Pengaruh Bising Terhadap Gangguan Pendengaran Pada Karyawan Kilang Padi di Desa Sidoarjo II Ramunia

(1)

Pengaruh Bising Terhadap Gangguan Pendengaran

Pada Karyawan Kilang Padi di Desa Sidoarjo II Ramunia

Oleh:

AMI UTAMIATI

080100147

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

Pengaruh Bising Terhadap Gangguan Pendengaran

Pada Karyawan Kilang Padi di Desa Sidoarjo II Ramunia

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

AMI UTAMIATI

080100147

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Bising Terhadap Gangguan Pendengaran Pada Karyawan Kilang Padi di Desa Sidoarjo II Ramunia Nama : Ami Utamiati

NIM : 080100147

Pembimbing Penguji I

( Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) ) (dr. Juliandi Harahap, M.A.) NIP: 19471130 198003 1002 NIP : 19700702 199802 1001

Penguji II

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK)

NIP :19530417 198003 2001

Medan, Januari 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD – KGEH )


(4)

ABSTRAK

Kemajuan teknologi telah membuat banyaknya penggunaan alat-alat dan mesin-mesin pada pabrik dengan intensitas suara yang dihasilkan dapat menyebabkan kebisingan dan mengganggu kesehatan. Gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2010). Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Menurut World Health Organization (WHO, 2006) Gangguan pendengaran mempunyai tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah hantaran udara di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Berbeda dengan tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian metode potong lintang (cross sectional study) yang dilakukan pada karyawan kilang padi. Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Pengumpulan data penelitian dilakukan Juli 2011 sampai dengan Agustus 2011 setiap hari kerja, mulai pukul 12.00 sampai 14.00 WIB. Analisis data dengan menggunakan perhitungan statisik Uji Chi-Square dan tingkat kemaknaan 95 %(p< 0,05). Data yang sudah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel serta penjelasan hasil analisis dalam bentuk narasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bising dari kilang padi sebesar 88 – 100 dBA dengan intensitas yang terus menerus dan impulsif bisa dikategorikan 90 - 95 dBA (bising tinggi ) sedangkan 95 – 100 dBA ( bising sangat tinggi) tetapi dari tes pemeriksaan yaitu tes rinne, weber, schwabach didapati p > 0,05 ini berarti Ho diterima, sedangkan dari tes berbisik diketahui p< 0,05 ini menyatakan Ho ditolak dengan OR < 1 sebagai faktor protektif.


(5)

ABSTRACT

Advances in technology have made much use of tools and machinery in the factory with the intensity of the sound produced can cause noise and damage the health. Hearing loss is a term often used to describe hearing loss in one or both ears (WHO, 2010). Hearing loss is defined as a reduction in a person's ability to distinguish sounds. According to the World Health Organization (WHO, 2006) Hearing loss has three types of hearing loss, which is conductive, sensorineural, and mixed. In conductive hearing loss there is a problem of delivery of the air inside the outer or middle ear, where as in sensorineural hearing loss there is a problem in the inner ear and auditory nerve. Unlike the mixed deaf deafness caused by a combination of conductive and sensorineural deafness.

This type of study is a descriptive analytical study with a cross-sectional study design methods (cross-sectional study) conducted in the rice plant employees. The research was conducted in the village of Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Research data collection conducted in July 2011 until August 2011 each weekday, starting at 12.00 until 14.00 pm. Data analysis using statistical calculation of the Chi-Square and the 95% significance level (p <0.05). The data analyzed are presented in tabular form the results of analysis and explanation in narrative form.

The results showed that the noise from the rice mill for 88-100 dBA with constant intensity and impulsivity can be categorized as 90-95 dBA (high noise) while the 95-100 dBA (noise is very high) but the test checks the Rinne test, weber, Schwabach found p> 0.05 means that Ho is accepted, while the whisper test known p <0.05 Ho rejected this claim with OR <1 as a protective factor.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di progran studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya:

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Kepada dosen pembimbing penulisan penelitian ini, Prof. DR. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan di lapangan hingga selesainya laporan hasil penelitian ini. Juga kepada Prof.DR.dr.Rozaimah Zein-Hamid,MS,Sp.FK dan dr. Juliandi Harahap, M.A. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Elmeida effendi, Sp.KJ yang telah menjadi dosen penasihat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda H.Misahnan dan Ibunda Hj.Rosmiati serta adik-adik penulis Atika dwi putri dan M.ichsan yang telah senantiasa memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan laporan hasil penelitian ini.

5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman penulis, khusunya , Adif Takdir, Syifa Khairunisa, Liberti dwi putri, Siti Rizqi al-qoriah, Danti Nelfa riza, Noviari liara, Ika nova, Eva Marini, Zahara dan kakanda Andika pradana, S.Ked yang turut memberikan motivasi dan dukungan bagi penulis untuk merampungkan penelitian ini. 6. Kepada seluruh kakanda dan personalia unit aktivitas mahasiswa Standing Committee on Research Exchange (SCORE FK USU) yang telah mengajarkan kepada penulis indahnya seluk beluk dunia penelitian. Serta kepada seluruh pihak-pihak, khususnya seluruh responden


(7)

penelitian, yang telah banyak berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan balasan terbaik atas segalanya.

Cakupan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan pengetahuan baru, dalam area kompetensi KIPDI-3, telah memotivasi penulis untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause” ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kedokteran.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Medan, Desember 2011


(8)

DAFTAR ISI

Lembar persetujuan……… ii

Kata Pengantar……… Iii Daftar Isi……….. Iv Daftar Gambar……….... Vi Daftar Tabel………. Vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang………... 1

1.2.Rumusan Masalah……….. 2

1.3.Tujuan Penelitian………... 3

1.4.Manfaat Penelitian………. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Mekanisme Pendengaran………. 5

2.2. Bunyi………. 8

2.2.1.Mekanisme Kebisingan………... 8

2.2.2.Jenis Kebisingan……….. 9

2.2.3.Sumber-sumber Kebisingan………. 10

2.2.4. Pengukuran Kebisingan………... 10

2.2.5.Nilai Ambang Batas Kebisingan……….. 12

2.2.6. Gangguan Kebisingan Pada Pendengaran………... 12

2.2.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran….. 14

2.3. Gangguan Pendengaran………. 15

2.3.1.Klasifikasi………. 16

2.3.2. Gejala Klinis……… 17

2.3.3. Pemeriksaan………. 18

2.3.4.Penatalaksaan……… 23

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep………... 26

3.2.Definisi Operasional Variabel……… 26

3.3. Hipotesis……… 28

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian………... 28


(9)

4.3. Populasi Penelitian………. 28 4.4.Teknik Pengumpulan Data………. 29 4.5.Pengolahan dan Analisis Data

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1.Hasil Penelitian……….

5.1.2.Deskripsi Karakteristik Individu………. 5.1.3.Distribusi Responden Berdasarkan Umur……… 5.1.4.Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja…………... 5.1.5.Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan….. 5.1.6.Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Kerja………… 5.1.7.Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Gangguan

Pendengaran………. 5.1.8.Bising… ……… 5.1.9.Gangguan Pendengaran……… 5.1.10.Hasil Analisis Statistik……… 5.1.10.1. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran…….. 5.2. Pembahasan……… 5.2.1.Karakteristik Responden……….. 5.2.2. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran………...

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan………. 6.2. Saran………..

DAFTAR PUSTAKA……… 47

30

31

31

31 33 33


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan…………..11

Tabel 2.2 Keluhan Pendengaran pada perubahan tingkat pendengaran………..15

Tabel 3.1 Hasil pengukuran pemeriksaan...26

Tabel 5.1 Sebaran Karakteristik responden……….32

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan umur………..33

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja………..34

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan……….34

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Kerja………...35

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Gangguan Pendengaran………...35

Tabel 5.7 Intensitas Bising………...36

Tabel 5.8 Pemeriksaan dengan Garpu Tala………..36

Tabel 5.9 Hasil Pengukuran dengan Garpu Tala………… ……….37

Tabel 5.10 Tes Berbisik………..38

Tabel 5.11 Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran………....39

Tabel 5.12 Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran pada Tes Rinne 512 Hz………...40

Tabel 5.13 Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran Pada Tes Weber 512 Hz………41

Tabel 5.14 Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran Pada Tes Schwabach 512 Hz………...42

Tabel 5.15 Hasil Tes Kuantitatif………...46


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi dan Mekanisme Pendengaran………5

Gambar 2.2 Tes Rinne……….21

Gambar 2.3 Tes Weber………21

Gambar 2.4 Audiometri………...22

Gambar 3.1 Kerangka Konsep……….25


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan

LAMPIRAN 3 Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Kesediaan Mengikuti Penelitian

LAMPIRAN 4 Data Induk

LAMPIRAN 5 Output Data Hasil Penelitian

LAMPIRAN 6 Lembar Ethical Clearence

LAMPIRAN 7 Surat Izin Survei Awal

LAMPIRAN 8 Surat Izin Penelitian

LAMPIRAN 9 Surat Balasan Dari Pemerintah Kabupaten Deli Serdang Kecamatan


(13)

ABSTRAK

Kemajuan teknologi telah membuat banyaknya penggunaan alat-alat dan mesin-mesin pada pabrik dengan intensitas suara yang dihasilkan dapat menyebabkan kebisingan dan mengganggu kesehatan. Gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2010). Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Menurut World Health Organization (WHO, 2006) Gangguan pendengaran mempunyai tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah hantaran udara di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Berbeda dengan tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian metode potong lintang (cross sectional study) yang dilakukan pada karyawan kilang padi. Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Pengumpulan data penelitian dilakukan Juli 2011 sampai dengan Agustus 2011 setiap hari kerja, mulai pukul 12.00 sampai 14.00 WIB. Analisis data dengan menggunakan perhitungan statisik Uji Chi-Square dan tingkat kemaknaan 95 %(p< 0,05). Data yang sudah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel serta penjelasan hasil analisis dalam bentuk narasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bising dari kilang padi sebesar 88 – 100 dBA dengan intensitas yang terus menerus dan impulsif bisa dikategorikan 90 - 95 dBA (bising tinggi ) sedangkan 95 – 100 dBA ( bising sangat tinggi) tetapi dari tes pemeriksaan yaitu tes rinne, weber, schwabach didapati p > 0,05 ini berarti Ho diterima, sedangkan dari tes berbisik diketahui p< 0,05 ini menyatakan Ho ditolak dengan OR < 1 sebagai faktor protektif.


(14)

ABSTRACT

Advances in technology have made much use of tools and machinery in the factory with the intensity of the sound produced can cause noise and damage the health. Hearing loss is a term often used to describe hearing loss in one or both ears (WHO, 2010). Hearing loss is defined as a reduction in a person's ability to distinguish sounds. According to the World Health Organization (WHO, 2006) Hearing loss has three types of hearing loss, which is conductive, sensorineural, and mixed. In conductive hearing loss there is a problem of delivery of the air inside the outer or middle ear, where as in sensorineural hearing loss there is a problem in the inner ear and auditory nerve. Unlike the mixed deaf deafness caused by a combination of conductive and sensorineural deafness.

This type of study is a descriptive analytical study with a cross-sectional study design methods (cross-sectional study) conducted in the rice plant employees. The research was conducted in the village of Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Research data collection conducted in July 2011 until August 2011 each weekday, starting at 12.00 until 14.00 pm. Data analysis using statistical calculation of the Chi-Square and the 95% significance level (p <0.05). The data analyzed are presented in tabular form the results of analysis and explanation in narrative form.

The results showed that the noise from the rice mill for 88-100 dBA with constant intensity and impulsivity can be categorized as 90-95 dBA (high noise) while the 95-100 dBA (noise is very high) but the test checks the Rinne test, weber, Schwabach found p> 0.05 means that Ho is accepted, while the whisper test known p <0.05 Ho rejected this claim with OR <1 as a protective factor.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi telah membuat banyaknya penggunaan alat-alat dan mesin-mesin pada pabrik dengan intensitas suara yang dihasilkan dapat menyebabkan kebisingan dan mengganggu kesehatan. Gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2010). Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Menurut World Health Organization (WHO, 2006) Gangguan pendengaran mempunyai tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah hantaran udara di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Berbeda dengan tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural.

Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta-140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Depkes RI, 2004).

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama seperti, Sundari pada penelitiannya tahun 1994 di pabrik peleburan besi baja di Jakarta, mendapatkan 31,55 % pekerja menderita tuli akibat bising, dengan intensitas bising antara 85 – 105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun. Lusianawaty pada tahun 1998 mendapat 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising, dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2 dB. Tuli akibat induksi oleh suara bising


(16)

merupakan hal penting di dalam perusahaan industri dan merupakan resiko kerusakan gangguan pendengaran bagi para pekerja yang bergantung kepada intensitas suara, lamanya berkontak dengan suara, kepekaan individu. Pekerja industri sangat rentan terhadap kerusakan dalam bentuk pergeseran ambang dengar pendengaran temporal (Temporary Treshold Shift – TTS) atau permanen (Permanen Treshold of Hearing) atau menurunnya sensitivitas dengar (Hearing sensitivity) secara temporer dan Permanent (Alberti, 2000).

Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja (Andriana, 2003). Gangguan pendengaran akibat bising dapat dicegah dengan melakukan beberapa usaha prevensi diantaranya dengan pemakaian alat proteksi bising, pembatasan waktu paparan dan pemeriksaan audiometri berkala untuk mendeteksi awal timbulnya gangguan. Berkaitan dengan upaya penerapan kesehatan dan keselamatan kerja, penggunaan Alat Pelindung Diri merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebisingan tempat kerja. Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, khususnya pasal 9, 12 dan 14 yang mengatur penyediaan dan penggunaan Alat Pelindung Diri di tempat kerja, baik bagi pengusaha maupun bagi tenaga kerja (A.M. Sugeng Budiono, 2003 : 329).

Sampai saat ini belum ada penelitian di Sumatera Utara yang menyatakan pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada kilang padi. Padahal kilang padi mempunyai intensitas bising yang tinggi >85 dBA dengan tenaga kerja yang kurang pengetahuan tentang Alat Pelindung Telinga (APT) untuk kesehatan telinga. Oleh karena itu, hal tersebut yang mendasari peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada pekerja kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam.

1.2. Rumusan Masalah

Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan peneliti berikut:

Apakah terdapat pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi?


(17)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh bising pada karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia yang menyebabkan gangguan pendengaran.

1.3.2. Tujuan khusus

Mengetahui seberapa besar intensitas pengaruh bising pada karyawan kilang padi.

1.4. Manfaat Penulisan

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai paparan bising dengan gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu masyarakat dalam upaya

pencegahan maupun penanganan pada gangguan pendengaran

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ini dan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya..


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrane timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membrane basilaris dan membrane tektoria (Guyton, 2007). Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (Iskandar Nurbaiti,dkk.2007)

Gambar 2.1 Anatomi Telinga


(19)

Telinga terdiri dari 3 bagian utama yaitu : a. Telinga Bagian Luar

Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal), dibatasi oleh membran timpani. . Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastic dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu pula sebaliknya.

b. Telingah Bagian Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan : - batas luar : membran timpani - batas depan : tuba eustachius

- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis - batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)

- batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tinkgap lonjong (oval window), tingkap (round window), dan promontorium.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus mekelat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Martil landasan-sanggurdi yang berfungsi memperbesar getaran dari membran timpani dan meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea.

c. Telinga Bagian Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak


(20)

koklea disebut helikotrema, menghubungkan perlimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibule (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membrane ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti (Soetirto, 1990).

2.2. Bunyi

Bunyi atau suara di defenisikan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suara sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara. Bunyi merupakan perubahan tekanan dalam udara yang ditangkap oleh gendang telinga dan disalurkan ke otak (J.F.Gabriel, 1996). Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dala tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No : Kep-48/MENLH/11/1996). Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula sebagai suara yang salah pada tempat dan waktu yang salah.

2.2.1. Mekanisme Kebisingan

Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh beberapa benda yang bergetar karena dipukul. Sewaktu fluktuasi tekanan udara ini membentur gendang pendengaran(membran timpani) dari telinga maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai suara. Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseoarang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan


(21)

belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan terganggu (Buchari, 2007).

Menurut Chandra (2007) Dalam Harnita (1995) Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya 80 dB (batas aman) dan dengan frekuensi suara sekitar bekisar antara 20-20.000Hz. Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB yang dapat didengar. Dan batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Doelle, 1993).

2.2.2. Jenis Kebisingan

Kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar yaitu :

a) Kebisingan tetap (steady noise) dibedakan menjadi dua, yaitu : (Tambunan, 2005)

- Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frekuensi noise) ialah Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.

- Broad Band Noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni).

- Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise).

b) Kebisingan tidak tetap (non steady noise) dibedakan menjadi tiga, yaitu : - Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. - Intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya

dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.

- Impulsive noise adalah Kebisingan impulsive dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.

2.2.3. Sumber-Sumber Bising

Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran


(22)

baik bersifat sementara ataupun permanen. Sumber kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam:

a. Mesin : kebisingan yang ditimbulkan akibat aktifitas mesin

b. Vibrasi :kebisingan yang ditimbulkan akibat getaran dari aktifitas peralatan kerja

c. Pergerakan udara, gas dan cairan

2.2.4 Pengukuran Kebisingan

Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu :

a) Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan membandingkan suara yang intensitasnya diketahui.

b) Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan yang ditangkap.

c) The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan yang sangat fluktuatif, misalnya kebisingan lalu-lintas. d) Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu

kebisingan dengan spektrum frekuensi yang luas.

e) Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet.


(23)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep yang dipakai pada penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka konsep

3.2. Definisi Operasional Variabel

Variabel yang akan diteliti mencakup variabel independen dan variabel dependen, yaitu:

3.2.1. Variabel independen

Paparan bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Paparan bising juga bisa dipengaruhi oleh umur, masa kerja, intensitas bising.

Alat ukur yang digunakan untuk menilai adanya kebisingan yaitu: Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet.

variabel independen : Paparan bising

variabel dependen :


(24)

3.2.2. Variabel dependen

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan seseorang dalam mendengar pembicaraan dan mengontrol suaranya sendiri. Cara menilai gangguan pendengaran adalah melalui pemeriksaan Tes Rinne, Tes Weber dan Tes Scwabach dengan memakai alat ukur yaitu, Garpu Tala 288 Hz, 341,3 Hz, 426,6 Hz dan 512 Hz. Skala pengukuran yang digunakan pada pasien gangguan pendengaran adalah skala pengukuran nominal.

Tabel 3.1. Hasil pengukuran berupa :

Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positive

P emeriksa

an dengan Tes Berbisik: Alat ukur yang digunakan ruangan yang cukup tenang dan ruangan cukup besar dengan panjang minimal 6 meter. Skala pengukuran yang digunakan pada pasien gangguan pendengaran adalah skala pengukuran dengan skala numerik. Hasil pengukuran didapati:

- Bila pasien mendengar maka dianggap pendengarannya normal, bila tidak mendengar dalam jarak 6 meter maka pemeriksa maju 1 meter dan berbisik lagi. Dan bila tidak mendengar juga maju 1 meter lagi, dan seterusnya sampai pasien dapat mendengar.

- Bila sampai berbisik di dekat telinga pasien, baru didengarnya maka disebut Ad Concham, bila masih juga tidak dapat mendengar disebut tes bersbisik = 0 . - Bila normal tes berbisik 6 meter, artinya pasien dapat mendengar pada jarak 6

meter dari pemeriksa.

- Jika pasien hanya bisa mendengar dari jarak >4 m - <6 m dikatakan Tuli Ringan.

- Jika pasien hanya bisa mendengar dari jarak >1m - <4 m dikatakan Tuli Sedang. - Jika pasien hanya bisa mendengar dari jarak <1 m dikatakan Tuli Berat.

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positive Tidak ada laterasi Sama dengan

pemeriksa

Normal

Negative Lateralisasi ke

telinga yang sakit

Memanjang Tuli konduktif

Positive Lateralisasi ke

telinga yang sehat

Memendek Tuli


(25)

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ho diterima berarti:

Tidak ada perbedaan pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia. Hal ini dibuktikan pada pemeriksaan garpu tala p > 0,05.

2.2.5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas (NAB) seperti pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan

Waktu pemaparan tiap hari (jam) Batas suara (dB.A)

16 80

8 85 4 90 2 95 1 100 ½ 105 ¼ 110 1/8 115

Sumber : Depkes RI,1999

Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih diperbolehkan 85 dB.A

2.2.6. Gangguan Kebisingan Pada Pendengaran

a) Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan. Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.

b) Peningkatan ambang dengar sementara. Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan


(26)

sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.

c) Peningkatan ambang dengar menetap. Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram. Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000-6000 Hz dan kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyebar ke frekuensi percakapan (500-2000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya


(27)

2.2.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : (Andriana, 2003)

a) Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai notch yang curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali normal.

b) Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau makna lainnya ketulian akibat bising. Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :

a. Tingkat suara bising

b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2000 Hz dan 3000 Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.


(28)

2.3. Gangguan Pendengaran

Menurut Harold (1996), gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan seseorang dalam memahami pembicaraan dan mengontrol suaranya sendiri. Sedangkan, gangguan pendegaran akibat bising ( noise induced hearing loss) ialah gangguan pendengaran akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Indro Soetirto,2007).

Tabel 2.2 keluhan pendengaran pada perubahan tingkat pendengaran biasanya dalam hal memahami pembicaraan.

No Gradasi Parameter

1 Normal tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6m) 2 Sedang kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak >1,5m 3 Menengah kesulitan dalam percakapan keras mulai jarak >1,5m 4 Berat kesulitan dalam percakapan keras/teriak jarak >1,5 m 5 Tuli total kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi

Sumber : Buchari, 2007

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan.

2.3.1. Klasifikasi gangguan pendengaran adalah sebagai berikut :

a) Tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh kelainan yang terdapat ditelinga luar atau telinga tengah. Telinga luar yang meyebabkan tuli konduktif ialah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. Kelainan telinga tengah ialah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran.

b) Tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran. Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis(oleh bakteri/virus), intoksikasi obat


(29)

streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal atau alkohol. Selain itu juga dapat disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.

2.3.2. Gejala gangguan pendengaran a) Tinitus

Merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Keluhan ini dapat berupa bunyi mendengung, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain

(Annie, Yusuf. 2000). b) Vertigo

Disebut juga dizziness, giddiness, dan lightheadedness adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya terhadap dirinya. Vertigo merupakan perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda disekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan

(Ludman Harold, 1996).

Menurut Departemen Kesehatan Republk Indonesia, 2004 ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja :

- Intensitas suara yang terlalu tinggi - Usia karyawan

- Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja - Tekanan dan frekuensi bising tersebut - Lamanya bekerja

- Jarak dari sumber suara


(30)

2.3.3. Pemeriksaan Pendengaran

Menurut Harold (1996) diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala ini termasuk pemeriksaan secara kualitatif atau kuantitatif audiometri nada murni.

a) Tes Batas Atas Batas Bawah ialah pemeriksaan untuk menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melewati hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal. Cara memeriksa: semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berurutan sampai frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak (dipetik dengan ujung jari/ kuku, didengarkan terlebih dahulu oleh pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas bunyi yang terendah bagi orang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat prosesus mastoideus pada jarak 1-2 cm dalam posisi tegak.

b) Tes Rinne ialah pemeriksaan untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang akan diperiksa. Cara memeriksa: Penala 512 Hz digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negative (-).

c) Tes Weber ialah pemeriksaan pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Cara memeriksa : penala 512 Hz digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila lateralisasi ke telinga yang sakit disebut tuli konduktif sedangkan lateralisasi ke telinga yang sehat disebut tuli sensorineural.

d) Tes Schwabach ialah pemeriksaan pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Cara memeriksa : penala 512 Hz digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus telinga sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila


(31)

pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut sama dengan Schwabach sama dengan pemeriksa. e) Pemeriksaan dengan Tes Berbisik: Alat ukur yang digunakan ruangan yang

cukup tenang dan ruangan cukup besar dengan panjang minimal 6 meter. Skala pengukuran yang digunakan pada pasien gangguan pendengan adalah skala pengukuran dengan skala numerik. Cara pemeriksaan adalah pasien berdiri pada ujung kamar dengan telinga yang akan diperiksa menghadap pemeriksa pada jarak 6 meter. Telinga yang lainnya ditutup dengan cara menekan tragus dengan jari pasien sehingga benar-benar tertutup. Pasien jangan melihat ke pemeriksa. Pemeriksaan selalu dimulai dengan telinga kanan, baru telinga kiri. Pemeriksa berbisik dengan udara yang masih tersisa dalam paru-paru sesudah ekspirasi.

f) Audiometri Nada Murni, perlu dipahami hal-hal seperti nada murni, bising narrow band,white noise, frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat ketulian serta gap dan masking. Nada murni (pure tone) merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik. Bising merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari (narrow band): spektrum terbatas dan (white noise): spektrum luas. Frekuensi ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz. Bunyi (suara) yang dapat didengar oleh telinga manusia mempunyai frekuensi antara 20-18.000 Hertz. Bunyi yang mepunyai frekuensi di bawah 20 Hertz disebut infrasonik, sedangkan bunyi yang frekuensinya di atas 18.000 Hertz disebut suprasonik (Ultrasonic). Intensitas bunyi dinyatakan dalam dB (decibell), maka dikenal dB HL (hearing level) dan dB SL (sensation level) yang dasarnya adalah subyektif. Inilah yang biasanya digunakan pada audiometer. Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut


(32)

konduksi tulang (BC). Bila dihubungkan dengan satu garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram diketahui jenis dan derajat ketulian. Nilai nol audiometric (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. Telinga manusia paling sensitive terhadap bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang besar nilai audiometriknya kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Jadi pada frekuensi 2000 Hz lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2. Ditambah 2 standar yang dipakai yaitu Standar ISO (International standard Organization) dan ASA (American standard Association).

0 dB ISO = -10 dB ASA atau 10 dB ISO = 0 dB ASA

Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan kenaikan logaritmik secara perbandingan. Notasi pada audiogramdipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC, yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru dan telinga kanan dipakai warna merah. (Sjarifuddin, 2007)

Gambar 2.2.Test Rinne Sumber : Rukmini, 2000


(33)

Gambar 2.3. Tes Weber

Sumber : Rukmini,2000.

Gambar 2.4. Audiometri


(34)

Derajat ketulian ISO:

1. Jika peningkatan ambang batas antara 0-25 normal. 2. Jika peningkatan ambang batas antara 26-40 tuli ringan. 3. Jika peningkatan ambang batas antara 41-60 tuli sedang. 4. Jika peningkatan ambang batas antara 61-90 tuli berat. 5. Jika peningkatan ambang batas antara >90 tuli sangat berat.

2.3.4. Penatalaksanaan gangguan pendengaran

Jenny Bashiruddin (2007) mengatakan sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin lagi dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti :

- Sumbat telinga (ear plug) - Tutup telinga (ear muff) - Pelindung kepala (helmet)

Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan tutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja,karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya, dan akhirnya mau memakainya (Notoatmodjo, 2003). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar/ABD (hearing aid). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendegaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).


(35)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian metode potong lintang (cross sectional study).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut adalah banyak terdapatnya kilang padi yang menjadi tempat bekerja masyarakat di desa ini dan dengan intensitas suara mesin yang dihasilkan cukup tinggi dapat menyebabkan gangguan pendengaran.

Pengumpulan data penelitian dilakukan Juli 2011 sampai dengan Agustus 2011 setiap hari kerja, mulai pukul 12.00 sampai 14.00 WIB. Pertimbangan pemilihan waktu penelitian dengan mempertimbangkan waktu istirahat yang bisa dilakukan wawancara dan pemeriksaaan pada karyawan kilang padi.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi terjangkau adalah karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Berdasarkan tiga kilang padi yang terdapat di Desa Sidoarjo II Ramunia yaitu, kilang padi Sahabat Tani 25 orang karyawan, kilang padi SDN (Sitohang) 25 orang karyawan, kilang padi Saudara kita 22 orang karyawan jadi total populasi terjangkau adalah 72 orang.

Populasi target adalah karyawan kilang padi yang terpapar bising dengan gangguan pendengaran.

4.3.2. Sampel

Kriteria Inklusi

1. Karyawan kilang padi yang bersedia menjadi responden dalam penelitian sampai selesai.

2. Lama kerja ≥ 1 tahun.


(36)

Kriteria Eksklusi

1. Tidak mengalami pajanan bising.

2. Karyawan kilang padi tidak bersedia menjadi respoden.

3. Mempunyai hobi/ pekerjaan tambahan berhubungan dengan bising. 4. Riwayat penyakit bawaan pada telinga.

5. Trauma kepala berat

Sampel penelitian adalah subyek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dan eksklusi. Pengambilan sampel dengan “total sampling”.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada pihak kelurahan di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam. Setelah mendapatkan izin, peneliti melaksanakan proses pengumpulan data penelitian.

4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui pemeriksaan kualitatif dengan Garpu Tala dan tes berbisik.

4.4.2. Data Sekunder

Data yang didapat dari kilang padi untuk mengambil sampel berupa jenis kelamin, usia karyawan, tingkat pendidikan dan lama bekerja.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu :

1. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mewancarai atau memeriksa ulang responden.

2. Coding

Data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.


(37)

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer (Statistical Package for The Social Sciences/SPSS ).

4. Cleaning

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

5. Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis.

Analisis data bivariat dilakukan terhadap data dengan menggunakan perhitungan statisik Uji Chi-Square. Data yang sudah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel serta penjelasan hasil analisis dalam bentuk narasi.

Dengan menggunakan bantuan program SPSS akan didapatkan besarnya p value untuk menentukan signifikansi hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan (α) sebesar 5%, maka nilai p < 0,05 dinilai bermakna atau dengan kata lain H0 ditolak pada tes weber .


(38)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sidoarjo II Ramunia Lubuk Pakam dan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011 setiap hari kerja, mulai pukul 12.00 sampai 14.00 WIB. Penelitian meliputi tiga kilang padi yaitu, Kilang padi SDN Sitohang berdiri pada tahun 1976, kilang padi Sahabat Tani berdiri pada tahun 1978, kilang padi Saudara Kita berdri pada tahun 1985. Ketiga kilang padi berada di Desa Sidoarjo II Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Adapun batas-batas wilayah dari Desa Sidoarjo II Ramunia:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan P.Labu

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Beringin, Kuala Namu • Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Ular

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Karangayar

Desa Sidoarjo II Ramunia merupakan daerah pertanian dimana secara garis besar mata pencarian masyarakat desa ini adalah bertani. Jumlah penduduk terdiri dari 3800 jiwa. Luas wilayah 6 Km2.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu

Tenaga kerja yang terpilih sebagai sampel banyaknya 71 orang karyawan dan semua laki-laki. Karakteristik umur, masa kerja, tingkat pendidikan, tempat kerja, riwayat gangguan pendengaran terlihat pada Tabel 5.1. Sebagian besar 27(38 %) orang karyawan kilang padi berusia antar 30 - 40 tahun dan yang berusia ≥ 40 tahun 36,6 %. Masa kerja responden sebagian besar yaitu 36,8 % antara 1 - 10 tahun dengan rata-rata 1,5 tahun. Pajanan bising pada kilang padi yang terbesar 43,8 % dengan intensitas 90 - 95 dBA termasuk dalam kategori tinggi sedangkan pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi 95 – 100 dBA hanya sebesar 19,3 %. Tempat kerja kilang A (SDN) 21,9 % dan kilang B (Sahabat Tani) 21,9 % sedangkan kilang C (Saudara kita) terdapat 19,3 %.


(39)

Table 5.1. Sebaran karakteristik responden (n= 71)

Variable Jumlah Persen

Umur

20-30 tahun 18 25,4

30-40 tahun 27 38

≥ 40 tahun 26 36,6

Masa kerja

1-10 tahun 40 56,3

11-20 tahun 18 25,4

21-30 tahun 13 18,3

Tingkat Pendidikan

SD 15 21,1

SMP 26 36,6

SMA/SMK 31 42,3

Tempat kerja

Kilang A 25 35,2

Kilang B 25 35,2

Kilang C 22 29,6

5.1.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Berdasarkan karakteristik umur, hasil penelitian ini memperoleh responden terbanyak berada pada kelompok umur 30 - 39 tahun sebanyak 27 orang ( 38 %) dan yang berusia ≥ 40 tahun berjumlah 26 orang (36,6 %). Sedangkan kelompok responden paling sedikit berada pada umur 20 - 29 tahun, yaitu sejumlah 18 orang (25, 4 %).

Table 5.2. Distribusi responden berdasarkan umur

Kelompok umur Jumlah orang Presentase %

20-29 tahun 18 25,4

30-39 tahun 27 38

≥ 40 tahun 26 36,6

Jumlah 71 100

Umur terkecil adalah 20 tahun dan umur terbesar adalah 58 tahun. Kesemua responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan berada pada rentang umur 20 – 58 tahun.


(40)

5.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja

Berdasarkan karakteristik masa kerja, penelitian ini memperoleh responden dibagi menjadi 3 kelompok interval. Hasil penelitian memperoleh kelompok responden terbanyak adalah pada kelompok dengan interval 1 – 10 tahun sebanyak (36,8 %) berjumlah 42 orang. Sedangkan kelompok responden paling sedikit adalah pada kelompok dengan interval 20 – 30 tahun berjumlah 10 orang (8,8 %).

Table 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja

Masa kerja Jumlah orang Presentase %

1-10 tahun 40 56,3

11-20 tahun 18 25,4

21-30 tahun 13 18,3

Jumlah 71 100

5.1.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan karakteristik responden tingkat pendidikan, pada saat sebelum melakukan pemeriksaan maka dilakukan wawancara mengenai tingkat pendidikan responden.

Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan Jumlah Presentasi %

SD 15 21,1

SMP 26 36,6

SMA/SMK 30 42,3

Jumlah 71 100

Dari hasil Tabel 5.4 maka paling banyak karyawan bekerja setelah selesai dari SMA/SMK dengan proporsi 30 (42,3%), dan yang dengan proporsi sedikit tingkat pendidikan sekolah dasar 15 (21,1 %).

5.1.6. Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Kerja

Untuk mengetahui intensitas bising pada tempat kerja dilakukan pengukuran sound level meter merk NA-24 Rion, LTD serial 10156515. Dari hasil pengukuran diketahui intensitas bising pada kilang padi berkisar antara 88 – 100 dBA. Pada kilang A (SDN) sebesar 85 – 90 dBA, kilang B ( Sahabat Tani ) 90 – 95 dBA, dan kilang C ( Saudara Kita ) 95 – 100 dBA.


(41)

Tabel 5.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Kerja

Tempat kerja Jumlah Presentasi %

Kilang A ( SDN ) 25 35,2

Kilang B ( Sahabat Tani) 25 35,2

Kilang C ( Saudara Kita) 21 29,6

Jumlah 71 100

Berdasarkan tabel 5.5. diatas Kilang A ( SDN) dan kilang B (Sahabat Tani) sama jumlah dan presentasi sebanyak 25 orang (35,2 %), sedangkan kilang C ( Saudara Kita ) sedikit 22 orang( 29, 6 %).

5.1.8. Bising

Intensitas bising pada tempat kerja diukur menggunakan sound level meter merk NA-24 Rion, LTD serial 10156515. Dari hasil pengukuran diketahui intensitas bising pada kilang padi berkisar antara 88 – 100 dBA, dengan sifat bising terus menerus dan impulsif. Intensitas bising rata-rata antara 90 – 95 dBA ( bising tinggi) sedangkan rata-rata antara 95 – 100 dBA ( bising sangat tinggi).

Tabel 5.7. Intensitas Bising

Sebagian besar dengan intensitas bising terbanyak (70,4 %) sebanyak 50 orang yang terpajan bising dalam kategori tinggi 90 – 95 dBA. Dan intensitas sangat tinggi 95 – 100 dBA berjumlah 21 orang ( 29,6 %).

5.1.9. Gangguan Pendengaran

Sebelum melakukan analisis uji hipotesis dari kedua variabel dalam penelitian ini, perlu dilakukan pemeriksaan tes dengan Garpu Tala 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048Hz meliputi, tes rinne, tes weber, tes scwabach dan tes bisik

Pemeriksaan Telinga

Pajanan bising Jumlah orang Presentase %

Tinggi (90-95 dBA) 50 70,4


(42)

Tabel 5.8. Tes Garpu Tala

Kanan Garpu Tala Kiri

+ 2048 - + 1024 - + 512 + - 256 + - 128 + - 64 + Negatif Rinne Positif

Lateralisasi kanan Weber

Memanjang Schwabach memendek

Tuli sensorineural : Batas atas turun maka dari 1024 sampai 2048 negatif Tuli konduktif : Batas bawah naik maka dari 64 sampai 256 negatif Ambang batas dengar : 512 Hz

Tabel 5.9. Hasil Pengukuran Garpu Tala

Garpu Tala Kanan

n (%)

Kiri n (%)

Jumlah n (%)

64-256 Hz

Positif 33(46) 32(45,75) 65(91,75)

Negatif 3(42,5) 3(42,5) 6(8,5)

71(100) 512 Hz

Positif 33(46) 32(45,75) 65(91,75)

Negatif 3(42,5) 3(42,5) 6(8,5)

71(100) 1024-2048Hz

Positif 17(23,5) 16(23) 33(46,5)

Negatif 19(26,75) 19(26,75) 38(53,5)

71(100) Rinne

Positif 33(46) 32(45,75) 65(91.75)

Negatif 3(42,5) 3(42,5) 6(8,5)

71(100) Weber

Lateralisasi telinga sehat

19(26,75) 19(26,75) 38(53,5)

Lateralisasi telinga sakit

3(42,5) 3(42,5) 6(8,5)

Negative Lateralisasi

13(18,5) 14(19,5) 27(38)


(43)

Schwabach

Memendek 23(32) 22(31,4) 45(63,4)

Memanjang 3(42,5) 3(42,5) 6(8,5)

Sama dengan pemeriksa

10(14,05) 10(14,05) 20(28,1)

71(100)

Pemeriksaan dengan Tes Berbisik:

Alat ukur yang digunakan ruangan yang cukup tenang dan ruangan cukup besar dengan panjang minimal 6 meter. Skala pengukuran yang digunakan pada pasien

gangguan pendengaran adalah skala pengukuran dengan skala numerik. Tabel 5.10. Tes Berbisik

Tes bisik Jumlah (n) Presentasi (%)

3 meter 3 4,2 4 meter 15 21,1 5 meter 22 31 6 meter 31 43,7 Jumlah 71 100

Dari hasil pemeriksaan dengan tes berbisik maka proporsi terbanyak berada pada jarak ≤ 6 meter baru bisa mendengar berjumlah 40 orang (56,3%) , sedangkan proporsi yang paling sedikit 31 (43,7%) yang normal mendengar dengan jarak 6 meter.

5.1.10. Hasil Analisis Statistik

5.1.10.1. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran

Dari hasil penelitian sebanyak 71 responden yang telah diperiksa dan wawancara dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis melalui uji Chi- Square. Untuk mengetahui pengaruh bising dengan gangguan pendengaran maka sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu responden diperiksa dengan pemeriksaan garpu tala dengan ukuran yang berbeda untuk melihat tingkat perbedaan garpu tala dengan hasil interpretasi yang berbeda pula. Dari hasil uji chi- square didapati nilai pearson chi-square. Dari tabel 5.14. diketahui bahwa pada pemeriksaan garpu tala yang mempunya nilai kemaknaan (p < 0,05) adalah tes bisik dan tes weber. Sedangkan dari tes rinne, dan tes schwabach tidak mempunyai hubungan yang bermakna karena tingkat kemaknaan (p > 0,05). Hal ini berarti karena nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol (Ho) dalam penelitian ini diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia (p > 0,05).


(44)

Tabel 5.11. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran Pada Tes Rinne 512 Hz

Pada tabel 5.11. diketa

hui tingka

t kemak naan α > 0,05 hal ini menyatakan Ho diterima, tidak ada perbedaan pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada tes rinne.

Tabel 5.12. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran Pada Tes Weber 512 Hz

Pajanan bising

Tuli sensorineural

Weber Jumlah P

Lateralisasi telinga sehat

Lateralisasi telinga sakit,negatif

n (%) n % n % ≥ 85dBA 38 46,9 33 40,7 71 87,7 ≤ 85 dBA 2 2,5 8 9,9 10 12,3

Jumlah 40 49,4 41 50,6 81 100 0.047

Pada hasil penelitian dari tabel 5.12. pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada tes weber didapatkan hasil α < 0,05 ini menyatakan Ho ditolak. Ada perbedaan pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada tes weber.

Pajanan bising

Rinne Jumlah 95 %

CI

positif negatif

P

n

(%) n (%) n (%)

≥ 85 dBA 65 80,2 6 7,4 71 87,7

≤ 85 dBA 8 9,9 2 2,5 10 12,3


(45)

Tabel 5.13. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran Pada Tes Schwabach 512 Hz

Pajanan bising Tuli

sensorineural

Schwabach Jumlah 95 %CI

Memendek

n %

Normal, memanjang

n %

n %

P

≥ 85 dBA 45 55,6 26 32,1 71 87,7 ≤ 85 dBA 3 3,7 7 8,6 10 12,3

Jumlah 48 59,3 33 40,7 81 100 0,44

Pada tabel 5.13. diketahui tiqngkat kemaknaan α > 0,05 hal ini menyatakan Ho diterima, tidak ada perbedaan pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada tes schwabach.

Tabel 5.14. Tes Berbisik

Pajanan bising Tuli

sensorineural

Berbisik Jumlah 95 %CI

< 6 meter

n %

6 meter

n %

n %

P

≥ 85 dBA 40 49,6 31 38,3 71 87,7 ≤ 85dBA 4 4,9 6 7,4 10 12,3

Jumlah 44 54,3 37 45,7 81 100 0,332

Pada tabel 5.14. diketahui tiqngkat kemaknaan α > 0,05 hal ini menyatakan Ho diterima, tidak ada perbedaan pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada tes berbisik

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik responden berdasarkan umur, masa kerja, tingkat pendidikan, tempat kerja dan riwayat gangguan pendengaran. Dari tabel 5.1.3. karakteristik responden berdasarkan umur maka hasil penelitian ini memperoleh responden terbanyak berada pada kelompok umur 30 - 39 tahun sebanyak 27 orang ( 38 %) dan yang berusia ≥ 40 tahun berjumlah 26 orang (36,6 %). Dari usia terkecil 20 tahun dan usia terbesar 58 tahun dengan rata-rata usia bekerja diatas 20 tahun. Hal ini disebabkan masyarakat di Desa Sidoarjo II Ramunia setelah selesai bersekolah langsung bekerja sebagai karyawan kilang padi. Pada penelitian Olishifki melaporkan walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih dalam perdebatan, pada usia diatas 40


(46)

tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20 % dari populasi umum dengan usia 50 - 59 tahun mengalami kehilangan pendengaran tanpa mendapat pajanan bising indutri.

Karakteristik berdasarkan masa kerja hasil penelitian memperoleh kelompok responden terbanyak adalah pada kelompok dengan interval 1 – 10 tahun sebanyak (36,8 %) berjumlah 42 orang. Sedangkan kelompok responden paling sedikit adalah pada kelompok dengan interval 20 – 30 tahun berjumlah 10 orang (8,8 %). Hal ini menyatakan bahwa 10 orang dalam rentang waktu yang lama bekerja di kilang padi diatas 20 -30 tahun. Menurut Alberti (2000), pajanan bising 90 dBA dalam 8 jam kerja dan 5 hari/ minggu, maka 15 % dari populasi terpajan beresiko menderita ketulian secara bermakna setelah terpajan selama 10 tahun. Sesuai dengan hasil penelitian bahwa karyawan kilang padi di Desa Sidoarjo II Ramunia bekerja dengan 8 jam dalam sehari. NIOSH dan Departemen Tenaga Kerja RI (1998), menetapkan 85 dBA sebagai nilai batas ambang. Menurut NIOSH, untuk 85 dBA waktu yang diperkenankan untuk bekerja sebesar 8 jam, untuk 95 dBA hanya 47 menit, 100 dBA hanya 15 menit, 105 hanya 4 menit, 110 dBA hanya 1 menit. Sedangkan Depkes RI (1999), intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan untuk 85 dBA bekerja selama 8 jam, 90 dBA selama 4 jam, 95 dBA selama 2 jam dan untuk 100 dBA hanya 1 jam.

Tingkat pendidikan berdasarkan hasil penelitian maka paling banyak karyawan bekerja setelah selesai dari SMA/SMK dengan proporsi 30 (42,3%), dan yang dengan proporsi sedikit tingkat pendidikan sekolah dasar 15 (21,1 %). Hal ini untuk menentukan tingkat pengetahuan karyawan tentang gunanya pencegahan pada paparan bising oleh telinga yang disebut Alat Pelindung Telinga (APT). Alat pelindung telinga, sebagian kilang padi menyediakan tetapi 81,1 % tenaga kerja tidak memakai. Tampaknya APT tidak diberikan kepada semua tenaga kerja yang bekerja di tempat bising. Dan sebagian besar tenaga kerja kurang memperdulikan kesehatan pendengaran.

Tempat kerja, menurut Tana Lusianawaty (2002), lingkungan kerja dengan intensitas bising > 85 dBA dapat menimbulkan gangguan pendengaran akibat bising. Faktor-faktor lain yang dapat menambah pajanan bising telah disingkirkan dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan pertimbangan hal-hal tersebut maka gangguan pendengaran akibat bising terjadi kemungkinan berhubungan dengan pekerjaan. Tetapi dari riwayat pekerjaan diperoleh keterangan 95 % tenaga kerja tidak pernah bekerja diperusahaan lain. Walaupun rata-rata umur responden relatif muda diatas 20 sudah mulai bekerja mencari nafkah sebagai karyawan kilang padi dengan mean dari hasil penelitian 2,11. Jadi usia responden pada saat pada saat mulai bekerja antara 20-25 tahun yaitu setelah selesai sekolah, sehingga kemungkinan ambang pendengaran baik.

5.2.2. Pengaruh Bising dengan Gangguan Pendengaran

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian analitik yang bertujuan untuk mencari tahu adakah pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi , yang


(47)

merupakan populasi target generalisasi dari data sampel penelitian ini, yaitu karyawan kilang padi yang terpapar bising di Desa Sidoarjo II Ramunia, Kota Lubuk Pakam. Penelitian ini dilakukan karena sampai saat ini, belum ada data penelitian sejenis yang dilaksanakan pada kilang padi di Indonesia. Data penelitian yang ada saat ini kebanyakan hanya menggambarkan pola hubungan gangguan pendengaran akibat bising pada pabrik, padahal kilang padi juga mempunyai potensi dengan intensitas bising dari hasil sound level meter didapati 88 – 100 dBA. Dengan sifat bising yang terus yang terus menerus impulsif maka intensitas bising rata-rata antara 90 – 95 dBA ( bising tinggi) di kilang padi A dan B sedangkan rata-rata 95 -100 dBA (bising sangat tinggi) di kilang C.

Dari hasil pemeriksaan dengan tes berbisik maka proporsi terbanyak berada pada jarak ≤ 6 meter baru bisa mendengar berjumlah 40 orang (56,3%) , sedangkan proporsi yang paling sedikit 31 (43,7%) yang normal mendengar dengan jarak 6 meter. Dengan hasil uji statistic dari chi square diperoleh p = 0,332. Hal ini berarti dengan tingkat kemaknaan 95 % dan nilai pearson chi square p > 0,05. Dari tes ini dapat diketahui Ho diterima, tidak ada perbedaan pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi. Hasil tes pendengaran dapat dinilai secara kuantitatif ( tajam pendengaran).

Tabel 5.15. Hasil Tes Kuantitatif

Fungsi Pendengaran Suara Bisik

Normal 6 m

Tuli Ringan >4m - <6 m

Tuli Sedang >1 m - <4 m

Tuli Berat <1 m

Tuli Total Bila berteriak didepan telinga, penderita tetap tidak mendengar

(Sumber : Sri Rukmini,2000)

Frekuensi garpu tala :

16….32….64….128….256……..512….1024….….2048…….4096….8192 bas huruf lunak discant huruf desis

mutlak untuk percakapan sehari-hari


(48)

Pada hasil pemeriksaan dengan Garpu Tala 512 Hz didapati hasil tes rinne positif 65 orang (91,5 %) dan negative 6 orang (8,5%). Pada tes Schwabach dengan garpu tala 512 Hz didapati hasil dalam pemeriksaan yaitu, dengan hasil yang memendek 45 orang (63,4 %),memanjang 6 orang (8,5 %) dan yang sama dengan pemeriksa 20 orang(28,2 %). Pada tes weber dengan ukuran garpu tala yang berbeda memiliki hasil yang yang sama 512 Hz yang mendapati lateralisasi telinga sehat 38 orang (53,5 %) dan lateralisasi telinga sakit 6 orang (8,5 %) juga yang mengalami negatif lateralisasi 27 orang (38 %).

Dan dengan hail uji analisis chi square diketahui (p = 0,252) berarti p > 0,05 Ho diterima pada tes rinne.Hal ini disebabkan terkadang terjadi false rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) terjadi bila stimulus bunyi ditangkap oleh telinga yang tidak dites, hal ini dapat terjadi bila telinga yang tidak dites pendengarannya jauh lebih baik dari pada yang dites. Adapun kesalahan lain, garpu tala tidak diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut, jaringan lemak tebal sehingga penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki garpu tala tersentuh aurikulum. Dan juga bisa disebabkan penderita terlambat member isyarat waktu garpu tala sudah tidak terdengar lagi, sehingga waktu dipindahkan di depan MAE( Meatus Akustikus Eksternus) getaran garpu tala sudah berhenti.

Pada tes weber juga diketahui hasil (p = 0,047) ini berarti p < 0,05 Ho ditolak. Hal ini menyatakan ada perbedaan pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran. Beberapa hal bisa dikarenakan oleh adanya ketulian sehingga penderita tidak mendengar telinga mana yang mengalami bunyi garpu tala lebih keras.

Tes schwabach dengan bising pada hasil uji analisis dihasilkan ( p = 0.444) ini berarti p >0,05 menyatakan Ho diterima. Hal ini bisa disebabkan oleh kesalahan garpu tala yang tidak diletakkan dengan benar, kakinya tersentuh hingga bunyi menghilang.


(49)

Hasil perhitungan tingkat kebisingan


(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh bising dengan gangguan pendengaran pada tes weber, sedangkan pada tes rinne, schwabach dan bisik tidak ada perbedaan antara pengaruh bising terhadap gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi.

2. Rata-rata pengaruh bising dalam penelitian ini adalah 90-95dBA dikategorikan (bising tinggi) dan 95-100 dBA dikategorikan ( bising sangat tinggi). Intensitas bising yang dihasilkan 90-100 dBA dengan lama kerja 8 jam per hai.

3. Rata-rata gangguan pendengaran dalam penelitian ini adalah 40 (56,3%). 6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Melihat tingginya angka kejadian gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi dengan intensitas bising yang tinggi perlu dipertimbangkan penangan yang bersifat menyeluruh seperti penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT).

2. Perlu dilakukan prevensi gangguan pendengaran pada karyawan kilang padi seperti, penyuluhan secara teratur mengenai bising dan pencegahannya serta kegunaan APT. 3. Pemeriksaan Audiometri secara rutin setiap tahun dilakukan terhadap tenaga kerja

yang bekerja ditempat bising dan memberitahukan hasilnya, agar tenaga kerja dapat mengetahui keadaan pendengarannya.

4. Penelitian yang melibatkan gangguan pendengaran sebagai salah satu variabelnya hendaknya dilaksanakan perbandingan pemeriksaan antara garpu tala dengan audiometri agar diperoleh data yang lebih akurat, sehingga dapat meningkatkan akurasi hasil penelitian.

5. Perlu dilaksanakan lebih banyak penelitian yang memperdalam lebih jauh topik-topik tentang gangguan pendengaran akibat bising pada karyawan kilang padi dengan cakupan jumlah responden dan lokasi penelitian yang lebih besar lagi.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alberti, P.W. 2000. The Pathophysiology of the Ear. Available from:

http://www.who.int/occupational_health/ publications/noise3.pdf. [Accessed 16 March 2011].

Annie ,Y. 2003. Bising Bisa Timbulkan Tinnitus dan Tuli ; in Diagram Diagnostik,THT,vol 1 p.57( EGC, Jakarta).

Buchari,2007.Kebisingan.Availablefrom:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/143 5/1/07002749. [Accessed 04 january 2011].

Chandra. 2007. Pengaruh suara bising pada pendengaran karyawan pabrik gula Sei Semayang di kabupaten Deli Serdang. Skripsi . Bagian THT FK USU.

Departemen Kesehatan Republk Indonesia, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004/ ttg Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta. Dolle., Lesie. 1993. Akustika Lingkungan, vol. 2, p.120 (Erlangga, Jakarta).

Dwi, P., Sasongko. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gabriel, J.F. 1988. Bunyi; in Fisika Kedokteran, vol. 3, p.69-75 (EGC, Jakarta).

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2007. The Sense of Hearing Dalam: Textbook of Medical Physiology. 11th ed. India: Saunders Elsevier: 651-662 (EGC, Jakarta).

Hogg, M, A., Vaughan, GM. 2002. Social Psychology. Harlow : Prentice Hall.

Iskandar,N. 1991. Segi Praktis Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok, vol. 4, p.230-235 (Jakarta: Binarupa Aksara).

Jenny, B., Soetirto, I . 1990.Tuli Koklea dan Tuli Retrokoklea. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. h.23-29.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep 51. MEN/1999. Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, 1999. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.


(52)

Harold, L. 1996. Petunjuk Penting Pada Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Jakarta:Hipokrates.

Lusianawaty, T. 1998. Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Tenaga Kerja di Perusahaan Plywood PT X. (Tesis). Jakarta.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996. Baku Tingkat Kebisingan, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-48/MENLH/1996/25 November 1996, Jakarta : Meneg LH.

Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto: 133.

Sundari. 1994. Hubungan Pemajanan Bising dengan Ambang Pendengaran Tenaga Kerja di Bagian Peleburan dan Pengontrolan Besi Baja PT. B. D, Jakarta : PT. B. D.

Sherwood, L., 2002. Hearing and Equilibrium. Dalam: Human Physiology from Cells to Systems. 6th ed. Australia: Thomson Brooks/Cole: 208-217.

Soetirto, I. 1990. Tuli akibat bising (Noise induced hearing loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.h.37-9.

World Health Organization, 2010. Deafness and Hearing Impairment. Available from:

[Akses 13 Juni 2011].

World Health Organization, 2006. Deafness and Hearing Impairment. Diunduh dari:

[Accessed 16 August 2011].

Yunita, A. 2003.Gangguan Pendengaran Akibat Bising.; skripsi Telinga Hidung Tenggorokan.


(1)

HASIL OUTPUT SPSS

a.

Distribusi frekuensi

lamakerja dlm tahun

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1-10 40 56.3 56.3 56.3

11-20 18 25.4 25.4 81.7

21-30 13 18.3 18.3 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics umur responden

N Valid 71

Missing 0

Mean 2.1127

umur responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 20-29 18 25.4 25.4 25.4

30-39 27 38.0 38.0 63.4

40-60 26 36.6 36.6 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics lamakerja dlm tahun

N Valid 71

Missing 0

Mean 1.6197


(2)

tingkatpendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD 15 21.1 21.1 21.1

SMP 26 36.6 36.6 57.7

SMA/SMK 30 42.3 42.3 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics bisng dalam dB

N Valid 71

Missing 0

Mean 1.9437

bisng dalam dB

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 85-90 25 35.2 35.2 35.2

91-95 25 35.2 35.2 70.4

96-100 21 29.6 29.6 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics tingkatpendidikan

N Valid 71

Missing 0


(3)

asal kilang padi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid A 25 35.2 35.2 35.2

B 25 35.2 35.2 70.4

C 21 29.6 29.6 100.0

Total 71 100.0 100.0

b.

Pengaruh bising dengan gangguan pendengaran

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.314a 1 .252

Continuity Correctionb .336 1 .562

Likelihood Ratio 1.085 1 .297

Fisher's Exact Test .256 .256

N of Valid Cases 81

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .99.


(4)

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.314a 1 .252

Continuity Correctionb .336 1 .562

Likelihood Ratio 1.085 1 .297

Fisher's Exact Test .256 .256

N of Valid Cases 81

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .99. b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

hslakhirweber

Total ya tidak

intensitasdlm dBA >85 dB Count 38 33 71

% within hslakhirweber 95.0% 80.5% 87.7%

% of Total 46.9% 40.7% 87.7%

< 85 dB Count 2 8 10

% within hslakhirweber 5.0% 19.5% 12.3%

% of Total 2.5% 9.9% 12.3%

Total Count 40 41 81

% within hslakhirweber 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 49.4% 50.6% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 3.940a 1 .047

Continuity Correctionb 2.713 1 .100 Likelihood Ratio 4.195 1 .041

Fisher's Exact Test .088 .048

Linear-by-Linear Association

3.892 1 .049

N of Valid Cases 81

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.94.


(5)

Crosstab

x schwabach

Total ya tidak

intensitasdlm dBA >85 dB Count 45 26 71

% within x schwabach 93.8% 78.8% 87.7%

% of Total 55.6% 32.1% 87.7%

< 85 dB Count 3 7 10

% within x schwabach 6.3% 21.2% 12.3%

% of Total 3.7% 8.6% 12.3%

Total Count 48 33 81

% within x schwabach 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 59.3% 40.7% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.045a 1 .044

Continuity Correctionb 2.781 1 .095

Likelihood Ratio 3.999 1 .046

Fisher's Exact Test .082 .049

Linear-by-Linear Association 3.996 1 .046

N of Valid Cases 81

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.07. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

Crosstab

x bisik

Total < 6meter 6 meter

intensitasdlm dBA >85 dB Count 40 31 71

% within x bisik 90.9% 83.8% 87.7% % of Total 49.4% 38.3% 87.7%

< 85 dB Count 4 6 10

% within x bisik 9.1% 16.2% 12.3%

% of Total 4.9% 7.4% 12.3%

Total Count 44 37 81

% within x bisik 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 54.3% 45.7% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .943a 1 .332

Continuity Correctionb .399 1 .527

Likelihood Ratio .941 1 .332

Fisher's Exact Test .500 .263

Linear-by-Linear Association .931 1 .335

N of Valid Cases 81

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57. b. Computed only for a 2x2 table