Perkawinan wanita hamil akibat zina (menurut undang-undang tahun 1974 dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000)

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAMYIZ RIDHO NIM: 107043103440

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAMYIZ RIDHO NIM: 107043103440

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

Skripsi yang berjudul “PERKAWINAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA (Menurut Undang-Undang Tahun 1974 dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000)

telah diujikan dalam sidang munaqayasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2014. Skripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 28 Agustus 2014 Mengesahkan,


(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Agustus 2014 M 02 Dzulqa’dah 1435 H


(5)

v

2000), Skripsi S1 Perbandingan Mazhab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.

Penelitian ini merupakan kualitatif, yaitu cara menganalisa data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka, melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penyusun inginkan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan normatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi pustaka. Data yang menjadi objek penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana penjelasan fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita yang sedang hamil dari zina, bagaimana perbandingannya dengan Undang-undang perkawinan dan pendapat para Imam mazhab, serta bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina.

Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa hukum perkawinan wanita hamil dari zina menurut Fatwa MUI DKI Jakarta adalah sah dan boleh, baik oleh sesama pelaku atau dengan orang lain. Pendapat ulama sendiri ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Dan kedudukan waris anak yang lahir dari zina, adalah ikut kepada ibunya, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya.

Kata kunci : Perkawinan, Wanita Hamil Akibat Zina, Undang-Undang 1974, Fatwa MUI DKI

Pembimbing : Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag


(6)

vi

Alhamdulillah, segala puji serta syukur terhaturkan kepada Allah Swt, yang senantiasa memberikan petunjuk dan maghfirah-Nya kepada semua makhluk-Nya dan dengan izin-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam selalutercurahkan kepadaNabi Muhammad Saw, beserta keluargadanpara sahabat-nyasekalian.

Penulis bersyukur setelah proses panjang dan melelahkan serta berbagai hambatan, akhirnya dengan limpahan kasih sayang, penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul Perkawinan Wanita Hamil Akibat Zina (Menurut Undang-UndangTahun 1974 dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000).

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyakepadasemuapihak yang telahmembantudanmendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi. Segala bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulismengucapkanterimakasihkepada:

1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA, selakuguru danDekan FakultasSyariah dan Hukum UIN Jakarta.

2. BapakDr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag,selaku guru, pengujidanketuajurusan Perbandingan Mazhab Fiqh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.


(7)

vii

4. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag, selaku guru dan dosen pembimbing penulis, terimakasih atas waktunya membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Prof. Dr. Huzaemah T.Yanggo M.Ag, selaku dosen penasihat akademik, yang telah memberikan masukan terkait proposal skripsi.

6. Bapak Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin Lc, M.Ag, selaku guru dan dosen penguji penulis yang telah mengoreksi kesalahan penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih telah memberikan ilmu dan pendidikan selama penulis berada di bangku kuliah. 8. Seluruh Staf pegawai dan pihak lain Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

membantu penulis mengurus administrasi, terutama ibu Aini, terima kasih atas bantuannya.

9. Terutama untuk kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, Bapak Suyana dan Ibu Siti Fatimah, yang selalu menanti dengan kesabaran, terima kasih untuk doa, cinta dan kasih yang tak pernah putus sepanjang masa. Juga untuk adikku Ghias Muhammad, terimakasih untuk semangatnya.

10. My best support, Anisa, terima kasih telah setia menemani penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga semua indah pada waktunya.


(8)

viii

12. Seluruh pihak yang tak dapat disebut namanya satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya, semoga Allah Swt membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.

Jakarta, 28 Agustus 2014 M

02 Dzulqa’dah 1435 H


(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kajian Studi Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan Skripsi ... 11

BAB II : LANDASAN TEORI ... 14

A. Fatwa ... 14

B. Perkawinan ... 18


(10)

x

PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA ... 32

A. Dasar Perkawinan ... 32

B. Syarat-syarat Perkawinan ... 34

C. Kedudukan Anak ... 36

BAB IV : ANALISIS FATWA MUI DKI JAKARTA TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA ... 42

A. Deskripsi Masalah ... 42

B. Dasar Pertimbangan Fatwa ... 43

C. Pendapat Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya terhadap Anak yang dilahirkan ... 46

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran-saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah Swt menciptakan bumi dan segala isinya dengan beraneka-ragam makhluk hidup di dalamnya serta mereka dijadikan berpasang-pasangan. Salah satu penciptaan-Nya adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan, diharapkan diantara mereka terjalin rasa cinta dan kasih sayang. Perkawinan adalah jalan yang di pilih Allah Swtuntuk melestarikan keturunan. Tujuan perkawinan menurut syariat islam yaitu untuk membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat dan saling meridhoi, memelihara keturunan dengan baik, serta menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.1

Dalam kehidupan Islam mengajarkan bagaimana manusia dalam pergaulan, agar tidak menjadi manusia yang berprilaku menyimpang dan bebas.Oleh karena itu, dipandang perlu dalam bertingkah laku saling menghormati satu sama lain, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.

Agar pergaulan bebas yang berakibat kehamilan dari perbuatan zina dapat dicegah, tentunya juga harus ada aturan-aturan yang dapat melarangnya atau mencegahnya. Dengan demikian, dalam kehidupan akan selaras yang kita harapkan. Sebuah aturan ini sangat diperlukan dalam tatanan kehidupan yang

1

H. M. Zufran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998 ), h. 7


(12)

bermasyarakat dan bernegara, supaya dapat menata kehidupan yang lebih baik. Aturan ini yang kerap sekali disebut dengan hukum.Dengan adanya hukum yang mengatur tatanan kehidupan, sangat membantu pola fikir orang dewasa atau remaja khususnya, untuk menjadi contoh bagi anak-anak atau generasi penerusnya menjadi generasi yang baik, bukan menjadi racun atau wabah bagi mereka.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa semua ini terjadi berawal dari perkenalan antar mereka yaitu laki-laki dan perempuan. Ada yang sedemikian mengatakan ingin merajut asmara atau disebut dengan pacaran. Keduanya menginginkan pembuktian dari cintanya. Yaitu pembuktian dengan cara bersetubuh meski belum menikah. Dan hasilnya, berdampak pada kehamilan.Bahkan wanita hamil diluar nikah dianggap biasa karena dilakukan suka sama suka, namun hal tersebut menentukan keabsahan seorang anak yang dikandungnya.2Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita justru sering menutupinya, ada yang lari ke dokter atau ke dukun kandungan, guna menggugurkan kandungan nya, ada pula yang langsung menikahi pasangan zina nya, atau dengan orang lain agar kehamilan nya diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.3

Tentang hamil diluar nikah itu sendiri, sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil.Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang

2

H. Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tirta Mas, 1983 ),h. 25 3

Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001), h. 86


(13)

hamil karena zina akibat dirinya atau orang lain? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula sebagian ulama membolehkan menikahi lelaki yang telah menzinahi wanita tersebut.Namun ulama berbeda pendapat mengenai lelaki yang tidak berzina menikahi wanita yang berzina.4

Dalam ayat al-Qur’an surat al-Nur/24 ayat 3 disebutkan:

ۚ

.

َ

Artinya:“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (QS. al-Nur/24: 3)

Adapun tentang pernikahan wanita hamil dengan lelaki yang menzinahinya boleh dan sah dinikahi, telah disepakati oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan sahabat seperti Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, maupun dari kalangan

ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan lain-lain. Namun ada beberapa perbedaan pendapat mengenai jika wanita penzina tersebut dinikahi oleh laki-laki yang tidak menzinahinya.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak diatur dalam Bab atau Pasal yang membolehkan atau melarang perkawinan wanita hamil. Dalam pasal 6 dan 7 hanya dijelaskan syarat-syarat

4Asrorunni’am Soleh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h.39


(14)

perkawinan, yaitu persetujuan dari kedua calon mempelai, mendapatkan izin dari kedua orang tua, serta berusia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

Adanya Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan agama sudah lama menjadi kebutuhan, terutama di kalangan departemen agama.5 Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab VIII Kawin Hamil Pasal 53 ayat 1 dan 2, menyebutkan bahwa “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.”

Adapun fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan

wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita yang pernah melakukan zina baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinahinya.

Permasalahan nikah dengan perempuan hamil di luar nikah akibat zina memerlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana. Apalagi sejak adanya fatwa MUI DKI tentang hal tersebut, yang mana ada sebagian ulama fiqh yang berbeda pendapat, terutama tentang pendapat yang memperbolehkan wanita penzina menikahi pria yang tidak menzinahinya.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin meneliti tentang bagaimana pandangan fatwa MUI terhadap masalah tersebut dengan judul: Perkawinan

5


(15)

Wanita Hamil Akibat Zina (Menurut Undang-Undang Tahun 1974 Dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari paparan dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka masalah ini dibatasi hanya pada pandangan fatwa MUI DKI Jakarta yang meliputi hukum nikah wanita hamil dari zina, serta perbandingannya dengan pendapat ulama fiqh lainnya dan hak waris anak hasil zina.

Dari pembatasan tersebut, dapat dirumuskan pokok masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana Fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita hamil akibat zina?

2. Bagaimana perbandingannya dengan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 dan pendapat Imam mazhab?

3. Bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita yang sedang hamil dari zina.


(16)

2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingannya dengan Undang-undang perkawinan dan pendapat para ulama fiqh.

3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina. Dan adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk kepentingan studi ilmiah.

2. Dengan adanya penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai hukum menikahi wanita hamil dari zina menurut fatwa MUI DKI Jakarta.

3. Diharapkan dari penelitian ini menjadi rangsangan bagi penulis dan peneliti lainnya untuk meneliti secara lebih luas dan mendalam, guna mengembangkan penelitian ini.

D. Kajian Studi Terdahulu

1. Maryam Mahdalina, Peradilan Agama UIN 2011, Tinjauan Hukum Islam Mengenai Kawin Hamil (Studi di KUA Jagakarsa). Skripsi ini membahas bagaimana pendapat ulama setempat mengenai kawin hamil du luar nikah dan status sang anak. Metode penelitian yang digunakan mengunakan studi pustaka dan studi lapangan. Kesimpulan yang didapat dari skripsi ini adalah bahwasanya mayoritas ulama menyebutkan bahwa wanita hamil karena zina boleh dinikahkan oleh siapa saja, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.


(17)

2. Ahmad Fauzi, Perbandingan Mazhab Hukum UIN 2010, Dinamika Proses Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina Skripsi ini membahas tentang bagaimana pandangan masyarakatpasar minggu terhadap proses pernikahan wanita hamil akibat zina.Skripsi ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang menghasilkan dan mengolah data bersifat deskriptif. Kesimpulan yang didapat dari skripsi ini adalah bahwasanya masyarakat berbeda pendapat mengenai perkawinan wanita hamil dari zina, ada yang setuju dan sah-sah saja namun ada juga yang beranggapan tidak sah.

3. Khoirudin, Perbandingan Mazhab Fiqh UIN 2007, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina, Skripsi ini membahas tentang bagaimana tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap terhadap pernikahan wanita hamil akibat zina.

4. Siti Mutta’alimah, Perbandingan Mazhab Fiqh UIN 2004, Pernikahan Wanita Hamil dan Implikasinya Terhadap Kedudukan Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Skripsi ini membahas tentang bagaimana implikasi pernikahan wanita hamil terhadap kedudukan sang anak dalam perspektif hukum islam dan hukum positif. Anak tersebut dapat di nasabkan kepada ayahnya jika anak tersebut lahir setelah 6 bulan menikah.


(18)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan kualitatif, yaitu cara menganalisa data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka, melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penyusun inginkan.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Deskriptif berarti pendeskripsian mengenai gambaran, fakta, dan sifat serta fenomena yang di selidiki secara sistematis.6

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan

normatif, yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan cara merujuk pada asas-asas hukum.7

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode yaitu studi pustaka. Kajian pustaka dilakukan untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep-konsep yang akan dikaji. Bahan yang akan digunakan untuk kajian pustaka ini adalah buku-buku, materi-materi

6

Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005 ), h. 54 7

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4


(19)

perkuliahan, artikel-artikel yang berhubungan dengan materi proposal, seperti buku fatwa-fatwa MUI dan yang lainnya.

Adapun sumber data yang menjadi objek penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, sumber data primer dan sumber data sekunder, sebagai berikut: a. Data primer, adalah sumber data yang penyusun jadikan sebagai rujukan

utama dalam membahas dan meneliti permasalahan ini, yaitu fatwa MUI DKI Jakarta.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui dokumentasi, karya ilmiah, dan buku-buku yang menunjang penulisan skripsi.

3. Teknik Pengolahan Data

Untuk teknik pengolahan datanya, dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data dan mengamatinya terutama dari aspek kelengkapanya dan validitasnya serta relevansinya dengan tema bahasan.

b. Mengklasifikasikan dan mensistemasikan data, kemudian di presentasikan dengan pokok masalah yang ada.

c. Melakukan analisis lanjutan terhadap data-data yang telah diklasifikasikan dan disistemasikan dengan mengunakan kaedah-kaedah, teori-teori, konsep-konsep pendekatan yang sesuai, sehingga memperoleh kesimpulan yang baru.


(20)

Syukur Kholil mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses pengumpulan data kualitatif, yaitu:8

a. Meringkaskan data hasil kontak dengan sumber,

b. Pengkodean dengan menggunakan simbol atau ringkasan, c. Pembuatan catatan objektif, klasifikasi dan mengedit data, d. Membuat catatan reflektif,

e. Membuat catatan marginal untuk komentar, f. Penyimpanan data,

g. Membuat analisis dalam proses pengumpulan data.

Pengolahan data kualitatif dalam penelitian menurut Agus Salim yakni sebagai berikut:9

a. Reduksi Data

Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstrakan data, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dalam kegiatan reduksi data dilakukan pemilahan-pemilahan tentang: bagian data yang perlu diberi kode, bagian data yang harus dibuang, danpola yang harus dilakukan peringkasan. Jadi dalam kegiatan reduksi data dilakukan: penajaman data, penggolongan data, pengarahan

8

Syukur Kholil, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 127

9

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 22


(21)

data, pembuangan data yang tidak perlu, pengorganisasian data untuk bahan menarik kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini dapat dilakukan melalui: seleksi data yang ketat, pembuatan ringkasan, dan menggolongkan data menjadi suatu pola yang lebih luas dan mudah dipahami.

b. Penyajian Data

Penyajian data dapat dijadikan sebagai kumpulan informasi yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang sering digunakan adalah dalam bentuk naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Sejak langkah awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah mulai mencari arti tentang segala hal yang telah dicatat atau disusun menjadi suatu konfigurasi tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi secara bertahap dengan tetap memperhatikan perkembangan perolehan data.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan memberikan gambaran berupa keseluruhan isi skripsi. Untuk memudahkan pemahaman dan memperjelas arah pembahasan maka penulisan skripsi ini disistematisasikan menjadi lima bab dengan uraian sebagai berikut:


(22)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Kajian Studi Terdahulu

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan Skripsi

BAB II : LANDASAN TEORI

A. Fatwa B. Perkawinan C. Zina

D. Implikasi Zina

BAB III : KETENTUAN UU PERKAWINAN TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA

A. Dasar Perkawinan

B. Syarat-Syarat Perkawinan C. Kedudukan Anak

BAB IV : ANALISIS FATWA MUI DKI JAKARTA TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA


(23)

B. Dasar Pertimbangan Fatwa

C. Pendapat Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya terhadap Anak yang di Lahirkan

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran-Saran


(24)

14

A. Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Fatwa berasal dari bahasa arab ( تف) yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Dari segi bahasa fatwa adalah penjelasan atau memberi jawaban mengenai sesuatu perkara yang musykil atau mempunyai kesamaran tentang suatu hukum. Fatwa dari segi istilah adalah sebagai jawaban yang dibuat oleh seorang mufti pada perkara yang berlaku apabila diajukan persoalan kepadanya.1

Fatwa juga termasuk nasehat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik tingkatan umurnya, ilmunya, maupun tingkatan kewibawaannya.2

Menurut Muhammad Sai’d, pengarang kitab Mazaliq al-Fatwa, fatwa

dari segi istilah ialah penjelasan mujtahid berkenaan dengan hukum syara’ terhadap perlaksanaan atau masalah, guna menjawab setiap persoalan yang diutarakan oleh seorang mustafti baik secara jelas atau tidak jelas, mustafti itu tunggal maupun ramai atau berkelompok.3

Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Seseorang yang meminta fatwa bisa saja perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.

1

Usamah Umar al- Ashqar, Fauda al-Iftaq, (Jordan: Dar al-Nafais: 2009), h. 11

2

M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 77

3

Muhammad Sa’id Muhammad al-Barawi, Mazaliq al-Fatwa, (Kaherah: Dar


(25)

Seorang mustafti akan meminta fatwa kepada seorang mufti manakala terdapat permasalahan-permasalahan baru yang memerlukan ketepatan hukum, dan bertanya tentang hukum syara’. Selain itu, seorang mustafti tidak layak untuk mengeluarkan fatwa dan tidak mencapai taraf sebagai seorang

mufti.4

Tindakan memberi fatwa disebut al-futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Futya pada dasarnya adalah profesi independen, namun dibanyak negara muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai

al-mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya pos-pos resmi al-futya

diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan.

Dalam kehidupan beragama Islam di Indonesia, organisasi fatwa pertama kali berdiri dan masih ada hingga kini adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di kampung kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Kemudian Nahdlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari1926 oleh, KH.

Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah di Surabaya.5 Dan Majelis Ulama

Indonesia yang berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Saat ini MUI sebagai suatu lembaga yang

4

Al-Zuhailiy Wahbah, Ushul al-fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1986), h. 1159

5

A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1995), h. 71


(26)

membuat keputusan tentang persoalan ijtihadiyah di Indonesia, guna dijadikan pegangan dan rujukan pelaksanaan ibadah umat islam di Indonesia.

2. Syarat-Syarat Fatwa

Untuk dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas pribadi (adil). Ketiga, ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu, kecuali untuk jabatan kenegaraan.

Imam al-Syafi’i berkata dalam salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam sebuah kitab al-faqih wa al-muttafaqah lahu, bahwa: “Seseorang tidak diperbolehkan memberikan fatwa dalam masalah agama,

kecuali bagi seseorang yang memiliki:”6

a. Pengetahuan tentang al-Qur’an, baik menyangkut ayat nasikh dan mansukhnya, ayat muhkamat dan mutasyabihatnya, ta’wil (tafsir) dan tanzil (sebab turun-nya), ayat makiyah dan madaniyah, dan isi kandungannya.

b. Harus mengetahui hadis Rasulullah Saw, baik hadis nasikh dan mansukhnya, dan dia harus mengetahui al-Hadis tersebut seperti dia mengetahui al-Qur’an, serta dia harus menggunakan hal tersebut secara adil.

6


(27)

c. Kemudian dia harus mengetahui perbedaan pendapat orang yang berilmu dari berbagai penjuru, lalu mendalaminya.

Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat tersebut maka diperbolehkan baginya untuk mengemukakan pendapat dan memberikan fatwa dalam masalah halal dan haram. Seandainya tidak terpenuhi, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memberikan fatwa.

3. Dasar Hukum Fatwa

Fatwa sangat penting dalam melayani kehidupan umat islam saat ini dan kewujudan fatwa memperbolehkan pelaksanaan hukum-hukum syara’ di- tegakkan berlandaskan kaidah-kaidah syariah. Begitu juga dalam perkembangan undang-undang Islam atau hukum syara’. Dengan kedudukan itu, institusi fatwa diberikan perhatian yang utama oleh dunia Islam.7

Allah Swt berfirman:

.

Artinya:“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikankamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisa/4: 65)

7

Zulkifli Mohammad al-Bakri, Fatwa dan Mufti: Hukum, Etika dan Sejarah, (Bandar Baru Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia, 2008), h. 1


(28)

Hadis Nabi Saw mengenai fatwa:

Artinya:“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan itu sesuatu yang menenangkan hatimu, dan tenang jiwamu kepadanya. Adapun dosa sesuatu yang menyempitkan hati serta penuh keraguan di dada, sekalipun manusia telah memfatwakannya dan mereka memfatwakannya buatmu.”8(HR. Imam Ahmad)

B. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah. Secara bahasa kata nikah berarti bergabung ( ), hubungan kelamin ( ) dan jugaberarti akad ( ).9

Adapun secara syar’i, perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.

Menurut ensiklopedia Indonesia (Purwadarminta, 1976), perkawinan diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.

Adapun menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami

8

Hamzah Ahmad Zain, Musnad Ahmad, Darul Hadist, no. 17135

9Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 36


(29)

isteri.10 Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 diatas maka seluruh seluk-beluk tentang perkawinan di Indonesia diatur oleh undang-undang tersebut.

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan telah diatur dari Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No.I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

c. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada

10


(30)

penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.

e. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.


(31)

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: Calon suami, calon istri, wali nikah, duasaksi, ijab dan qobul:11

Syarat calon suami: Islam, laki-laki, bukan lelaki muhrim dengan calon istri, mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut, bukan dalam ihram haji atau umroh, dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan, tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu, mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri.

Syarat calon istri: Islam, perempuan yang tertentu, bukan perempuan muhrim dengan calon suami, bukan seorang banci, akil baligh, bukan dalam ihram haji atau umroh, tidak dalam iddah, bukan istri orang.

Syarat wali:12 Islam, baligh, berakal, merdeka, lali-laki, adil.

Sebaiknya seorang calon istri perlu memastikan syarat wajib menjadi wali, karena jika syarat-syarat wali tersebut tidak terpenuhi seperti di atas, maka sebuah pernikahan bisa dianggap tidak sah atau batal.

Jenis-jenis wali:

1) Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapak yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu

11

UU RI No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

(Bandung: Citra Umbara), h. 232

12


(32)

perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan.13

2) Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali.

3) Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi

wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.

4) Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadiri, tidak diketahui tempat tinggal atau enggan menjadi wali. Dan wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.14

Syarat-syarat saksi: Sekurang-kurangnya dua orang, islam, berakal, telah dewasa, laki-laki, memahami isi lafal ijab dan qobul, dapat mendengar, melihat dan berbicara, adil (tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu

13

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: al-Maarif, 1994), h. 21-22

14

Nurudin, Amirudin dan Azhari Kamal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 73


(33)

banyak melakukan dosa-dosa kecil), merdeka. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.15

Syarat ijab: Pernikahan nikah ini hendaklah tepat, tidak boleh menggunakan perkataan sindiran, diucapkan oleh wali atau wakilnya, tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (nikah kontrak atau pernikahan yang sah dalam tempo tertentu), tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan.

Syarat qobul: Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab, tidak ada perkataan sindiran, dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu), tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (seperti nikah kontrak), tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan), menyebut nama calon istri, tidak ditambahkan dengan perkataan lain.

3. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar dan tujuan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan 2:16

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir-bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

15

M. Daud Ali, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 147

16

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), h. 78


(34)

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2

Ayat 1: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Islam, hukum nikah sunnah bagi orang yang bisa menahan biologis dan tidak khawatir terjerumus kedalam zina jika dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung keluarga. Dan orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib atasnya. Allah Swt berfirman:

أ

.

Artinya:“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.al-Nur/24: 32)

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak -hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu


(35)

miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya,”(QS. An-Nisa/4: 3).

Hadis tentang nikah:

.

Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, beliau pernah bersabda: Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi perempuan yang beragama, maka engkau akan mendapatkan keuntungan yang tak terhingga.”17

(HR. Imam Bukhari)

Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi seseorang dan lingkungannya, diantaranya:18

a. Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang kuat serta dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perzinahan apabila tidak segera menikah.

b. Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin. c. Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada unsur niat jahat,

seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya, serta niat-niat jahat lainnya.

17

Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), jilid 6, no. 4700

18

Zakiyah Darajat dkk, lmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985), h. 61


(36)

d. Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah dan memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

e. Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum nikah tersebut.

Adapun Tujuan dari Perkawinan itu sendiri diantaranya:19 a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumbuhkan kasih sayang.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh memperoleh harta yang halal. e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram

atas dasar cinta dan kasih sayang.

f. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.

g. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita.

h. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita untuk saling membutuhkan.20

19

Zakiyah Darajat dkk, lmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985), h. 64


(37)

C. Zina

1. Pengertian Zina

Kata Zina berasal dari bahasa Arab (

انزلا

), dan dari bahasa Ibrani:

zanah artinya perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan).

Menurut al-Jurjani zina adalah:

Artinya: “Memasukkan penis (zakar) kedalam vagina (farj) bukan miliknya

(bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”21

Zina secara mutlak diartikan dengan, menyetubuhi perempuan tanpa melalui akad yang diatur dalam agama. Secara umum zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina. Ada juga yang mengartikan zina ialah seorang pria bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i.

2. Syarat-Syarat Zina

Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:22

a. Adanya saksi. Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui kebenarannya apabila telah terpenuhi syarat-syarat, diantaranya:23

20

R. Abdul Djamali, Hukum Islam: Berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium Ilmu Hukum,(Bandung, Mandar Maju, 1997), h. 79

21

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita selekta hukum Islam, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), h. 34

22

E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 439


(38)

1) Saksi berjumlah empat orang atau lebih. 2) Saksi harus laki-laki.

3) Berakal sehat. 4) Merdeka. 5) Adil. 6) Muslim.

7) Melihat sendiri perbuatan zina dan dapat menjelaskannya. 8) Berada dalam satu majelis.

b. Adanya Pengakuan:

1) Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).

2) Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.

3) Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya.

4) Hubungan seksual terjadi pada kemaluan. 5) Tidak adanya syubhat.

6) Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. c. Adanya kehamilan:

1) Hamil tidak memiliki suami

2) Tidak memiliki tuan (apabila seorang budak) 3) Tidak adanya syubhat dalam kehamilan

23


(39)

3. Dasar Hukum Zina

Menurut syariat Islam bahwa perzinaan hukumnya adalah haram. Dan termasuk perbuatan yang hina dan merupakan penyakit yang akan merusak keutuhan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat selain itu zina juga dikatakan sebagai perbuatan yang keji dan menjijikkan. Allah Swt berfirman:

.

Artinya:“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhmya zina itu

perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. al-Isra/17: 32)

.

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,

dalam keadaan terhina” (QS. al-Furqan/25: 68-69)

Rasulullah Saw bersabda mengenai zina:

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan pada setiap anak cucu

Adam bagiannya dari perbuatan zina yg pasti terjadi & tak mungkin dihindari, maka zinanya mata adalah melihat sedangkan zinanya lisan adalah ucapan, zinanya nafsu keinginan &


(40)

berangan-angan, & kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak.”24 (HR. Imam Bukhari)

D. Implikasi Zina

Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku, telah disepakati oleh para ulama. Tetapi, para ulama masih berselisih pendapat tentang hamil diluar nikah. Apakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi.

Para ulama berselisih menjadi dua pendapat:

1. Pendapat jumhur yaitu mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (Hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.

2. Pendapat mazhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.

Menurut ibnu al-Taimiyah ra yang lebih rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat mazhab Malikiyah. Beliau telah menyatakan bahwa, seorang wanita dihukum dengan hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak) serta tidak mengklaim adanya syubhat dalam kehamilannya.25

24

Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), jilid 7, no. 5774

25


(41)

Hadits Nabi Saw:

Artinya: “Dan bagi orang sudah menikah adalah hukuman cambuk seratus kali dan dirajam dengan batu.”26 (HR. Imam Muslim)

Hukuman untuk orang yang berzina adalah rajam, yaitu hukuman mati dengan cara dilempari batu bagi orang yang mukhshan. Dan apabila dia ghaira mukhshan adalah di cambuk 100 kali buat pezina, sesuai dengan Firman Allah Swt:

.

Artinya:“Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. al-Nur/24: 2)

.

Artinya: “Dan bagi orang yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali lalu

diasingkan selama setahun.”27

(HR. Imam Muslim)

26

Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Darus Sunah Press, jilid 8), no. 3200

27


(42)

32

PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA

A. Dasar Perkawinan

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.1 Di dalam hukum perdata pernikahan tidak jauh berbeda dengan hukum Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban misalnya; kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting adalah hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan.

Menurut kitab undang-undang hukum perdata, perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama-sama, maksudnya untuk hidup berlangsung selama lamanya sampai akhir hayat. hamil karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan oleh undang-undang.2 Dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, dasar perkawinan dijelaskan pada pasal 1 dan 2, antara lain:

1

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), h. 23

2


(43)

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa

Pasal 2

(1)Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat hidup bersama dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan dalam membina keluarga bahagia.3

3

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), h. 67


(44)

B. Syarat-Syarat Perkawinan

Dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang-orang yang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum kawin.4

Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya:

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4

Nazwar Syamsu, Al-Qur’an tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 160


(45)

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal-berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1)Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2)Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.


(46)

(3)Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang di maksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Mengenai kawin hamil dari zina, dalam pasal 32 hukum perdata dengan keputusan hakim telah dinyatakan orang yang berzina dilarang kawin dengan teman zina. Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi hubungan-hubungan yang asusila, contoh hubungan-hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara perempuan yang belum bersuami dengan laki-laki yang sudah beristri. Dengan demikian, kalau terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan zina harus ada keputusan hakim, sehingga diantara pihak-pihak yang telah melakukan zina tadi di larang untuk melakukan perkawinan.

C. Kedudukan Anak

Dalam undang-undang perkawinan No I Tahun 1974, anak yang sah adalah (1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah anak sah dari pernikahan itu dengan pria lain.


(47)

Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak diluar kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya,diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan bagi seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria yang menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini dapat segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir.

Dalam usahanya untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan, itu agak dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria yang pernah bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya perempuan itu.5

Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dalam Undang-Undang tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.6 Seperti yang dijelaskan pada Undang-Undang Tahun 1974:

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

5

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan no.1 / 1974. (Jakarta,Tinta Mas,1996), h. 125

6


(48)

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak diatur secara terperinci dalam bab atau pasal, yang membolehkan atau melarang perkawinan wanita hamil. Namun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan agama dalam Impres No. 1 Tahun 1991, dalam Bab VIII Kawin Hamil:7

7

Tim Redaksi FOKUS MEDIA, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Fokus Media: 2007), h. 20


(49)

Pasal 53

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 di atas mengenai wanita hamil terdapat batasan-batasan sebagai berikut:8

1. Kawin dengan laki-laki yang menghamilinya.

2. Perkawinan langsung dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi. 3. Tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk

8

Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), h. 92


(50)

memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.

Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.

Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan hal-hal sebagai berikut :


(51)

1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.

2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan yang sah.

3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.


(52)

42

WANITA HAMIL DARI ZINA

A. Deskripsi Masalah

Sebagai bagian dari hukum Islam, perkawinan memiliki peran yang cukup signifikan terhadap banyaknya persoalan dalam kehidupan sehari-hari umat muslim, akan tetapi tidak jarang pula terdapat penyelewengan terhadap praktik hukum tersebut. Seperti dalam masalah status pernikahan wanita hamil akibat zina dan status nasab anaknya. Persoalan ini memang telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw, namun hingga saat ini tetap saja masih jadi perbincangan orang banyak.

Banyak aspek yang perlu dikaji untuk melihat dan memahami secara detail, termasuk diantaranya adalah mengkaji pendapat Fatwa MUI DKI Jakarta dan Pendapat para ulama lain dalam menyikapi adanya praktik tersebut.

Dan wali nikah bagi anak perempuan dari hasil nikah hamil adalah termasuk juga problema tersendiri dari diperbolehkannya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan, maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah antara aturan fiqh dan undang-undang. Masalah ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut, apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia


(53)

dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.

B. Dasar Pertimbangan Fatwa

Fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita

hamil di luar nikah menyebutkan bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikah oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinainya.1 Adapun fatwa tersebut dapat dijelaskan dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Firman Allah Swt:

.

Artinya:“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.”(QS. al-Nur/24: 3)

Ayat diatas menjelaskan, tentang boleh dan sah nya menikahi wanita yang sedang hamil atau tidak karena zina, dengan sesama pria yang menzinainya. Dalam surat al-Nisa/4 ayat 24 dijelaskan:

1

Kumpulan Fatwa MUI Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 1975-2012 (Jakarta: Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012), h. 245


(54)

.

Artinya:“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri -isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. al-Nisa/4: 24)

Dalil diatas menjadi dasar dibolehkannya menikahi wanita yang sedang hamil karena zina dengan orang lain, yang bukan sesama pelaku pezina.

2. Hadis Nabi Saw:

Artinya:“Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda: Seorang laki-laki pelaku zina yang dihukum jilid tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa (wanita pelaku zina).”2 (HR. Abu Dawud)

Hadits diatas menjelaskan bahwa, pelaku pezina hanya akan menikah dengan sesama pezina saja.

.

Artinya:“Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal.”3 (HR. Imam Ibn Majah)

Hadits ini menerangkan bahwa, boleh dan sah wanita yang sedang hamil karena zina dinikahi dengan laki-laki lain yang tidak menzinainya, serta sesudah

2

Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 221

3

Al-Hafiz Abi abdillah, Sunan Ibn Majah, (Makah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.), juz ke -1, h. 639


(55)

akad mereka boleh melakukan hubungan suami istri, dengan alasan perbuatan yang sudah halal tidak bisa mempengaruhi perbuatan haram yang sebelumnya.

3. Qaidah Fiqh:

Artinya:“Asal hukum segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang

mengharamkannya.”4

Maksud dari qaidah diatas ialah, asalnya hukum menikah adalah boleh tetapi apabila ada dalil yang menunjukan keharaman tersebut, maka hukum nikah berubah menjadi haram.

Lembaga Komisi Fatwa MUI DKI menetapkan pada tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita yang pernah melakukan zina,baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinahinya, dengan argumen atau alasan:

a. Dalam ilmu biologi, sperma yang masuk pada rahim wanita yang sedang hamil tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya percampuran sperma laki-laki yang menzinai dengan sperma laki-laki yang akan menikahinya secara sah.

4

Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001), h. 45


(56)

b. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dinikahi, baik bagi si-pelaku maupun orang lain maka akan menimbulkan rasa malu dan membebani psikologis wanita tersebut, manakala lelaki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. c. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta lebih cenderung kepada pendapat Imam Syafi’i,

karena dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan pada masa kini, dilihat dari semakin meningkatnya hubungan pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak terjadi kehamilan diluar nikah.

C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya terhadap Anak yang di Lahirkan

1. Firman Allah Swt:

Artinya:“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.Yang demikian diharamkan atas orang-orang mu’min.” (QS. al-Nur/24: 3)

Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits `Amr bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang laki-laki yang bernama Mazid, dia mempunyai seorang kawan wanita di Makkah yang bernama Inaq (seorang pelacur). Dia meminta izin kepada Nabi Saw untuk menikahi wanita tersebut, akan tetapi Nabi Saw sama sekali tidak menjawab, sehingga turun surat al-Nur/24 ayat 3, lalu Nabi Saw bersabda, yang artinya: “Hai


(57)

Mazid, pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Karena itu

janganlah menikahinya.”5

.

Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.”(QS. al-Nisa/4: 24)

Imam Muslim, Abu Dawud, al-Timidzi dan al-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Sa'id al-Khudriy berkata, “Kami mendapatkan para tawanan wanita dari Authas yang mempunyai suami. Dan kami merasa tidak enak untuk

5

Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 388


(58)

menggauli mereka karena status merereka tersebut, kami pun bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hal itu, lalu turunlah ayat tersebut.”6

2. Hadis Nabi Saw:

.

Artinya:“Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal.”7 (HR. Imam Ibn Majah)

.

Artinya:“Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam ladang bercocok

tanam orang lain.”8

(HR. Abu Dawud)

Artinya: “Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya). Dan wanita yang sedang tidak hamil boleh digauli hingga ia mengeluarkan darah haidl satu kali.”9(HR. al-Hakim)

3. Ijma’ Sahabat

Mengenai hukum menikahi wanita yang sedang hamil karena zina, para jumhur telah sepakat boleh dan sah menikahinya, seperti sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan para tabi`in serta Imam Mazhab. Tetapi,

6

Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 158

7

Al-Hafiz Abi abdillah, Sunan Ibn Majah, (Makah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.), juz ke -1, h. 639

8

Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 248

9

Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Shahiani, (Beirut: Dar Kutub


(59)

apabila sipezina bukan menikah dengan sesama pelakunya, para imam berbeda pendapat, diantaranya:

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi`i, mereka mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain:

Menurut Imam Abu Hanifah:“Wanita hamil karena zina itu tidak ada

iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks sehingga dia melahirkan kandungannya”.10 Menurutnya, wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinainya, tetapi hukumnya makruh. Hanya saja sebelum melahirkan, wanita tersebut tidak boleh digauli oleh suaminya,11 sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini didasarkan kepada sabda Nabi Saw:

Artinya: “Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya). Dan wanita yang sedang tidak hamil boleh digauli hingga ia mengeluarkan darah haidl satu kali,”12(HR. al-Hakim)

Menurut Imam Syafi`i: “Hubungan suami istri karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh

10

Abdurrahman Al-Jusry, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibul Arba’ah, (Beirut: Darul Haya’ al-Turb al-Araby, 1969), h. 521

11

Wahbah Al-Zuhayliyy, Usul al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997), h. 149

12

Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Shahiani, (Beirut: Dar Kutub


(60)

melakukan hubungan intim sekalipun dalam keadaan hamil”.13 Menurutnya, wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi pria lain yang tidak menzinainya, serta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Ini di dasarkan pada sabda Nabi Saw:

Artinya:“Bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk menggaulinya sedang anak itu hamba bagimu.”14

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.15 Mereka berpendapat sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin fasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan sabda Nabi Saw, yang artinya: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang

sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid.”

13

Abdurrahman Al-Jusry, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibul Arba’ah, (Beirut: Darul Haya’ al-Turb al-Araby, 1969), h. 543

14

Abu Dawud Sulaiman Sajistani, al-Sunan Abi Dawud, (Mesir: Musthafa Baby Al-Halaby, tth.), h. 283

15


(61)

Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Saw yang artinya:“Janganlah kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.

Dengan dua hadits di atas, Imam Malik dan Imam Ahmad berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang mengawininya.

Menurut Imam Abu Yusuf dan Za`far, mereka berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina dan tidak boleh berhubungan intim dengannya. Karena wanita tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain, maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang sah. Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh berhubungan kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.16

Demikian juga telah diriwayatkan dari Umar ra: “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya,

16

Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer,


(62)

kemudian anak perempuan tersebut hamil. Ketika Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan kepadanya.Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. Kemudian Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.”17

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata: “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat al-Nur/24 ayat 3. Dan Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Menurut Ibn Mas’ud ra, yang menyatakan: “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.”18

Dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam Nawawi mengatakan:

17

Al-Mawardi, Al-Hawi, IX h. 189

18

Yahya ‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi al-Syari’ah al -Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Bayariq, 1999), h. 80


(63)

،

Artinya: “Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak wajib atasnya ber’iddah, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi sipenzina dan lainnya yang bukan menzinainya melakukan akad nikah atasnya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum

melahirkan anaknya.”19

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnahnya mengatakan, bahwa boleh menikahi wanita pezina dengan catatan mereka yang melakukan zina tersebut harus bertaubat terlebih dahulu,karena Allah Swt menerima taubat dan memasukkan mereka kedalam hamba-hamba yang salih.20

Menurut Wahbah az-Zuhailli bahwa mereka yang telah melakukan zina, boleh melakukan hubungan suami istri karena hal ini tidak bertentangan dengan surat an-Nur/24 ayat 3, karena status mereka adalah pezina.21

4. Implikasi terhadap anak yang di lahirkan

Menurut istilah yang lazim di Indonesia, warisan ialah perpindahan berbagai hak dan kewajiban atas kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.22

19

Muhyidin bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz. XV, h. 398

20

As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet.IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 83

21

Wahbah az-Zuhailli, al-Fiqh Al-Islam wa Adillatahu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 148

22


(64)

Sebab-sebab yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan yang

berlaku dalam syari’ah Islam dan tetap hidup dalam masyarakat ada 3 perkara

diantaranya:23

a. Hubungan kekerabatan.

Dalam hukum Islam, hubungan kekerabatan yang sebenarnya adalah adanya hubungan nasab yang mengikat para pewaris dengan ahli waris yang disebabkan ada kelahiran.

b. Hubungan perkawinan

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi antara suami/ istri.24

c. Hubungan karena wala’

Al-wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba

sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong.

Adapun dalil-dalil yang menyatakan nasab seorang anak ikut kepada siapa yang lebih berhak, diantaranya:

1) Firman Allah Swt:

.

23

TM.Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 42

24


(1)

60 PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penyusun paparkan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa:

1. Menurut Fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita hamil dari zina adalah sah dan boleh, baik oleh sesama pelaku atau dengan orang lain. Alasan komisi Fatwa MUI DKI memperbolehkan perkawinan wanita hamil dari zina karena ada tiga alasan, yakni menutup aib, memperoleh status dan perlindungan anak. 2. Secara umum hukum dalam hal perkawinan terhadap sesama pelaku pezina, para

Imam mazhab berpendapat sah dan boleh, tetapi apabila bukan sesama pelaku terjadi perbedaan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i boleh atau sah, sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad tidak boleh.

Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, perkawinan terhadap wanita hamil dari zina sah atau tidaknya dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan masing-masing yang dianut.

3. Kedudukan waris anak yang lahir dari zina, menurut Fatwa MUI DKI dan Jumhur ulama adalah ikut kepada ibunya, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya.


(2)

61

Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, status kedudukan anak yang lahir dari zina, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

B. Saran-Saran

1. Penulis menghimbau kepada para remaja, supaya lebih berhati-hati dalam pergaulan terhadap lawan jenis, karena di era yang globalisasi sekarang ini sering terjadi pelanggaran norma dan etika.

2. Guna mencegah terjadinya pergaulan bebas, diharapkan bagi orang tua dan lapisan masyarakat turut serta membimbing juga menasehati para remaja agar tidak terjerumus dan biasa mengendalikan diri, dan

3. Diharapkan bagi lembaga yang terkait, dapat memberikan solusi yang terbaik terhadap remaja yang bermasalah.


(3)

62

Abbas, Afifi Fauzi, Metodologi Penelitian, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010) Abdillah, al-Hafiz Abi, Sunan Ibn Majah, (Makah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.)

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Gema Insani Press)

Abdurrahman, Sayyed bin Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Murtasyidin, (Semarang: Usaha Keluarga)

Ali, M. Daud, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Al-Ashqar, Usamah Umar, Fauda al-Iftaq, (Jordan: Dar al-Nafais: 2009)

Al-Bakri, Zulkifli Mohammad, Fatwa dan Mufti: Hukum, Etika dan Sejarah, (Bandar Baru Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia, 2008)

Al-Barawi, Muhammad Sa’id Muhammad, Mazaliq al-Fatwa, (Kaherah: Dar al-Basa’ir, 2009)

Al-Haq, Muhammad Syamsul, ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud, (Beirut: al-Kutub al-‘Ilmiah, 1415)

Al-Jusriy, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibul Arba’ah, (Beirut: Darul Haya’ A t-Turb Al Araby, 1969)

Al-Khatib, Yahya ‘Abdurrahman,Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi al-Syari’ah al

-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Bayariq, 1999)


(4)

63

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008) Al-Zuhaily, Wahbah,Usul al-Fiqh al-Islamiy,(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1986) Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatahu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985) Buku Kompilasi Hukum Islam tentang Hukum Perkawinan

Darajat, Zakiyah, dkk, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985)

Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005)

Djamali, R.Abdul, Hukum Islam: Berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium Ilmu

Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1997)

Fathurrahman, (Syari’ah: Jurnl Hukum dan Pemikiran, 2006)

Kamal, Abu Malik, Shahih Fiqh Sunnah, (Jakarta: PustakaAzzam, 2011)

Kholil, Syukur, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: Citapustaka Media, 2006)

Kumpulan Fatwa MUI Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 1975 – 2012 (Jakarta: Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012)

Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1996)

Mardani, Hadis Ahkam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)

Maruzi, Muslih, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang, Pustaka Amani, 1981)

Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005)


(5)

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000)

Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Shahiani, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiah, 1990)

Muhyidin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)

Mujieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:PustakaFirdaus, 1994) Muzadi, A. Muchith, NU dan Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1995) Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)

Nuruddin, Amir dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Rasyid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, (Jakarta: al-Thahiriyah, 1954) Rafiq, Ahmad, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1993) Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 1994)

Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980)

Sabrie, M. Zufran, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998)

Sajistani, Abu Dawud Sulaiman, Al-Sunan Abi Dawud, (Mesir: Musthafa Babiy al-Halabiy, tth.)

Saleh, H. E. Hassan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)

Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

Sidik, Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tirta Mas, 1983 )

Soleh, Asrorunni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1994) Sulaiman, Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.)


(6)

65

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Syahrini, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992)

Syamsu, Nazwar, Al-Qur’an tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007)

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007) Yanggo, Huzaemah T, Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima,

2001)

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Bina Cipta, 1968)

Zuhdi, H. Masjfuk, Masail Fiqhiyah: Kapita selekta hukum Islam, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997)