BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen Di Kecamatan Manduamas (1946-1992)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari Bahasa Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian budaya dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, rasa dan karsa.

  Unsur-unsur kebudayaan. Menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu: Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Religi, Kesenian. Dari ketujuh unsur kebudayaaan ini merupakan acuan bagi penulis dalam mengkaji budaya dan perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Pakpak Kelasen dan pengaruhkebudayaan suku Batak Toba terhadap kebudayaan Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas.

  Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kecamatan Manduamas.Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalahPakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelimawilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanyadibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen. Alasan penulis dimana saat ini adat budaya Pakpak Kelasen telah berubah dengan menggunakan adat budaya Batak Toba.

  Suku Pakpak mendiami wilayah yang disebut dengan Tanah Pakpak, yanglingkungan wilayahnya berbeda dengan wilayah Dairi yang sekarang, yaitu daerahKeppas yang daerahnya mulai dari batas Tele di Humbang Hasundutan sampaidengan ke perbatasan Aceh. Daerah Pegagan mulai dari daerah Silalahi, Paropo,sampai dengan pesisir Bllo Kotacane.Daerah Simsim mulai dari batas Dolok Sanggul sampai ke Penanggalan (Aceh). Daerah Kelasen yang sekarang masuk ke wilayahKabupaten Humbang Hasundutan yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah, dandaerah Boang dengan wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masuk daerahKabupaten Aceh Singkil, dan Subulussalam.

  Secara umum Pakpak dapat digolongkan menjadi lima bagian berdasarkanwilayah komunitas marga dan dialek masing-masing. Pertama, Pakpak Simsimyaitu orang orang Pakpak yang menetap dan memiliki wilayah Simsim. Marga yangmenetap di sana yaitu marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banuarea, BoangManalu, dan Cibro Sitakar. Kedua, Pakpak Keppas yaitu orang Pakpak yangmenetap dan berdialek Keppas dengan marga Ujung, Bintang, Bako, dan Maha,dengan menempati wilayah Kecamatan Silimapungga-pungga, Kecamatan TanahPinem, Kecamatan Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang. Ketiga, PakpakPegagan yang juga berdialek Pegagan dengan marga Lingga, Mataniari, Maibang,Manik, dan Siketang, menempati wilayah Kecamatan Pegagan Hilir, KecamatanSumbul, dan Kecamatan Tigalingga. Keempat, Pakpak Kelasen, yaitu orangPakpak yang berdialek Kelasen dengan marga Tinambunan, Tumangger, Maharaja,Turuten, Pinayungen, dan Nahampun atau sering disebut dengan Si Onom Hudon, kemudian marga Kesogihan, Meka, Berasa, Mungkur yang menempati Kabupaten Tapanuli Tengah di Kecamatan Barus dan Kecamatan Manduamas. Dan kelima, Pakpak Boang yang berdialek Boang, dengan marga Sambo, Penarik, danSaraan. Wilayah yang ditempati Pakpak Boang ini adalah Kabupaten Aceh Singkildan kota Subulussalam.

  Sebutan suku Pakpak sering disebut dengan Pakpak Dairi. Dairi merupakan nama yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanah Pakpak yang dinamai dengan Dairi Landen. Tanah Pakpak dibagi-bagi oleh Belanda dalam berbagai wilayah, sehingga dengan mudah melumpuhkan perjuangan Sisingamangaraja XII yang pusat pemerintahannya di Pearaja dan beberapa wilayah Pakpak. Dengan demikian daerah administrasi Dairi Landen dapat dipisahkan dari daerah-daerah masyarakat Pakpak lainnya, misalnya di kecamatan Parlilitan (Kabupaten Tapanuli Utara menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam), serta Barus dan Manduamas (Kabupaten

1 Tapanuli Tengah).

  Sejak kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1908, Tanah Pakpak resmi dibagi-bagi seperti :

  1. Daerah Kelasen menjadi wilayah Tapanuli Utara.

  2. Daerah Manduamas masuk wilayah Tapanuli Tengah.

  3. Daerah Boang masuk wilayah Aceh Selatan.

  Walaupun pada akhirnya untuk memperluas hegemoni kekuasaan Belanda di Sumatera, hak ulayat (tanah) Pakpak yang dulunya satu di bawah naungan Dairi secara administratif dipecah. Hasilnya dibawahi oleh tiga Daerah Tingkat II yakni: 1

  1. Pakpak secara administratif Kabupaten Dairi adalah: Pakpak SIMSIM, Pakpak PEGAGAN, dan Pakpak KEPPAS.

  2. Pakpak secara administratif Kabupaten Tapanuli yakni Pakpak KELASEN.

  3. Pakpak secara administratif Kabupaten Aceh Selatan yakni Pakpak BOANG.

  Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen, dengan marga Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinayungan dan Nahampun atau sering disebut juga dengan Si Onom Hudon. Sionom Hudon (bahasa Batak Toba) adalah terjemahan dari bahasa Pakpak yaitu si Ennem Koden. Si Onom Hudon secara harfiah berarti enam periuk.

  Kecamatan Manduamas ini merupakan bagian dari Tanah Pakpak. Secara geografis Manduamas ini berbatasan dengan Kabupaten Dairi sebagai Kabupaten Induk Tanah Pakpak karena secara ideologi dan kebudayaan masih menyatu. Sebab Kabupaten Dairi merupakan bagian dari Pakpak awalnya sebelum dimekarkan. Untuk itu, walaupun telah terjadi pemisahan antara Pakpak dan Dairi, tetapi sebagai sebuah entitas masyarakat antara keduanya tidak dapat dipisahkan dari sisi ideologi dan kebudayaan yang ada di masyarakatnya karena memang keduanya memiliki keidentikan dalam banyak hal sebagai sebuah identitas masyarakat yang satu.

  Sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan. Perbatasan

  

  sebelah Timur ini jugalah yang menghubungkan Manduamas ke Barus sebagai bagian dari kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah yang juga dikenal sebagai jalur penetrasi Islam di wilayah ini. Bahkan, tidak hanya itu Barus juga menjadi sentral pertama perkembangan Islam di Indonesia secara umum sebagaimana yang banyak menjadi perhatian para ahli sejarah tentang sejarah awal masuknya Islam di Indonesia selalu merujuk Barus sebagai pusat niaga 2 internasional pada saat itu, yang dibuktikan sekarang banyak ditemukan bukti-bukti makam tua

   yang menunjukkan fakta tersebut ada.

  Letak Manduamas yang strategis ini kemudian menunjukkan bahwa Pakpak dilingkupi daerah Dairi dan Humbang Hasundutan yang secara geografis tentu saja perbatasan daerah ini memiliki pengaruh dalam dalam masyarakatnya, terutama dalam hal kedekatan budaya antar kedua daerah ini dan termasuk juga penyebaran masyarakat Pakpak di dalamnya merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari mengingat perbatasan ini juga menunjukkan adanya hubungan ekonomi antar kedua daerah terutama Manduamas sebagai bagian dari Pakpak itu sendiri.

  Secara umum etnis Pakpak mengenal dua bentuk upacara (kerja).Yangpertama disebut dengan Kerja Baik, yaitu yang berhubungan dengan upacara sukacita.Yang termasuk upacara baik adalah upacara perkawinan, kelahiran anak, panen, dan lain-lain.Sedangkan yang kedua adalah upacara Kerja Njahat atau upacara yang berhubungan dengan perasaan dukacita, seperti

  

  upacara kematian. Salah satu upacara Kerja Baik pada masyarakat etnis Pakpak adalah perkawinan.Sebab perkawinan merupakan suatu tahap yang penting dilalui oleh setiap insanmanusia.

  Koentjaraningrat menyatakan bahwa: “Perkawinan merupakan peralihan yang

  

terpenting dari life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari

tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga yaitu perkawinan”.

3 Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus, Sumatera Utara: Lobu Tuo, Fansur Barus

  lebihdahulu dari Sriwijaya, Lemuri, Perlak, Pasai dan Majapahit (Medan: Sasterawan, 1973), hlm. 6

  Saat ini kebudayaan Pakpak yang juga merupakan kebudayaan PakpakKelasen telah mengalami perubahan.Kebudayaan yang berubah itu adalah dalam hal upacara adat perkawinan.Adat Pakpak sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar warga Pakpak Kelasen dan beralih menggunakan upacara adat perkawinan yang baru, yaitu adat Batak Toba.Penggunaan adat Pakpak dalam masyarakat Pakpak Kelasenmulai berkurang pemakaiannya.Bila melaksanakan adat pesta perkawinan yangdipakai adalah adat Batak Toba, meskipun perkawinan antara sesama etnis PakpakKelasen adat yang dipakai tetap adat Batak Toba.Akan tetapi yang mengalamiperubahan hanya dalam adat perkawinan saja, sedangkan adat Pakpak lainnya masih tetap dipakai oleh masyarakat Pakpak Kelasen.Hal ini disebabkan orang Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di sekitar desa Si Onom HudonKecamatan Manduamas.Dulunya juga suku Pakpak Kelasen banyak yang berasal dari suku Batak Toba.Perubahan upacara adat perkawinan ini disebabkan terjadinyaperkawinan antara Pakpak Kelasen dan Batak Toba dengan menggunakan adat BatakToba.

  Atas dasar pemikiran diataslah penulis menulis skripsi ini dengan judul “Pengaruh

  

Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas

(1946-1992)”.Konsep dasar pengambilan judul tersebut adalah bagaimana kebudayaan etnis

  Batak Toba mudah diterima oleh etnis Pakpak Kelasen yang dengan serta merta memasukkan unsur-unsur budaya Batak Toba ke dalam budaya Pakpak. Penulis juga membuat batasan waktu pada tahun 1946-1992 dalam skripsi ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Gustaman Tumanggor selaku tokoh adat di Manduamas, sejak tahun 1946 dia memprakarsai peresmian 19 kampung di Manduamas tepatnya tanggal 5 April 1946. Sejak saat itu Manduamas semakin ramai kegiatan masyarakatnya sekaligus sebagai awal perjalanan periode akhir penelitian ini karena berdasarkan PP No. 35 / 1992 tanggal 13 Juli 1992 tentang pembentukan 18 kecamatan yang ada di Sumatera Utara, maka Kabupaten Tapanuli Tengah mendapat dua daerah pemekaran yakni Kecamatan Manduamas yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Barus dan juga Kecamatan Kolang hasil pemekaran dari Kecamatan Sibolga.

  Dibutuhkan suatu penelitian tentang kenapa orang Pakpak tidak konsisten dan selalu mengalah atau beradaptasi dengan adat orang lain dalam adat perkawinan. Berbeda dengan orang Karo dan Toba yang selalu konsisten dengan adatnya walaupun kawin dengan etnis lain. Secara umum memang diketahui penyebabnya, antara lain faktorsejarah, faktor pendidikan dan faktor politik. Faktor sejarah dan politik misalnya sangat berperan dengan memecah belah wilayah komunitas Pakpak dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sehingga wilayah tradisional Pakpak terbagi dalam beberapa kabupaten.

1.2 Rumusan masalah

  Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan panulis dalam pengarahan pengumpulan data dalam rangka untuk memperoleh data yang relevan. Hal ini menjadi landasan dalam penulisan nantinya pada bab-bab selanjutnya sehingga penulisan lebih mudah dan terarah karena telah berpedoman pada rumusan masalah.

  Berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini maka ada beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu:

1. Bagaimana budaya Pakpak Kelasen sebelum masuknya Batak Toba ke Manduamas?

2. Bagaimana keberadaan masyarakat Batak Toba di Manduamas? 3.

  Apa faktor yang mempengaruhi budaya masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti budaya Batak Toba?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

  Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan.

  Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Adapun Tujuan penelitian ini adalah : 1.

  Untuk dapat menjelaskan budaya Pakpak Kelasen sebelum masuknya Batak Toba ke Manduamas 2.

  Untuk dapat menjelaskan bagaimana keberadaan Batak Toba dan pengaruh budayanya terhadap masyarakat Pakpak Kelasen.

3. Untuk dapat menjelaskan apa faktor yang mempengaruhi masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti budaya Batak Toba.

  Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat bagi kita, yaitu:

  2. Memberikan informasi tentang kebudayaan Pakpak Kelasen bagi yang ingin mengetahui adat Pakpak Kelasen.

  3. Memberikan bahan masukan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat Pakpak Kelasen dan bagi masyarakat Pakpak umumnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

  Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Selain melakukan penelitian ke lapangan, peneliti juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku dan laporan serta artikel yang berkaitan sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian.

  Lister Berutu dan Nurbani Padang dalam bukunya Tradisi dan Perubahan, Konteks

  

Masyarakat Pakpak Dairi (1998), menjelaskan tentang segala jenis tradisi dan adat suku Pakpak

  beserta perubahan-perubahan budayanya. Pembahasan utamanya tentang upacara adat masyarakat Pakpak Dairi yang terdiri dari upacara sukacita (kerja baik) dan upacara dukacita (kerja njahat). Juga tentang aspek-aspek lain yang berhubungan dengan Budaya Pakpak seperti marjinalisasi pemerintahan kuta dan privatisasi pemilikan tanah adat Pakpak, upacara menanda tahun dan maknanya bagi kelestarian lingkungan, genderang si lima; ensembel; musik adat masyarakat Pakpak Dairi, bentuk morfofomenik dalam bahasa Pakpak Dairi, bahasa Pakpak dan gambaran masyarakat pemakainya, dan asosiasi marga-marga orang pakpak di Kotamadya Medan: suatu kajian tentang misi budaya. Budaya Pakpak yang dibahas dalam buku ini mencakup kebudayaan Pakpak secara umum dan luas. Dari kelima suak yang ada pada bangsa Pakpak tidak ada perbedaan dan semua sama dan seragam.

  Lister berutu dan Tandak Berutu dalam bukunya Adat dan Tata Cara Perkawinan

  

Masyarakat Pakpak (2006) , menjelaskan tentang adat perkawinan yang berlaku pada masyarakat

  Pakpak yang masih memegang adatnya. Buku ini berguna untuk mengungkapkan bagaimana adat perkawinan masyarakat Pakpak yang sesungguhnya. Buku ini secara khusus menyajikan bentuk upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh umumnya orang Pakpak, yakni: perkawinan Sitari-tari (merbayo), Sohom-sohom, Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke,

  

dan Mengalih . Ketujuh bentuk perkawinan ini memiliki ciri khasnya masing-masing, namun

  Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk upacara perkawinan yang biasa dilaksanakan dan dianggap paling ideal karena semua hak dan kewajiban dari kerabat pihak pengantin laki-laki dan pengantin perempuan telah terpenuhi. Bentuk perkawinan jenis ini dibicarakan lebih lanjut dan menjadi fokus utama buku ini. Pentingnya adat perkawinan Pakpak ini untuk diuraikan secara tertulis karena dikhawatirkan adat perkawinan Pakpak akan hilang karena generasi tua pun tidak konsisten mempertahankan adatnya. Dan generasi mudanya pun tidak paham terhadap adatnya sendiri, karena orangtuanya sendiri pun mungkin tidak memahami secara rinci.

  Togar Nainggolan dalam bukunya Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan

  

Identitas. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba

  menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka menghilangkan identitas asli dan mengalami perubahan identitas etnik. Suku Batak Toba selaku golongan Batak Toba mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Yang diperlukan dalam buku ini adalah adanya pembahasan mengenai Batak Toba di Tapanuli Utara

  Kemudian pembahasan tentang nama ‘batak’. Sesudah itu akan dibicarakan juga Batak Toba sebagai salah satu subetnis dari batak.

  O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba dalam bukunya Migran Batak Toba di Luar Tapanuli

Utara: Suatu Deskripsi . Buku ini menggambarkan kedinamisan suku bangsa Batak Toba.

  Persebaran mereka ke daerah sekitar yang bermula dari Pusat Negeri Batak sudah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Kejadian tersebut sudah digambaran dalam berbagai kepustakaan yang membahas silsilah dan penyebaran marga-marga. Telaah kali ini berkenaan dengan penyebaran orang Batak Toba dalam konteks yang lebih modern serta dalam ruang lingkup yang lebih luas, dengan sajian sejak permulaan abad XX. Buku ini diperlukan untuk mengambil contoh Tano Perserakan orang Batak Toba ke wilayah Dairi dan Tapanuli Tengah.

  Buku lainnya yang juga ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah karya Sitor Situmorang dalam bukunya Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX. Buku ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan sosial politik antara abad ke-13 hingga abad ke-16.

  Dari proses pembentukan republik desa pemula, berbentuk lembaga bius, ke masa peralihan menuju kerajaan. Sistem masyarakat Batak Toba lama adalah sebuah sistem yang merupakan federasi sejumlah bius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius (paguyuban desa adat) dan jajaran pemerintahan. Secara umum, buku ini merupakan sebuah catatan perjalanan masyarakat Batak Toba dalam pasang surut laju modernisasi. Karena buku ini membahas perjalanan orang Batak Toba, maka banyak juga unsur-unsur kebudayaan asli mereka yang bisa penulis jadikan untuk referensi.

1.4 Metode Penelitian

  Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi tahapan harus dilalui untuk mencapai suatu hasil yang maksimal.Untuk itu dalam merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis tersebut dipakai metode sejarah dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan

   peninggalan masa lampau.

  Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan menggunakan metode

  

library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan field research (penelitian lapangan/

  studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukandengan mengumpulkan buku-buku, skripsi, maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Tinjauan pustaka diambil dari perpustakaan USU, perpustakaan UNIMED dan perpustakaan Daerah Medan. Adapun, penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terutama pada informan-informan yang dianggap mampu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, Informan kunci adalah Bapak Gustaman Tumanggor selaku ketua adat Siambaton Napa di Manduamas dan pak Remanto Tumanggor selaku pendeta.Baik informan yangberetnis Pakpak sendiri maupun informan yang beretnis non Pakpak seperti etnis Batak Toba di daerah yang ditulis tersebut.

5 Louis Gottschalk, “Mengerti Sejarah”, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, hlm 32.

  Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan orang Pakpak dan Batak Toba, kritik ini disebut dengan kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keotentikan, kritik ini disebut dengan kritik ekstern.Kritik yang dilakukan lebih banyak kepada kritik internal, hal tersebut terjadi karena kurangnya sumber primer yang diperoleh, sehingga sulit untuk melakukan kritik eksternal.

  Tahapan selanjutnya setelah uji dan analisis data ialah tahap interpretasi.Dalam tahapan ini, data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan satu analisa yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang ditulis.Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data/informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.

  Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, yang selalu akan berusaha memperhatikan aspek-aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan pembeberanrangkaian peristiwa dengan melibatkan perpektif sejarah dalam bentuk tulisan yangkritis dan bersifat ilmiah.