pro kontra lokalisasi prostitusi docx

Oleh : Reza Fajri Hidayat
PROSTITUSI DAN PERMASALAHAN HUKUM DI INDONESIA
Masalah prostitusi memang sejak lama menjadi polemik. Jika dibiarkan makin tidak
terkontrol, tetapi dilokalisir menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro mengkaitkan dengan
hak ekonomi pelaku bisnis prostitusi sedangkan yang kontra menganggap lokalisasi sebagai
bentuk legalisasi bisnis haram yang bertentangan dengan aspek moralitas masyarakat.
Lokalisasi hanya satu dari beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk
menekan jumlah PSK, karena itulah satu-satunya indikator yang digunakan untuk mengukur
berkembang tidaknya prostitusi di suatu wilayah. Diantaranya dengan mencatat rutin jumlah
PSK, wisma dan mucikari. Dari aspek kuantitatif semacam ini sudah menunjukkan adanya
perbedaan perlakukan pemerintah pada pihak-pihak yang bermain di bisnis prostitusi.
Pemerintah punya catatan jumlah PSK atau mucikari yang dilokalisir, tetapi tidak
pernah punya catatan tentang jumlah makelar pensuplai PSK apalagi jumlah konsumen
pemakai jasa PSK meski ‘stakeholder’ tersebut sangat berkaitan dengan keberadaan para
PSK. Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan
seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering
disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Dalam pengertian yang lebih luas,
seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut
melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih
banyak memainkan lagu-lagu komersil.
Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau

sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan
menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak
ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka
juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah
dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer
seputar mereka dari masa kemasa. Masyarakat dan kebudayaan pada dasarnya merupakan
tayangan yang besar dari kehidupan bersama antar individu-individu manusia yang bersifat
dinamis. Keduanya merupakan instrumen yang saling mempengaruhi satu sama lain, manusia
atau masyarakat melahirkan budaya dan budaya membentuk manusia atau masyarakat.
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, industri
dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial dalam masyarakat.
Adaptasi dan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan
eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan intern dalam batin sendiri. Pada gilirannya
banyak orang mengembangkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma umum
bahkan norma hukum yang sering disebut dengan problema sosial. Pembangunan sosial di
Indonesia, hakekatnya merupakan upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan,
yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasca

kemerdekaan, kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh beberapa rezim pemerintahan
Indonesia. Mulai dari rezim Soekarno sampai presiden di era ini yakni Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono yang terpilih dalam pemilihan umum langsung pertama.
Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali rezim pemerintahan berganti, taraf
kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal, sehingga suatu upaya perlindungan
yang diberikan juga belum maksimal. Pemenuhan taraf kesejahteraan sosial perlu terus
diupayakan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih belum mencapai taraf
kesejahteraan sosial yang diinginkannya. Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial menyeruak
menjadi isu nasional. Asumsinya, kemajuan bangsa ataupun keberhasilan suatu rezim
pemerintahan, tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi.
Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun
menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti penanganan masalah;
kemiskinan, kecacatan, pengemisan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana
alam dan sosial Kehidupan bernegara pada saat ini tidak terlepas dari isu strategis yaitu era
globalisasi yang berusaha mentransformasikan modernisasi ke segala aspek kehidupan. Jadi
kita tidak bisa menutup mata atas pergaulan sekarang ini yang begitu bebas mengakses
terang-terangan segala kultur barat secara subyetif, tanpa disadari dampak yang timbul pun
cukup beragam untuk dianalisa. Kontribusinya pun riil akibat pergaulan bebas tanpa batas
etika dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yaitu akan terlihat.
Mengingat salah satu problematika bangsa ini dalam kerangka hukum pidana pada
umumnya dan hak asasi manusia pada khususnya. Yang kemudian sangat dipahami bahwa
hukum hanya salah satu solusi dari sekian cara untuk menyelesaikan permasalahan bangsa

ini, bukan berarti hukum adalah solusi yang paling solutif tanpa akan menimbulkan gejalagejala baru yang akan dihadapi bangsa ini. Salah satu bentuk penyimpangan itu sendiri yang
ingin penulis akan jadikan kajian suatu penelitian adalah makin meningkatnya perilaku tindak
pidana asusila (palacuran) atau yang sering disebut dengan bentuk prostitusi, yang sering
diperhalus dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) di negara kita tercita yaitu Indonesia,
sebagai salah satu bentuk kegagalan dalam memberikan perlindungan dari negara terhadap
penduduk. Fenomena prostitusi bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat. Sejak
dahulu sampai sekarang praktik kegiatan prostitusi sudah ada. Banyak istilah yang digunakan
untuk menyebut pelaku dari prostitusi atau pelacur seperti: lonthe, sundal, wanita tuna susiala
(WTS), dan pekerja seks komersial (PSK).
Menurut Kartono prostitusi itu sendiri adalah: Bentuk penyimpangan seksual, dengan
pola-pola implus atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai
eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
Menurut Merton, bahwa struktur sosial dalam kenyataannya telah membuat orangorang tertentu di masyarakat untuk bertindak menyimpang daripada mematuhi norma-norma
sosial. Kejahatan ini banyak hal yang mempengaruhi di antaranya unsur-unsur ekonomi dan
sosial memiliki peran atas perkembangan prostitusi. Banyak faktor dalam masyarakat yang

membuktikan bahwa orang miskin terdesak kebutuhan ekonomi, maka kejahatan merupakan
jalan untuk mendapatkan nafkah. Dalam hal ini menjadi PSK (pelacuran) jalan terdesak
untuk menghasilkan uang, baik wanita maupun pria.

Kondisi sebagaimana di atas sangat tidak kondusif untuk terwujudnya cita-cita dan tujuan
negara, sebagaimana yang telah dicanangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial,...”
Mengingat substansi pembangunan sejatinya diarahkan dengan maksud membangun manusia
secara utuh, telah menjadikan pembangunan fisik meskipun penting, dan demi kesuksesan
pembangunan manusia. Atau dengan kata lain, pembangunan fisik harus mengabdi dan
berorientasi pada penciptaan kondusivitas demi terbangunnya manusia sebagai makhluk
bermartabat paling tinggi.
Kebijakan pembangunan bermartabat manusia secara fungsional berlaku sama, antara
penghargaan terhadap warga negara. Pertumbuhan populasi pelacuran di berbagai daerah,
cenderung semakin meningkat. Penyebabnya antara lain adanya industrialisasi krisis ekonomi
yang berkepanjangan yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran, adanya
perubahan nilai-nilai sosial budaya dan pola hidup masyarakat akibat pengaruh globalisasi
dan arus informasi. Meningkatnya PSK menggambarkan bahwa masih rendahnya tingkat
kesejahteraan penduduk yang sangat memprihatinkan dan kurangnya lapangann pekerjaan
yang diberikan oleh pemerintah sehingga fenomena yang muncul salah satunya adalah
meningkatnya prostitusi atau pelacuran atau PSK.

b. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum
Peranan hukum dalam pembangunan yang serba cepat saat ini sangat penting.
Keterlibatan hukum yang semakin aktif dalam persoalan-persoalan kehidupan bangsa dan
negara, membawa pengaruh pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana
menyusun tata kehidupan baru tersebut. Hal ini bisa dilihat dari segi pengaturan oleh hukum,
baik dari segi legitimasinya maupun efektifitas penerapannya. Oleh karena itu paradigma
yang muncul adalah pergeseran dari bagaimana mengatur melalui prosedur hukum ke arah
bagaimana pengaturan itu, dengan tujuan agar dalam masyarakat timbul efek-efek yang
memang dikehendaki oleh hukum. fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam,
bergantung dari berbagai faktor dan keadaan masyarakat. disamping itu fungsi hukum dalam
masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat
maju. dalam setiap masyarakat, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam
masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. namun
dalam masyarakat yang sudah maju, hukum lebih umum, abstrak dan lebih berjarak dengan
konteksnya.
Pengertian perlindungan hukum menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah
“Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada umumnya perlindungan hukum
merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional.

Pengertian perlindungan hukum juga menurut Soedikno Mertokusumo yang dimaksud
perlindungan hukum adalah “adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka
memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.”
Kata perlindungan di atas menunjuk pada adanya terlaksananya penanganan kasus
yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlakudan juga adanya
kepastian-kepastian usaha-usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang
dialami. Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh
pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam
maupun di luar wilayahnya.
Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya yang diatur
dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk menyelaraskan
hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara yang berdaulat,
mengembangkan dan menegakkan kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan
bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur.
Hukum juga berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Di sini, PSK ditempatkan sebagai subjek
yang bersalah atas perbuatan atau pekerjaan yang mereka jalani. Upaya perlindungan di sini
diarahkan untuk memberikan perlindungan hukum memadai bagi PSK.
Adapun upaya itu antara lain meliputi:
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perlindungan dari pemerintah serta pihak lainnya,
Pelayanan kesehatan atau medis yang layak,
Penanganan secara khusus mengenai kegiatan PSK,
Pendampingan dan bantuan hukum (bila ada),
Bimbingan kerohanian,
Terapi pemulihan kejiwaan,
Kerahasiaan Identitasnya.

PIDANA DAN MASALAH PENEGAKAN HUKUMNYA.
Seperti kita ketahui bersama, praktek/ bisnis prostitusi di kota metropolitan seperti
jakarta di lokasi-lokasi tertentu, sekarang ini sudah secara gamblang/terang-terangan
beroprasi ditengah-tengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku
praktek prostitusi seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan hukum oleh aparat,

maupun adanya reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek prostitusi
tersebut. Sanksi pidana dalam hukum positif di indonesia yang mengatur tentang para pelaku
pebisnis praktek prostitusi secara jelas dan tegas termuat dalam pasal Pasal 506 KUHP yaitu
yang berbunyi:

”barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan
sebagai pencarian diancam hukuman paling lama satu tahun”.
artinya unsur-unsur perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan menjalankan bisnis
praktek prostitusi, secara jelas dan tegas sudah seharusnya dapat terjaring delik pidana
sebagai mana pasal 506 KUHP tersebut, namun pada kenyataannya praktek tempat
pelacuran/prostitusi tetap saja marak dan tumbuh subur terutama dikota-kota metropolitan
seperti Jakarta.
Sedangkan untuk pelaku praktek prostitusi (para wanita PSK) dapat terjaring dengan
Perda DKI yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988, dalam ketentuan pasal 27
dan 28 tentang sanksi hukuman yang “melarang bagi siapa saja berbuat asusila
dimasyarakat”, sanksi yang dikenakan adalah hukuman selama 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan.
Namun ironisnya para Wanita pekerja Seks Komersial (PSK) tersebut tetap saja dapat
menjalankan Profesinya tanpa adanya penindakan dari pihak-pihak terkait, walaupun secara
jelas dapat diketahui bahwa para PSK tersebut telah melakukan Unsur-unsur perbuatan yang
masuk dalam ketentuan Perda tersebut.

Menurut teori hukum dari Soejono Soekamto dalam penegakan hukum terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi berhasil/ tidaknya penegakan hukum Itu sendiri yaitu:
1. Faktor hukum yang ditegakkan itu sendiri.
2. Faktor petugas, yaitu aparatur penegak hukumnya.
3. Faktor masyarakat dimana hukum itu berada.
4. Faktor kebudayaan.
Berkaitan teori/konsep hukum diatas, penulis tertarik untuk membahas dalam tulisan
ini tentang teori hukum tersebut dengan keadaan empiris yang ada dimasyarakat, terutama
factor petugas dan factor masyarakat yang dinilai penulis sangat mempengaruhi sulitnya
penegakan hukum terkait dengan judul dari penulisan ini.
Mengapa penulis menilai factor petugas dan factor masyarakat sangat berperan dalam
mempengaruhi sulitnya penegakan hukum terkait khususnya menyangkut praktek Prostitusi?
Adapun alasan penulis adalah :
Bila dilihat dari factor hukum dan factor kebudayaan sebagimana teori hukum tersebut, dari
sudut pandang hukum/factor Hukum, kepastian akan adanya hukum positif yang mengatur
tentang praktek prostitusi dan sangsi pidananya telah jelas dan tegas sebagai mana tercantum
dalam Pasal 506 KUHP dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988, sehingga
seharusnya factor hukum tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang dapat menghambat
penindakan terhadap praktek prostitusi tersebut. sedangkan dari sudut pandang factor
kebudayaan, budaya dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya tidak ada yang

menghalalkan terjadinya praktek prostitusi tersebut, sehingga factor kebudayaan tidak dapat
dijadikan sebagai argumen sebagai factor yang mempengaruhi sulitnya penegakan hukum
khususnya menyangkut praktek Prostitusi.

Pelacuran bila kita lihat dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maka
tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus, sehingga secara kriminologis sulit
untuk mengatakan bahwa pelacuran itu seebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan
korban. begitupula apabila dilihat delik-delik kesusilaan dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( Pasal 281 sampai pasal 303 ) khususnya pasal 296 dan pasal 506 Ktab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditunjukan pada Wanita Tuna Susila. melainkan
ditujukan kepada pemilik rumah-rumah bordil yaitu para germo/muckari dan para calo. para
germo dan calo dapat dipidana bila perbuatan mereka sudah memenuh unsur-unsur pasal 296
yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan
cabul oleh orang lain, dan menjadikanya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”. ini berarti bahwa palacuran apakah dia
laki-laki atau perempuan bukan seorang penjahat dalam kualifikasi yuridis. akan tetapi hal ini
bertentangan dengan sosiologi dari kejahatan (Sociological Difinition of crime) yakni, apa
yang disebut dengan perbuatan jahat menurut norma-norrma sosial yang masih hidup dalam
masyarakat, maka yang tidak dicantumkannya perbuatan melacur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). pihak kepolisian sering menemukan kesulitan dalam
menghadapi persoalan Wanita Tuna Susila. melihat ayat demi ayat ini, makaa menjadi jelas
bahwa untuk Wanita Tuna Susila atau pelacuran dapat ditetapkan pasal 55 Jo pasal 296 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu dilarang dan diancam oleh Undang-Undang
( Pasal 296 KUHP ) sebagai orang yang turut serata melakukan perbuatan (Medepleger) atau
membujuk melakukan perbuatan ( uitlokker ) atau kebiasaan.
Menerapkan Pasal 296 Kitab Undang-Undang hukum Pidana ( KUHP ) melalui pasal
55 yang disebutkan diatas tidak tepat, karena pasal 296 hanya ditujukan kepada para germo
saja, dengan tujuan untuk memberantas rumah-rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran.
dalam kenyataanya bahwa para pelacur bukan pemilik rumah-rumah bordil. melihat pasal
296, 297 dan 506 yang dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
( KUHP ), yang berhubungan dengan prostitusi. ternyata mengenai si pelacur itu sendiri tidak
tegas dinyatakan dalam Hukum pidana.
Sedangkan sebagaimana halnya dengan wanita pelacur, tamu yang mendatang Wanita
Tuna Susila belum juga diatur secara tegas dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP). melihat detik detik kesusilaan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP), yakni pasal 281 sampai pasal 303, amat sulit diterapkan pada wanita pelacur
dan tamu yang datang mengunjunginya. bila hal tersebut akan dikenakan pada mereka,
tentunyya dalam kasus yang sangat khusus. kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) buku II bab XIV, dari pasal 281 sampai dengan
303 adalah sebagai berikut :
1. Pasal 281, diancam dengan hukuman, barang siapa dengan sengaja dan dimuka orang
lain yang ada disitu bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan diancam
dengan pidana penjara. hal ini sulit diterapkan pada tamu karena dalam kenyatannya
tamu yang mendatangi para pelacur melakukan hubungan klelamin dengan secara
tertutup.

2. Pasal 282, memuat ancaman hukuman, terhadapp mereka yang menyiarkan,
mempertunjukan kepada umum, memasukan kedalam negeri atau dengan terangterangan menawarkan tidak atas permintaan orang, tulisan atau gambar yang merusak
kesusilaan.
3. Pasal 283, memuat ancaman hukuman, kepada siapa yang memperlihatkan,
menyerahkan, menawarkan baik suatu tulisan, gambar, atau barang yang melanggar
kesusilaan maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kandungan, kepada
orang yang patut atau dapat didugaorang tersebut masih dibawah umur.
4. Sedangkan dalam pasal 284, memuat ancaman hukuman,, kepada laki-laki atau
perempuan yang beristri atau bersuami yang meellakukan perzinahan. juga ancaman
itu ditunjukan kepada perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan
perbuatan itu, sedangkan diketahuinya, bahwa laki-laki yang melakukan hubbungan
seksual dengan dia sudah beristri. kejahatan yang disebutkan dalam pasal ini,
merupakan delik aduan (klacht delict)artinya, penuntutanya hanya dapat dilakukan
bila ada bila ada pengaduan dari orang yang merasa drugikan baik suami atau istri
atau wakilnya uang sah yang berpihak untuk mengadu. pasal ini memberikan
kesempata pula untuk menarik kembali pengaduan tersebut, selama pemeriksaan
dalam sidang belum dimulai.
5. Pasal 285, membuat ancaman kepada seseorang yang melakukan perkosaan
perempuan yang bukan istrinya. pasal ini tidaak mungkin dapat diterapkan, karena
perempuan yang menjadi pelacur tidak pernah merasa terpaksa untuk melakukan
hubungan seks dengan laki-laki yang datang karena kebanyakan para pelaku
melakukan persetubuhan dilandasi oleh rasa suka sama suka, meskipun ada
pemaksaan terhadap pelacurr untuk melakukan persetubuhan namun jumblahnya
sangat sedikit dan jarang kita ditemui dlapangan. sehinga unsur paksaan tersebut
dalam pasal yang ada sering terjadi, akan tetapi jika ada wanita yang ditipu untuk
menjadi pelacur, maka hal yang sedemikian mungkin akan terjadi.
6. Sedangkan pasal 286, memuat ancaman hukuman, kepada siapa yang melakukan
hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istrinya, sedangkan perempuan
tersebut dalam keadaan pingsan.
7. Pasal 287, memuat ancaman kepada siapa yang melakukan hubungan seksual dengan
perempuan yang bukan istrinya, sedangkan diketahunya atau patut disangka bahwa
perempuan tersebut belum patut umur atau belm pantas untuk dikawini, penuntutan
dalam pasal ini hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan, kecuali bila umur
perempuan tersebut belum mencapai 12 tahun, atau menimbulkan luka berat pada si
korban.
8. Pasal 288 memuat ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan hubungan
seksual dengan perempuan. yang patut disangkan bahwa perempuan itu belum pantas
dikawini dan perbuatan itu menimbulkan luka-luka.
9. Pasal 289 memuat ancaman hukuman kepada siapa yang melakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa membiarkan perempuan itu mendapat
luka-luka.
10. Pasal 290 memuat ancaman hukuman kepada siapa yang melakukan perbuatan cabul
dengan seseorang, sedangkan diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau patut

disangka belum cukup 15 tahun, juga perbuatan pembujuk diancam dalam pasal ini
dengan hukuman penjara.
11. Pasal 291 menurut ancaman hukuman yang lebih berat lagi bila perbuatan-perbuatan
tersebut pada pasal-pasal diatas, mengakibatkan luka-luka berat atau matinya si
korban.
12. Pasal 292 memuat ancaman hukuman kepada orang yang sudah sampai umur, yang
melakukan perbuatan homo seksual erhadap anak yang belum cukup umur.
Melihat pasal-pasal yang ada, amat sukar didapatkan bukti-bukti dalam menindak para
tamu yang datang ketempat-tempat pelacuran, sehingga setiap razia dan penertiban pelacuran
oleh alat-alat negara, hampir-hampir tidak pernah ada tamu yang mengunjungi pelacuran
tersebut ditangkap, jika berdasarkan pasal-pasal kitab undang-undang hukum pidana (KUHP)
tersebut, meskipun demikian permasalahan penegakan hukum terhadap prositusi di jakarta
tetap dapat ditertibkan serta ditindak melalui :
 Perda no. 11 tahun 1988 yang dipengaruhi oleh perda no. 8 tahun 2007 tentang
ketertiban umum di jakarta sebagaimana diatur dalam pasal pasal 42 ayat (1) : “setiap
orang dilarang bertingkah laku dan atau berbuat asusila dijalan, jalur hijau, taman atau
tempat-tempat umum lainya.” Pasal 42 ayat (2) : “setiap orang dilarang : a)
menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks
komersial. b) menjadi penjaja seks komersial. c) memakai jasa seks komersial.” pasal
43 : “setiap orang atau baban dilarang menyedakan dan/atau menggunakan bangunan
atau rumah sebagai tempat untuk berbuat asusila.” dalam UU ini menjelaskan bahwa
kegiatan ini menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk mejadi
penjaja seks komersial pada umumnya dikenal sebagai germo. serta menjadi pejaja
seks komersial dilakukan oleh penyandang masalah tuna susila baik yang berasal dari
dalam negri maupun luar negri, yang dikenal masyarakat umum dengan sebutan wanit
tuna susila (WTS), pera tuna susila (gigolo) atau penikmat jasa pelacur, waria tuna
susila, yang melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah untuk
mendapat imbalan baik berupa uang, materi maupun jasa merupakan suatu pidana
kejahatan, yang perlu ditekankan dalam dalam penjelasan UU ini dalam menangkap
serta menindakan prostitusi berupa seseorang seksual diluar perkawinan yang sah
untuk mendapat imbalan baik berupa uang, materi maupun jasa. Aturan pidana
terhadap pasal ini terdapat pada pasal 63 ayat (1) setiap orang atau badan yang
melanggar ketentuan dalam pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), pasal 18, pasal 22
huruf a, huruf c, pasal 42 ayat (2) huruf a,b,c pasal 44, pasal 45, pasal 47 ayat (1)
huruf c, pasal 53, pasal 54, pasal 54 ayat (1) pasal 59 ayat (3) dikenakan hukuman
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ayat (2) tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindak pidana kejahatan.
 dengan hukuman sebagai mana yang di jelaskan pada pasal 61 ayat (2) uu no 8 tahun
2007 “ setiap orang atau badan yang yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat (4),
ayat(8), pasal 3 huruf a, huruf f, huruf k, pasal 4 ayat (1), ayat(3), pasal 7 ayat (2),
pasal 10 pasal 11 ayat(2), pasal 12 huruf c , huruf f, pasal 13 ayat (1), ayat (2), pasal
14 ayat (3), pasal 15, pasal 22 huruf d, huruf e, pasal 28 ayat (1), pasal 29 ayat (1)

huruf c, ayat (4), pasal 30 ayat (1), pasal 31 ayat (2), ayat (3), pasal 32, pasal 33, pasal
34, pasal 35, pasal 36 ayat (1), ayat (2), pasal 38 huruf c, pasal 40 huruf a, pasal 42
ayat (2) huruf b, huruf c, pasal 46,pasal 47 ayat (1) huruf a, huruf b, pasal 48, pasal
49, pasal 52 ayat (1), ayat (3), pasal 55 dan pasal 56 dikenakan ancaman pidana
kurang paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari
atau denda paling sedikit rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak rtp
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)”
Dari semua persoalan tersebut bla dilihat pada masa sekarang ini, perlu menyempurnakan
atau membuat peraturan perundang-undangan hukum pidana atau KUHP yang baru karena
yang berlaku sekarang ini merupakan peninggalan penjajah belanda yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perubahan jaman. apabila kita lihat pasal 296 dan pasal 506 kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) tidak ditujukan kepada pelacur akan tetapi ditujukan kepada germo
dan calo, sedangkan germo dan calo tersebut tidak diambil tindakan. padahal secara nyata
telah melanggar pasal tersebut. oleh karena tidak tepat jika melakukan penertiban prostitusi
dengan menggunakan pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak dapat
lagi memfasilitasi permasalahan prostitusi di jakarta maupun di daerah lain di indonesia.
namun perlu juga dicarikan suatu solusi dari pemerintah pusat untuk mengatasi masalah
prostitus tersebut di indonesia, untuk dapat membuat peratutan pdana yang dapat
memfasilitasi masalah prostitusi di indonesia saat ini. karena peraturan yang ada hanya
mengatur secara khusus (lex spesialis) terhadap daerah tertentu yang tidak bisa dterapkan
didaerah lain. dalam perda no. 8 tahun 2007 inipun masih kita temui permasalahan dalam
mengidentifikasi pekerja seks komersial itu sendiri. larangan untuk menjadi penjaja seks
komersial tanpa adanya rumusan tempat akan menombulkan kesulitan dalam pelaksanaanya.
bagaimana pihak pemprov DKI ini mengetahui siapa-siapa penjaja seks? atas dasar apa
pemprov DKI akan menangkap mereka-mereka yang dituduh menjadi pekerja seks. ketidak
jelasan ini akan menimbulkan masalah salah tangkap dan kekerasan pada warga yang tidak
bersalah. bila pekerjaan sebagai perekjja seks itu dilarang dijalanan atau tempat terbuka
lainya, pemprov DKI bisa jadi akan mudah mengontrolnya. lalu komersial yang tertutup rapi.
memang ada dilema disini namun jika tidak keinginan dan ketegasan para penegak hukum
untuk menindak prostitusi di jakarta mungkin angka yang menjadi pusat pelacuran di
indonesia. oleh sebab itu diperlukan suatu keseriusan para penegak hukum dalam
menanggulangi serta menertibkan masalah prostitusi tersebut karena penegakan hukum
terhadap pelakukan prosttusi di jakarta hanya dimungkinkan dengan perda ini.
1. Faktor Petugas.
Dari kacamata penulis ditambah dengan data-data yang didapat oleh penulis tentang
prostitusi dijakarta, tumbuh suburnya praktek prostitusi di jakarta adalah karena adanya
beking/ perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap lokasi prostitusi tersebut sehingga
seolah-olah pelaku bisnis haram tersebut kebal akan hukum, disamping itu, adanya kolusi
(setoran uang secara rutin) dari para pelaku bisnis prostitusi di jakarta terhadap aparat hukum,
mulai dari petugas lapangan, kapolsek, dinas pol PP, dll sampai jenjang diatasnya turut
memperburam penegakan hukum terhadap bisnis pelacuran tersebut. Dari uraian diatas dapat

kita ketahui bahwa Factor petugas sangat berperan besar dalam menentukan berhasil /
tidaknya penegakan hukum di bidang praktek prostitusi tersebut.
2. Factor Masyarakat
Sikap acuh dari sebagian masyarakat jakarta terhadap adanya praktek prostitusi disekitar
lingkungannya sangat berperan dalam berkembangnya praktek prostitusi tersebut, hal tersebut
dikarnakan tidak adanya penolakan/gejolak menentang dari masyarakat terhadap bisnis
pelacuran, diterjemahkan oleh para pebisnis praktek asusila tersebut sebagai suatu restu dari
masyarakat sekitar tempat prostitusi atas boleh beroprasinya bisnis haram tersebut. Selain hal
diatas, terdapat beberapa kelompok masyarakat disekitar tempat prostitusi tersebut yang
mendukung adanya bisnis praktek prostitusi tersebut berada di daerahnya, hal tersebut
dikarnakan para kelompok masyarakat tersebut merasa diuntungkan dengan adanya bisnis
haram tersebut, dimana bila dilihat secara empiris, dengan adanya praktek prostitusi di suatu
lokasi, maka keadaan roda ekonomi masyarakat sekitar lokasi tersebut lebih berjalan secara
dinamis,karena banyak masyarakat yang mengambil kesempatan dengan mengais
rejeki/bermata pencaharian (membuka warung, jual rokok, menjadi tukang parkir, atau
bekerja di tempat prostitusi sebagai petugas kebersihan, dll) di tempat lokasi bisnis prostitusi
tersebut. Sehingga secara umum masyarakat sekitar tempat lokasi praktek prostitusi tersebut
merasa diuntungkan dengan adanya praktek prostitusi tersebut diwilayahnya, sehingga
penerapan hukum positif akan sulit dipaksakan dikarnakan dimungkinkannya terjadinya
penolakan dari masyarakat yang merasa diuntungkan dari praktek prostitusi tersebut atas
diberlakukannya penerapan hukum tersebut.
SOLUSI PENEKAN PROSTITUSI
manusia walaupun pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun iya mempunyai naluri
untuk selalu hidup dengan oranh lain, naluri ini yang dinamakan gregariousnes. didalam
hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang penting adalah reaksi yang timbul
sebagai akibat dari hubungan-hubungan tadi. reaksi tersebutlah yang menyebabkan bahwa
tindakan seorang manusia lain yang berada di sekelilingnya, dan membentuk kelompokkelompok sosial atau social group didalam kehidupan mausia. kelompok-kelompok sosial
tadi merupakan satu-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karenanya ada hubungan
antara mereka. hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang
salongh berpengaruh dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong, dengan
demikian maka suatu kelompok masyarakat mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. setiap warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan bagian dari
kelompok yang bersangkutan.
2. adanya hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan warga-warga lainya
(interaksi).
3. terdapat satu faktor atau beberapa faktor yang dimiliki oleh warga kelompok itu,
sehingga hubungan yang sama, tujuan yang sama, ideologi yang sama, politik yang
sama, dan lain-lain.
4. ada struktur.
5. ada perangkat kaedah-kaedah.
6. menghasilkan system tertentu.

Sampai saat ini memang belum ada formula yang pas dan ampuh untuk menyelesaikan
masalah prostitusi. Bahkan menutup lokalisasi sekalipun tidak menjadi jalan keluar yang
efektif karena justru akan menimbulkan persoalan baru. Namun beberapa pemikiran dibawah
ini mungkin bisa dipikirkan sebagai solusi.
Menggunakan istilah yang sepadan, jika ada istilah Wanita Tuna Susila (WTS)
sebagai penjual layanan seks komersial harusnya juga ada istilah Pria Tuna Susila (PTS)
sebagai pengguna layanan seks komersial sebagai padanan. Jika kemudian sebutannya
Pekerja Seks Komersial juga ada istilah Pengguna Seks Komersial. Meski kelihatannya
sepele ini merupakan bentuk pandangan yang berbeda terhadap permasalahan prostitusi.
Artinya baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam prostitusi mempunyai
kedudukan yang sama untuk ‘disalahkan’, termasuk diberi label yang sama (tidak bermoral,
tuna susila, dsb). Jika paradigmanya demikian bukan tidak mungkin jika para pemakai PSK
liar juga harus dikejar-kejar, ditangkap, diadili, bahkan jika perlu dikirim ke panti
rehabilitasi. Ini mungkin akan berdampak secara psikologis kepada konsumen atau calon
konsumen untuk berfikir ulang jika akan ‘jajan’. Pemerintah dalam menerapkan program
penanggulangan prostitusi tidak menempatkan perempuan sebagai biang kerok masalah tetapi
melihat secara porposional. Sehingga pembinaan sosial, kesehatan dan agama yang
dilakukan tidak hanya disasarkan pada penjual tetapi juga pembeli. Para pemakai PSK juga
harus mendapat pantauan karena mereka juga berpeluang besar untuk menularkan HIV Aids
dan penyakit menular seksual lainnya pada istri dan janin. Pemerintah harus memiliki data
yang meliputi seluruh ‘stakeholder’ di bisnis prostitusi, apakah pekerja, mucikari, makelar,
centeng-centeng sampai pemakai jasa mereka. Dengan demikian pembinaan tidak hanya
sasaran para PSK tetapi seluruh stakeholder. Sehingga jika ada anggapan penting
menyadarkan PSK untuk kembali ke jalan yang benar, lebih penting lagi adalah menyadarkan
pengguna PSK untuk juga insyaf. Ibarat jual beli jika tidak ada pembeli maka penjual akan
berfikir ulang untuk berjualan.
Pendekatan terhadap permasalahan prostitusi yang lebih holistik mengingat masalahnya yang
begitu kompleks. Perlu ada kerjasama yang sinergi antar wilayah yang menjadi pengirim
serta wilayah penerima/penyalur, sehingga bisa dilakukan upaya pencegahan atau
pemulihan/penanggulangan. Memang tidak penting mencari siapa yang salah atau yang benar
dalam hal ini. Yang terpenting dalam penanggulangan prostitusi adalah bagaimana
pemerintah menggunakan cara berfikir yang lebih adil dan tidak hanya merugikan salah satu
pihak.