Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen Di Kecamatan Manduamas (1946-1992)

(1)

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR NIM : 090706014

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

Yang diajukan oleh :

Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim :090706014

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 1959123119850032005

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

Skripsi Sarjana Dikerjakan

O L E H

Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim : 090706014

Pembimbing,

Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 195912311985032005

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN SEJARAH

DISETUJUI OLEH : FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001


(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN :

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. ……… ( ……… )

2. ……… ( ……… )

3. ……… ( ……… )

4. ……….... ( ……… )


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhana Wata’ala yang selalu memberikan kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari Allah, dan Allah jua beserta orang-orang yang bersabar dan berserah diri. Dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang penuh inspirasi dan suri tauladan bagi kita. Shalawat dan salam atas beliau dan para sahabat, Amin Ya Rab.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga, pikiran, serta bimbingan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang penulis hormati dansayangi:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum. selaku ketua Departemen Imu Sejarah yang telah banyak memberikan dorongan, arahan, kemudahan, serta bimbingan yang memotivasi penulis, yang juga merupakan dosen yang mampu memupuk semangat para mahasiswa khususnya penulis dalam menjalani perkuliahan.

3. Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. sebagai sekretaris Departemen Ilmu Sejarah dan selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan banyak motivasi dan nasehat kepada penulis selama penulisan skripsi ini, juga telah sabar dalam menghadapi tingkah laku penulis dan tetap mengayomi. Terima kasih ibu.

4. Bapak Dr. Budi Agustono selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat terhadap penulis selama menjalani pekuliahan. Juga Seluruh Dosen, Staf Pengajar, serta pegawai


(7)

Administrasi di Departemen Ilmu Sejarah, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini, semoga membuahkan hasil kesuksesan bagi penulis.

5. Yang teristimewa kepada Ayahanda Aiptu Sarjono Tumanggor dan Ibunda tercinta Rusmaini Sihotang, yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran. serta telah benyak melimpahkan kasih sayang dan doa kepada penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar Sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada Oppu Gustaman Tumanggor selaku ketua adat, orang tua sekaligus narasumber saya yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini. Mauliate Oppu.

7. Kepada abangku Afrizal Setiono Tumanggor. Amd, dan ketiga adikku Muhammad Iqbal Damayanto Tumanggor, Hasya Silvia Tumanggor dan si kecil Rizka Aisyiyah Tumanggor, kalian adalah motivasi dan penyemangat hidupku. Juga seluruh keluarga yang ada di Manduamas terima kasih banyak atas supportnya.

8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah USU 2009 ada Doli, Saddam Pulungan, Sadam AT, Aprianta, Swandi, Hanter, Dedi, Poli, Nuel dan yang lebih dulu tamat ada Roni, Philip, Rizal, Lala, Gian, Hendra Nurlailisa, Dara, Fani, Ita dan semua rekan yang tak bisa disebutkan satu persatu kita pernah punya kenangan indah dan persahabatan adalah kenangan indah yang pasti akan terus kita jaga.

9. Abang-abang, kawan-kawan dan adik-adik HMI beserta seluruh keluarga besar HMI Komisariat FIB USU yang selalu mewarnai dinamika kampus kita ini dan banyak memberikan wawasan dan kedewasaan melalui ilmu yang kita bagi bersama.


(8)

10.Kawan-kawan, adek-adek sepermainan dalam keseharian penulis ada Ginanjar, Ikhwan, Bima, Ardiansyah, Surya, Arif, dan semuanya di lingkungan kampus. Juga untuk kawan-kawan kos bang Sandi, bang Ilham, bang Ucok Haratua, bang Gio, dan yang lainnya yang mungkin tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dengan kalian selama ini.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih sedalam – dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

Penulis


(9)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.

Tujuan dari penelitian di atas adalah ketertarikan penulis untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam budaya dan adat perkawinan Pakpak Kelasen. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, interaksi sosial dan adat perkawinan tersebut.Yang bisa dilihat adalah bagaimana adat perkawinan yang ideal dalam masyarakat Pakpak umumnya dan Pakpak Kelasen. Hal lainnya adalah menggambarkan faktor-faktor yangmenyebabkanperubahan adat perkawinan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara, tinjauan pustaka, dan data visual. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yaitu, melalui proses heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita.Hingga saat ini penulis masih diberi kesehatan dankemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul, PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP

MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992). Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini selain sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, juga untuk menjelaskan bagaimana pengaruh budaya oleh suku Batak Toba terhadap masyarakat Pakpak Kelasen yang menjadi salah satu kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Akhir Kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatian para pembaca dan pemerhati sejarah, kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai kita sekalian.

Medan, Februari 2015

Penulis

Muklis Algafarh Tumanggor


(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang masalah...1

1.2Rumusan Masalah...9

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...9

1.4Tinjauan Pustaka...11

1.5Metode Penelitian...14

BAB II BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA 2.1 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas...17

2.2 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba...20

2.3 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda...24

2.4 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba...27

2.5 Keadaan Penduduk...30

2.6 Pemukiman...32


(12)

2.8 Sistem Kekerabatan...35

2.9 Sistem Adat Perkawinan Pakpak Pada Umumnya...36

2.9.1 Bentuk Perkawinan...37

2.9.2 Tahapan Perkawinan...39

2.9.3 Upacara Perkawinan...50

2.9.4 Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Perkawinan...54

BAB III KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS 3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...55

3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...57

3.3 Interaksi Budaya Masyarakat Batak Toba di Manduamas...61

3.4 Wilayah Budaya Batak Toba dan Pakpak Kelasen...65

BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BUDAYA MASYARAKAT PAKPAK KELASEN MENGIKUTI BUDAYA BATAK TOBA 4.1 Pengaruh Terhadap Bahasa...74

4.2 Pengaruh Terhadap Adat Perkawinan...77

4.3 Faktor yang Mempengaruhi Budaya Pakpak Kelasen...87

4.3.1 Faktor Internal...88


(13)

4.3.1.2 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Perhatian Dari Masyarakat....89

4.3.1.3 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Dukungan Pemerintah...90

4.3.2 Faktor Eksternal...91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan...92

5.2 Saran...95

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.

Tujuan dari penelitian di atas adalah ketertarikan penulis untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam budaya dan adat perkawinan Pakpak Kelasen. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, interaksi sosial dan adat perkawinan tersebut.Yang bisa dilihat adalah bagaimana adat perkawinan yang ideal dalam masyarakat Pakpak umumnya dan Pakpak Kelasen. Hal lainnya adalah menggambarkan faktor-faktor yangmenyebabkanperubahan adat perkawinan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara, tinjauan pustaka, dan data visual. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yaitu, melalui proses heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari Bahasa Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian budaya dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, rasa dan karsa.

Unsur-unsur kebudayaan. Menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu: Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Religi, Kesenian. Dari ketujuh unsur kebudayaaan ini merupakan acuan bagi penulis dalam mengkaji budaya dan perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Pakpak Kelasen dan pengaruhkebudayaan suku Batak Toba terhadap kebudayaan Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas.

Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kecamatan Manduamas.Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalahPakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelimawilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanyadibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen. Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut,


(16)

dimana saat ini adat budaya Pakpak Kelasen telah berubah dengan menggunakan adat budaya Batak Toba.

Suku Pakpak mendiami wilayah yang disebut dengan Tanah Pakpak, yanglingkungan wilayahnya berbeda dengan wilayah Dairi yang sekarang, yaitu daerahKeppas yang daerahnya mulai dari batas Tele di Humbang Hasundutan sampaidengan ke perbatasan Aceh. Daerah Pegagan mulai dari daerah Silalahi, Paropo,sampai dengan pesisir Bllo Kotacane.Daerah Simsim mulai dari batas Dolok Sanggul sampai ke Penanggalan (Aceh). Daerah Kelasen yang sekarang masuk ke wilayahKabupaten Humbang Hasundutan yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah, dandaerah Boang dengan wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masuk daerahKabupaten Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Secara umum Pakpak dapat digolongkan menjadi lima bagian berdasarkanwilayah komunitas marga dan dialek masing-masing. Pertama, Pakpak Simsimyaitu orang orang Pakpak yang menetap dan memiliki wilayah Simsim. Marga yangmenetap di sana yaitu marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banuarea, BoangManalu, dan Cibro Sitakar. Kedua, Pakpak Keppas yaitu orang Pakpak yangmenetap dan berdialek Keppas dengan marga Ujung, Bintang, Bako, dan Maha,dengan menempati wilayah Kecamatan Silimapungga-pungga, Kecamatan TanahPinem, Kecamatan Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang. Ketiga, PakpakPegagan yang juga berdialek Pegagan dengan marga Lingga, Mataniari, Maibang,Manik, dan Siketang, menempati wilayah Kecamatan Pegagan Hilir, KecamatanSumbul, dan Kecamatan Tigalingga. Keempat, Pakpak Kelasen, yaitu orangPakpak yang berdialek Kelasen dengan marga Tinambunan, Tumangger, Maharaja,Turuten, Pinayungen, dan Nahampun atau sering disebut dengan Si Onom Hudon, kemudian marga Kesogihan, Meka, Berasa, Mungkur yang menempati wilayahKabupaten Humbang Hasundutn di Kecamatan Parlilitan, Kecamatan Tara Bintang,dan


(17)

Kabupaten Tapanuli Tengah di Kecamatan Barus dan Kecamatan Manduamas. Dan kelima, Pakpak Boang yang berdialek Boang, dengan marga Sambo, Penarik, danSaraan. Wilayah yang ditempati Pakpak Boang ini adalah Kabupaten Aceh Singkildan kota Subulussalam.

Sebutan suku Pakpak sering disebut dengan Pakpak Dairi. Dairi merupakan nama yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanah Pakpak yang dinamai dengan Dairi Landen. Tanah Pakpak dibagi-bagi oleh Belanda dalam berbagai wilayah, sehingga dengan mudah melumpuhkan perjuangan Sisingamangaraja XII yang pusat pemerintahannya di Pearaja dan beberapa wilayah Pakpak. Dengan demikian daerah administrasi Dairi Landen dapat dipisahkan dari daerah-daerah masyarakat Pakpak lainnya, misalnya di kecamatan Parlilitan (Kabupaten Tapanuli Utara menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam), serta Barus dan Manduamas (Kabupaten Tapanuli Tengah).1

1. Daerah Kelasen menjadi wilayah Tapanuli Utara.

Sejak kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1908, Tanah Pakpak resmi dibagi-bagi seperti :

2. Daerah Manduamas masuk wilayah Tapanuli Tengah.

3. Daerah Boang masuk wilayah Aceh Selatan.

Walaupun pada akhirnya untuk memperluas hegemoni kekuasaan Belanda di Sumatera, hak ulayat (tanah) Pakpak yang dulunya satu di bawah naungan Dairi secara administratif dipecah. Hasilnya dibawahi oleh tiga Daerah Tingkat II yakni:

1


(18)

1. Pakpak secara administratif Kabupaten Dairi adalah: Pakpak SIMSIM, Pakpak PEGAGAN, dan Pakpak KEPPAS.

2. Pakpak secara administratif Kabupaten Tapanuli yakni Pakpak KELASEN.

3. Pakpak secara administratif Kabupaten Aceh Selatan yakni Pakpak BOANG.

Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen, dengan marga Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinayungan dan Nahampun atau sering disebut juga dengan Si Onom Hudon. Sionom Hudon (bahasa Batak Toba) adalah terjemahan dari bahasa Pakpak yaitu si Ennem Koden. Si Onom Hudon secara harfiah berarti enam periuk.

Kecamatan Manduamas ini merupakan bagian dari Tanah Pakpak. Secara geografis Manduamas ini berbatasan dengan Kabupaten Dairi sebagai Kabupaten Induk Tanah Pakpak karena secara ideologi dan kebudayaan masih menyatu. Sebab Kabupaten Dairi merupakan bagian dari Pakpak awalnya sebelum dimekarkan. Untuk itu, walaupun telah terjadi pemisahan antara Pakpak dan Dairi, tetapi sebagai sebuah entitas masyarakat antara keduanya tidak dapat dipisahkan dari sisi ideologi dan kebudayaan yang ada di masyarakatnya karena memang keduanya memiliki keidentikan dalam banyak hal sebagai sebuah identitas masyarakat yang satu. Sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan. Perbatasan sebelah Timur ini jugalah yang menghubungkan Manduamas ke Barus2

2

Barus dikenal sebagai sentral niaga internasional pengekspor hasil-hasil alam, termasuk juga damar dan kemenyan yang berasal dari Pakpak.

sebagai bagian dari kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah yang juga dikenal sebagai jalur penetrasi Islam di wilayah ini. Bahkan, tidak hanya itu Barus juga menjadi sentral pertama perkembangan Islam di Indonesia secara umum sebagaimana yang banyak menjadi perhatian para ahli sejarah tentang sejarah awal masuknya Islam di Indonesia selalu merujuk Barus sebagai pusat niaga


(19)

internasional pada saat itu, yang dibuktikan sekarang banyak ditemukan bukti-bukti makam tua yang menunjukkan fakta tersebut ada.3

Secara umum etnis Pakpak mengenal dua bentuk upacara (kerja).Yangpertama disebut dengan Kerja Baik, yaitu yang berhubungan dengan upacara sukacita.Yang termasuk upacara baik adalah upacara perkawinan, kelahiran anak, panen, dan lain-lain.Sedangkan yang kedua adalah upacara Kerja Njahat atau upacara yang berhubungan dengan perasaan dukacita, seperti upacara kematian.

Letak Manduamas yang strategis ini kemudian menunjukkan bahwa Pakpak dilingkupi daerah Dairi dan Humbang Hasundutan yang secara geografis tentu saja perbatasan daerah ini memiliki pengaruh dalam dalam masyarakatnya, terutama dalam hal kedekatan budaya antar kedua daerah ini dan termasuk juga penyebaran masyarakat Pakpak di dalamnya merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari mengingat perbatasan ini juga menunjukkan adanya hubungan ekonomi antar kedua daerah terutama Manduamas sebagai bagian dari Pakpak itu sendiri.

4

3

Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus, Sumatera Utara: Lobu Tuo, Fansur Barus

lebihdahulu dari Sriwijaya, Lemuri, Perlak, Pasai dan Majapahit (Medan: Sasterawan, 1973), hlm. 6

4

Berutu, Lister,Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak. Monora: Medan, 2002, hlm. 5

Salah satu upacara Kerja Baik pada masyarakat etnis Pakpak adalah perkawinan.Sebab perkawinan merupakan suatu tahap yang penting dilalui oleh setiap insanmanusia.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa: “Perkawinan merupakan peralihan yang terpenting dari life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga yaitu perkawinan”.


(20)

Saat ini kebudayaan Pakpak yang juga merupakan kebudayaan PakpakKelasen telah mengalami perubahan.Kebudayaan yang berubah itu adalah dalam hal upacara adat perkawinan.Adat Pakpak sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar warga Pakpak Kelasen dan beralih menggunakan upacara adat perkawinan yang baru, yaitu adat Batak Toba.Penggunaan adat Pakpak dalam masyarakat Pakpak Kelasenmulai berkurang pemakaiannya.Bila melaksanakan adat pesta perkawinan yangdipakai adalah adat Batak Toba, meskipun perkawinan antara sesama etnis PakpakKelasen adat yang dipakai tetap adat Batak Toba.Akan tetapi yang mengalamiperubahan hanya dalam adat perkawinan saja, sedangkan adat Pakpak lainnya masih tetap dipakai oleh masyarakat Pakpak Kelasen.Hal ini disebabkan orang Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di sekitar desa Si Onom HudonKecamatan Manduamas.Dulunya juga suku Pakpak Kelasen banyak yang berasal dari suku Batak Toba.Perubahan upacara adat perkawinan ini disebabkan terjadinyaperkawinan antara Pakpak Kelasen dan Batak Toba dengan menggunakan adat BatakToba.

Atas dasar pemikiran diataslah penulis menulis skripsi ini dengan judul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)”.Konsep dasar pengambilan judul tersebut adalah bagaimana kebudayaan etnis Batak Toba mudah diterima oleh etnis Pakpak Kelasen yang dengan serta merta memasukkan unsur-unsur budaya Batak Toba ke dalam budaya Pakpak. Penulis juga membuat batasan waktu pada tahun 1946-1992 dalam skripsi ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Gustaman Tumanggor selaku tokoh adat di Manduamas, sejak tahun 1946 dia memprakarsai peresmian 19 kampung di Manduamas tepatnya tanggal 5 April 1946. Sejak saat itu Manduamas semakin ramai kegiatan masyarakatnya sekaligus sebagai awal perjalanan kebudayaan di sana antara penduduk lokal dan para pendatang. Kemudian tahun 1992 sebagai


(21)

periode akhir penelitian ini karena berdasarkan PP No. 35 / 1992 tanggal 13 Juli 1992 tentang pembentukan 18 kecamatan yang ada di Sumatera Utara, maka Kabupaten Tapanuli Tengah mendapat dua daerah pemekaran yakni Kecamatan Manduamas yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Barus dan juga Kecamatan Kolang hasil pemekaran dari Kecamatan Sibolga.

Dibutuhkan suatu penelitian tentang kenapa orang Pakpak tidak konsisten dan selalu mengalah atau beradaptasi dengan adat orang lain dalam adat perkawinan. Berbeda dengan orang Karo dan Toba yang selalu konsisten dengan adatnya walaupun kawin dengan etnis lain. Secara umum memang diketahui penyebabnya, antara lain faktorsejarah, faktor pendidikan dan faktor politik. Faktor sejarah dan politik misalnya sangat berperan dengan memecah belah wilayah komunitas Pakpak dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sehingga wilayah tradisional Pakpak terbagi dalam beberapa kabupaten.

1.2 Rumusan masalah

Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan panulis dalam pengarahan pengumpulan data dalam rangka untuk memperoleh data yang relevan. Hal ini menjadi landasan dalam penulisan nantinya pada bab-bab selanjutnya sehingga penulisan lebih mudah dan terarah karena telah berpedoman pada rumusan masalah.

Berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini maka ada beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu:


(22)

2. Bagaimana keberadaan masyarakat Batak Toba di Manduamas?

3. Apa faktor yang mempengaruhi budaya masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti budaya Batak Toba?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan.

Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat menjelaskan budaya Pakpak Kelasen sebelum masuknya Batak Toba ke Manduamas

2. Untuk dapat menjelaskan bagaimana keberadaan Batak Toba dan pengaruh budayanya terhadap masyarakat Pakpak Kelasen.

3. Untuk dapat menjelaskan apa faktor yang mempengaruhi masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti budaya Batak Toba.

Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat bagi kita, yaitu:


(23)

2. Memberikan informasi tentang kebudayaan Pakpak Kelasen bagi yang ingin mengetahui adat Pakpak Kelasen.

3. Memberikan bahan masukan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat Pakpak Kelasen dan bagi masyarakat Pakpak umumnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Selain melakukan penelitian ke lapangan, peneliti juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku dan laporan serta artikel yang berkaitan sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian.

Lister Berutu dan Nurbani Padang dalam bukunya Tradisi dan Perubahan, Konteks Masyarakat Pakpak Dairi (1998), menjelaskan tentang segala jenis tradisi dan adat suku Pakpak beserta perubahan-perubahan budayanya. Pembahasan utamanya tentang upacara adat masyarakat Pakpak Dairi yang terdiri dari upacara sukacita (kerja baik) dan upacara dukacita (kerja njahat). Juga tentang aspek-aspek lain yang berhubungan dengan Budaya Pakpak seperti marjinalisasi pemerintahan kuta dan privatisasi pemilikan tanah adat Pakpak, upacara menanda tahun dan maknanya bagi kelestarian lingkungan, genderang si lima; ensembel; musik adat masyarakat Pakpak Dairi, bentuk morfofomenik dalam bahasa Pakpak Dairi, bahasa Pakpak dan gambaran masyarakat pemakainya, dan asosiasi marga-marga orang pakpak di Kotamadya Medan: suatu kajian tentang misi budaya. Budaya Pakpak yang dibahas dalam buku ini


(24)

mencakup kebudayaan Pakpak secara umum dan luas. Dari kelima suak yang ada pada bangsa Pakpak tidak ada perbedaan dan semua sama dan seragam.

Lister berutu dan Tandak Berutu dalam bukunya Adat dan Tata Cara Perkawinan Masyarakat Pakpak (2006), menjelaskan tentang adat perkawinan yang berlaku pada masyarakat Pakpak yang masih memegang adatnya. Buku ini berguna untuk mengungkapkan bagaimana adat perkawinan masyarakat Pakpak yang sesungguhnya. Buku ini secara khusus menyajikan bentuk upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh umumnya orang Pakpak, yakni: perkawinan Sitari-tari (merbayo), Sohom-sohom, Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke,

dan Mengalih. Ketujuh bentuk perkawinan ini memiliki ciri khasnya masing-masing, namun

Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk upacara perkawinan yang biasa dilaksanakan dan dianggap paling ideal karena semua hak dan kewajiban dari kerabat pihak pengantin laki-laki dan pengantin perempuan telah terpenuhi. Bentuk perkawinan jenis ini dibicarakan lebih lanjut dan menjadi fokus utama buku ini. Pentingnya adat perkawinan Pakpak ini untuk diuraikan secara tertulis karena dikhawatirkan adat perkawinan Pakpak akan hilang karena generasi tua pun tidak konsisten mempertahankan adatnya. Dan generasi mudanya pun tidak paham terhadap adatnya sendiri, karena orangtuanya sendiri pun mungkin tidak memahami secara rinci.

Togar Nainggolan dalam bukunya Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan

Identitas. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba

menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka menghilangkan identitas asli dan mengalami perubahan identitas etnik. Suku Batak Toba selaku golongan Batak Toba mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Yang diperlukan dalam buku ini adalah adanya pembahasan mengenai Batak Toba di Tapanuli Utara yaitu membahas dunia orang batak di daerah asalnya. Pertama tentang asal-usul orang batak.


(25)

Kemudian pembahasan tentang nama ‘batak’. Sesudah itu akan dibicarakan juga Batak Toba sebagai salah satu subetnis dari batak.

O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba dalam bukunya Migran Batak Toba di Luar Tapanuli

Utara: Suatu Deskripsi. Buku ini menggambarkan kedinamisan suku bangsa Batak Toba.

Persebaran mereka ke daerah sekitar yang bermula dari Pusat Negeri Batak sudah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Kejadian tersebut sudah digambaran dalam berbagai kepustakaan yang membahas silsilah dan penyebaran marga-marga. Telaah kali ini berkenaan dengan penyebaran orang Batak Toba dalam konteks yang lebih modern serta dalam ruang lingkup yang lebih luas, dengan sajian sejak permulaan abad XX. Buku ini diperlukan untuk mengambil contoh Tano Perserakan orang Batak Toba ke wilayah Dairi dan Tapanuli Tengah.

Buku lainnya yang juga ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah karya Sitor Situmorang dalam bukunya Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX. Buku ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan sosial politik antara abad ke-13 hingga abad ke-16. Dari proses pembentukan republik desa pemula, berbentuk lembaga bius, ke masa peralihan menuju kerajaan. Sistem masyarakat Batak Toba lama adalah sebuah sistem yang merupakan federasi sejumlah bius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius (paguyuban desa adat) dan jajaran pemerintahan. Secara umum, buku ini merupakan sebuah catatan perjalanan masyarakat Batak Toba dalam pasang surut laju modernisasi. Karena buku ini membahas perjalanan orang Batak Toba, maka banyak juga unsur-unsur kebudayaan asli mereka yang bisa penulis jadikan untuk referensi.


(26)

1.4 Metode Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi tahapan harus dilalui untuk mencapai suatu hasil yang maksimal.Untuk itu dalam merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis tersebut dipakai metode sejarah dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.5

5

Louis Gottschalk, “Mengerti Sejarah”, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, hlm 32.

Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan menggunakan metode

library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan field research (penelitian lapangan/ studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukandengan mengumpulkan buku-buku, skripsi, maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Tinjauan pustaka diambil dari perpustakaan USU, perpustakaan UNIMED dan perpustakaan Daerah Medan. Adapun, penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terutama pada informan-informan yang dianggap mampu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, Informan kunci adalah Bapak Gustaman Tumanggor selaku ketua adat Siambaton Napa di Manduamas dan pak Remanto Tumanggor selaku pendeta.Baik informan yangberetnis Pakpak sendiri maupun informan yang beretnis non Pakpak seperti etnis Batak Toba di daerah yang ditulis tersebut.


(27)

Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan orang Pakpak dan Batak Toba, kritik ini disebut dengan kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keotentikan, kritik ini disebut dengan kritik ekstern.Kritik yang dilakukan lebih banyak kepada kritik internal, hal tersebut terjadi karena kurangnya sumber primer yang diperoleh, sehingga sulit untuk melakukan kritik eksternal.

Tahapan selanjutnya setelah uji dan analisis data ialah tahap interpretasi.Dalam tahapan ini, data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan satu analisa yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang ditulis.Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data/informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.

Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, yang selalu akan berusaha memperhatikan aspek-aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan pembeberanrangkaian peristiwa dengan melibatkan perpektif sejarah dalam bentuk tulisan yangkritis dan bersifat ilmiah.


(28)

BAB II

BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA 2.1 Letak dan Keadaan Geografis

Secara administrasi desa Pasar Onan Manduamas termasuk dalam wilayahKecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten ini merupakansatu-satunya yang mempunyai wilayah Pakpak yaitu Kecamatan Manduamas danKecamatan Barus yang dikenal dengan nama Suak ataupun wilayah Kelasen. Kecamatan Manduamas berada di pantai Barat Sumatera. Luas Kecamatan ini secara keseluruhan mencapai99,55 Km2, dengan batas-batas terdiri dari :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sirandorung

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia

Letak astronomi desa/kecamatan secara umum terletak pada Koordinat 02° 02’05” - 02° 09’29” Lintang Utara, 98° 17’18” - 98° 23’28” Bujur Timur. Kecamatan Manduamas tergolong daerah beriklim tropis dan hanya ada dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Antara Januari dan Desember suhu udara maksimum bisa mencapai 32,80C dan suhu minimum mencapai 20,90C. Rata-rata suhu udara di Kecamatan Manduamas sebesar 26,30C. 6

Keadaan lahan dari Kecamatan Manduamas sebagian besar diadaptasi dataran rendah dan tanahnya yang subur dan kemiringan lahan yang bervariasi. Sebelum kedatangan Hindia

6

Katalog BPS, “Manduamas Dalam Angka 1992”, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah&


(29)

Belanda ke Indonesia produksi dari Kecamatan Manduamas berupa rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu yang menjadi dominasi mata pencaharian yang diperdagangkan. Sesuai dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian masyarakat Manduamas umumnya adalah bercocok tanam.Untuk lenih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

No Desa/Kelurahan Luas

(Km2)

Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan

1. Manduamas Lama 23.37 23.48

2. Pasar Onan Manduamas 3.89 3.91

3. Binjohara 28.44 28.57

4. Pagaran Nauli 11.36 11.41

5. Sarma Nauli 4.77 4.79

6. Saragih 11.01 11.06

7. Tumba 4.52 4.54

8. Tumba Jae 5.21 5.23

9. Lae Monong 6.98 7.01

Jumlah 99.55 100

Sumber : Kantor Camat Kecamatan Manduamas

Berdasarkan topografi Kecamatan Manduamas berada di dataran rendah dan dari aspek geografis, desa-desa yang tercakup dalam Kecamatan Manduamas adalah sebagai berikut: Kelurahan PO Manduamas (landai, sebagian rawa), Desa Manduamas Lama (lereng, punggung bukit, perbukitan), Desa Tumba (lereng, punggung bukit, perbukitan, landai, rawa), Desa Binjohara (landai, dataran), Desa Saragih (lereng, punggung bukit, perbukitan), Desa Pagaran Nauli (lereng, punggung bukit, perbukitan), dan Desa Sarma Nauli (landai, dataran).


(30)

2.2 Keadaan Demografi

Penduduk Manduamas mayoritas adalah Suku Pakpak Kelasen. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Bahasa Pakpak dan Bahasa Batak Toba. Selain itu ada juga suku Batak Toba. Suku Batak Toba adalah suku terbanyak kedua di Manduamas. Lahan Kecamatan Manduamas sangat cocok untuk tanaman muda dan keras seperti kelapa sawit, karet dan jagung. Salah satu tanaman utama di Manduamassaat ini adalah kelapa sawit.Sistem mata pencaharian mayoritas penduduk desa Kecamatan Manduamas adalah bertani.Ada juga beberapa orang yang bekerja sebagai pegawai negeri seperti guru, namun mereka juga bertani sebagai pekerjaan sampingan.Sebagian pendudukada juga yang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta dan mereka jugamempunyai lahan pertanian sebagai tambahan untuk kehidupan mereka sehari-hari.Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 penduduk Manduamas terdiri dari 19.449 jiwa, masing-masing terdiri dari 9845 laki-laki dan 9676 perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut.

No Kelompok Umur Jumlah

1 0-6 Tahun 5091

2 7-12 Tahun 4502

3 13-18 Tahun 2918

4 19-30 Tahun 2542

5 31-45 Tahun 2039

6 46-59 Tahun 1398

7 60 Tahun keatas 1031


(31)

Berdasarkan tabel di atas, struktur penduduk Kecamatan Manduamas tahun 1990 tergolong berstruktur muda, dimana jumlah penduduk yang berumur di bawah 15 tahun sebanyak 7570 orang. Penduduk berumur antara 15-64 tahun sebanyak 11304 orang. Sedangkan penduduk berumur 60 tahun keatas sebanyak 1031 orang.

2.3 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas

Mengenai asal usul dari etnis Pakpak Kelasen belum dapat dipastikan darimana asal nenek moyang mereka.Tetapi ada dugaan bahwa nenek moyang etnisPakpak Kelasen berasal dari India Selatan.Asal usul nenek moyang etnis Pakpak Kelasen berasal dari India Selatan, yaitu berada di daerah Kalasem (Kalasemmerupakan tempat suci bagi orang India).Pada awalnya orang India Selatan datang ke Nusantara melalui daerah pesisir pantai barat yaitu Barus.Sebab Barus merupakan pusat bandar perdagangan yang cukup ramai didatangi oleh musafir asing yangdatang ke Nusantara.7

Cerita lain menyatakan bahwa pernah datang serombongan armada dariIndia Selatan yang terdampar di daerah pesisir barat pulau Sumatera yaitu Barus.Orang-orang India tersebut adalah orang Tamil yang jumlahnya kurang lebih 1500orang dan mereka menyebar masuk ke pedalaman Barus dengan membawa armadagajah putih sebagai alat transportasi. Inilah yang diyakini sebagai nenek moyang etnis Pakpak Kelasen.Pada waktu orang India itu datang ke Barus, mereka juga membawa kebudayaan asli mereka dari India Selatan.Ini dapat dilihat dari bukti peninggalan kebudayaan Pakpak umumnya yang juga merupakan pengaruh kebudayaan

7

Ery Soedewo ,Jejak Keindiaan (Hindu-Buddha) Dalam Kebudayaan Pakpak, dalam Berkala


(32)

India,seperti Mejan (patung batu yang berbentuk gajah yang sedang ditunggangi).Patung ini masih ada dan terdapat di Kabupaten Pakpak Barat.Penyebutan nama‘Kelasen’ juga berasal dari India. Pada awalnya kataKelasen berasal dari kata ‘Kalasem’ yang merupakan suatu tempat di India Selatan.Lambat laun kata Kalasem ini berubah menjadi Kelasen yang menjadi sub bagianetnis Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah.8

Persamaan lain antara etnis Pakpak Kelasen dengan orang India adalahdalam hal pembakaran mayat. Sebelum masuknya pengaruh Agama Kristen ke daerahKelasen, pembakaran mayat merupakan tradisi yang dilakukan jika ada orang yangmeninggal.Sama halnya dengan di India juga melakukan pembakaran mayat jika ada yang meninggal dunia. Pembakaran mayat ini termasuk dalam upacara Njahat dalam adat Pakpak. Namun pembakaran mayat ini tidak dilakukan lagi sejak masuknya Agama Kristen ke daerah Pakpak Kelasen.Begitu juga dengan bumbu masakan tradisional Pakpak umumnya tetapmenyerupai dengan bumbu khas India, yaitu menggunakan kunyit.Dalam masakanPakpak, kunyit sangat dominan digunakan misalnya masakan tradisional Pakpak,yaitu Pelleng9yang menggunakan kunyit.10

Pakpak Kelasen terdiri dari dua bagian berdasarkan asal-usulnya.Pertamaadalah berasal dari India Selatan yang merupakan penduduk asli di Kelasen.Keturunan dari India ini adalah Mpu Mada sebagai nenek moyang etnis PakpakKelasen.Sebelum Mpu Mada datang ke daerah Kelasen, pada awalnya dia menetapdi Barus dan menikah dengan boru Pohan. Dari hasil perkawinan itu, Mpu Madamendapatkan 6 orang anak yang juga menjadi marga asli Pakpak

8

Ibid, hal 41

9

Makanan tradisional Pakpak ini terbuat dari beras yang ditanak hingga menjadi bubur beras. Selama proses memasak dicampurkan bumbu seperti bawangrambu, cabe, jahe, lada, santan kelapa dan yang paling utama adalah kunyit. Semua bumbu dimasukkan hingga tercampur merata.

10


(33)

Kelasen, yaituTendang (Tondang), Rea (Banuarea), Manik, Gajah, Berasa, dan Beringin. Merekapindah ke daerah Kelasen yang pada waktu itu belum ada yang menguasai.

Kedua, etnis Pakpak Kelasen yang berasal dari Batak Toba dan menjadibagian dari Pakpak Kelasen.Marga Batak yang datang ke Kelasen yaitu margaSimbolon Tuan atau Oppu Tuan Nahoda Raja.Sedangkan keturunan dari Nahoda Rajaterdiri dari 6 marga atau yang disebut dengan Si Onom Hudon/Siennem Kodin11

Sejak saat itu keturunan Mpu Mada mulai meninggalkan Tanah Kelasen danmerantau untuk mencari daerah kekuasaan di daerah lain yang belum dikuasai, seperti marga Tendang pergi ke wilayah Simalungun (marga Tondang), di Tapanuli Selatanmenjadi marga Matondang. Manik dan Banuarea pergi ke Salak (Kabupaten PakpakBarat), Gajah dan Beringin pergi ke Pakkat dan Manduamas (Tapanuli Tengah), yang tinggal hanya marga Berasa.Sehingga ini memudahkan bagi keturunan Si OnomHudon menguasai seluruh tanah Pakpak Kelasen.Terjadilah perselisihan antaramarga Berasa dengan marga Si Onom Hudon karena penguasaan tanah yangdilakukan marga Si Onom Hudon.Marga Berasa yang hanya tinggal sendiri tidakdapat mempertahankan daerah kekuasaannya, membuat marga Berasa harus keluardari tanah Kelasen dan pergi ke wilayah Aceh Singkil.Akibat penguasaan tanah yang

.Keturunan SimbolonTuan (Nahoda Raja) adalah marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan,Pinayungan, dan Nahampun.Ketika Nahoda Raja datang ke daerah Kelasen, awalnyadia melakukan adaptasi dengan keturunan Mpu Mada.Awalnya sebagai pendatangyang belum memiliki tanah kekuasaan Tuan Nahoda Raja meminta sedikit tanahuntuk tempat tinggal dan untuk bertani.Maka keturunan Mpu Mada memberikantanah, yaitu Pearaja (Si Onom Hudon Utara).

11

enam periuk yang berarti enam keturunan Nahoda Raja yang telah mandiri dengan membagikan sebidang tanah dengan sebutan Si Onom Hudon


(34)

dilakukan oleh marga Si Onom Hudonmembawa dampak buruk bagi marga-marga Si Onom Hudon.Hasil pertanian, ternakmengalami kegagalan dan sangat merugikan bagi marga Si Onom Hudon.Akhirnyamereka memanggil kembali marga Berasa yang telah pergi ketika terjadi perselisihan.Marga Si Onom Hudon memberikan kembali tanah kepada marga Berasa sebagaidaerah kekuasaannya.Penyerahan tanah ini dilakukan dengan upacara adat.Marga Si Onom Hudon memberikan tanah kepada marga Berasa mulai dari Sigulang-gulangsampai ke Siekur-ekur (yang sekarang Si Onom Hudon Toruan).Sejak saat itu antara marga Berasa dan marga Si Onom Hudon bersaudara dan menjadi bagian dari PakpakKelasen. Akan tetapi marga Berasa tidak sama dengan marga Si Onom Hudon atauParna, karena selama ini banyak orang mengatakan Berasa masuk ke marga Parna.Sewaktu Mpu Mada tinggal di Barus dia bersama-sama dengan Mpu Bada (margaSigalingging) dan menikahi boru Pohan yang merupakan kakak beradik.Inilahsebabnya selama ini orang mengatakan bahwa marga Berasa masuk ke Parna.

2.4 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba

Pada masa itu seorang nenek moyang yang bernama Oppu Tuan Nahoda Raja Simbolon datang dari Samosir turun di daerah Parlilitan tepatnya di Gunung Sintua Kecamatan Parlilitan sekitar tahun 1700. Dia bersama dua istrinya yang satu adalah Boru Sihotang dan yang kedua adalah Boru Limbong. Setelah bertahun-tahun tinggal di sana, mereka dikaruniai delapan anak, tujuh laki-laki satu perempuan (Si Onom Hudon).

Pada mulanya mereka hidup dengan bercocok tanam di sana, dan seiring berjalannya waktu mereka menanam kemenyan untuk komoditi, yang sampai sekarang kemenyan itu masih ada di Kecamatan Parlilitan. Setelah itu mereka mendengar adanya kapur barus yang sangat


(35)

berharga dan mahal harganya pada waktu itu sehingga mereka berencana untuk mengambil kapur barus di daerah Gunung Sijagar, yang sekarang menjadi daerah Siambaton Napa. Dan setelah mereka melihat bahwa memang benar kayu kapur itu banyak dari Gunung Sijagar daerah dataran rendah sampai ke perbatasan Aceh semuanya ini diambil mereka bertahun-tahun dan hasilnya dijual ke Barus, dan pembelinya adalah orang luar khususnya Mesir. Sehingga di pedalaman itulah terkenal kapur barus hasil dari olahan Si Onom Hudon.

Penjelasan mengenai nama Manduamas, sewaktu nenek moyang Si Onom Hudon mengambil kayu kapur barus, kayu kapur itu dibagi menjadi dua, yaitu kayu dengan intinya. Jadi kayunya diambil dari hutan dan kayunya dibagi menjadi dua bagian, dan istilahnya adalah “mendua” dalam bahasa Dairi yaitu membagi dua. Jadi orang-orang pada waktu itu latah mengucapkan hendak pergi ke tempat pengolahan kayu kapur itu sebagai Manduamas, karena kapur barus pada waktu itu dianggap sama dengan emas dengan selisih harga yg kecil dengan Kapur Barus. Waktu itu nama kapur barus adalah “Haburuan” artinya kapur atau kayu kapur dalam bahasa Dairi. Karena transaksinya dilakukan atau dijual di kota Barus makanya namanya lazim disebut sebagai kapur barus.12

Semenjak purbakala nama Barus, sebuah kota pelabuhan di Tapanuli sudah terkenal di dunia sampai Eropa. Yang menjadikannya terkenal ialah kamfer (kapur barus) dan kemenyan, yang diekspor melalui kota itu. Sarjana Yunani, Ptolomeus pada tahun 150 sesudah Masehi telah mencantumkannya dalam buku ilmu buminya. Demikian pula seorang Arab bernama Ibn Chord hadbheh dalam salah satu tulisannya pada tahun 846 sesudah Masehi menguraikan tentang Barus. Dalam kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang India turut juga tersebut daerah itu.

12Wawancara


(36)

Demikian harumnya nama Barus yang menarik pedagang-pedagang dari tempat-tempat yang jauh untuk membeli hasinya.13

Di sisi lain, dari daerah pedalaman Batak Toba (Kabupaten Tapanuli Utara yang sekarang), terdapat jalan setapak atau disebut juga jalan pengangkut garam (parlanja sira) ke daerah pesisir barat dan timur. Jalan setapak ini terbentang dari hulu Sungai Asahan, daerah Uluan (Proyek Sigura-gura Asahan) menuju Bandar Pulo, sebuah pangkalan dagang dengan Pantai Timur Sumatera (Asahan). Sejak zaman prasejarah hingga permulaan abad ke-19 hampir seluruh pemenuhan kebutuhan daerah Toba berorientasi ke Pesisir Barat, yaitu Dusun Tapian Nauli, Sorkam dan Barus. Terutama Barus yang sejak berabad-abad lalu sudah disinggahi perahu-perahu layar antarbenua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper (kapur barus).14

Dari berbagai distrik Toba, termasuk itu Silundung, Humbang Hasundutan, dan Pulau Samosir terbentang jalan-jalan setapak yang menghubungkan pelabuhan Barus dengan pasar-pasar besar di pedalaman. Dari ketiga distrik tersebut masing-masing memiliki satu pasar-pasar besar yang disebut Onan Saksing atau Onan na Marpatik, yang secara harfiah berarti “Lembaga Pasar Besar” yang dilindungi oleh hukum/undang-undang Paguyuban Adat. Pelabuhan Barus selama berabad-abad berfungsi sebagai pintu ke dunia luar bagi pedalaman Toba. Perdagangan antara daerah pesisir dan Toba menjadi pintu masuk bagi pengaruh dunia luar, baik di bidang kebudayaan maupun di bidang keagamaan dan kemasyarakatan (politik) yang meliputi unsur budaya Hindu-Buddha sebelum abad ke-13 dan pengaruh kebudayaan pesisir (Melayu-Islam) sejak abad ke-15.

13

N. Siahaan B.A., “Sedjarah Kebudajaan Batak”, Medan: CV Napitupulu & Sons, 1964, hal 22.

14


(37)

Dunia luar bagi penduduk Toba di masa lampau adalah semua daerah tetangga. Dairi Pakpak dan Karo di sebelah utara, Simalungun di pantai timur Danau Toba, termasuk Asahan dan Angkola-Mandailing di sebelah selatan. Sementara di sebelah Barat adalah daerah pesisir antara Teluk Tapiannauli dan Pelabuhan Barus. Orang Batak Toba mempunyai hubungan dagang dengan Dairi Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Batak Toba dan Pakpak Dairi sudah terjalin sejak zaman dahulu sampai sekarang sehingga hubungan yang terjalin tak sebatas hubungan karena perniagaan saja tetapi karena kesamaan budaya dan nenek moyang mereka.

2.5 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda

Zaman dahulu kala sebelum penjajahan Belanda suku Pakpak yang lima kelompok atau lima suak yakni : suak Singkil Boang, Suak Kelasen, Suak Simsim, Suak Keppas, dan Suak Pegagan adalah suatu kesatuan dalam bahasa dan adat istiadat. Jauh sebelum kita merdeka Belanda, Inggris, Perancis, Amerika, Portugis dan Spanyol dan negara barat lainnya sudah masuk ke Pantai Barat Sumatera Utara dengan maksud untuk membeli hasil hutan dari daerah Sumatera. Pada masa itu sudah terjadi perebutan kekuasaan melalui hasil perdagangan hasil hutan yang laris dijual di Eropa.

Hasil hutan tersebut antara lain: damar, kemenyan, kapur barus, cula badak, lada dan lain-lain. Dengan adanya perebutan hasil hutan maka terjadilah peperangan di negara Eropa antara Belanda dengan Inggris. Penyelesaian peperangan ini muncullah Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824 dengan isi perjanjian bahwa inggris harus menyerahkan seluruh wilayah atau daerah yang dikuasainya selama ini di Pantai Barat Sumatera kepada Belanda, sebaliknya


(38)

Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasainya di Semenanjung Malaka yang selama ini dikuasainya selama perdagangan.

Sejak itulah Belanda mulai menguasai Pantai Barat Sumatera yakni Pelabuhan Barus dan Singkel, merupakan pelabuhan paling ramai. Belanda mulai membuat perjanjian dengan tokoh-tokoh masyarakat, pengetua masyarakat dengan perjanjian menguntungkan sepihak. Pada awalnya perjanjian itu banyak yang kurang memenuhi, maka Belanda mulai membuat perjanjian dengan lebih mempertajam lagi dimana bangsa kita tidak dibenarkan berdagang atau menjual hasil hutan yang dicarinya kepada orang lain. Bilamana ada yang tidak mematuhinya maka Belanda tidak segan-segan menekan dengan menggunakan militer atau tentaranya untuk kepentingan perdagangan ini.

Belanda memasuki daerah Tapanuli Tengah dan dengan kelihaian atau kelicikannya yaitu dengan memberikan hadiah atau upah. Pada awalnya di daerah Toba, Belanda juga mendapat tantangan karena kurang sesuainya dengan budaya adat Batak, akan tetapi karena kelicikannya dan dengan memberi hadiah maupun upah besar kepada orang-orang tertentu, dimana kelak orang ini yang akan dipergunakan untuk menarik yang lainnya. Belanda pernah mendapat perlawanan Sisingamangaraja XII, karena Sisingamangaraja XII merasa kurang aman bagi perjuangannya takut apabila ada yang akan menghianati perjuangannya maka Sisingamangaraja XII berusaha bergabung dengan pejuang-pejuang Pakpak.

Sisingamangaraja XII yang sudah mengetahui bahwa orang-orang Pakpak gigih berjuang dan tidak mau menyerah kepada Belanda (lebih baik menyingkir ke hutan atau mengungsi daripada dijajah Belanda). Pernah terjadi dalam suatu peperangan antara pasukan Belanda dengan pasukan Gerilya, di pihak suku Pakpak banyak yang korban dan dipihak


(39)

Belanda ada seorang Controleur yang mati dan tidak diizinkan oleh masyarakat untuk dikuburkan di tanah Pakpak maka terpaksa dibawa oleh Belanda ke Siborong-borong untuk dikebumikan. Belanda mempelajari Bahasa Toba dan setelah mengetahui Bahasa Toba maka mereka sudah dapat menghimpun orang-orang Toba. Belanda mendirikan gereja dengan berbahasa Toba yakni: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan mencetak atau mengeluarkan buku bibel (Alkitab), buku nyanyian dan lain-lain dengan Bahasa Toba. Pada saat pengembangan Agama Kristen yang dikembangkan oleh Belanda melalui Zending Agama Kristen dimana dari Toba HKBP akan masuk ke Tanah Pakpak.

Pada prinsipnya suku Pakpak tidak setuju melihat cara Belanda menyanyikan lagu-lagu rohani (lagu-lagu agama Kristen) yang nyanyi bersama-sama. Sedangkan bagi suku pakpak sejak dahulu kala adalah tabu bilamana seorang anak gadis menyanyi didengar oleh besannya juga sebaliknya. Masyarakat Pakpak menganggap bahwa Agama Kristen dengan Zending HKBP ini adalah merusak tatakrama kehidupan suku Pakpak. Dengan adanya pemikiran atau perasaan yang sedemikian itu maka ada yang nekad membunuh penginjil dan sempat terbunuh dua orang penginjil yakni Van Lyman dan Munson di daerah Pakpak. Dengan terbunuhnya kedua penginjil tersebut maka Belanda mengirim berita ke Nederland Eropa maka muncullah kata-kata yang menyatakan Pakpak makan orang.

Hal ini juga dipertajam oleh Belanda untuk memecah belah suku Pakpak yang sudah tunduk ke Tarutung bahwa dia adalah orang Dairi sedangkan orang yang membunuh adalah orang Pakpak. Dengan adanya perilaku dan sikap suku Pakpak yang keras, gigih, dan tak mau dijajah maka Belanda semakin marah dan semakin ganas melihat suku Pakpak maka timbullah kemarahan untuk menghancurkan atau memusnahkan suku Pakpak dengan cara:


(40)

1. Membakar rumah adat sampai habis, sehingga sekarang sudah sulit untuk menemukan rumah adat yang masih bersisa.

2. Peninggalan orang-orang tua dahulu kala, benda-benda bersejarah peninggalan zaman kuno misalnya: Mejan yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dibawa ke negeri Belanda.

3. Silsilah atau tarombo disusun atau dikurangi di negeri Belanda kemudian disebarluaskan ke Tapanuli sehingga mereka suku Toba mengatakan bahwa hampir semua marga suku Pakpak (marga-marga yang ada di Tanah Pakpak) berasal dari Toba sedangkan yang sebelumnya belum tentu demikian.

2.6 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba

Ketujuh marga Si Onom Hudon yang sudah berumah tangga lalu membuka perkampungan masing-masing satu suku satu kampung. Tinambunan berada di Sidombilik Hutagodung, Si Raja Tanggor (Tumanggor) di Pasi, Maharaja di Sitapung, Turuten di Hutarea, Pinayungan di Binjohara dan Nahampun di Pearaja. Kemudian Si Raja Tanggor turun ke Aceh yang tepatnya sekarang di Aceh Simpang Kanan namanya Sali Tumanggor. Beberapa tahun berselang lahirlah anaknya yang bernama Gondul Tumanggor yang merupakan anak sulung.Pada tahun 1932 Gondul Tumanggor diangkat Pemerintah Belanda menjadi kepala kampung yang memimpin desa yaitu Ladang Jehe, Tanjeski dan Tapus. Setelah tahun 1932 penduduk semakin berdatangan yaitu ke dataran rendah, termasuk ke daerah Manduamas sekarang. Maka tahun 1940-an pada masa penjajahan Belanda, diangkatlah dewan negeri Siambaton Napa karena kampung sudah mulai banyak. Orang yang memangku jabatan dewan negeri adalah Osen


(41)

Tumanggor. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, Osen Tumanggor tetap menjadi dewan negeri sebagai perwakilan pemerintah. Dan karena sudah banyak penduduk di daerah masing-masing di daerah Siambaton Napa, maka dibentuklah Raja-Raja Huta dengan mengadakan suatu upacara pesta besar sebagai peresmian kampung “19 Kampung” di Siambaton Napa dengan acara pesta pada tanggal 5 April 1946. Setelah itu penduduk pun semakin ramai berdatangan. Dan saat itu pemerintahan pun sudah berganti dengan Pemerintahan Republik Indonesia.

Untuk memudahkan terkumpulnya masyarakat, maka dikumpulkan di suatu desa yang namanya Pardomuan (Pertemuan) yang sekarang menjadi nama desa. Jadi disanalah tempat mereka berkumpul dan disanalah dirumuskan semua keperluan dan kegiatan apa yang akan dilakukan. Sesudah itu masyarakat semakin berkembang. Pada tahun 1966, dewan negeri dilebur dan tidak ada lagi, jadi untuk memimpin adat dibentuklah raja adat Siambaton Napa karena dulu dewan negeri juga menyangkut di dalam menjalankan pemerintahan dan pimpinan adat dan budaya di Siambaton Napa, tetapi karena dewan negeri sudah dilebur maka struktur pemerintahan pun langsung kepada kecamatan dan kepala desa pada tahun 1946 dan pada selang waktu tersebut tidak ada pimpinan adat.

Namun pada tahun 1982 tanggal 17 Februari 1982 diadakanlah pesta besar Si Onom Hudon di seluruh Indonesia. Dibentuklah raja-raja adat dan dibentuklah organisasi Si Onom Hudon sehingga terpilihlah sebagai ketua adat di Siambaton Napa adalah Gustamin Tumanggor atau biasa dipanggil bapak GS Tumanggor. Dan sejak saat itu daerah Siambaton Napa semakin berkembang sehingga pada tahun 1983 Manduamas Siambaton Napa direncanakan pemerintah untuk mengadakan transmigrasi. Jadi di dalam kepengurusan Transmigrasi itu juga melibatkan tokoh-tokoh Si Onom Hudon dan sebagai satuan pembina Transmigrasi diangkat dari Si Onom Hudon adalah bapak Gustaman Tumanggor. Dengan adanya pesta pembauran ini maka suku


(42)

Batak Toba dan Pakpak Kelasen disatukan dalam satu kepemimpinan adat. Sejak dahulu suku Batak Toba yang bermigrasi dan menetap di Manduamas telah mendapat tanah yang dibayarkan kepada kepala adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tantang hak ulayat tanah.

Pada saat itu masyarakat-masyarakat Si Onom Hudon memohon kepada pemerintah supaya hak adat yang telah ada di dalam surat keputusan tahun 1946 itu harus dilakukan, sehingga terjadilah perdebatan yang sangat alot pada waktu itu dengan bupati Tapanuli Tengah yaitu Bapak Lundu Panjaitan SH. Namun karena kebijakan dari gubernur Sumatera Utara perdebatan itu dapat ditengahi dan hak-hak adat itu dapat dilaksanakan sehingga diadakanlah pesta pembauran kepada Naiambaton dan dibayarlah adat sulam dengan memotong kerbau jantan sebagaimana yang tertulis dalam surat keputusan 46 dilakukan di Pasar Onan Manduamas pada tahun 87 atau 85. Jadi yang mewakili masyarakat Naiambaton15 dan masyarakat Siambaton Napa menerima jambar kepala kerbau dan adat selanjutnya adalah bapak GS Tumanggor. Setelah masuknya transmigrasi masyarakat pun sudah semakin banyak dan beragam budaya sudah masuk tapi adat-adat tetap dipenuhi. Setelah masuk Batak Toba hubungan mereka tetap harmonis. Karena dalam sejarah hubungan antara Batak Toba dan Batak Dairi adalah sama-sama suku Batak. Marga Si Onom Hudon berasal dari Batak Toba dari Samosir yaitu Oppu Tuan Nahoda Raja Simbolon. Jadi tidak pernah ada persengketaan, hubungan tetap harmonis. Sama-sama menghormati adat-istiadat. 16

Nama desa secara administrasi pemerintahan disebut Si Onom HudonToruan.Nama desa Si Onom Hudon Toruan ini dipakai dalam pemerintahan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli

15

Naiambaton itu ada lima nenek moyang, yaitu Simbolon Tua, Munthe Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Nahampun Tua. Anak-anaknya sekarang menjadi 52 marga. Jadi Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua, ibunya adalah boru Hotang dan boru Limbong. Anaknya boru Hotang yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja. Anak boru Limbong yaitu Pinayungan, Turuten, Nahampun.

16


(43)

Tengah. Masyarakat umum juga mengenaldesa ini dengan nama Si Onom Hudon Toruan. Kata Si Onom Hudon ini adalahterjemahan dari Bahasa Pakpak yaitu Si Ennem Koden. Si Onom Hudon artinya Si Enam Periuk, sedangkan Toruan artinya dataran rendah. Jadi arti desa tersebut adalah suatu desa yang mempunyai enam periuk dan berada di suatu dataran yang rendah.

Desa ini disebut Si Onom Hudon karena penduduk asli di daerah ini mempunyai enam marga yang merupakan satu keturunan.Nama dari marga-marga tersebut adalah Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Pinayungan, Turuten, dan Nahampun. Keenammarga tersebut dulunya merupakan nama anak dari nenek moyang dari Si OnomHudon.Modal yang diberikan orangtua mereka setelah mendapatkan istri kepada keenam anak tersebut adalah sebuah periuk untuk menanak nasi, maka jumlah periuk yang diberikan oleh orangtua mereka adalah sama dengan jumlah anaknya yaitu enam periuk. Namun saat ini penduduk di Kecamatan Manduamas lebih familiar dengan nama Desa Siambaton Napa. Alasannya adalah Siambaton Napa, daerah Si Onom Hudon ini ada dua, yaitu Siambaton Dolok di dataran tinggi yaitu di Pakkat dan tidak ada batasan wilayah adat antara Siambaton Dolok dan Siambaton Napa karena gunung yang jadi pembatas yaitu Gunung Sijagar dan Gunung Dolok Bunga. Di dataran rendah disebutlah Siambaton Napa yaitu sekarang Kecamatan Manduamas. Nama “Siambaton” itu berasal dari nama suku yaitu Naiambaton. Jadi sudah menjadi suatu hukum tetap dari suku batak apabila dia membuka sebuah perkampungan dialah sebagai raja di daerah itu dan dibuatlah marganya sendiri, contoh: Siantar nai Pospos, nai Posposlah rajanya. Lumban Sihotang, Sihotanglah rajanya. Pasaribu Dolok, Pasaribulah rajanya. Lumban Sihombing, Sihombinglah rajanya. Siambaton Napa, Naiambatonlah rajanya. Marga Naiambaton itu, itulah yang 52 marga, tetapi pada intinya di Siambaton Napa sebagai anak yang sulung adalah marga Si Onom Hudon dari


(44)

Oppu Tuan Nahoda Raja. Oppu Tuan Nahoda Raja adalah generasi ketiga suku Batak Simbolon. Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua.

Mayoritas penduduk desa Siambaton Napa khususnya dan KecamatanManduamas umumnya adalah suku Pakpak yang disebut Suak atau wilayah Kelasen.Suku bangsa yang lain adalah suku bangsa Batak Toba, namun hanya sebagian kecil saja.Sebagai tuan tanah atau pemilik lahan di desa ini adalah orang Kelasensendiri. Walaupun suku pendatang dalam hal ini Batak Toba sudah ada yangmempunyai sebidang tanah pertanian baik sawah atau ladang untuk mereka kerjakan,namun itu dibeli atau diberi penghargaan berupa uang kepada tuan tanah atau pemilik tanah agar dapat memiliki hak untuk menguasai tanah tersebut.


(45)

BAB III

KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS 3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas

Perpindahan penduduk dari dataran tinggi Toba (Tapanuli Utara) dalam era pra modern mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Pada umumnya daerah persebaran mula-mula adalah ke daerah sekitarnya dan kemudian merembes ke daerah lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Hingga sekarang perpindahan tersebut masih berlangsung.17

Dalam kurun waktu tahun 1900-1940 ini perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara masih didominasi oleh kaum tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya. Mereka memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Asahan, Labuhan Batu, Deli Serdang bahkan ada yang sampai ke Aceh (Tanah Alas dan Singkil). Selain dari Tapanuli Utara, tahun-tahun berikutnya ada yang pindah lagi (remigrasi) dari satu daerah ke daerah lainnya; pindah secara permanen atau temporer antara lain karena pengaruh konflik. Perpindahan secara temporer dan sirkuler sering menjadi perpindahan permanen. Dengan berbekal pengetahuan dan teknik bertani yang dibawa dari kampung halamannya, daerah hutan

Perkembangan sosial budaya bergerak sangat cepat dewasa ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial orang Batak toba, terutama yang hidup di desa-desa di daratan tinggi Toba Kabupaten Tapanuli Utara. Disadari sepenuhnya bahwa perkembangan itu merupakan pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar wilayah dan antar suku.

17

O.H.S. Purba, Elvis F. Purba,”Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara suatu deskripsi”, Medan:


(46)

belantara dan daerah rawa-rawa diolah menjadi areal persawahan dan perladangan sesuai dengan potensi daerahnya. Lumbung-lumbung padi pun menyebar di mana-mana.18

Sejak tahun 1946 setelah melihat bahwa Manduamas sangat subur, pertaniannya bagus. Dulu Manduamas ini adalah lumbung padi, maka berdatanganlah orang Batak Toba dari Dolok Sanggul, Pakkat dan Parlilitan masuk ke Siambaton Napa Manduamas. Maka semakin berkembanglah Manduamas dan adatpun menjadi dua, yaitu adat Pakpak Kelasen dan adat Toba Humbang. Kedua adat ini berlaku sebagai adat pokok. Namun tidak mengisolasi beberapa adat suku pendatang seperti adat Karo, adat Mandailing, adat Jawa namun penggunannya tetap dalam lingkup mereka. Adat Pakpak dipakai sejak tahun 1946 di Manduamas ini berkembang sampai sekarang yang disebut adat Pakpak Kelasen.19

18

Ibid O. H. S. Purba, 1997, hal 268.

19

Wawancara dengan Gustaman Tumanggor, 30 Agustus 2014 di Manduamas.

Jadi, masuknya Batak Toba ke Manduamas melalui dua jalur, yaitu dari Dolok Sanggul, Pakkat dan Parlilitan yang merupakan wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan, dan yang masuk dari Kabupaten Dairi. Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan adalah untuk mencari tempat untuk penghidupan melalui bercocok tanam dan didominasi oleh kaum tani. Seiring dengan waktu migrasi orang Batak Toba ke Manduamas terus berlanjut, mereka mulai membuka persawahan. Pada tahun 1906/1907 ada pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang, lalu rampung hingga ke Manduamas.


(47)

3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas

Pada waktu itu masyarakat Pakpak Kelasen sudah hidup bercocok tanam membuka persawahan, perkebunan, dan sebagai sumber mata pencaharian juga mengambil hasil hutan yaitu rotan, damar, dan kapur barus. Orang Batak Toba yang datang kemudian ikut membuka lahan perkebunan dan persawahan sebagai salah satu upaya memanfaatkan lahan yang luas yang selama ini nampak sebagai hutan. Sistem nilai pada orang Batak Toba tradisional, tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Memiliki tanah terutama persawahan memberi status yang tinggi bagi mereka, seperti dalam ungkapan Lulu Anak, Lulu Tano.20 Kehadiran migran tersebut membuat mereka memilih tinggal menetap dan membuka lahan pertanian di daerah tujuan, sehingga berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan tanah-lahan. Di daerah tujuan mereka yang bermigrasi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan tanah yang telah bermakna seperti di daerah asalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, penguasaan tanah biasanya di dapat melalui pelepasan adat maupun penyerobotan. Pelepasan secara adat dapat diberikan kepada anggota kelompok setempat atau kelompok luar dengan status kepemilikan hak pakai, dimana tanah dapat digunakan sampai keturunan selanjutnya. Bila tanah tidak dikelola lagi maka tanah tidak dapat dijual dan kembali kepada pemilik semula atau pemilik ulayat.21

Pada awal mulanya masyarakat Pakpak Kelasen hidup dengan bercocok tanam di Manduamas dan seiring berjalannya waktu mereka mengusahakan dan menanam kemenyan untuk komoditi, yang hingga saat ini masih ada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Lintong Nihuta. Kemenyan yang merupakan salah satu usaha pertanian merupakan salah satu usaha yang berasal dari sub sektor perkebunan rakyat, belum dikenal secara luas dibandingkan dengan kopi,

20

Arti harafiahnya adalah suka akan anak (gabe) juga suka akan tanah. Ungkapan ini mengandung arti semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka.

21


(48)

padi, kelapa sawit, karet dan produk perkebunan rakyat lainnya. Hal ini disebabkan manfaat secara nyata kemenyan ini belum jelas diketahui. Bahkan petani kemenyan sendiri pada waktu itu kurang jelas mengetahuinya. Petani dalam hal ini merupakan pekerja, pengumpul, dan penjualnya, dimana kemenyan yang mutunya sangat bagus memiliki harga jual yang relatif tinggi. Kemenyan merupakan jenis tanaman tua yang dapat tumbuh selama berpuluh-puluh tahun bahkan beratus tahun. Sehingga dalam memanen dapat dikerjakan beberapa generasi berikutnya. Begitu juga setelah mereka mengenal kapur barus juga untuk komoditi ekspor dengan memanfaatkan kayu kapur yang banyak tumbuh di negeri Si Onom Hudon seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang berasal dari Kabupaten Dairi adalah untuk penyebaran injil di Tanah Pakpak setelah sebelumnya Badan Zending masuk ke Tanah Toba. Pada mulanya Tanah Batak yang selama berabad-abad berada dalam keterkungkungan dan hal itu menjadi kebiasaan masyarakat Batak kala itu. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain di luar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan Zending ini yang membuka isolasi melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran Agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak Toba melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal mendasar dari cita-cita filosofi semua Orang Batak yaitu mengejar Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Kekayaan, kehormatan dan kebahagian)adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan keinginan-keinginan itu.

Sebelum injil masuk masyarakat Batak merupakan penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur antara menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Magis. Umumnya mereka percaya pada kekuatan di alam dan kekuatan benda-benda yang


(49)

dikeramatkan. Masuknya Agama Kristen sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat, terutama bagi masyarakat Batak Toba. Agama Kristen masuk ke Tanah Batak disiarkan oleh Misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwic Nommensen pada tahun 1824 dan Nommensen secara Kristiani digelari sebagai Apostel Batak. Nommensen tak dapat dilupakan untuk tidak mencatatnya sebagai seorang yang telah berjasa membuka lembaran sejarah baru suku Batak Toba.

Kedatangan etnis Batak Toba juga disebabkan keinginan orang Tapanuli Utara untuk menyebarkan injil ke Tanah Pakpak.Penyebaran injil di Tanah Pakpak terjadi pada tahun 1911 yaitu melalui para pedagang kaum Kristen dari Tapanuli Utara. Penginjilan etnis Batak Toba tidak dilakukan secara langsung akan tetapi melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat dengan memperdagangan ulos dan alat-alat pertanian.22

Memang pada awalnya kedatangan suku Batak Toba mendapat kecurigaan/rasa tidak senang tapi lama-kelamaan rasa waswas dari masyarakat setempat hilang. Hal ini karena suku Batak Toba bukan secara langsung mengabarkan injil akan tetapi melakukan pendekatan dengan menjual cangkul dan memperbaiki alat-alat rumah tangga masyarakat Pakpak. Kehadiran

missioner membawa pengaruh yang cukup baik yaitu adanya upaya-upaya perbaikan

kesejahteraan penduduk setempat.Pemerintah kolonial Belanda yang telah menduduki Dairi mendukung upaya missoner tersebut.Orang-orang Batak Toba yang memasuki daerah Dairi semakin banyak untuk membuka lahan pertanian.Pendidikan modern pun mulai diperkenalkan dan upaya memperbaiki tata kehidupan ekonomi melalui usaha mengubah dan memperkenalkan cara-cara yang baru.Pada bidang pertanian, orang Batak Toba mulai memperkenalkan metode

22

Tulisan surat yang dikeluarkan oleh Kantor Pusat GKPPD “The Story Of TheEstabilishment Of


(50)

persawahan dan mulai membuka hutan sebagai lahan pertanian.Orang Batak Toba memperoleh lahan melalui aturan adat setempat.Dimana ada daerah tertentu yang dapat diolah menjadi pertanian seperti hutan dan ada lahan yang tidak dapat diolah yaitu lahan marga.Tempat tinggal orang Batak Toba yang pertama sekali bernamaPeduk.23

Interaksi orang Batak Toba dengan penduduk asli (suku Pakpak Kelasen) cukup harmonis dan akrab. Awal perkenalan dari suku Batak Toba dan suku Pakpak akan menanyakan marga dan akan ditarik persamaan marga dari kedua belah pihak sehingga dapat diketahui tutur/panggilan apa yang baik untuk masing-masing. Karena suku Batak Toba dan suku Pakpak adalah sangat menghargai partuturon. Apabila tidak mengetahui dari tutur kepada orang lain dikatakan sebagai orang yang tidak tahu adat. Kerjasama diantara kedua suku juga terjalin

3.3 Interaksi Budaya Masyarakat Batak Toba di Manduamas

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tak akan ada kehidupan bersama. Dalam kehidupan bermasyarakat sangat diperlukan interaksi untuk mencapai sesuatu ataupun hanya untuk melakukan komunikasi. Dengan adanya interaksi maka setiap masyarakat akan lebih mengenal masyarakat yang ada di lingkungan hidupnya. Demikian juga orang Batak Toba yang ada di Kecamatan Manduamas, sebagai penduduk yang bukan asli dari daerah tersebut senantiasa membutuhkan orang lain, maka diperlukan interaksi agar dapat salingberkomunikasi dengan masyarakat setempat.Dalam orang Batak Toba ada ungkapan“Sidapot solup na ro” artinya orang pendatang seharusnya menyesuaikan dengankebiasaan, adat-istiadat daerah yang didatangi.

23

Merisdawati Limbong, “Migrasi Orang Batak Toba di Sidikalang (1964-1985)” (Skripsi: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, 2010) hal 29.


(51)

dengan baik jika ada acara pesta adat maka kedua suku akanmarhobas (bekerja secara sama-sama) tanpa memandang suku dan agama. Dalam acara perkawinan ke dua adat ini akan dibicarakan menggunakan adat yang mana jika diperoleh kesepakatan maka akan dilaksanakan.

Bukan hanya pada acara adat saja dalam acara hari besar agama penduduk Manduamas hidup secara berdampingan.Umumnya suku Pakpak Kelasenyang ada di Kecamatan Manduamas beragama Islam sementara orang-orang Batak Toba beragama Kristen.Ini tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk berhubungan.Hal ini terlihat ketika orang Pakpak Kelasen yang beragama Islam yang mengadakan acara hari besar agamanya Idul Fitri maka orang Batak Toba datang berkunjung ke rumah mereka dan mengucapkan selamat hari raya serta salingbermaafan.Demikian sebaliknya jika orang Batak Toba yang beragama Kristen mengadakan acara hari besar agamanya Natal, maka orang-orang Pakpak pun datang berkunjung.Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang telah lama saling berhubungan dan hubungan tersebut terjalin dengan sangat erat dan kompak.

Penggunaan bahasa juga dalam kehidupan sehari-hari di Kecamatan Manduamas lebih umum menggunakan bahasa Batak Toba akan tetapi untuk mempelancar hubungan sehari-hari bila orang Pakpak Kelasen menggunakan bahasa daerahnya maka orang Batak Toba akan membalasnya dengan menggunakan bahasa Pakpak. Orang Batak Toba yang tinggal di daerah Manduamas lamban laun fasih dengan menggunakan bahasa Pakpak.Bahasa yang digunakan bukan hanya bahasa daerah tetapi bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Budaya minum tuak juga menjadi tradisi suku Pakpak Kelasen yang dibawa oleh orang Batak Toba. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil bahwa sejarah kedatangan orang Batak Toba ke Kecamatan Manduamas pada dekade pertama setelah penyerahan


(52)

kedaulatan atau kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaan Orang Toba di desa ini dipengaruhi perbaikan kehidupan ekonomis. Pada masa revolusi (1945-1950) situasi sangat kacau. Orang Toba menggunakan kesempatan ini untuk menduduki dan mengolah tanah-tanah kosong di Sumatera Timur. Sedangkan peran tuak dalam membangun solidaritas orang Batak Toba dimana tuak sebagai media telah membangun ruang diskusi masyarakat pinggiran untuk meningkatkan solidaritas dan untuk meredam konflik sehingga warga masyarakat tidak saling menghancurkan. Solidaritas yang dimaksud di sini bukan hanya solidaritas semarga, solidaritas keluarga atau golongan tetapi lebih kepada solidaritas warga Manduamas. Bentuk solidaritas yang terjalin pada masyarakat adalah solidaritas mekanik yang timbul karena adanya kesamaan yang terdapat pada masyarakat yang Homogen (sesama suku Batak). Masyarakat tersebut melalui tuak dipersatukan tanpa melepaskan ikatan yang berupa kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Ikatan solidaritas antara suku Batak Toba dan suku Pakpak Kelasen di Manduamas yang kuat disebabkan adanya proses interaksi dan tuak sebagai media atau sarana penghubungnya dengan tidak mengenyampingkan interaksi mereka di lingkungan maupun pada aktivitas kehidupan lainnya.

Sementara makna tuak dalam pesta adat etnis Batak Toba dianggap sebagai minuman kehormatan. Dimana tuak yang dipakai pada upacara adat adalah Tuak Tangkasan, tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis karena manisnya maka disebut tuak na tonggi

dalam bahasa Batak Toba. Tuak Tangkasan ialah tuak asli yang diambil langsung dari pohon enau pada pagi hari tanpa tercampur dengan ramuan lain. Keduanya Tuak Tangkasan dan Tuak na tonggi disajikan dalam suatu prosesi adat. Tuak termasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu upacara manuan ompu-ompu dan upacara manulangi.


(53)

Biasanya bagi masyarakat Batak Toba khususnya laki-laki berkumpul di kedai tuak. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, bercatur, dan menonton televisi sambil minum tuak. Dan untuk peminum tuak, tuak ini sering diminum khususnya pada malam hari. Tidak heran, kedai-kedai tuak sering dipenuhi oleh para peminumnya yang mayoritas adalah bapak-bapak dan pemuda-pemuda. Para peminum ini dengan sendirinya akan meninggalkan rumah mereka pada sore hari dan kembali dari kedai tuak pada malam hari (hingga larut malam atau subuh).

Jarang sekali orang membeli tuak lalu meminumnya di rumah. Daya tarik tuak ini tidak perlu diragukan lagi mengingat begitu banyak orang tua dan anak-anak muda yang sungguh-sungguh menikmati hidupnya di kedai khususnya pada sore dan malam hari. Apalagi untuk menambah daya tarik tuak ini si pemilik kedai sering juga menyediakan makanan pelezat (tambul) dan berupa permainan seperti main kartu.

Kebiasaan minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial ekonominya, dengan kata lain bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becak, tetapi yang agak tinggi status sosial ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Sehingga kedudukan seseorang pada saat mereka menikmati tuak di kedai tersebut tidak menjadi penghalang dalam komunikasi antar mereka. Keakraban terjalin tidak hanya di tempat tersebut saja, namun di dalam lingkungan bermasyarakatpun rasa keakraban tersebut terjalin. Tidak bisa dipungkiri tuak salah satu perekat keakraban maupun solidaritas suku Batak Toba dan suku Pakpak Kelasen.


(54)

3.4 Wilayah Budaya Batak Toba dan Pakpak Kelasen

Banyak kalangan dan ahli mengelompokan Pakpak sebagai bagian dari sub etnis Batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial, bahasa dan sistem kekerabatan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya, sama seperti orang Karo, Toba, Simalungun dan Mandailing, orang Pakpak juga menganut prinsip patrilineal. Dengan demikian klen (marga) diperhitungkan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Etnis batak dalam sistem kekerabatan menganut sistem patrilineal yaitu di dalam sistem kekerabatan etnis batak menggunakan istilah marga yg berasal dari nenek moyang. Pada awalnya nama-nama yang dimiliki nenek moyang orang batak belum mengenal istilah marga. Namun karena adanya hubungan yang kurang baik pernah terjadi diantara mereka dalam satu keluarga atau keturunan telah menjadikan pecahnya hubungan saudara diantara mereka, baru pada perkembangan selanjutnya muncullah istilah marga.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, marga dalam etnis Pakpak dapat dikategorikan sebagai suatu klen besar, dimana satu sama lain anggotanya tidak saling mengenal secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh dua hal pokok, pertama karena jumlah anggotanya yang banyak dan kedua, karena tempat tinggal yang berbeda atau berjauhan karena adanya proses migrasi.

Pada awalnya secara bersama hidup dan tinggal di daerah asal yang sama. Akan tetapi walaupun suatu marga tertentu tidak saling mengenal, namun anggotanya yakin berasal dari nenek moyang dan daerah asal yg sama. Klen marga diperhitungkan melalui garis laki-laki, sedangkan wanita apabila sudah menikah maka ia menjadi kesatuan dari kerabat suami saja.


(55)

Seperti marga Tumanggor semua anggota marga tersebut yakni berasal dari daerah yang sama yakni Parlilitan (Tapanuli Utara). Dari wilayah ini baru menyebar ke wilayah-wilayah lain. Para anggotanya yakni berasal dari keturunan si Tumanggor yang beranak pinak. Kedua, marga Berutu yang anggotanya berasal dari Kecamatan Salak khususnya dari daerah permang-mang, Sikuraja dan Sinabul. Ketiga nama tersebut mengaku berasal dari nenek moyang bernama Peraga. Keturunan yang pertama disebut permang-mang, anak yang kedua disebut Sikuraja dan anak yg terkahir disebut Persinabul.24

Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidaknya dapat memperkecil kemungkinan perkawinan satu marga (keluarga). Dari beberapa pustaka tentang perkembangan marga-marga batak dapat disimpulkan bahwa terbentuknya marga telah menciptakan tata krama dalam hubungan kekeluargaan melalui perkawinan, bermakna bahwa

Jadi walaupun saat ini para anggota marga-marga tersebut tersebar di wilayah-wilayah lain, namun bila ditanya asal-usul daerah dan keturunan, mayoritas masih mengetahuinya. Pengakuan-pengakuan ini ternyata diperkuat oleh hak-hak ulayat dan peninggalan kebudayaan fisik di daerah asal. Hak ulayat dimiliki oleh semua keturunan tanpa mempersoalkan tempat tinggalnya masing-masing. Misalnya walaupun seorang bermarga Padang di Kota Medan, dia tetap punya hak dikampung halamannya. Demikian juga marga-marga lainnya yang hidup di perantauan. Peninggalan kebudayaan fisik terwujud dengan adanya patung marga (mejan) sebagai simbol di masing-masing daerah yang bentuknya beragam, ada berbentuk binatang, manusia, dan benda-benda lainnya yang dijadikan sebagai lambang perjuangan dari marga-marga tersebut.

24

Mansehat Manik, Silsilah Pakpak dengan Manik Pergetteng-getteng Sengkut dan Hubungannya


(56)

keberadaan marga merupakan alat pengikat dalam kelompok etnis Pakpak. Dilihat dari sejarah terjadinya fungsi marga sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Pakpak. Selain berfungsi menjaga hubungan antara yang satu dengan yang lain akibat kompleksnya hubungan diantara keturunan yang ada, tujuan yang lain adalah untuk mengurangi konflik dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Istilah marga berasal dari bahasa sansekerta yang sama artinya dengan keluarga, sekaum, satu keturunan. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) edisi ketiga (20055:715) bahwa marga adalah kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlineal baik secara matrilineal maupun patrilineal. Hal ini berarti marga adalah sebagai penegas atau pengikat terhadap suatu garis kekerabatan, hal ini dilakukan untuk menghindari perkawinan satu marga. Lahirnya suatu ikatan melalui marga menunjukkan bahwa warga masyarakat dapat dikelompokkan dalam kelompok yang memakai nama nenek moyangnya atau nama orang tuanya sebagai induk satuan kelompok. Selain itu adanya beberapa persamaan marga etnis Pakpak dengan Toba dalam hal penyebutan marga dan bahkan berasal dari nenek moyang yang sama. Sebab secara geografis pun sub etnis Pakpak berbatasan langsung dengan sub etnis Batak lainnya. Malah beberapa nama marga dari masing-masing sub etnis hampir sama sebutannya dan diakui berasal dari nenek moyang yang sama. Contohnya marga Manik Siketang dengan Sihotang, Lembeng dengan Limbong, Kebeaken dengan Habeahan. Secara teoritis kesamaan dapat terjadi karena faktor intensitas akulturasi dan asimilasi disamping didukung oleh faktor Geografi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penyesuaian diri terhadap keadaan dimana dia tinggal.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa marga Pakpak ada yang enggan memakai marga asli, dan pada umumnya mengganti marga mereka menjadi marga suku lain


(57)

seperti marga Tumangger, Tinambunan, Anakampun, Maharaja, Banin mengaku Simbolon, marga Berutu menjadi Sinaga, marga Padang menjadi Situmorang, marga Bako menjadi Naibaho, marga Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga. Kalau tidak mengganti marga minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti Bahasa Toba.

Menurut pengakuan kelompok etnis itu sendiri, kelompok suak-suak Batak Pakpak tersebut berasal dari nenek moyang yang sama dan dari daerah asal yang sama yang disebut Tanoh Pakpak. Dengan demikian wilayah komunitas Pakpak yang tradisional (Hukum Adat) tidak identik dengan wilayah administrasi pemerintahan pada zaman Belanda dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada zaman Belanda dengan politik pecah belah (de vide et impera), wilayah pemerintahan selalu berubah-ubah sesuai dengan kepentingan mereka.

Misalnya, Keresidenan Tapanuli yang berdiri tahun 1842 merupakan salah satu keresidenan dari Gouvernemen van Sumatera Westkust (Propinsi Sumatera Barat) dan wilayah Singkil (Pakpak Boang) salah satu afdeling Keresidenan Tapanuli. Sejak tahun 1904 afdeling Singkil dialihkan menjadi wilayah Keresidenan Aceh. Tahun 1906 Residen Tapanuli terpisah dari propinsi Sumatera Barat dengan empat wilayah afdeling yakni afdeling Batak Landen, afdeling Sibolga, afdeling Padang Sidempuan dan afdeling Nias. Dairi dimasukkan dalam wilayah afdeling Batak Landen dan merupakan salah satu dari lima Onder Afdeling yang disebut Onder Afdeling Dairi dengan ibu kota Sidikalang. Onder Afdeling Dairi terdiri dari tiga distrik yakni Distrik Pakpak dengan ibukota Sidikalang, Distrik Simsim dengan ibu kota Salak dan Distrik Karo Kampung dengan ibu kota Tiga Lingga. Masing-masing distrik membawahi beberapa kuta dan dipimpin oleh seorang Kepala Negeri, sedang di setiap kuta diangkat seorang


(58)

Kepala Kampung.25

Setelah kemerdekaan dan berubahnya sistem pemerintahan menjadi Kabupaten, maka Onder Afdeling Dairi otomatis menjadi wilayah Tapanuli Utara. Pada tahun 1965 baru Dairi menjadi Kabupaten yang terpisah dari Tapanuli, tapi wilayahnya tetap mengacu kepada pembagian wilayah peninggalan Belanda. Akibatnya wilayah komunitas Pakpak bersebar di beberapa wilayah Kabupaten di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Suak Pakpak

Daerah Pakpak Kelasen walaupun termasuk wilayah Keresidenan Tapanuli tapi berada dalam wilayah afdeling Batak landen. Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk Kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa Pemerintahan Belanda.

Dalam konteks wilayah komunitas tradisional Pakpak, pembagian onder afdeling dan distrik tersebut jelas tidak mengacu pada konsep tradisional Pakpak Silima Suak, karena 3 distrik dalam Onder Afdeling Dairi hanya mencakup wilayah suak Pakpak Keppas, Pegagan dan Simsim, sedang suak Boang termasuk dalam wilayah Aceh dan Kelasen dalam wilayah Distrik Barus. Selain itu penggantian sistem pemerintahan ciptaan Belanda tersebut walaupun kekuasaan Kepala Kampung mengacu pada kuta dan Kepala Negeri mengacu pada beberapa kuta, tapi pergantian sistem pemerintahan tradisional dimana kuta yang dipimpin oleh Pertaki dan beberapa kuta dipimpin oleh Raja Aur, jelas mengacaukan sistem kepemimpinan tradisional karena terjadi perubahan peranan yang disesuaikan dengan kepentingan Belanda saat itu. Pada zaman Jepang wilayah dan sistem pemerintahan tidak banyak berubah kecuali nama seperti Onder Afdeling Dairi Landen diubah menjadi Urung, Distrik menjadi Urung Kecil, nama Kenegrian dan Kampung tetap dipertahankan.

25

Lister Berutu, Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah. Mempertanyakan Partisipasi


(1)

LAMPIRAN

Sumber : http:// tapteng.go.id/eksekutif.html?id=Kecamatan


(2)

Lampiran I

Sumber : Koleksi Pribadi Keterangan Gambar :

Piagam Penghargaan kepada Ketua Adat bapak G.S. Tumanggor yang memprakarsai Pemerintah Daerah Tk II Tapanuli Tengah dalam melaksanakan tugas pembangunan di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya di Kecamatan Manduamas.


(3)

Lampiran II

.Sumber : Koleksi Pribadi Keterangan Gambar :

Berkas gelaran Pesta Adat Pertama pada tanggal 5 April 1946 dengan memotong kerbau Jantan sejumlah empat buah yang diketuai bapak G.S. Tumanggor. Ini bertujuan agar barangsiapa yang ingin mendirikan perkampunngan, membuka pekuburan baru, mendirikan tambak, mendirikan tugu, pesta ondas, pesta horja, harus membayar sulang kepada Raja Naiambaton dengan memotong kerbau jantan. Yang menerima daging kerbau tersebut adalah semua marga Naiambaton dan yang membagikannya adalah marga Si Onom Hudon, sebagai anak sulung dari Raja Naiambaton.


(4)

Lampiran III

Sumber : Koleksi Pribadi

Lampiran IV


(5)

(6)