim junta militer di
Myanmar menjadi sebuah indikasi jelas bahwa negara dengan sistem politik otoritarian
akan hampir selalu berdampak pada instabilitas politik, ekonomi dan sosial-budaya
suatu negara. Intervensi militer yang terjadi di Myanmar termasuk ke dalam tipe level
intervensi militer nomor 3 dan 4, dimana otoritas sipil sepenuhnya diabaikan dan
sejumlah praktik kekerasan sekaligus pelanggaran HAM menjadi momok terbesar yang
meninggalkan pengalaman traumatis. Hilangnya supremasi sipil dan kecenderungan
budaya politik yang sangat lemah juga dipengaruhi oleh faktor ketidaksiapan Myanmar
untuk menata pemerintahannya. Tujuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
terpaksa harus diselenggarakan secara barbar, sehingga legitimasi kekuasaan seperti itu
merupakan konsekuensi negara yang militeristik. Sudah saatnya militer keluar dari
kancah politik dan berdiri dalam porsi yang seharusnya. Langgengnya rezim militer
membuktikan bahwa negara telah gagal untuk mengakomodir kepentingan rakyat.
Myanmar sebagai salah satu contoh dimana kedaulatan yang utuh seharusnya berada di
tangan rakyat, demi terselenggaranya sistem politik dan sosial yang adil dan damai.

10

11