Mikrostruktur Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih di Pancur Batu Medan dengan Scanning Electron Microscope

(1)

MIKROSTRUKTUR DENTIN TERTIER GIGI MOLAR

PENYIRIH DI PANCUR BATU MEDAN DENGAN

SCANNING ELECTRON MICROSCOPE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteraan Gigi

Oleh :

Devibalan Sandrasegaram NIM : 080600146

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Biologi Oral Tahun 2015

Devibalan Sandrasegaram

Mikrostruktur Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih di Pancur Batu Medan dengan Scanning Electron Microscope.

xii + 57 halaman.

Menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah suku Karo di Pancur Batu Medan. Salah satu akibat dari kebiasaan menyirih adalah atrisi gigi yang akan menginduksi pembentukan dentin tertier sebagai respon pertahanan gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat mikrostruktur dentin tertier dengan Scanning Electron Microscope (HITACHI

MT3030) : tebal dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, pembentukan kristal,

tipe margin tubulus dan tipe tubulus dentin tertier. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sampel adalah gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku Karo di Pancur Batu Medan sebanyak 10 gigi. Spesimen diperoleh dengan dilakukan preparasi sebesar 1x1x0.5cm. Diamati dengan pembesaran 100x untuk mengukur tebal dentin tertier, pembesaran 3000x untuk mengamati tipe tubulus dentin tertier, dan pembesaran 6000x untuk mengukur diameter tubulus dentin tertier, pembentukan kristal dan tipe margin tubulus dentin tertier. Hasil penelitian ini dijumpai rata-rata ketebalan dentin tertier yang terbentuk 317.9 ± 178.6 µm. Rata-rata diameter tubulus dentin yang terbentuk 750.4 ± 262.3 nm. Terdapat pembentukan kristal dan tipe margin tubulus dentin yang irregular pada seluruh sampel yang diteliti. Tipe tubulus dentin tertier yang ditemukan pada penelitian ini adalah tipe tubulus sedikit sebanyak 60%, dikuti tipe kombinasi 30%, kemudian tipe irregular 10% dan tidak dijumpai tipe osteodentin. Kesimpulan penelitian ini didapat bahwa pada gigi penyirih menunjukkan perubahan mikrostruktur dentin tertier berupa penebalan dentin tertier, diameter tubulus dentin menjadi sempit, adanya


(3)

pembentukan kristal dalam tubulus dentin tertier, margin tubulus dentin irregular dan didapat tipe margin tubulus dentin tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe kombinasi dan tidak dijumpai tipe osteodentin.

Kata Kunci : Menyirih, atrisi, dentin tertier, SEM. Daftar Rujukan : 43 (1973 – 2012)


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, April 2015

Pembimbing Tanda Tangan

1. Rehulina Ginting, drg., M.Si ………. NIP. 19511018 198003 2 001


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 28 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Rehulina Ginting, drg., MSi ANGGOTA : 1. Lisna Unita, drg., MKes


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rehulina Ginting, drg., Msi., selaku Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran dan waktu yang sangat berguna dalam meningkatkan semangat dan motivasi penulis untuk penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin , drg., Sp. Ort, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Ameta Primasari, drg., M.Kes., MDSc., Yendriwati, drg,. M.Kes., Minasari Nasution, drg., MM., Lisna Unita, drg., M.Kes., dan Yumi Lindawati, drg., MSDc selaku staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokeran Gigi USU yang telah memberikan saran, masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi.

3. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Kak Naisah dan Kak Dani yang telah membantu dalam hal administrasi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Prof. Haslinda Z Tamin, drg., M.Kes, Sp.Pros(K) selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

5. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Gigi USU atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menjalankan kuliah.


(7)

6. Syaiful Anwar Lubis selaku operator SEM di Lab Uji Terpadu FMIPA USU yang terlah membantu penulis selama melaksanakan penelitian.

7. Bu Maya Fitria yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam rancangan penelitian dan pengolahan data.

8. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta yaitu Sandrasegaram M, Palamani M, adik penulis yaitu Adhirai dan Ashwindan yang selalu mendoakan, memberikan dukungan moral, semangat maupun materil selama ini.

9. Teman-teman yang telah memberikan semangat kepada penulis, Govin, Pravena, Shanta, Raja, Steffi, Elisabeth, Rahayu, Wibowo, Rahmat, Yoshua, Stanley, dan teman-teman stambuk 2008 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur sedalam dalamnya kepda Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 30 April 2015 Penulis,

Devibalan Sandrasegaram NIM:080600146


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ………...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ... Struktur Gigi ... 5

2.1.1 ... Enamel ... 5

2.1.2 ... Dentin ... 6

2.1.2.1 ... Dentin Primer ... 10

2.1.2.2 Dentin Sekunder ... 10

2.1.2.3 Dentin Tertier ... 12

2.1.3 ... Pulpa Gigi ... 17

2.2 ... Gigi Molar Pertama Bawah Permanen ... 19


(9)

2.3 ... Atrisi

Gigi ... 20

2.3.1 ... Efek Atrisi Terhadap Pembentukan Dentin Tertier ... 21

2.4 ... Kebiasaa n Menyirih ... 22

2.4.1 ... Efek Menyirih Terhadap Atrisi Gigi ... 24

2.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 26

2.5.1 Gambaran Struktur Dentin Tertier Dengan Menggunakan SEM ... 26

2.6 Landasan Teori ... 28

2.7 Kerangka Teori ... 30

2.8 Kerangka Konsep ... 31

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 ... Rancang an Penelitian ... 32

3.2 ... Tempatd an Waktu ... 32

3.3 ... Populasi dan Sampel ... 32

3.4 ... Kriteria Sampel ... 32

3.5 ... Besar Sampel ... 33

3.6 ... Variabel Penelitian ... 33

3.7 ... Alat dan Bahan Penelitian... 34

3.8 ... Definisi Operasional ... 35

3.9 ... Prosedur Kerja ... 37

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 ... T ebal Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan ... 39

4.2 ... D iameter Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan ... 40


(10)

4.3 ... P embentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di

PancurBatu Medan ... 41 4.4 ... T

ipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur

Batu Medan ... 41 4.5 ... T

ipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo

di Pancur Batu Medan ... 42 BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 ... T ebal Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah

Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan ... 48 5.2 ... P

embentukan Kristal, Diameter Dentin Tertier dan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Gigi Molar Pertama Bawah

Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan ... 49 5.3 ... T

ipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Penyirih Suku Karo di Pancur

Batu Medan ... 51 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 ... Kesimpu lan ... 53 6.2 ... Saran

... 53 DAFTAR PUSTAKA ... 54 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. ... H asil Pengukuran Ketebalan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama

Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan ... 39 2. ... H


(12)

Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu

Medan ... 40 3. ... H

asil Pengamatan Pembentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di

Pancur Batu Medan ... 41 4. ... H

asil Pengamatan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di

Pancur Batu Medan ... 41 5. ... H

asil Pengamatan Tipe Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. ... Tubulus dentin. ... 7 2. A. Peritubuus Dentin B. Intertubulus Dentin ... 8 3. ...

Predentin ... 9 4. ... A.

Peritubulus Dentin B. Intertubular Dentin C. ProssesusOdontoblast

D.Predentin ... 9 5. ... A.

Dentin Primer B. Dentin SekunderC. Dentin Reparatif ... 11 6. ... A.

Dentin Reparatif B. Dentin Sklerotik ... 14 7. ...

Odontoblast-like-cell ... 16 8. ... A.

Tubulus dentin normal B. Dentin Reparatif dengan tubulus dentin

yang sedikit C. Termasuk sel di dalam matrix D. Tubulus yang tersusun secara irregular E. Kombinasi dari beberapa tipe tubulus;dari B ke E

semuanya tipe-tipe tubulus dentin pada dentin reparatif ... 17 9. ...


(14)

10. ... RD.

Dentin Reparatif ; CD. Dentin Circumpulpal ... 27

11. ... Pada pembesaran 2200x dapat dilihat variasi diameter tubulus dentin D. Tubulus yang terinfeksi: UA. Tubulus yang normal ... 27

12. ... Pada pembesaran 5500x dapat dilihat pembentukan kristal dan juga margin dinding tubulus dentin yang irregular ... 28

13. Mesin sputtering dan SEM ... 34

14. Pengukuran tebal dentin tertier (dokumentasi) ... 36

15. Pengukuran diameter tubulus dentin tertier (dokumentasi) ... 36

16. Tebal dentin tertier 100× (dokumentasi) ... 43

17. Tubulus dentin tipe tubulus sedikit 3000× (dokumentasi) ... … 43

18. Tubulus dentin tipe kombinasi 3000× (dokumentasi) ... 44

19. Tubulus dentin tipe irregular 3000× (dokumentasi) ... 44


(15)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

1. Alur Pikir 2. Kuesioner

3. Skema Sampel Penelitian 4. Skema Alur Penelitian 5. Hasil Penelitian


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyirih merupakan praktek kuno yang umum pada negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara, yang menjadi kebiasaan pada masyarakat dan juga populer di kalangan perempuan.1 Kebiasaan mengunyah sirih telah dikenal dan dilaporkan di berbagai negara seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua Nugini, beberapa daerah di Pulau Pasifik, Afrika Selatan dan Timur, Inggris, Amerika Utara, dan Australia.2 Menyirih juga merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat atau pada acara yang sifatnya ritual keagamaan.2 Pada suku Karo di Pancur Batu Medan dijumpai kebiasaan menyirih, khususnya pada perempuan. Kebiasaan ini terus


(17)

berlangsung sampai saat ini, baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada saat upacara adat.2,3

Menyirih dapat menyebabkan efek positif ataupun efek negatif terhadap kesehatan umum. Efek positif menurut penyirih di Kamboja adalah menyirih dapat menguatkan gigi, menyenangkan dan menyegarkan badan, serta membantu proses pencernaan.3 Di India, menyirih dapat menghilangkan sakit gigi, membantu pencernaan, meningkatkan nafsu makan, mewarnai mukosa, dan mengatasi kebosanan hidup.3 Adapun efek negatif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan umum diantaranya dapat menyebabkan terjadinya penyakit kardiovaskular, karsinoma hepatoselular, sirosis hepatitits, hiperlipidemia, hiperkalsemia, penyakit ginjal kronis, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, sindroma metabolik, induksi hormon ekstrapiramidal, milk-alkali syndrome, induksi displasia serviks uterus, kanker kerongkongan dan hepar, berat lahir bayi rendah pada ibu penyirih, dan predisposisi kolonisasi Helicobacter pylori dalam saluran pencernaan.4

Pada rongga mulut, efek negatif kebiasaan menyirih terbagi dua, yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi. Efek menyirih terhadap mukosa mulut yaitu dapat menyebabkan lesi oral berupa leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid, perubahan warna pada mukosa mulut, penyakit periodontal, dan kanker mulut.4,5 Sedangkan efek menyirih terhadap gigi yaitu menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, nekrosis pulpa, dan terbentuknya stein dan kalkulus pada gigi.6

Komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Dalam campuran sirih, terdapat bahan yang bersifat kasar yaitu kapur. Kapur memiliki sifat kasar karena pada umumnya terbuat dari kulit kerang atau batu kapur yang dihaluskan. Kekasaran kapur menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi dalam proses menyirih. Berdasarkan hal tersebut, tekanan pengunyahan akan meningkat karena frekuensi pengunyahan meningkat. Tekanan dan frekuensi pengunyahan yang berlebihan akan menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan


(18)

gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi.4 Atrisi gigi terjadi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.6

Sebagai respon dari stimulus eksternal (misalnya atrisi), maka dibentuk dentin tertier. Ketika injuri terjadi adalah injuri yang cukup parah menyebabkan kematian sel odontoblas, maka sel yang menyerupai sel odontoblas (odontoblast-like-cell) akan membentuk kristal kalsium fosfat dalam tubulus dentin untuk melindungi jaringan pulpa.7 Dentin tertier terbentuk pada daerah permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan terlokalisasi pada daerah iritasi. Tubulus dalam dentin tertier tidak beraturan, sehingga membuat dentin tertier tidak permeabel terhadap stimulus eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin tertier dianggap bukan odontonblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti sel fibroblas dalam zona yang kaya sel, sel endotelial atau pericyte vaskulatur darah yang menstimulasi TGF-β (Transforming Growth Factor) seperti proliferasi sel, diferensiasi, dan sintesa matriks. TGF-β juga menginduksi odontoblast-like-cell pada proses perbaikan dentin

(dentin repair).8 Dentin tertier, terutama di daerah perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat menghalangi iritan masuk ke pulpa.8 Berdasarkan penelitian Parmer (2008), penyirih memiliki prevalensi atrisi dan sensitivitas gigi yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengunyah sirih. Hal ini disebabkan karena beban dan frekuensi pengunyahan yang berlebihan serta gigi terpapar dengan berbagai komponen dari campuran sirih.9 Keith (1988) menyatakan bahwa trauma kronis yang berulang terjadi dikarenakan kebiasaan mengatup-katupkan dan mengasah gigi dapat merangsang perubahan bentuk sendi atau dapat memulai proses degeneratif. Mengunyah pinang yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, pewarnaan dan pembentukan faset pada gigi, dan prevalensi periodontitis yang lebih tinggi.10

Kebiasaan menyirih masih banyak dijumpai pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara. Pengaruh menyirih akan mempengaruhi kesehatan gigi berupa atrisi dan sebagai bentuk proteksi dari gigi akan menyebabkan pembentukan dentin tertier.


(19)

Dengan adanya pembentukan dentin tertier, rasa sakit dan nyilu terhambat sehingga penyirih bisa menyirih terus-menerus tanpa adanya rasa sakit. Berdasarkan hal ini, penulis merasa tertarik untuk melihat mikrostruktur dentin tertier yang dibentuk sebagai respons untuk melindungi jaringan pulpa pada gigi perempuan menyirih suku Karo dengan metode Scanning Electron Microscope (SEM).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat perubahan mikrostruktur dentin tertier pada gigi molar pertama bawah permanen penyirih di Pancur Batu Medan dalam hal :

1. Tebal dentin tertier. 2. Diameter tubulus dentin.

3. Pembentukan kristal di tubulus dentin. 4. Bentuk margin tubulus dentin.

5. Tipe tubulus dentin. 1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui perubahan mikrostruktur dentin tertier pada mesio bukal tanduk pulpa dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM) :

1. Tebal dentin tertier. 2. Diameter tubulus dentin.

3. Pembentukan kristal di tubulus dentin. 4. Bentuk margin tubulus dentin.

5. Tipe tubulus dentin. 1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai data dan informasi mengenai mikrostruktur dentin tertier pada gigi penyirih.

2. Sebagai bahan masukan dalam perkembangan ilmu kedokteran gigi khususnya mengenai dentin tertier.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Gigi

Enamel, dentin dan sementum adalah bagian dari gigi yang sebagian besar terdiri dari jaringan keras. Enamel mengandung zat anorganik dalam jumlah yang besar sehingga merupakan bagian yang terkeras. Namun, karena letaknya paling luar, maka kerusakan enamel sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam rongga mulut. Faktor yang berpengaruh pada kerusakan enamel salah satunya adalah keasaman makanan dan minuman yang akan menyebabkan keausan enamel yang disebut erosi gigi.7


(21)

Dilihat dari struktur utama enamel, prisma merupakan struktur komponen terluas dengan lebar 4-6 mikron, prisma ini memanjang dari arah perbatasan enamel dan dentin ke permukaan enamel serta saling mengikat satu sama lain. Pada potongan melintang nampak seperti ‘keyhole’ yang terdiri atas kepala dan ekor, arah prismata ke permukaan tidak lurus melainkan bergelombang untuk mempertinggi ketahanannya terhadap gaya yang datang. Di bagian kepala prisma terdapat selubung prisma (prisma sheath) dengan tebal 0,5 mikron yang di dalamnya terdapat kristal hidroksiapatit. Sumbu kristal sejajar dengan arah prismata di dasar prismata dan nampak memanjang di ujung prismata. Cross striations terdapat diantara kristal, bagian luar dari ‘cross striations’ terdapat striae of retzius yang arahnya dari perbatasan enamel dan dentin ke permukaan bersudut tajam.11

Enamel terdiri dari 96% bahan anorganik sisanya bahan organik dan air, sebagian besar bahan anorganik terdiri dari ion kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2]. Secara rinci, Williams dan Elliot (1979) menyusun komposisi mineral enamel normal dari persentase terbesar yaitu Ca, P, CO2, Na, Mg, Cl dan K dan elemen dengan jumlah yang kecil yaitu F, Fe, Zn, Sr, Cu, Mn, Ag. Ion fluor sangat esensial pada pembentukan dan perkembangan enamel karena dapat menggantikan gugus hidroksil sehingga membentuk fluor apatit [Ca10(PO4)6(F)2].7,12 Enamel merupakan jaringan yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengantikan bagian-bagian yang rusak, oleh karena itu setelah gigi erupsi enamel akan terlepas dari jaringan-jaringan lainnya yang ada dalam gusi.11 Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat memperkuat enamel yaitu terjadinya perubahan susunan kimia sehingga enamel akan lebih kuat menghadapi rangsangan-rangsangan yang diterimanya seperti pemberian fluor, saliva yang jenuh akan kalsium dan fosfat sehingga dapat mengurangi kelarutan permukaan enamel.13 Namun pada pH di bawah 5.5, mineral akan terlepas dari permukaan enamel.14

2.1.2 Dentin

Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah lapisan enamel yang menyusun sebagian besar gigi. Struktur dentin hampir sama


(22)

dengan tulang namun dentin dibentuk oleh odontoblas dimana pembentukan dentin dikenal dengan dentinogenesis. Dentin terdiri dari 70% kristal hidroksiapatit (anorganik), 18% zat organik yang tersusun dari kolagen, substansi dasar mukopolisakarida, dan 12% air. Tipe modifikasi dari dentin dikenal dengan dentin sekunder dan dentin tertier. Dentin yang termineralisasi bersama dengan pulpa membentuk suatu hubungan yang disebut dengan kompleks dentin-pulpa yang bertanggung jawab dalam memelihara vitalitas gigi.7

Secara mikroskopis, dentin terdiri dari berbagai struktur diantaranya tubulus dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin, dan prosesus odontoblas. Masing-masing struktur memiliki kegunaan seperti tubulus dentin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap permeabilitas dentin terhadap jaringan.15

Secara histologis dentin terdiri atas : 1. Tubulus Dentin

Tubulus dentin merupakan kanal-kanal yang memanjang dari daerah pulpa sampai ke batas dentin-enamel. Tubulus dentin berbentuk seperti garis-garis yang tersusun mengikuti arah mahkota dan garis-garis ini menyerupai huruf S. Tubulus yang terletak dekat dengan puncak akar dan tepi insisal bentuknya lebih lurus.7 Perbandingan antara dentin yang berada pada permukaan luar dengan dentin yang berada pada permukaan dalam adalah 5:1 sehingga tubulus-tubulus memiliki jarak yang lebih jauh antara satu dengan yang lain pada daerah garis permukaan luar, sementara pada daerah permukaan dalam jarak antar tubulus lebih dekat. Tubulus-tubulus dentin pada daerah yang berdekatan dengan pulpa memiliki diameter yang lebih besar (3-4 µm) dan lebih kecil pada permukaan luar (1 µm). Tubulus dentin memiliki cabang lateral di seluruh dentin dimana tubulus ini diisi oleh kanalikuli atau mikrotubulus. Beberapa tubulus dentin memanjang sampai beberapa millimeter pada batas dentin-enamel yang disebut dengan enamel spindle.7


(23)

Gambar 1. Tubulus dentin normal.7 2. Peritubulus Dentin

Dentin yang mengelilingi tubulus dentin disebut dengan peritubulus dentin yang termineralisasi 40% lebih banyak daripada intertubulus dentin dan dua kali lebih tebal pada permukaan luar dentin daripada permukaan dalam dentin.7

3. Intertubulus Dentin

Secara keseluruhan dentin tersusun atas intertubulus dentin yang terletak antara terletak antara tubulus atau lebih spesifik lagi terletak diantara daerah peritubulus.7


(24)

Gambar 2. A. Peritubulus dentin; B. Intertubulus dentin7

4. Predentin

Predentin terletak berdekatan dengan jaringan pulpa dengan lebar sekitar 2-6µm, dan lebar ini tergantung pada aktivitas odontoblas. Predentin merupakan pembentukan awal dari dentin dan predentin tidaklah termineralisasi.10 Serat kolagen bertanggung jawab dalam proses mineralisasi antara dentin dan predentin, dimana predentin menjadi dentin dan terbentuk sebuah lapisan baru dari predentin.7

Gambar 3. Predentin7


(25)

Prosessus odontoblas merupakan perpanjangan sitoplasma dari odontoblas. Odontoblas terletak disekitar pulpa yaitu diantara batas pulpa dengan predentin dan prosessusnya memanjang sampai tubulus dentin. Prosessus odontoblas memiliki diameter terbesar pada daerah disekitar pulpa (3-4µm) dan meruncing kira-kira 1µm memasuki dentin. Badan sel dari odontoblas memiliki diameter kira-kira 7µm dan panjangnya 40 µm.7

Gambar 4. A. Peritubulus dentin; B. Intertubular dentin; C. Prosessus odontoblas; D. Predentin7

2.1.2.1 Dentin Primer

Dentin primer merupakan dentin yang pertama kali terbentuk seiring dengan berjalannya pertumbuhan gigi. Dentin ini terbentuk dari mulai pembentukan gigi sampai gigi tersebut erupsi sempurna dan merupakan bagian terbesar dari gigi. Matriks dentin primer terbentuk dengan cepat pada saat perkembangan gigi. Lapisan terluar dari dentin primer terletak tepat dibawah enamel, secara histologis dentin primer memiliki tubulus dentin yang lebih banyak daripada dentin sekunder.15

2.1.2.2 Dentin Sekunder

Dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus menerus seumur hidup, mulai dari gigi erupsi sempurna sampai berfungsi secara fungsional.


(26)

Setelah pembentukan dentin primer selesai, odontoblas memasuki fase istirahat barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang fisiologis.16 Dentin sekunder yang terbentuk lebih lambat daripada pembentukan dentin primer dan deposit dentin yang semakin bertambah secara tidak langsung dapat memperkecil kamar pulpa. Pembentukan deposit dentin sekunder tidak merata pada setiap tepi kamar pulpa terutama pada gigi molar. Deposit dentin yang paling banyak terbentuk adalah pada bagaian atap pulpa dan lantai pulpa sehingga penurunan ukuran dan bentuk kamar pulpa menjadi tidak simetris.17 Stimulus yang ringan seperti pengunyahan fisiologis dapat menyebabkan iritasi kronis (atrisi) dan menyebabkan deposit dentin sekunder terbentuk oleh aktifitas odontoblas sehingga pulpa mengalami kalsifikasi pada daerah yang searah dengan iritasi kronis yang terjadi. Selain itu pembentukan dentin sekunder dimulai pada sisi pulpa yang berkontak dengan gigi antagonis pada saat pengunyahan.15

Dentin sekunder regular dibentuk secara teratur dan secara fisiologis didepositkan mengelilingi tepi pulpa selama pulpa masih vital, sehingga kamar pulpa secara progresif akan menyempit sesuai dengan bertambahnya usia, hal ini terjadi selama lingkungan di sekitar struktur dan jaringan gigi tetap stabil dan konstan tanpa ada trauma ataupun rangsangan dari luar.16

Bila ada trauma dari luar yang cukup signifikan maka akan terbentuk dentin sekunder iregular pada tepi pulpa pada tubulus yang berhubungan dengan iritan yang diterima dari luar. Sepanjang hidup dentin akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, termasuk keausan normal, karies, prosedur operatif dan restorasi, serta trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon protektif melalui terbentuknya dentin sekunder iregular. Pembentukan dentin sekunder iregular merupakan suatu mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau terkena penyakit di permukaan pulpa.18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan cara serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus-tubulus dentin mengalami kalsifikasi, dan aktifnya odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Kemudian odontoblas mensintesis dan mensekresi matriks anorganik menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya mineralisasi matriks tersebut, sehingga menghasilkan dentin sekunder yang


(27)

permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer. Hal ini memungkinkan gigi mempertahankan diri terhadap efek atrisi, karies gigi, dan bentuk lain dari trauma. Bukti menunjukkan bahwa dentin sekunder irregular melindungi pulpa dengan mengurangi masuknya iritan.15

Gambar 5. A. Dentin primer; B. Dentin sekunder; C. Dentin reparative15

2.1.2.3 Dentin Tertier

Dentin tertier adalah reparasi atau pemulihan setelah terjadinya injuri pada banyak tisu pada suatu jaringan. Apabila lesi mengenai dentin, respon pulpa akan mendeposit lapisan dentin tertier pada tubulus dentin primer atau sekunder yang berhubungan dengan lesi tersebut. Pembentukan dentin tertier tergantung pada odontoblas yang terlibat dalam proses injuri.8

Dentin tertier secara morfologi berbeda dengan dentin primer terhadap variasi dalam mekanisme molekular pembentukannya. Menurut Olgart dan Bergenholtz (2003), apabila dibandingkan dentin tertier dengan dentin primer, dentin tertier kurang sensitif terhadap termal, osmotik, dan stimuli evaporatif. Tubulus dentin tertier lebih irregular dengan lumina yang lebih besar. Dalam beberapa kasus, tidak ada pembentukan tubulus dentin. Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada


(28)

beberapa faktor seperti terjadinya inflamasi yang parah, sampai terjadinya injuri selular, dan kadar differensiasi odontoblas pengganti. 8

Dentin tertier kurang permiebal terhadap ransangan external dibandingkan dengan dentin primer. Sepanjang pembatasan antara dentin primer dan tertier, dinding tubulus dentin lebih tebal dan tubulusnya berisi material yang menyerupai dentin peritubular. Zona pembatasan kurang permeabel dari dentin pada umumnya dan berfungsi sebagai penghalang masukannya bakteri dan produknya. Penelitian Kim S, Trowbridge H dan Suda H (2002) menyatakan bahwa akumulasi sel dendritic pulpa berkurang setelah pembentukan dentin tertier yang mengindikasikan berkurangnya kemasukan antigen bakterial.8 Terdapat 2 tipe dentin tertier yang terdiri atas :

1. Dentin Reaksioner

Dentin reaksioner adalah pembentukan dentin tertier oleh odontoblas primer setelah terjadi injuri pada gigi. Dentin ini sering dijumpai pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan.8

Lesi karies yang berkembang perlahan dikategorikan sebagai peningkatan mineralisasi awal pada dentin yang terlibat. Hiper mineralisasi ini terjadi apabila proses karies berlangsung di enamel sebelum mengenai dentin. Sebelum karies mengenai dentin, beberapa garam mineral yang terlarut didalam tubulus akan berkumpul dan membentuk zona hiper mineralisasi transparan didalam dentin dan dibawah dentin yang mengalami demineralisasi pada bagian karies.8

Secara histologi terdapat perubahan kecil pada regio odontoblas-predentin sesuai dengan karies yang sedang berkembang, tetapi terdapat juga pembentukan dentin reaksioner yang bertambah. Kebanyakan odontoblas aktif walaupun agak pendek dari sebelumnya, panjang odontoblas berkurang sehingga membentuk dentin reaktioner tidak sesuai dengan bertambahnya produksi matriks. Bertambahnya produksi matriks akan menyebabkan bertambahnya organel intrasellular dan membentuk sel formatif yang lebih besar. Sel subodontoblastic dan


(29)

dalam membentuk dentin, maka tubulus dentin berhubungan dengan dentin primer ke dentin sekunder dan dentin tertier, maka jalan masuk ke pulpa masih terbuka. Regio

subodontoblastic dari morfologinya tidak terganggu dari tetapi sel bebas di zona tetap

tidak ada karena ada perubahan dari area fisiologis tersebut. Komponen yang lain sering ditemukan seperti fibroblast, sel yang tidak terdifferensiasi dan sel dendrit.8

Dentin reaksioner yang terbentuk karena lesi karies superfisial mungkin masih menyerupai dentin primer dari segi tubulus dan derajat mineralisasinya. Secara umum, tubulus dentin reaksioner masih bersambungan dengan dentin sekunder, sehingga ketebalan lapisan yang baru terbentuk berdasarkan intensitas dan waktu stimulus. Dentin reaksioner mengandungi matriks organik yang sama dengan konten mineral yang menyerupai dentin primer dan sekunder.8

2. Dentin Reparatif

Dentin reparatif merupakan lapisan dentin yang terbentuk pada batas antara dentin dan pulpa. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area di bawah stimulus, struktur dentin ini bervariasi mulai dari yang regular (seperti dentin primer dan sekunder) hingga variasi irreguleritas dapat terbentuk jaringan yang abnormal dengan sedikit tubulus, banyak daerah interglobular, dan terdapat odontoblas.7

Gambar 6. A. Dentin reparatif; B. Dentin sklerotik8 2.a Fungsi Dentin Reparatif


(30)

Pembentukan dentin reparatif adalah suatu mekanisme pertahanan yang utama secara alamiah dentin ini menutup luka atau penyakit pada tubulus dentin di permukaan pulpa, sehingga menghilangkan efek dari atrisi, karies, dan bentuk lain dari trauma. Dentin primer (dentin dalam perkembangan) terbentuk selama perkembangan gigi. Sementara dentin sekunder fisiologis (dentin regular) adalah dentin yang didepositkan disekeliling pulpa selama masih aktif dari gigi vital, sehingga kamar pulpa akan mengecil sesuai dengan perkembangan usia. Dentin tertier (dalam reparatif) terbentuk pada ujung pulpa dari tubulus yang berhubungan dengan iritan seperti atrisi dan karies gigi.8 Dinding tubulus sepanjang pertautan dentin primer dan tubulus di dalam dentin tertier mengecil dan sering tertutup. Dengan demikian, zona pertautan ini akan membatasi difusi iritan ke dalam pulpa.19 Namun dentin tertier yang kualitasnya rendah tidak bisa memberikan proteksi seperti itu, ketika pulpa terinflamasi akibat adanya iritasi, dentin tertier yang terbentuk sering mengandung tempat-tempat kosong (void) tempat terperangkapnya jaringan lunak sehingga tampilan dentin terlihat seperti ‘keju swiss’. Jika dentin dipotong dengan kecepatan tinggi tetapi disertai semprotan air sebagai pendingin maka pembentukan dentin tertier akan menurun karena diminimalkannya trauma terhadap pulpa.19

2.b Patogenesis Terjadinya Dentin Reparatif

Dentin reparatif terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan akan terlokal di area iritasi, dentin ini membentuk secara proposional dengan jumlah dentin primer yang hancur. Tingkatnya berbanding terbalik dengan tingkat serangan karies, yaitu semakin banyak dentin yang dibentuk terhadap lesi karies yang perkembangannya lambat.8 Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan atau sering tidak ada, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap stimuli eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan odontoblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblast dalam zona yang kaya sel, sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang dibedakan terhadap stimulasi oleh faktor-β perkembangan jaringan.20 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat menghalangi ingress irritan terhadap pulpa.21


(31)

Jika odontoblas aktif yang membentuk dentin sekunder terlibat dalam pembentukan dentin tertier, jadi dentin tertier yang dibentuk dinamakan dentin reaksionar. Secara umumnya pada dentin reaksionar, laju pembentukan dentinnya bertambah, tetap tubulus dentinnya masih bersambungan dengan dentin sekunder.8 Apabila stimulus masih berterusan dapat menyebabkan hancurnya sel odontoblas yang asli. Kemudian, odontoblast like cell yang berdiferensiasi akan membentuk dentin tertier yang kurang tubulusnya, lebih irregular dan tubulusnya tidak lagi bersambungan dengan tubulus dentin sekunder. Sel yang baru terbentuk itu, pada awalnya bentuk kuboidal, tanpa adanya proses dari odontoblas yang penting dalam pembentukan tubulus dentin. Terbentuknya sel tersebut adalah karena perlepasan host dari growth factor yang terikat pada kolagen selama pembentukan dentin sekunder. Kehilangan lapisan kontinuous odontoblas menyebabkan terpaparnya predentin yang tidak termineralisasi yang mengandungi kedua-dua bentuk larut dan tidak larut

transforming growth factor (TGF)-beta, insulin-like growth factor (IGF)-I and –II, bone morphogenetic proteins (BMPs), vascular endothelium growth factor (VEGF),

dan growth factor lainnya yang menarik dan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi mesenchymal stem cells untuk pembentukan dentin reparatif dan pembuluh darah baru.8,20


(32)

Sebagai respon dari berbagai macam stimulus eksternal seperti karies gigi, atrisi, trauma, maka dentin akan terbentuk.15 Ketika injuri yang terjadi adalah injuri yang cukup parah sehingga menyebabkan kematian sel odontoblas maka sel yang menyerupai sel odontoblas akan membentuk dentin tertier hanya pada daerah yang dekat dengan injuri untuk melindungi jaringan pulpa.7 Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin reparatif sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin reparatif berubah-ubah dan sangat tidak teratur mulai dari tubular yang terputus-putus sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin reparatif menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus. Terdapat 4 tipe tubulus dentin berdasarkan distribusi tubulus dan susunannya yaitu, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe kombinasi dan tipe osteodentin.17

Gambar 8. A. Tubulus dentin normal; B. Dentin reparatif dengan tubulus dentin yang sedikit; C. Termasuk sel didalam matrix; D. Tubulus yang tersusun secara irregular; E. Kombinasi dari beberapa tipe tubulus; Dari B ke E semuanya tipe-tipe tubulus dentin pada dentin reparatif17


(33)

Pulpa gigi merupakan jaringan ikat yang unik karena dikelilingi oleh jaringan keras. Pulpa gigi berasal dari sel-sel ektomesenkim papila dentis. Dalam pembentukannya, sel-sel ektomesenkim tersebut baru dapat dikatakan sebagai jaringan pulpa gigi setelah dentin terbentuk. Fungsi utama pulpa gigi adalah fungsi formatif, yaitu berperan dalam membentuk odontoblas yang akan membentuk dentin.16 Fungsi lainnya adalah :

1. Induktif, menginduksi pembentukkan email dengan mengembangkan sel odontoblas yang dapat membentuk dentin.

2. Nutritif, menyediakan nutrisi yang diperlukan bagi pembentukkan dentin. 3. Defensif, membentuk pertahanan dari invasi bakteri atau benda asing yang

masuk melalui tubuli dentin.

4. Sensatif, memberikan rasa atau sensasi sebagai respons terhadap berbagai rangsangan.

Fungsi pulpa gigi tergantung pada jenis sel yang berperan didalamnya. Sel-sel yang menyusun jaringan pulpa gigi yaitu:

• Odontoblas

Odontoblas merupakan sel yang paling penting dari keseluruhan jaringan pulpa gigi, odontoblas juga merupakan sel yang paling tinggi tingkat diferensiasinya. Odontoblas berfungsi untuk menghasilkan komponen organik matriks pre-dentin dan dentin, seperti kolagen (khususnya tipe I) dan proteoglikan. Odontoblas merupakan sel akhir dan tidak dapat mengalami mitosis lagi.21

• Fibroblas

Fibroblas merupakan sel yang paling banyak ditemui pada jaringan pulpa gigi, fungsi utama dari sel ini adalah mensintesis kolagen tipe I dan III, fungsi lainnya adalah mensintesis dan mensekresi komponen non-kolagen matriks ekstraselular. Aktivitas mitosis fibroblas cukup lambat pada orang dewasa, namun akan bermitosis dengan cepat bila terjadi kerusakan jaringan.21

• Sel Mesenkim yang tidak terdiferensiasi

Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi fibroblas ataupun odontoblas tergantung dari rangsangan yang diterima. Sel ini merupakan cadangan dari adanya kekurangan


(34)

sel-sel seperti fibroblas atau odontoblas yang ada. Pada manusia lanjut usia, jumlah sel ini sedikit sehingga kemampuan sel pulpa untuk regenerasi pun berkurang.7

• Immunocompetent

Sel yang termasuk di kategori ini merupakan sel pertahanan yang masuk melalui aliran darah. Sel ini berfungsi saat adanya invasi bakteri atau benda asing yang masuk. Sel imun yang banyak dijumpai pada pulpa gigi adalah limfosit, makrofag, dan dendritik.21

Sel-sel immunocompetent dapat merespon berbagai situasi klinis yang dapat menyebabkan kehilangan integritas jaringan keras gigi. Salah satunya adalah respon peradangan. Radang pada pulpa gigi (pulpitis) terjadi apabila terdapat invasi bakteri ataupun produk-produknya, pulpitis juga dapat terjadi apabila terdapat iritasi kimia, fisik, thermis, serta stimulasi elektrik. Anatomi pulpa gigi yang dikelilingi oleh jaringan keras mengakibatkan tampilan klinis peradangan yang terjadi pada pulpa gigi berbeda dengan di lokasi lainnya. Gejala klinis peradangan seperti panas, bengkak, dan kemerahan tidak dapat dilihat pada pulpitis, hanya rasa nyeri saja yang menjadi gejala klinis pada keadaan pulpitis.19

2.2 Gigi Molar Pertama Bawah Permanen

Gigi molar pertama bawah permanen merupakan gigi yang paling sering direstorasi, dan mendapat perawatan saluran akar. Gigi ini merupakan gigi permanen yang pertama erupsi di rongga mulut, yaitu pada usia 6-7 tahun.22

Crown dari gigi ini memiliki lima cusp fungsional; tiga cusp di bagian bukal (mesiobukal, distobukal, dan distal) dan dua cusp di bagian lingual (mesiolingual dan distolingual) (gambar 9). Cusp mesiobukal merupakan cusp yang memiliki ukuran paling besar dan lebar pada gigi ini.23

Secara umum, gigi molar pertama permanen memiliki dua akar (gambar 9), satu di bagian mesial dan satu di distal. Akar mesial pada gigi ini memiliki ukuran yang lebih lebar dan melengkung ke arah mesial dari garis servikal hingga sepertiga akar, kemudian melengkung ke arah distal hingga apeks gigi. Gigi molar pertama permanen bawah juga memiliki variasi jumlah akar yang beranekaragam, dimana


(35)

dapat dijumpai jumlah akar lebih dari dua, seperti : akar distal yang bercabang menjadi dua, ataupun adanya akar tambahan di bagian distolingual yang disebut radix

entomolaris.23

Gigi molar pertama permanen bawah umumnya memiliki tiga saluran akar; dua saluran akar di akar mesial dan satu saluran akar besar berbentuk oval di bagian distal. Pada akar mesial terdapat saluran akar mesiobukal dan mesiolingual, akan tetapi terkadang dapat terjadi variasi dimana ditemukan saluran akar tambahan diantaranya yang disebut saluran akar mesial tengah dengan insidensi hingga 15%.24


(36)

2.3 Atrisi Gigi

Secara umum, atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu atrisi fisiologis dan atrisi patologis.12 Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. Atrisi patologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan yang abnormal.13 Pengunyahan yang abnormal ini dapat berupa kebiasaan parafungsi seperti bruxism dan clenching, serta kebiasaan mengunyah sirih atau pinang.25,26 Atrisi gigi terjadi akibat dari hasil interaksi yang kompleks antara gigi, struktur pendukungnya, serta fungsi komponen pengunyahan.14

Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi, tetapi juga mengakibatkan perubahan pada skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya.27 Tingkat dan perluasan atrisi gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologis gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan.28 Atrisi tidak hanya disebabkan karena terpaparnya gigi oleh beban pengunyahan dalam jangka waktu yang lama, tetapi juga berkorelasi dengan kebersihan gigi, disgnati, bruxism, dan kebiasaan diet.29 Menurut penelitian sebelumnya, atrisi terjadi lebih banyak di gigi posterior mandibular daripada gigi posterior maksila dan terjadi lebih banyak pada bagian bukal gigi molar dibandingkan dengan bagian lingual gigi molar.29 ,30

2.3.1 Efek Atrisi Terhadap Pembentukan Dentin Tertier

Dalam proses mastikasi abnormal terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi.31 Tekanan pengunyahan yang besar akan menyebabkan gigi menerima gesekan mekanis yang besar dari gigi


(37)

antagonisnya. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.6,7 Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin.14 Dentin yang terpapar, saat menerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu.15 Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier.32

Dentin tertier terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan akan terlokal di area iritasi. Dentin ini terbentuk secara proposional dengan jumlah dentin primer yang hancur. Tingkat terbentuknya dentin tertier berbanding terbalik dengan tingkat serangan karies, yaitu pembentukan dentin tertier besar terhadap lesi karies yang perkembangannya lambat. Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan atau sering tidak ditemukan, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap stimuli eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan odontonblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblas dalam zona yang kaya sel, sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang dibedakan terhadap stimulasi oleh faktor-β perkembangan jaringan.8 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat menghalangi ingress irritan terhadap pulpa.16

2.4 Kebiasaan Menyirih

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan menyirih merupakan praktek kuno yang umum di banyak negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropah, dan Amerika Utara, yang melengkapi penerimaan sosial dibanyak masyarakat dan juga populer di kalangan wanita. Kebiasaan mengunyah sirih telah dikenal dan dilaporkan di berbagai negara seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh,


(38)

Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua New Guinea, beberapa Pulau Pasifik, dan populasi migran di tempat-tempat seperti Afrika Selatan dan Timur, Inggris, Amerika Utara, dan Australia.1

Menyirih juga merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia, kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat atau pada acara yang sifatnya ritual keagamaan.2 Kebiasaan menyirih juga dijumpai pada masyarakat suku Karo, khususnya pada perempuan suku Karo di Pancur Batu Medan. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai saat ini, baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada saat upacara adat.2-3

Komposisi menyirih bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya dan dari satu suku ke suku yang lainnya, pada suku karo di Pancur Batu Medan, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Pada suku Jawa, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang, dan kapulaga, yang dapat ditambahi dengan cengkeh atau kayu manis. Di Nusa Tenggara Timur, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, pinang, dan kapur sedangkan suku Dayak di Kalimantan, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, yang sering ditambah dengan kapulaga, cengkeh, kunyit, dan daun jeruk dan di Papua, khususnya masyarakat di wilayah pesisir pantai, komposisi menyirih terdiri atas pinang, buah sirih, dan kapur.2,3

Menyirih memiliki efek positif dan negatif terhadap kesehatan umum maupun rongga mulut. Efek positif kebiasaan menyirih dan terhadap kesehatan umum diantaranya dapat menetralkan asam lambung, mengobati sakit perut, sakit kepala, dan demam, relaksasi, meningkatkan konsentrasi, mengembalikan mood bekerja, meningkatkan kapasitas kerja, kewaspadaan, dan stamina, menekan rasa lapar, mengurangi gejala schizophrenia, mencegah morning sickness pada ibu hamil, dan mencegah osteoporosis. Efek positif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga mulut adalah dapat menyegarkan nafas dan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab karies gigi. Efek negatif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan umum


(39)

diantaranya terkait dengan penyakit kardiovaskular, karsinoma hepatoselular, sirosis hati, hiperlipidemia, hiperkalsemia, penyakit ginjal kronis, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, sindrom metabolik, induksi hormone ekstrapiramidal, sindrom milk-alkali, induksi displasia serviks uterus, kanker kerongkongan dan hati, berat lahir bayi rendah pada ibu penyirih/penyuntil, dan predisposisi kolonisasi Helicobacter pylori dalam saluran pencernaan.4 Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua, yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi. Terhadap mukosa mulut menyirih dan menyuntil dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid,15 perubahan warna pada mukosa mulut, penyakit periodontal, dan kanker mulut.4,5 Terhadap gigi menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, nekrosis pulpa, dan terbentuknya stein dan kalkulus pada gigi.6

2.4.1 Efek Menyirih Terhadap Atrisi Gigi

Dalam proses menyirih terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi, hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi.31 Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. Dalam campuran sirih bahan yang bersifat kasar adalah kapur. Kapur memiliki sifat kasar karena pada umumnya kapur dari kulit kerang atau batu kapur yang dihaluskan. Kekasaran kapur menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi dalam proses menyirih.33

Dalam campuran sirih juga terdapat bahan pinang yang memiliki sifat keras. Ketika dikunyah, bahan pinang yang keras akan menstimuli otot-otot pengunyahan, sehingga memberikan tekanan pengunyahan yang besar. Tekanan pengunyahan yang besar akan menyebabkan gigi menerima gesekan mekanis yang besar dari gigi antagonisnya atau bahan pinang, semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin


(40)

cepat terjadi atrisi gigi yang parah.6,7 Tekanan pengunyahan yang besar dapat menyebabkan arthrosis pada sendi temporomandibular.32 Apabila kapur dan pinang digunakan dengan frekuensi yang tinggi, gigi dengan segera akan mengalami atrisi gigi yang parah. Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin.14 Dentin yang terpapar, saat memerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu.15 Dentin terdiri atas 70% materi anorganik dan 30% materi organik.17 Hal ini menyebabkan atrisi gigi yang terjadi pada lapisan dentin lebih cepat daripada lapisan enamel. Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier.32

Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.4 Stain ekstrinsik pada gigi yaitu perubahan warna gigi menjadi hitam atau coklat karena deposit dari mengunyah sirih sering dijumpai pada penyirih, terutama pada penyirih dengan profilaksis kebersihan mulut yang kurang dan perawatan gigi yang tidak teratur.33 Berdasarkan penelitian Parmer (2008), pengunyah sirih memiliki prevalensi atrisi dan sensitivitas gigi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengunyah sirih. Hal ini disebabkan beban dan frekuensi pengunyahan yang berlebihan dan terpapar dengan berbagai komponen dari campuran sirih.28 Keith (1988) menyatakan bahwa trauma kronis yang berulang karena kebiasaan mengatup-katupkan dan mengasah gigi dapat merangsang perubahan bentuk sendi atau dapat memulai proses degeneratif. Mengunyah pinang yang dilakukan besamaan dengan kegiatan menyirih telah diketahui secara luas dapat menyebabkan atrisi gigi, pewarnaan dan pembentukan faset pada gigi, dan prevalensi periodontitis yang lebih tinggi.9

Atrisi gigi, baik pada interproksimal maupun oklusal, dapat dianggap sebagai akibat dari serangkaian interaksi antara gigi, struktur pendukungnya, dan komponen pengunyahan. Hal ini dihasilkan oleh kontak gigi dengan gigi antara gigi yang


(41)

berantagonis. Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi, tetapi juga pada perubahan skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya.33

Tingkat dan perluasan keausan gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologi gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan, bruxism atau pengasahan gigi dan aksi non-pengunyahan.33

2.5 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang digunakan untuk

melihat detail permukaa secara pemakaiannya pada bidang studi ilmu kedokteran. SEM telah memungkinkan peneliti untuk memeriksa berbagai spesimen menjadi jauh lebih jelas.34

Pengembangan mikroskop elektron mulai pada tahun 1920-an. Dengan pimpinan ilmuwan asal Jerman Ernst Ruska dan Max Knoll, Transmission Electron

Microscopy (TEM) dikembangkan pada tahun 1930-an oleh Ruska. Karena hasil

penemuan tersebut yang mengejutkan dunia, Ernst Ruska mendapat penghargaan Nobel Fisika pada tahun 1986. Tidak jauh dari lahirnya TEM, SEM dikembangkan pertama kali tahun 1938 oleh Manfred von Ardenne.34 Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optik dan TEM. Pada SEM gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut diberi sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor cathode ray tube (CRT). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar supaya bisa dilihat.33


(42)

Apabila diamati spesimen gigi yang atrisi parah dibawah SEM dapat dilihat pembentukan reparatif dentin dan dapat dibandingkan perbedaan mikrostruktur tubulus dentin normal dengan tubulus dentin tertier.35 Pada tubulus dentin normal tidak ada pembentukan kristal, tubulusnya teratur dan marginnya tidak kasar.36 Dimana pada tubulus dentin reparatif terdapat pembentukan kristal disepanjang tubulus dentin, kemudian dinding tubulus dentin tertier agak kasar dibandingkan dengan dinding tubulus dentin normal. Dimana dapat dilihat dengan jelas margin dinding tubulus dentin reparatif bentuknya irregular dibandingkan dengan yang normal, pada tubulus dentin reparatif diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal.37 Diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh kristal karena terjadinya kalsifikasi globular. Dalam pembesaran yang lebih besar dapat dilihat pembentukan kalsifikasi globular disekitar tubulus dentin dalam ukuran dan bentuk yang berbeda-beda dan tidak teratur.38


(43)

Gambar 11. Pada pembesaran 2200x dapat dilihat variasi diameter tubulus dentin. D. tubulus yang terinfeksi UA. Tubulus yang normal38

Gambar 12. Pada pembesaran 5500x dapat dilihat pembentukan kristal dan juga margin dinding tubulas dentin yang irregular38


(44)

Kebiasaan menyirih merupakan praktek kuno yang umum pada negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara, yang menjadi kebiasaan pada masyarakat dan juga populer di kalangan perempuan.1 Pada suku Karo di Pancur Batu Medan dijumpai kebiasaan menyirih, khususnya pada perempuan dan komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2,3

Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Salah satu efek negatif menyirih terhadap gigi adalah atrisi dimana menyirih menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi.6 Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih. Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi.27

Secara umum, atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu atrisi fisiologis dan atrisi patologis.12 Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. Atrisi patologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan yang abnormal.13 Pengunyahan yang abnormal ini dapat berupa kebiasaan parafungsi seperti bruxism dan clenching, serta kebiasaan mengunyah sirih atau pinang.21,22 Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin.14 Dentin yang terpapar, saat memerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu.15 Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier.28

Dentin tertier adalah dentin yang terbentuk pada jaringan pulpa, biasanya berlokasi pada bagian tepi dari pulpa dan sejajar dengan arah stimulus, khususnya


(45)

karena pengunyahan pada penyirih. Dentin tertier terbagi dua yaitu dentin reaksioner dan dentin reparatif. Dentin reaksioner digunakan untuk menjelaskan pembentukan dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi. Dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi sel. Pembentukan dentin reparatif adalah oleh odontoblast-like-cell dan dapat dijumpai pada lesi dentinal tubulus.8

2.7. Kerangka Teori

Menyirih

Proses mastikasi, frekuensi dan tekanan pengunyahan

meningkat.

Gesekan antara gigi menyebabkan kehausan gigi

Atrisi

Dentin

SEM (Scanning Electron

microscope)

Enamel

Atrisi mengenai dentin menyebabkan pembentukan

dentin tertier

Dentin Reparatif

Stimulus yang ringan dan masih ada odontoblas primer

Transforming Growth Factor (TGF-β), akan menginduksi proliferasi

dan diferensiasi mesenchymal stem

cells untuk pembentukan dentin

tertier dan pembuluh darah baru Dentin Reaksioner

Stimulus yang berat dan tidak ada odontoblas aktif


(46)

2.8. Kerangka Konsep

Proses mastikasi, frekuensi dan tekanan pengunyahan

meningkat. Gesekan antara gigi menyebabkan kehausan gigi

Atrisi

Dentin

Spesimen dimasukkan ke dalam larutan formalin 10% Enamel

Dentin Tertier Menyirih

2/3 dari akar gigi ditanam pada resin akrilik Garis horizontal dibuat dari arah mesial ke distal dengan

(Scanning Electron


(47)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain pengukuran deskriptif dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat mikrostruktur dentin tertier gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku Karo di Pancur Batu Medan.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Gigi dan Lab Uji Terpadu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Desember 2014.


(48)

Populasi dalam penelitian ini adalah gigi yang sudah dicabut dari perempuan penyirih suku Karo Pancur Batu Medan. Sampel penelitian merupakan gigi yang mengalami atrisi dan terdapat stein sirih. Gigi yang diambil adalah gigi molar pertama bawah permanen.

3.4 Kriteria Sampel

Kriteria pemilihan sampel dapat dibagi atas : kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Gigi molar pertama bawah permanen 2. Atrisi

3. Stein Sirih

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Gigi yang hanya tinggal radiks 2. Gigi yang fraktur

3. Gigi dengan karies 4. Gigi yang sudah ditambal

3.5 Besar Sampel

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 10 gigi molar pertama bawah permanen penyirih. Dimana gigi dibelah dua pada bahagian oklusal dan bagian bukal digunakan sebagai sampel. Kemudian total 10 spesimen gigi diamati dengan metode Scanning Electron Microscope (SEM).

3.6 Variabel Penelitian

Variabel Terkendali ● Suku

● Atrisi ● Stein Sirih


(49)

3.7 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan :

1. Formalin 10%

2. Dental lathe

3. Inverted cone diamond bur

4. Mikromotor

5. Rubber bowl dan spatula 6. Dental stone

7. Disc bur

8. Silicone carbide stone 9. Glass slide

10.Fine Coat Ion Sputter

11.Scanning Electron Microscope

Variabel Tergantung • Dentin tertier Variabel Bebas

• Gigi

Variabel Tidak Terkendali • Diet ● Lama menyirih • Oral hygiene ● Frekuensi menyirih • Force penguyahan


(50)

Gambar 13. Gambar mesin sputtering dan SEM1 3.8 Definisi Operasional

Definisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri dari daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun dan berkaitan erat dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat setempat.

2. Atrisi gigi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan. Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras.

3. Dentin tertier adalah lapisan dentin yang dibentuk pada batas antara dentin dan pulpa. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area terbatas di bawah stimulus. Struktur dentin ini bervariasi mulai dari yang regular (seperti


(51)

dentin primer dan sekunder) hingga variasi irreguleritas bahkan dapat terbentuk jaringan abnormal dengan sedikit tubulus, banyak daerah interglobuler, dan terdapat odontoblas.

4. Tebal dentin tertier adalah jarak antara perbatasan dentin-pulpa ke deposit dentin yang terbentuk di dalam pulpa yang dapat diukur dengan SEM. Tebal lapisan dentin tertier akan bertambah seiring dengan injuri yang terjadi diatas permukaan gigi tersebut. (Gambar 14)

Gambar 14. Pengukuran tebal pembentukan dentin tertier (Dokumentasi)

5. Diameter tubulus dentin tertier adalah jarak antar dinding dalam satu tubulus yang telah mengalami pembentukan kristal. Deposit-deposit yang berada dalam tubulus dentin tertier terbentuk dari kristal-kristal yang menjadikan struktur tubulus dentin irregular. (Gambar 15)


(52)

Gambar 15. Pengukuran diameter tubulus dentin Tertier (Dokumentasi).

6. SEM (Scanning Electron Microscope) adalah alat yang digunakan untuk melihat struktur permukaan sampel dengan perbesaran sampai dengan 1,000,000x. Peralatan ini dapat digunakan untuk melihat mikrostruktur daripada dentin tertier.

3.9 Prosedur Kerja I. Preparasi Gigi

1. Sampel gigi disimpan ke dalam larutan formalin 10%. 2. Sampel gigi dibersihkan dengan bur brush dan pumice. 3. 2/3 dari akar gigi ditanam pada resin akrilik.

4. Garis di buat pada permukaan oklusal gigi dari arah mesial ke distal dengan spidol.

5. Bagian oklusal dibuat groove dengan bur inverted cone.

6. Sampel gigi dipotong secara vertikal dari arah oklusal ke servikal dengan menggunakan disc bur.

7. Sampel gigi di potong secara horizontal pada 1/3 servikal dari arah bukal ke palatal.

8. Sampel gigi disimpan kembali ke dimasukkan ke dalam formalin 10%.

II. Pengamatan pada Scanning Electron Microscope (SEM) 1. Fiksasi dengan metallic stub.


(53)

2. Shooting pada bagian mesio bukal diatas tanduk pulpa.

3. Shooting pada 100x untuk melihat pembentukan tebal dentin tertier. 4. Shooting pada 3000x untuk melihat tipe tubulus dentin tertier.

5. Shooting pada 6000x untuk melihat pembentukan kristal pada tubulus dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier dan margin dinding tubulus dentin tertier.

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada gigi molar pertama bawah permanen yang sudah dicabut dari penyirih suku Karo di Pancur Batu Medan, jumlah sampel penelitian sebanyak 10 gigi. Jumlah sampel yang diperoleh sedikit karena gigi yang dicabut pada puskesmas tidak disimpan, juga dikarenakan tidak adanya data mengenai umur, frekuensi menyirih, dan lamanya menyirih. Data yang diperoleh dari sampel gigi penyirih ini adalah gigi yang atrisi dan ada stein sirih pada gigi.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat mikrostruktur dentin tertier. Teknik pembuatan spesimen dilakukan dengan memotong gigi dari arah vertikal dari oklusal ke 1/3 servikal dengan menggunakan disc bur dan mikromotor. Spesimen diperoleh dengan melakukan pemotongan secara horizontal pada 1/3 servikal dari arah bukal ke


(54)

palatal sesuai ukuran 1x1x0.5cm yaitu panjang gigi 1cm, lebar gigi 1cm dan tebal gigi 0.5cm.

Mikrostruktur dentin tertier dilihat dengan menggunakan alat Scanning

Electron Microscope (HITACHI MT3030) untuk mendapatkan data mengenai tebal

dentin tertier, tipe tubulus dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, ada tidaknya pembentukan kristal pada tubulus dentin tertier dan tipe margin tubulus dentin tertier dengan pembesaran 100x, 3000x dan 6000x. Pengamatan dilakukan pada daerah mesio bukal tanduk pulpa. Pembesaran 100x dilakukan untuk melihat tebal dentin tertier, pada daerah pengamatan dilakukan pembesaran 3000x untuk mendapatkan data tipe tubulus dentin tertier, dan pembesaran 6000x untuk mendapatkan diameter tubulus dentin tertier, tipe margin tubulus dentin tertier dan ada tidaknya pembentukan kristal.

4.1 Tebal Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tabel 1. Hasil Pengukuran Ketebalan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Spesimen Tebal Dentin Tertier (µm) x ± SD (µm) 1 321

317,9 ± 178,6

2 240

3 129

4 431

5 230

6 765


(55)

8 196

9 303

10 342

Tabel 1 menunjukkan tebal dentin tertier sebesar 129 µm sampai 765 µm, dari seluruh sampel yang diteliti nilai rata-rata tebal dentin tertier 317.9 ± 178.6 µm.


(56)

4.2 Diameter Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tabel 2. Hasil Pengukuran Diameter Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Spesimen Diameter Tubulus Dentin (nm) x ± SD (µm)

1 901

750.4 ± 262.3

2 990

3 158

4 901

5 856

6 885

7 450

8 949

9 743

10 671

Tabel 2 menunjukkan diameter tubulus dentin tertier sebesar 158 nm sampai 990nm, dari seluruh sampel yang diteliti nilai rata-rata diameter tubulus dentin tertier 750.4 ± 262.3 nm.


(57)

4.3 Pembentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tabel 3. Hasil Pengamatan Pembentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Pembentukan Kristal N Total

Kristal (+) 10 100%

Kristal (-) 0 0

Tabel 3 menunjukkan seluruh sampel yang diteliti menunjukkan pembentukan kristal sebanyak 100%.

4.4 Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tabel 4. Hasil Pengamatan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Margin Tubulus Dentin N Total

Regular 0 0

Irregular 10 100%

Tabel 4 menunjukkan seluruh sampel yang diteliti menunjukkan tipe margin tubulus dentin irregular sebanyak 100% dan tidak dijumpai tipe margin tubulus dentin regular.


(58)

4.5 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tabel 5. Hasil Pengamatan Tipe Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Tipe Tubulus Dentin N Total

Tubulus Sedikit 6 60%

Irregular 1 10%

Osteodentin 0 0

Kombinasi 3 30%

Tabel 5 menunjukkan pada seluruh sampel yang diteliti tipe tubulus dentin yang paling banyak terbentuk adalah tipe tubulus sedikit sebanyak 60%, tipe kombinasi sebanyak 30%, tipe irregular sebanyak 10% dan tidak dijumpai tipe osteodentin.


(59)

Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) Dentin Tertier : 1. Tebal Dentin Tertier

Gambar 16. Tebal dentin tertier 321µm (100x) ( Dokumentasi)

2. Tipe Tubulus Dentin

Gambar 17. Tubulus dentin tipe Tubulus Sedikit (3000x) (Dokumentasi)


(60)

Gambar 18. Tubulus dentin tipe Kombinasi (3000x) ( Dokumentasi)

Gambar 19. Tubulus dentin tipe Irregular (3000x) ( Dokumentasi)


(61)

3. Diameter Tubulus Dentin, Pembentukan Kristal dan Margin Tubulus Dentin

Gambar 20. Diameter Tubulus Dentin 158nm Kristal (+)

Margin Tubulus Dentin Tipe Irregular (6000x) (Dokumentasi)


(62)

BAB 5 PEMBAHASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat mikrostruktur dentin tertier yang terbentuk akibat kebiasaan menyirih. Mikrostruktur dentin tertier yang diteliti adalah tebal dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, ada atau tidaknya kristal pada tubulus dentin tertier, tipe margin tubulus dentin tertier dan tipe tubulus dentin tertier. Sampel penelitian adalah gigi molar pertama bawah permanen pada penyirih suku Karo Pancur Batu Medan, karena sulitnya memperoleh gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku karo di Puskesmas dan praktek dokter gigi swasta Pancur Batu Medan maka jumlah sampel penelitian hanya 10 gigi berdasarkan inklusi dan eksklusi.

Spesimen penelitian diperoleh dengan melakukan pemotongan gigi pada daerah groove oklusal (0.5mm dari titik puncak cusp bukal) dengan menggunakan

disc bur dilakukan pemotongan vertikal dari arah oklusal sampai ke 1/3 servikal

sehingga membelah gigi bagian bukal dan bagian lingual. Kemudian dengan disc bur juga dilakukan pemotongan secara horizontal pada daerah 1/3 servikal dari arah bukal ke lingual. Dengan demikian diperoleh spesimen 1x1x0.5 cm untuk mendapatkan struktur enamel, dentin dan tanduk pulpa. Selanjutnya diamati dengan menggunakan

Scanning Electron Microscope (HITACHI MT3030).

Pengamatan dilakukan pada setiap gigi masing-masing 3 kali pembesaran, pada pembesaran 100x untuk mengukur tebal dentin tertier (µm), pembesaran 3000x untuk melihat tipe tubulus dentin tertier, dan 6000x untuk mengukur diameter tubulus dentin tertier (nm), untuk melihat pembentukan kristal, dan untuk melihat tipe margin tubulus dentin tertier.

Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah lapisan enamel yang menyusun bagian yang terbesar pada struktur gigi.15 Dentin lebih keras daripada tulang dan sementum tetapi lebih lunak daripada enamel.13 Dentin dibentuk oleh odontoblas dimana pembentukan dentin dikenal sebagai


(63)

dentinogenesis.15 Struktur dentin terdiri dari 70% bahan anorganik, 20% bahan organik dan 10% air. Bahan anorganik baik enamel maupun dentin terdiri dari ion kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2].41 Gambaran histologis dentin terdiri dari tubulus dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin dan prosesus odontoblas. Dentin mempunyai kemampuan untuk mereparasi jaringan dentin dengan adanya tubulus dentin, kapiler darah, saraf dan prosesus odontoblas yang merupakan respon biologis terhadap stimulus misalnya atrisi, erosi, karies, abrasi, pengunyahan, jenis makanan, usia dan lain-lain.15

Dentin sekunder terbentuk akibat adanya respons odontoblas terhadap stimulus fisiologis, dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus menerus selama manusia hidup mulai dari gigi erupsi sempurna dan berfungsi secara fungsional. Setelah pembentukan dentin primer selesai dan odontoblas memasuki fase istirahat barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang fisiologis.6 Deposit dentin sekunder yang paling banyak terbentuk pada dentin diatas atap pulpa simetris dengan arah stimulus (Gambar 6).17 Sepanjang hidup dentin dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, termasuk atrisi fisiologis, karies, prosedur operatif dan restorasi, serta trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon protektif dengan terbentuknya dentin sekunder. Pembentukan dentin sekunder merupakan suatu mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau terkena penyakit di permukaan pulpa.18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan jalan serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus dentin mengalami kalsifikasi, dan aktivitas odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Odontoblas mensintesa dan mensekresi matriks anorganik kemudian menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya mineralisasi matriks sehingga menghasilkan dentin sekunder yang permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer.15

Dentin tertier adalah dentin yang terbentuk pada jaringan pulpa, biasanya berlokasi pada bagian tepi dari pulpa dan sejajar dengan arah stimulus, khususnya karena pengunyahan pada penyirih. Dentin tertier tebagi dua yaitu dentin reaksioner dan dentin reparatif. Dentin reaksioner digunakan untuk menjelaskan pembentukan


(64)

dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi, dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi sel.8

5.1 Tebal Pembentukan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Mahajan P dkk. (2006) menyatakan bahwa rata-rata tebal pembentukan dentin tertier pada gigi permanen adalah 1.5µ, dinyatakan juga kalsifikasi yang terjadi adalah respon dari pulpa terhadap injuri yang mendepositkan jaringan keras didalam saluran akar.39 Menurut penelitian Filipovic V (2003) telah melakukan penelitian mengenai pembentukan dentin tertier pada gigi dengan kavitas yang dalam, diperoleh tebal dentin tertier tertinggi sebesar 348µm dan nilai paling rendah 219µm. Dilaporkan juga bahwa kedalaman kavitas mempengaruhi ketebalan dentin tertier, semakin dalam kavitas, semakin tebal pembentukan dentin tertier.40 Menurut penelitian Anthony J.S (2005) jika stimulus masih awal dan ringan terbentuk dentin tertier sedikit dan dinamakan sebagai dentin reaksioner manakala stimulus yang berat akan membentuk dentin tertier yang dinamakan dentin reparatif karena pembentukannya lebih banyak.41 Sementara pada penelitian ini menunjukkan tebal dentin tertier tertinggi adalah 765µm dan ukuran tebal dentin tertier terendah adalah 129µm, dimana nilai rata-rata tebal dentin tertier adalah 317.9µm. Hal ini menunjukkan bahwa pada penyirih mempunyai tebal dentin tertier lebih tinggi daripada penelitian Filipovic pada kavitas gigi. Hal ini menunjukkan pada penyirih: lamanya menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih berperan meningkatnya derajat atrisi pada gigi penyirih.4 Dengan adanya stimulus


(65)

atrisi yang semakin betambah maka bertambah pembentukan dentin tertier sebagai respon pertahanan gigi.

Laporan penelitian Ginting R dan Permana B (2012) yang melakukan penelitian terhadap penyirih wanita di Pancur Batu Medan, melaporkan bahwa derajat atrisi meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi menyirih. Semakin bertambah frekuensi menyirih yaitu menyirih lebih dari 3 kali sehari, semakin banyak dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih. Dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih dalam linkungan umur 23-36 dan 50-69 yang menyatakan bahwa bertambahnya usia mempengaruhi derajat atrisi yang terjadi. Begitu juga komposisi menyirih yang merupakan bahan yang kasar seperti pinang, daun sirih, tembakau berpengaruh terhadap derajat atrisi yang terjadi. Dinyatakan juga penyirih dengan komposisi sirih, kapur, gambir dan pinang derajat atrisinya lebih tinggi dibandingkan dengan penyirih dengan komposisi sirih, kapur dan gambir.42 Dengan adanya atrisi yang parah, respon pertahanan pulpa terhadap stimulus atrisi adalah pembentukan dentin tertier. Semakin tinggi stimulus yang diterima, semakin tebal pembentukan dentin tertier.41

5.2 Pembentukan Kristal, Diameter Dentin Tertier, dan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Menurut penelitian Madhura M.G (2006) yang meneliti pada gigi premolar (10 gigi yang atrisi, 6 gigi yang abrasi dan 4 gigi normal) di India mengenai perubahan pada dentin karena atrisi dan abrasi diamati dibawah Scanning Electron

Microscope. Pada semua sampel penelitian kasus gigi atrisi dan abrasi pada penelitian

Madhura dijumpai Kristal dengan variasi bentuk (rhomboid) dan variasi ukuran juga terlihat di tubulus dentin. Menurut Madhura hal ini terjadi karena adanya stimulus (atrisi dan abrasi). Kalsifikasi globular terjadi untuk membentuk kristal sebagai mekanisme pertahanan untuk menghambat masuknya bakteri dan antigen yang merusak jaringan dan menutup akses ke pulpa.20


(66)

Menurut penelitian Cesar AGA dkk (2004) yang meneliti mengenai efek agen desensitifikasi terhadap tubulus dentin pada gigi molar 3 yang telah dicabut dan diberikan agen desensitifikasi Gel-OXA (Potasium oxalate-based). Pada penelitian tersebut ditemui adanya pembentukan kristal pada tubulus dentin dimana variasi ukuran kristal ditemui sehingga ada kristal yang sama diameternya dengan tubulus dentin. Pembentukan kristal ini adalah sebagai efek untuk mencegah terjadinya dentin hipersensitif (derajat berkurangnya nyeri atau sakit).43

Pada penelitian ini menunjukkan seluruh spesimen terdapat pembentukan kristal di tubulus dentin tertier (100%). Pada penelitian ini dapat diasumsikan bahwa frekuensi pengunyahan, lamanya pengunyahan, komposisi sirih, usia, atrisi, abrasi dan erosi merupakan stimulus yang kuat terhadap pembentukan kristal dalam tubulus dentin sesuai dengan penelitian Madhura M.G (2006) dan Cesar AGA dkk (2004). Pada penelitian ini hanya melihat pembentukan kristal tidak mengukur tebal kristal dan jumlah kristal. Jadi perlu penelitian selanjutnya untuk mengukur jumlah dan besarnya kristal yang terbentuk.

Tubulus dentin tertier berbeda dari tubulus dentin normal karena pada tubulus dentin tertier diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal, diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh kristal karena terjadinya kalsifikasi globular.31 Menurut penelitian Madhura M.G (2006) diameter tubulus dentin yang normal adalah 2.13µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa dan 1.55µ pada tubulus di dentino-enamel junction dan nilai rata-rata diameter tubulus dentin pada dentin tertier yang terbentuk akibat atrisi adalah dari 0.83µ pada tubulus yang berdekatan dengan lesi dan 1.38µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa. Secara mikroskopis tubulus dentin tertier lebih irregular, dan pada beberapa kasus tidak menunjukkkan adanya pembentukan tubulus dentin.43 Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada beberapa faktor seperti besarnya inflamasi yang terjadi, sampai mana terjadinya injuri selular dan kadar differensiasi odontoblas pengganti.

Pada penelitian ini diperoleh nilai rata-rata diameter dentin tertier adalah 750.4nm yang menunjukkan diameter lebih kecil pada penyirih dibandingkan dengan


(67)

penelitian Madhura pada kasus atrisi dan abrasi, pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa diameter tubulus dentin penyirih lebih kecil dari diameter tubulus dentin normal sesuai yang dilaporkan pada penelitian Madhura. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin besar stimulus, semakin kecil diameter tubulus dentin pada dentin tertier. Penyempitan tubulus dentin adalah karena kristal menempel di tubulus dentin dan akhirnya tubulus menjadi sempit. Tubulus tertutup sehingga tidak ada rangsangan ke pulpa, jadi tidak ada sensitivitas dentin karena terhambatnya cairan masuk ke pulpa.

Pada penelitian Madhura M.G (2006) margin tubulus dentin yang diamati kasar dan irregular pada kedua kasus yang ditelitinya yaitu gigi yang atrisi dan abrasi. Hal ini terjadi adalah karena terjadinya kalsifikasi pada dinding tubulus dentin yang menyebabkan margin dinding tubulus dentin kasar dan irregular. Kristal rhomboid yang terbentuk di dinding tubulus dentin juga menyebabkan terjadinya perubahan pada tubulus dentin tertier.20

Pada penelitian ini, seluruh gigi menunjukkan margin tubulus yang kasar dan irregular (100%) karena terjadinya kalsifikasi globular yang menghasilkan kristal akibatnya tubulus dentin menjadi irregular karena adaanya pembentukan kristal yang melekat pada dinding tubulus.20

5.3 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Menurut Bjorndal L (2002) dikenal ada 5 tipe tubulus dentin yaitu tipe normal, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe osteodentin dan tipe kombinasi. Pada penelitian ini diperoleh 60% tipe tubulus sedikit, 30% tipe kombinasi, 10% tipe irregular dan tidak dijumpai tipe osteodentin. Teori mengenai kenapa hal ini terjadi belum diperoleh dari literatur. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai tipe tubulus dentin. Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin tertier sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin tertier berubah-ubah dan sangat tidak teratur mulai dari tubular yang terputus-putus


(68)

sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin tertier menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus.10


(69)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Mikrostruktur dentin tertier pada gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku Karo menunjukkan :

1. Adanya penebalan dentin tertier pada bagian mesio bukal tanduk pulpa gigi dengan rata-rata 317.9 ± 178.6 µm.

2. Adanya penyempitan diameter tubulus dentin tertier dengan rata-rata 750.4 ± 262.3 nm.

3. Pembentukan kristal dalam tubulus dentin tertier pada seluruh sampel yang diteliti 100%.

4. Tipe margin tubulus dentin irregular pada seluruh sampel yang diteliti 100%. 5. Ditemui tipe tubulus dentin tipe tubulus sedikit 60%, tipe irregular 10% tipe

kombinasi 30% dan tidak dijumpai tipe osteodentin.

6.2 Saran

Perlu penelitian lebih lanjut dengan kriteria usia, lamanya menyirih, dan frekuensi menyirih ditetapkan untuk mendapat hasil yang lebih baik dan akurat mengenai tebal pembentukan dentin tertier pada gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku Karo.


(1)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular Sedikit

Osteodentin Kombinasi

Diameter Tubulus 856 nm

Pembesaran x100 Pembesaran x3000

Tebal dentin tertier (230µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin


(2)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular Sedikit

Osteodentin Kombinasi

Diameter Tubulus 885 nm

Pembesaran x100 Pembesaran x3000

Tebal dentin tertier (765µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin


(3)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Sedikit

Irregular Osteodentin Kombinasi

Diameter Tubulus 450 nm

Pembesaran x100 Pembesaran x3000

Tebal dentin tertier (222µm) Tipe tubulus dentin (Kombinasi) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin


(4)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Sedikit

Osteodentin

Irregular Kombinasi

Diameter Tubulus 949 nm

Pembesaran x100 Pembesaran x3000

Tebal Dentin Tertier (196µm) Tipe tubulus dentin (Irregular) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin


(5)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular Sedikit

Osteodentin Kombinasi

Diameter Tubulus 743 nm

Pembesaran x100 Pembesaean x3000

Tebal dentin tertier (303µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin


(6)

Dentin

Tipe Tubulus Dentin Tubulus Sedikit

Irregular Osteodentin Kombinasi

Diameter Tubulus 671 nm

Pembesaran x100 Pembesaran x3000

Tebal dentin tertier (342µm) Tipe tubulus dentin (Kombinasi) Pembesaran x6000

█ Diameter Tubulus Dentin █ Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin