Hubungan Agama dan Ilmu docx

Hubungan Agama Dan Ilmu
Hubungan antara agama dan ilmu telah menjadi fokus masalah
batas pemisah. Pernyataan-pernyataan tentang dunia yang diajukan ilmu
dan agama dilandasi metodologi yang berbeda. Agama dilandasi
penyataan dan iman, sementara ilmu dilandasi pengalaman berulang
yang bisa diamati, naturalisme ontologis, realisme filosofis, skeptisisme
rasional, fallibilisme, thesis bahwa ’tidak ada berasal dari yang tidak ada’,
dan hukum ekonomi. Sebagian ahli menyatakan keduanya adalah
terpisah, seperti dalam thesis konflik John William Draper dan ’magisteria
tak berimpit’ Stephen Jay Goulds, sementara ahli lainnya (Thomas Berry,
Brian Swimme, Ken Wilber, dll.) mengajukan adanya hubungan timbalbalik.

Perspektif tentang hubungan antara agama dan ilmu
Jenis-jenis interaksi yang mungkin timbul antara ilmu dan agama diklasifikasikan
dengan menggunakan tipologi berikut:
1. Konflik bila salah satu bidang mengancam akan mengambil alih topik-topik sah dari
bidang lainnya

Misalnya, thesis konflik John William Draper dan Andrew Dickson White
2. Independensi memperlakukan masing-masing bidang sebagai bidang penyelidikan
yang sama sekali terpisah.


Misalnya, ‘Magisteria Takberimpit’ (NOMA) Stephen Jay Gould
3. Dialog mengajukan bahwa masing-masing bidang mempunyai sesuatu untuk
disampaikan kepada satu dengan lainnya tentang fenomena di mana kepentingan
keduanya berimpit.

Misalnya, studi William G. Pollard dalam Ahli Fisika dan Kristen: Suatu dialog
antar-komunitas
4. Integrasi bertujuan untuk menyatukan kedua bidang menjadi wacana tunggal.

Misalnya, ’Titik Omega’ Pierre Teilhard de Chardin dan simpati terhadap
filosofi proses/theologia proses dari Ian Barbour
Konflik
Berbagai pernyataan sejarah, filosofis dan ilmiah ada diajukan dalam mendukung ide
bahwa ilmu dan agama itu bertolak belakang. Contoh sejarah dari orang atau lembaga
keagamaan yang mengajukan klaim yang mempertentangkan konsensus ilmu di zamannya
dan ilmu modern meliputi kreasionisme, penentangan Gereja Katolik Roma terhadap
heliosentrisme dari tahun 1616 hingga 1757 termasuk persoalan Galileo, dan baru-baru ini,
pernyataan Paus Benedict XVI tahun 2009 yang mengklaim bahwa penggunaan kondom
untuk memerangi epidemi AIDS di Afrika tidak efektif dan kontraproduktif. Selain itu, klaim

agama yang sudah lama dipertahankan mendapat tantangan dari studi ilmiah seperti STEP,
yang mengkaji kemanjuran doa (Lihat Box). Sejumlah ilmuwan termasuk Jerry Coyne
mengajukan pernyataan tentang ketidaksepadanan filosofis antara agama dan ilmu. Suatu
pernyataan yang mendukung konflik antara agama dan ilmu yang memadukan pendekatan
sejarah dan pendekatan filosofis ada diajukan Neil Degrasse Tyson – Tyson mengajukan

1

bahwa ahli-ahli agama, seperti Newton, bisa mencapai lebih banyak lagi kalau saja mereka
tidak menerima jawaban agama untuk isu-isu ilmiah yang tak terpecahkan.
BOX 1: DOA DALAM PERSPEKTIF ILMIAH
Isu yang agak berbeda, yang mungkin menimbulkan konflik antara
ilmu dan agama, adalah sifat doa. Dahulu kemanjuran doa merupakan isu
yang bisa diputuskan dengan percobaan, seperti yang ditunjukkan oleh
kisah Perjanjian Lama tentang perseteruan antara Elia dan nabi-nabi Baal.
Akan tetapi, sekarang sikap yang lebih canggihlah yang mungkin diadopsi.
Kemanjuran doa biasanya tidak diangkat sebagai isu empiris, sebab
apapun yang terjadi, itu terjadi atas kehendak Allah, dan apabila doa tidak
dijawab itu agaknya karena Allah, dengan cara-Nya yang tak bisa
diselami, lebih tahu daripada kita apa yang terbaik. Lebih jauh lagi,

semakin besar pengetahuan orang tentang bagaimana segala sesuatunya
sesungguhnya terjadi, semakin kecil kecenderungan mereka menganggap
segala sesuatu itu dapat dipengaruhi doa. Bahkan dengan segala
pengetahuan kita tentang meteorologi, kita tidak bisa yakin cuaca apa
yang akan terjadi; namun demikian, perubahan cuaca tidak lagi
mengejutkan kita sebagai sesuatu yang misterius. Karena itu, bahkan
banyak di antara mereka yang mengaku orang Kristen sampai merasa
bahwa ada sesuatu tentang berdoa meminta hujan yang terkait dengan
keyakinan pada magis dan takhyul. Sekali lagi, banyak orang beragama
tidak begitu condong berdoa demi kesembuhan seseorang dari penyakit
bila mereka mempunyai pengetahuan medis modern tentang diagnosis
dan prognosisnya. Ada yang akan terus berdoa demi mujizat, tetapi
banyak yang tidak akan demikian dengan suatu keyakinan. Karena cuaca
dan penyakit semakin berada di dalam ruang lingkup hukum ilmiah,
begitupun dengan doa meminta hujan atau demi menghilangnya lesi (luka
atau jejas) semakin tampak serupa dengan doa agar matahari tetap
berada di langit. Serupa halnya, seiring meningkatnya pengetahuan kita
tentang psikologi manusia, keadaan mental manusia juga kehilangankemunculan tak terduganya, dan kecenderungan berdoa demi perubahan
hati seseorang mungkin sejalan dengan kecenderungan berdoa demi
cuaca yang bagus atau demi kesehatan yang baik.

Ini, tentu saja, bukan mengatakan bahwa bahkan orang agnostik
akan menganggap semua doa sebagai tidak manjur. Hal ini karena doa itu
sendiri adalah proses psikologis yang mempunyai efek yang sangat
alamiah. Dengan demikian, orang bisa menyangkal kemanjuran
supernatural doa dan tetap yakin bahwa doa demi kesembuhan bisa
meringankan penyakit, jika, misalnya, penyakit adalah bersifat
psikosomatik dan pasien percaya pada doa dan tahu bahwa ia didoakan.
Ini akan sangat berbeda dengan kasus doa demi kesembuhan seseorang
yang tidak mengetahui doa dan yang sama sekali berada di dalam
kumpulan orang yang juga tidak menyadari doa.

2

Akan tetapi, agar doa mempunyai kemanjuran supernatural (yang
harus demikian halnya jika klaim agama yang biasa tentang doa benar),
maka doa itu mestilah bekerja secara bervariasi sesuai dengan keyakinan
ilmiah kita tentang bagaimana segala sesuatu itu terjadi. Sebab agaknya,
semua sebab dan akibat alamiah dari perilaku cuaca atau perilaku tubuh
atau otak manusia akan sama setelah doa disampaikan dengan sebelum
doa disampaikan. Lalu, bagaimana bisa cuara atau tubuh atau otak

menjadi berbeda dari seperti apa seharusnya tanpa doa? Pokok masalah
keseluruhannya memang sangat tidak bisa dijelaskan. Theolog mungkin
memberikan jawaban yang berani untuk kritikan ini dengan bersikukuh
bahwa pokok permasalahannya tentu saja sukar dipahami dan dengan
mengajukan bahwa penyelidikan meteorologis, fisiologis dan psikologis
yang cukup cermat akan mengungkapkan anomali sebab-musabab –
yaitu, pelanggaran aktual atas hukum ilmiah. Akan tetapi, ini akan berarti
mundur ke konsepsi lama tentang kemanjuran doa sebagai isu yang bisa
diuji secara ilmiah, dan theolog mungkin enggan masuk daftar kembali
dengan cara ini.
Thesis konflik
Thesis konflik, yang menyatakan bahwa agama dan ilmu saling bertentangan tetap
ada sepanjang sejarah, dipopulerkan di abad 19 oleh John William Draper dan Andrew
Dickson White. Sebagian besar ahli sejarah sains masa sekarang menolak thesis konflik
dalam bentuk awalnya, dan sebagai gantinya mengajukan bahwa thesis awal tersebut telah
digantikan oleh penelitian sejarah selanjutnya yang mengindikasikan pemahaman yang lebih
bernuansa:
Walaupun gambaran kontroversi populer tetap menggambarkan dugaan pertentangan
agama Kristen dengan teori ilmiah baru, studi-studi menunjukkan bahwa agama Kristen
sering menumbuh-kembangkan dan mendorong usaha ilmiah, sementara di saat lainnya

keduanya eksis secara bersamaan tanpa ketegangan ataupun usaha-usaha penyelarasan.
Jika Galileo dan Scopes muncul di benak kita sebagai contoh konflik, mereka adalah
pengecualian bukan ketentuan.
- Gary Ferngren, Science & Religion
Dewasa ini, banyak bidang ilmu pada mana thesis konflik awalnya didasarkan
dianggap tidak akurat. Sebagai contoh misalnya, klaim bahwa masyarakat Abad Pertengahan
umumnya yakin bahwa Bumi adalah rata yang berkembang pertama kali pada periode yang
sama dengan awal-mula thesis konflik dan tetap sangat umum dalam budaya populer. Klaim
ini keliru, karena ahli-ahli sejarah ilmu masa sekarang David C. Lindberg dan Ronald L.
Numbers menulis: ”jarang ada ilmuwan Kristen Abad Pertengahan yang tidak mengetahui
kebulatan [bumi] dan bahkan mengetahui kelilingnya secara kira-kira”. Konsepsi yang salah
lainnya seperti: ”Gereja melarang otopsi dan bedah selama Abad Pertengahan”, ”kebangkitan
agama Kristen memusnahkan ilmu kuno”, dan ”gereja Kristen abad pertengahan
memberangus pertumbuhan ilmu alam”, semuanya dilaporkan Numbers sebagai contoh mitos
populer yang tetap diturunkan sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh

3

penelitian sejarah saat ini. Itu semua membantu memelihara gambaran populer tentang
”perang ilmu dan agama”.

Walaupun H. Floris Cohen menyatakan bahwa sebagian besar ahli menolak artikulasi
mentah thesis konflik, seperti thesis Andrew D. White, ia juga menyatakan bahwa versi thesis
ini yang lebih ringan tetap melenggang. Hal ini karena ”tetap merupakan fakta sejarah yang
tidak bernada kontroversi bahwa, setidaknya, sains baru kurang mendapat sambutan antusias
dari banyak ahli agama pada masa itu”. Karena itu, Cohen menganggap paradoks ”bahwa
kebangkitan sains modern mula-mula adalah disebabkan setidaknya sebagian perkembangan
dalam pemikiran Kristen – khususnya, disebabkan aspek-aspek Protestan tertentu” (suatu
thesis yang pertama kali berkembang sebagai apa yang sekarang terkadang disebut thesis
Merton). Di tahun-tahun belakangan ini, ahli sejarah Oxford Peter Harrison selanjutnya
mengembangkan ide bahwa Reformasi Protestan mempunyai pengaruh yang signifikan dan
positip pada perkembangan sains modern. Tinjauan tentang alternatip untuk thesis konflik
White/Draper ada disusun Ian G. Barbour.
Independensi
Pandangan modern, yang digambarkan Stephen Jay Gould sebagai ”magisteria yang
tidak berimpit” (NOMA), adalah bahwa ilmu dan agama mengkaji aspek-aspek pengalaman
manusia yang pada dasarnya terpisah dan karenanya, bila masing-masing berada di dalam
domainnya sendiri, keduanya eksis secara bersamaan dengan damai. Pandangan Gould juga
bisa dipandang sebagai sikap yang mengabaikan agama. Ini dibandingkan dengan sikap
serupa yang mengabaikan ilmu evolusi, yang dipandang dalam tulisan theolog Karl Barth
(yang gagal menyebutkan evolusi dalam tulisan utamanya Church Dogmatics [Dogmatika

Gereja]), Emil Brunner dan Hans Kung (di mana dalam tulisannya Theology for the Third
Milennium [Theologia untuk Milenium Ketiga] (1988) ada bab tentang hubungan antara
agama dan ilmu namun tidak pernah menyebutkan evolusi).
Walaupun Gould berbicara tentang independensi dari perspektif sains, W.T. Stace
memandang independensi dari perspektif filosofi agama. Stace menganggap bahwa ilmu dan
agama, bila masing-masing dipandang dalam domainnya sendiri, keduanya konsisten dan
lengkap.
Keduanya menapaki pengalaman
Baik ilmu maupun agama merupakan cara yang berbeda dalam mendekati
pengalaman dan perbedaan inilah yang merupakan sumber perdebatan. Ilmu terkait erat
dengan matematika – pengalaman yang sangat abstrak, sementara agama lebih terkait erat
dengan pengalaman hidup yang umum. Sebagai penafsiran tentang pengalaman, ilmu
sifatnya deskriptif dan agama sifatnya preskriptif. Karena ilmu dan matematika
berkonsentrasi pada harus seperti apa kiranya dunia dengan cara di mana agama bisa tidak
tepat dan bisa menjadikan sifat-sifat dinyatakan secara tidak tepat berasal dari dunia alam
seperti yang terjadi di kalangan pengikut Pythagoras pada abad enam SM. Situasi sebaliknya
di mana agama berupaya bersifat deskriptif juga bisa menyebabkan pengalokasian sifat-sifat
secara tidak tepat pada dunia alam. Contoh yang menonjol adalah keyakinan yang sudah mati
sekarang pada model planet Ptolemy yang tetap melenggang sampai perubahan dalam
pemikiran ilmu dan agama dimunculkan Galileo dan para pendukung pandangannya.

Paralel dalam metode

4

Banyak filsuf bahasa (misalnya, Ludwig Wittgenstein) dan eksistensialis agama
(misalnya, mereka yang menganut aliran neo-ortodoks) menerima kategorisasi tipe II Ian
Barbour dan John Polkinghorne tentang Independensi. Di lain pihak, banyak filsuf ilmiah
mempunyai pemikiran lain. Thomas S. Kuhn menegaskan bahwa ilmu terdiri dari paradigmaparadigma yang timbul dari tradisi-tradisi budaya, yang serupa dengan perspektif sekuler
tentang agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa tiada lain komitmen terhadap
universalitaslah yang melindungi terhadap subjektivitas dan tidak ada kaitannya sama sekali
dengan keterlepasan pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi tentang metode
ilmiah. Polanyi selanjutnya menegaskan bahwa semua ilmu pengetahuan sifatnya pribadi dan
karena itu ilmuwan haruslah melaksanakan peran yang sangat pribadi jika tidak selalu
subjektif sewaktu mengerjakan sains. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya
mengikuti intuisi ”kecantikan intelektual, simetri dan ’kesepakatan empiris’”. Polanyi
menyatakan bahwa ilmu membutuhkan komitmen moral yang serupa dengan komitmen
moral yang ditemukan dalam agama. Dua ahli fisika Charles A. Coulson dan Harold K.
Schilling sama-sama mengklaim bahwa ”metode ilmu dan agama mempunyai banyak
persamaan”. Schilling menegaskan bahwa kedua bidang – ilmu dan agama – mempunyai
”tiga struktur – pengalaman, penafsiran teoritis dan aplikasi praktis”. Coulson menegaskan

bahwa ilmu, seperti halnya agama, ”maju dengan imajinasi kreatip” dan bukan dengan
”pengumpulan fakta-fakta semata”, sambil menyatakan bahwa agama hendaknya dan
memang ”melibatkan refleksi kritis pada pengalaman bukan tidak serupa dengan yang
berlaku pada ilmu”. Bahasa agama dan bahasa ilmiah juga menunjukkan paralel (bandingkan
Rhetorika ilmu).
Dialog
Tingkat persesuaian antara ilmu dan agama bisa dilihat dalam keyakinan agama dan
ilmu empiris. Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia dan karena itu manusia, bisa
menghasilkan pandangan bahwa Dialah yang berkehendak agar manusia mengetahui dunia.
Ini dijamin oleh doktrin imago dei. Dengan ucapan Thomas Aquinas, ”Karena manusia
disebut segambar dengan Allah dalam sifat yang dimilikinya yang mencakup kepintaran, sifat
sedemikianlah yang paling nyata dalam gambaran Allah yang paling dapat ditiru manusia
tentang Allah”.
Banyak tokoh sejarah terkenal yang mempengaruhi ilmu Barat menganggap dirinya
Kristen seperti Copernicus, Galileo, Kepler dan Boyle.
Fokus pada sifat realitas
Ilmu di era Pencerahan dan Kolonial dikonsepsikan sebagai penelitian ontologik
yang mengungkapkan ’fakta-fakta’ tentang sifat fisika. Ini sering bertentangan secara terangterangan dengan Theologia Kristen dan pernyataan tegas yang disebut terakhir tentang
kebenaran yang dilandasi doktrin. Perspektif tentang ilmu tertentu ini memudar di awal abad
20 seiring dengan memudarnya Empiricisme Logika dan bangkitnya pemahaman bahasa dan

sosiologi tentang ilmu. Para ilmuwan modern kurang terfokus pada pemastian kebenaran
universal atau kebenaran ontologik (yang dipandang, dan ditinggalkan, sebagai upaya
filosofi), dan semakin condong ke arah penciptaan model sistem fisika pragmatis fungsional.
Theologia Kristen – dengan mengesampingkan gereja fundamentalis yang tujuannya adalah
untuk menegaskan kembali kebenaran doktrin – juga memperlunak banyak klaim

5

ontologisnya, disebabkan peningkatan keterpaparan pada pengetahuan ilmiah dan klaimklaim theologis agama lain yang saling bertolak belakang.
Perspektif ilmiah dan theologis kerapkali eksis secara bersamaan dengan damai.
Kepercayaan non-Kristen dalam sejarahnya juga dipadukan dengan ide-ide ilmiah, seperti
dalam ilmu theologia Mesir kuno yang diterapkan pada tujuan-tujuan monotheistik, tumbuh
berkembangnya logika dan matematika di bawah agama Hindhu dan Budha, dan kemajuan
ilmiah yang dicapai para ilmuwan Muslim selama kekaisaran Ottoman. Bahkan banyak
komunitas Kristen abad 19 menyambuh baik ilmuwan yang mengklaim bahwa ilmu sama
sekali tidak terfokus pada penemuan sifat utama dari realitas.

Integrasi
Agama Kristen dan ilmu
Rekonsiliasi agama Kristen dengan ilmu mempunyai setidaknya tiga upaya solusi
yang dengan sendirinya terbukti problematik. Ketiga solusi problematik ini adalah literalisme
alkitabiah, pengalaman agama dan konsensus kebenaran ilmiah yang berkembang. Masingmasing metode rekonsiliasi ini mempunyai berbagai contoh sejarah dan contoh masa
sekarang. Contohnya masing-masing meliputi kreasionisme, agama Kristen liberal dan
imperialisme ilmiah. Upaya-upaya sebelumnya atas rekonsiliasi agama Kristen dengan
mekanika Newton tampak sangat berbeda dari upaya-upaya rekonsiliasi kemudian dengan
ide-ide ilmiah yang lebih baru tentang evolusi atau realtivitas. Banyak penafsiran awal
tentang evolusi terpolarisasi dengan sendirinya di seputar pergumulan demi eksistensi. Ideide ini dihempang secara signifikan oleh temuan-temuan kemudian tentang pola universal
kerjasama biologis. Menurut John Habgood, semua manusia sesungguhnya tahu bahwa alam
semesta ini ternyata merupakan campuran dari kebaikan dan kejahatan, keindahan dan
penderitaan, dan bahwa penderitaan entah dengan cara bagaimana bisa menjadi bagian dari
proses kreasi. Habgood berpendapat bahwa orang-orang Kristen tidak boleh terkejut bahwa
penderitaan bisa digunakan Allah secara kreatif, dengan adanya kepercayaan mereka pada
lambang Salib. Habgood menyatakan bahwa orang-orang Kristen selama dua milenium
percaya kepada kasih Allah karena Ia menyatakan ”diri-Nya sebagai Kasih dalam Yesus
Kristus”, bukan karena alam semesta fisik mengacu atau tidak mengacu kepada nilai kasih.
Rekonsiliasi di Britania di awal abad 20
Dalam Reconciling Science and Religion: The Debate in Early-twentieth-century
Britain, ahli sejarah biologi Peter J. Bowler mengajukan bahwa berbeda dengan konflik
antara ilmu dan agama di AS pada tahun 1920-an (yang paling terkenal Percobaan Scopes),
selama periode ini Britania Raya mengalami usaha terpadu rekondiliasi, yang dimenangkan
oleh ilmuwan konservatif intelektual, yang didukung oleh theolog liberal tetapi dientang oleh
ilmuwan dan sekuleris muda dan orang-orang Kristen konservatif. Upaya-upaya rekonsiliasi
ini tercerai-berai pada tahun 1930-an disebabkan meningkatnya ketegangan sosial, gerakan
menuju theologia neo-ortodoks dan penerimaan sintesa evolusi modern.
Agama Budha

6

Agama Budha dan ilmu semakin banyak dibahas sebagai dua bidang yang sepadan.
Sebagian ajaran filosofis dan psikologis dalam agama Budha mempunyai persamaan dengan
pemikiran ilmiah dan filosofis Barat modern. Sebagai contoh misalnya, agama Budha
mendorong penyelidikan tanpa pandang bulu tentang alam (aktivitas yang disebut sebagai
Dhamma-Vicaya dalam Pali Canon) – objek utama studi adalah diri sendiri. Dilandasi
hubungan sebab-akibat dan empiricisme adalah prinsip-prinsip filosofis yang sama-sama ada
antara agama Budha dan ilmu. Akan tetapi, agama Budha tidak fokus pada materialisme.
Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, menghabiskan banyak waktu bersama para
ilmuwan. Dalam bukunya, ”The Universe in a Single Atom” ia menulis, ”Keyakinan saya
dalam menggeluti ilmu terletak pada keyakinan dasar saya bahwa di dalam ilmu, dan juga
dalam agama Budha, memahami sifat realitas diupayakan dengan cara penyelidikan kritis”
dan ”Jika analisa ilmiah menunjukkan secara konklusif klaim tertentu dalam agama Budha
adalah salah”, ia mengatakan, ”maka kita harus menerima temuan-temuan ilmu dan
meninggalkan klaim-klaim tersebut”.
Agama Hindu
Pandangan Hindu tentang evolusi mencakup berbagai sudut pandang tentang evolusi,
kreationisme dan asal-muasal hidup di dalam tradisi agama Hindu. Kajian tentang
kemunculan hidup di alam semesta bervariasi dalam deskripsi, tetapi secara klasik dewa yang
disebut Brahma, dari Trimurti tiga dewa juga mencakup Wysnu dan Sywa, digambarkan
sebagai melaksanakan tindakan ’penciptaan’, atau lebih spesifik ’pengembangbiakan hidup di
alam semesta’ dengan kedua dewa lainnya bertanggungjawab masing-masing atas
’pelestarian’ dan ’penghancuran’ (alam semesta). Dalam hal ini sebagian ajaran Hindu tidak
menanggapi mitos penciptaan kitab suci secara harfiah dan kisah penciptaan itu sendiri sering
tidak sampai dijelaskan secara rinci, yang dengan demikian membiarkan terbuka
kemungkinan penyatuan setidaknya sebagian teori dalam mendukung evolusi. Sebagian umat
Hindu mendapati dukungan terhadap, atau gambaran pendahuluan dari ide-ide evolusi dalam
kitab suci, yaitu Veda. Pengecualian akan penerimaan ini adalah Lembaga Kesadaran Krishna
Internasional (ISKCON), yang mencakup beberapa anggota yang aktif menentang ”teori
Darwin” dan sintesa evolusi modern (lihat Kreasionisme Hindu).
Pandangan Baha’i
Prinsip dasar Agama Baha’i adalah keselarasan agama dan ilmu. Kitab suci Baha’i
menyatakan dengan tegas bahwa ilmu yang sebenarnya dan agama yang sebenarnya tidak
pernah terlibat konflik. Abdu’l-Baha, putera dari pendiri agama ini, menyatakan bahwa
agama tanpa ilmu adalah takhyul dan bahwa ilmu tanpa agama adalah materialisme. Ia juga
memperingatkan bahwa gama yang benar haruslah memenuhi kesimpulan-kesimpulan ilmu.
Ajaran sekarang ini
Dialog modern antara agama dan ilmu berurat berakar pada buku Ian Barbour tahun
1966 Issues in Science and Religion. Sejak saat itu dialog ini tumbuh menjadi bidang
akademik serius, dengan kursi akademik di bidang mata pelajaran, dan dua jurnal akademik
khusus, Zygon: Journal of Religion & Science dan Theologia dan Ilmu. Tulisan-tulisan juga
ada kalanya ditemukan dalam jurnal ilmu utama seperti American Journal of Physics and
Science.

Pengaruh pandangan dunia alkitabiah

7

pada ilmu modern mula-mula
H. Floris Cohen mengajukan pengaruh alkitabiah pada perkembangan mula-mula
ilmu modern. Cohen mempresentasikan pernyataan ahli sejarah Belanda R. Hooykaas bahwa
pandangan-dunia alkitabiah mempunyai segala penawar yang diperlukan untuk gonjangganjing rasionalisme Yunani: menghargai usaha manual, yang menghasilkan eksperimentasi
dan tingkat empiricisme yang lebih besar dan Allah yang mahakuasa yang meninggalkan
alam ”tanpa dewa” dan terbuka untuk penempaan dan manipulasi. Pernyataan ini
memberikan dukungan kepada ide bahwa kebangkitan ilmu modern mula-mula adalah
disebabkan kombinasi unik pemikiran Yunani dan pemikiran alkitabiah. Cohen
merangkumkan kesimpulan Hooykaas sebagai mengkaitkan kebangkitan ilmu modern
dengan kombinasi ”kekuatan pertimbangan abstrak dan kekuatan memikiran konstruksi
teridealisasi Yunani” dikombinasikan dengan ”kerendahan hati alkitabiah ke arah penerimaan
fakta-fakta alam sebagaimana adanya, dipadukan dengan pandangan tentang manusia sebagai
diperlengkapi Allah dengan kuasa untuk menguasai alam”. Cohen juga mencatat bahwa
Richard S. Westfall ”mengangkat paradoks sejati” dalam menyatakan: ”Meskipun dengan
kesalehan alami virtuosi [ilmuwan Inggris abad 17], sikap skeptis Pencerahan sudah ada
dalam bentuk embryo di antara mereka. Yang jelas, kesalehan mereka, tidaklah membabibuta,
tetapi mereka tidak dapat menyingkirkannya... Mereka menulis untuk menolak atheisme,
tetapi di manakah para atheis? Virtuosi memupuk atheis di dalam pikiran mereka sendiri”.
Ahli sejarah dan profesor agama Eugene M. Klaaren menyatakan bahwa ”keyakinan
pada penciptaan ilahi” bersifat sentral pada kemunculan ilmu di Inggris abad tujuh belas.
Filsuf Michael Foster mempublikasikan filosofi analitik yang mengkaitkan doktrin
penciptaan Kristen dengan epmiricisme. Ahli sejarah William B. Ashworth mengajukan
pernyataan menentang gagasan sejarah tentang ketetapan-hati dan ide ilmu Katolik dan
Protesten yang berbeda. Ahli sejarah James R. Jacob dan Margaret C. Jacob mengajukan
pernyataan mendukung hubungan antara transformasi intelektual Anglican abad tujuh belas
dan ilmuwan Inggris berpengaruh (misalnya, Robert Boyle dan Isaac Newton). John
Dillenberger dan Christopher B. Kaiser menulis survei theologia, yang juga mengulas
interaksi tambahan yang terjadi di abad 18, 19 dan 20.
Ahli sejarah dan theolog Oxford University John Hedley Brooke menulis bahwa
”bila filsuf alam menyebut hukum alam, mereka tidak dengan fasih memilih metafora
tersebut. Hukum adalah hasil dari pengundangan oleh dewa kepintaran. Dengan demikian
filsuf Rene Descartes (1596-1650) bersikukuh bahwa ia menemukan ”hukum yang ditetapkan
Allah untuk alam”. Kemudian Newton menyatakan bahwa pengaturan tata surya
mensyaratkan ”kebijaksanaan dan kekuasaan Dia yang mahapandai dan mahakuasa”. Ahli
sejarah Ronald L. Numbers menyatakan bahwa thesis ini ”menerima penguatan” dari tulisan
ahli matematika dan filsuf Alfred North Whitehead Science and the Modern World (1925).
Numbers juga mengajukan, ”Meskipun dengan kelemahan nyata dari klaim bahwa agama
Kristen melahirkan ilmu – yang paling nyata, itu mengabaikan atau meminimalkan kontribusi
bangsa Yunani kuno dan kaum Muslim abad pertengahan – itu juga, menolak ketaklukannya
terhadap kematian yang pantas diterimanya”. Sosiolog Rodney Stark dari Baylor University,
sebuah lembaga Southern Babptist, mengajukan sebaliknya bahwa ”theologi Kristen penting
untuk kebangkitan ilmu”.

Perspektif komunitas agama
Pandangan Yahudi-Kristen-Islam Sejarah

8

Di tahun-tahun awal agama Kristen, ilmu paling banter dipandang sebagai buangbuang waktu. Bapa gereja Athanasius, misalnya, menyambut baik fakta bahwa pimpinan
jemaat mula-mula adalah ”orang yang sedikit pintar”. Serupa halnya, bapa gereja John
Chrysostom mengajari orang-orang untuk ”mengosongkan pikirannya dari pengetahuan
sekuler”, dan pada tahun 448 Theodosius II memerintahkan semua buku non-Kristen dibakar.
Di zaman Pertengahan, beberapa pemikir terkemuka dalam agama Yahudi, Kristen
dan Islam, melaksanakan proyek sintesa antara agama, filosofi dan ilmu alam. Sebagai
contoh misalnya, filsuf Islam Averroes, filsuf Yahudi Maimonides dan filsuf Kristen
Augustine of Hippo, menyatakan bahwa jika ajaran agama didapati bertentangan dengan
pengamatan langsung tertentu tentang dunia alam, maka wajib kiranya mengevaluasi ulang
penafsiran fakta-fakta ilmiah atau pemahaman tentang kitab suci. Pengetahuan terbaik
tentang kosmos dipandang sebagai bagian penting untuk sampai pada pemahaman yang lebih
baik tentang Alkitab, tetapi tidak sama dengan otoritas Alkitab.
Pendekatan ini tetap ada hingga dewasa ini; Henry Drummond, misalnya, adalah
orang Skotlandia abad 19 yang menulis banyak tulisan, di mana sebagian di antaranya
dilandasi pengetahuan ilmiah untuk mengolok-olok dan mengillustrasikan ide-ide Kristen.
Akan tetapi, dari abad 11 metode ilmiah diaplikasikan ilmuwan Muslim maupun
ilmuwan Kristen pada bidang seperti optik dan orbit planet, dengan hasil yang mengancam
sebagian doktrin Kristen. Agama Kristen menegaskan kepastian agama dengan
mengorbankan pengetahuan ilmiah, dengan memberikan sanksi yang lebih eksplisit untuk
mengkoreksi secara resmi pandangan tentang alam dan kitab suci. Perkembangan serupa
pada agama lainnya. Pendekatan ini, walaupun dimaksudkan untuk menstabilkan doktrin
untuk sementara, juga cenderung menjadikan ortodoksi filosofis dan ilmiah kurang terbuka
kepada koreksi, karena filosofi yang diterima menjadi ilmu yang terkena sanksi agama.
Pengamatan dan teori menjadi berada di bawah dogma. Di Eropa, ilmuwan dan ahli
Pencerahan merespon pembatasan sedemikian dengan sikap yang semakin skeptis.
Pandangan agama non-fundamentalis
Di antara posisi-posisi ini terletak posisi para penganut agama non-fundamentalis.
Sangat banyak orang Kristen dan Yahudi yang tetap menerima sebagian atau banyak
keyakinan agama tradisional yang diajarkan di komunitas agama mereka masing-masing,
tetapi mereka tidak lagi menerima ajaran tradisi mereka sebagai tidak perlu dipertanyakan
dan tidak bisa salah (tentu saja inilah prinsip dasar pemikiran Kristen Protestan mainstream
dan prinsip perspektif agama lainnya yang terbuka untuk dialog dengan ilmu). Penganut
agama liberal percaya kepada Allah, dan percaya bahwa dengan sesuatu cara Allah
menyatakan kehendak ilahi kepada manusia. Mereka berbeda dari kaum fundamentalis
agama di mana mereka menerima bahwa sekalipun teks agama mereka diilhami ilahi, teks
agama tersebut juga merupakan dokumen manusia yang mencerminkan limitasi dan bias
budaya dan sejarah para penulisnya. Banyak yang mendukung penafsiran kiasan tentang
Kejadian. Penganut agama sedemikian sering tidak merasa terganggu dengan temuan-temuan
penelitian arkeologi dan bahasa dan studi kritik-sejarah. Mereka akan sering menggunakan
analisa sastra dan sejarah tentang teks agama untuk memahami bagaimana teks agama
tersebut dikembangkan, dan untuk mengetahui bagaimana teks agama tersebut bisa
diterapkan di zaman mereka. Pendekatan ini berkembang di kalangan ilmuwan Protestan
pada abad 18 dan 19, dan sekarang ditemukan di kalangan komunitas Kristen lainnya,
komunitas Yahudi Liberal dan komunitas lainnya.

9

Sebagian pendekatan agama mengakui hubungan sejarah antara ilmu modern dan
doktrin kuno. Sebagai contoh misalnya, Yohanes Paulus II, pemimpin Gereja Katolik Roma,
pada tahun 1981 berbicara tentang hubungan dengan cara ini: ”Alkitab sendiri berbicara
kepada kita tentang asal-muasal alam semesta dan segala isinya, bukan untuk memberikan
kepada kita risalah ilmiah, melainkan untuk menyatakan hubungan yang tepat dari manusia
dengan Allah dan dengan alam semesta. Kitab Suci hanya ingin menyatakan bahwa dunia
diciptakan Allah, dan untuk mengajarkan kebenaran ini Kitab Suci menyatakannya dalam
bentuk kosmologi yang digunakan pada masa penulis”. Pernyataan ini kiranya juga
mencerminkan pandangan dari banyak Kristen non-Katolik. Salah satu contoh pemikiran
semacam ini adalah evolusi Theistik.
Pemahaman tentang peranan kitab suci dalam hubungannya dengan ilmu ini
ditangkap oleh frasa: ”Maksud Roh Kudus adalah untuk mengajar kita bagaimana pergi ke
sorga, bukan bagaimana sorga pergi”. Thomas Jay Oord berkata: ”Alkitab menyatakan
kepada kita bagaimana mencari hidup berkelimpahan, bukan rincian tentang bagaimana
hidup menjadi berkelimpahan”.

Perspektif komunitas ilmiah
Sikap ilmuwan terhadap agama
Di abad 17, para pendiri Royal Society sebagian besar menerima pandangan agama
konvensional dan ortodoks, dan sejumlah di antaranya adalah tokoh Gereja yang menonjol.
Walaupun isu-isu theologis yang berpotensi memecah-belah biasanya tidak diikutkan dalam
ulasan formal Royal Society mula-mula, namun banyak pengikutnya percaya bahwa aktivitas
ilmiah mereka memberikan dukungan bagi keyakinan agama tradisional. Keterlibatan
pendeta dalam Royal Society tetap tinggi hingga pertengahan abad sembilan belas, saat ilmu
menjadi lebih terprofesionalisasi.
Di antara ilmuwan masa sekarang – ahli fisika dan ahli biologi – sekitar 40%
menganut keyakinan agama yang kuat, yang sangat sesuai dengan keyakinan agama dari
jajak pendapat serupa tahun 1916. Ilmuwan terkenal yang menganjurkan ketidakpercayaan
pada agama meliputi ahli biologi evolusi Richard Dawkins dan ahli fisika pemenang hadiah
Nobel Stephen Weinberg. Daftar yang lebih lengkap bisa dilihat dalam Daftar atheis (ilmu
dan teknologi). Ilmuwan terkenal yang menganjurkan kepercayaan meliputi ahli fisika
pemenang hadiah Nobel Charles Townes dan ahli klimatologi John T. Houghton. Daftar lebih
lengkap bisa dilihat dalam Daftar pemikir Kristen dalam ilmu.
Menurut survei tahun 1996 terhadap para ilmuwan Amerika Serikat di bidang
biologi, matematika dan fisika/astronomi, kepercayaan kepada allah yang ”berkomunikasi
intelektual dan afektif dengan manusia” paling populer di kalangan ahli matematika (sekitar
45%) dan paling kurang populer di kalangan ahli fisika (sekitar 22%). Secara keseluruhan,
sekitar 60% ilmuwan Amerika Serikat di bidang ini menyatakan ketidakpercayaan atau
agnosticisme mereka terhadap allah pribadi yang menjawab doa dan kekekalan pribadi. Ini
dibandingkan dengan 58% pada tahun 1914 dan 67% pada tahun 1933. Di antara ilmuwan
terkemuka – yang didefinisikan sebagai anggota National Academy of Sciences – 72,2%
menyampaikan ketidakpercayaan dan 20% lainnya agnostic tentang keberadaan pribadi allah
yang menjawab doa.
Sebuah survei yang dilaksanakan antara tahun 2005 dan 2007 oleh Elaine Ecklund
dari University of Buffalo, The State University of New York dan dibiayi oleh Templeton
Foundation menemukan bahwa lebih dari 60% profesor ilmu alam dan ilmu sosial di 21

10

universitas penelitian elite AS adalah atheis atau agnostik. Bila ditanya apakah mereka
percaya kepada Allah, hampir 34% menjawab ”Saya tidak percaya kepada Allah” dan sekitar
30% menjawab ”Saya tidak tahu apakah ada Allah dan tidak ada cara untuk mengetahuinya”.
Menurut survei yang sama, ”banyak ilmuwan memandang diri mereka sebagai memiliki
spiritualitas yang tidak terkait dengan tradisi agama tertentu”. Dalam analisa selanjutnya,
yang dipublikasikan tahun 2007, Ecklund dan Christopher Scheitle menyimpulkan bahwa
”asumsi bahwa menjadi seorang ilmuwan selalu menyebabkan kehilangan agama tidak dapat
dipertahankan” dan bahwa ”tampak bahwa mereka dari latar belakang non-agama sangat
tidak seimbang yang memilih sendiri profesi ilmiah. Ini mungkin mencerminkan fakta bahwa
ada ketegangan antara prinsip-prinsip agama sebagian kelompok dan teori dan metode ilmu
tertentu dan ini memberi kontribusi kepada besarnya jumlah ilmuwan non-agama”.
Penjelasan ada ditawarkan Farr Curlin, Dosen Kedokteran University of Chicago dan
anggota MacLean Center for Clinical Medical Ethics, bahwa orang-orang agama berpikiranilmiah justru memilih belajar kedokteran. Ia membantu penulis sebuah studi yang
”menemukan bahwa 76 persen dokter percaya kepada Allah dan 59 persen percaya pada
kehidupan setelah mati” dan ”90 persen dokter di Amerika Serikat mengikuti pelayanan
agama setidaknya kadang-kadang, dibandingkan dengan 81 persen dari semua orang
dewasa”. Ia beranggapan, ”Tanggungjawab untuk merawat orang yang menderita dan
imbalan dalam membantu mereka yang membutuhkan sejalan dengan sebagian besar tradisi
agama”.
Sebuah jajak pendapat tahun 2009 oleh Pew Research Center menemukan bahwa
33% ilmuwan Amerika menyatakan mereka percaya kepada Allah. 48% menyatakan mereka
mempunyai afiliasi agama, sama dengan jumlah yang menyatakan mereka tidak berafiliasi
dengan suatu tradisi agama. Survei mereka juga menemukan ilmuwan yang lebih muda
”lebih besar kemungkinannya secara berarti daripada rekannya yang lebih tua menyatakan
mereka percaya kepada Allah”. Di antara bidang survei, ahli kimialah yang paling besar
kemungkinannya mengatakan mereka percaya kepada Allah.
Keyakinan agama para profesor AS, banyak di bidang sains, baru-baru ini dikaji
dengan menggunakan sampel representatip nasional yang terdiri lebih dari 1400, yang
dipublikasikan dalam Sociology of Religion. Peneliti melaporkan bahwa ”Bertolak belakang
dengan pandangan bahwa sikap skeptis agama dominan di akademi, kami temukan bahwa
sebagian besar profesor, bahkan di institusi penelitian elit, adalah penganut agama”.
Keyakinan bervariasi antar-bidang ilmu, dan ”bidang yang paling religius adalah bidang
terapan di luar seni liberal tradisional, yang dosennya mungkin lebih menyerupai populasi
umum dalam hal sikap dan nilai... Di ekstrim lainnya, psikologi dan teknik mekanika
mempunyai proporsi atheis tertinggi [50 dan 44 persen], sementara 60,8 persen ahli biologi
adalah atheis atau agnostik”. Peneliti menyimpulkan bahwa di kalangan profesor AS, ”kurang
dari seperempat bisa diklasifikasikan sebagai bukan penganut agama total... bahkan di
fakultas-fakultas elit, terdapat lebih banyak profesor yang religius daripada yang tidak
percaya, yang mengajukan bahwa di akademi – seperti di lembaga amerika pada umumnya –
sekurelisasi mendatangkan lebih banyak privatisasi keyakinan agama... daripada
penghapusannya”.
Survei Ecklund dan Sheitle tahun 2005-2007 juga membandingkan perbedaan antara
pakar ilmu alam dan ilmu sosial di 21 universitas penelitian elite AS yang mereka survei.
Analisa atas lebih dari 1600 jawaban menunjukkan bahwa ”perbedaan dalam keagamaan
antara pakar ilmu alam dan ilmu sosial bukan lagi deskriptor yang berarti atas tempat agama

11

di akademi. Untuk sebagian besar ada sedikit perbedaan antara bidang-bidang yang lebih
besar ini [ilmu sosial versus ilmu alam] atau antara bidang-bidang spesifik itu sendiri. Ada
ditemukan perbedaan antara ahli kimia dan pakar politik yang lebih besar kemungkinannya
religius, menurut indikator tradisional, bila dibandingkan dengan ahli fisika”.
Studi ilmiah tentang agama
Studi ilmiah ada dilakukan tentang keagamaan sebagai fenomena sosial atau
psikologis. Ini meliputi studi tentang korelasi antara keagamaan dan inteligensia (sering IQ,
tetapi juga faktor lainnya). Sebuah studi baru-baru ini tentang reseptor serotonin dan
keagamaan menunjukkan adanya korelasi antara kepadatan rendah reseptor serotonin dan
pengalaman agama yang kuat. Juga yang lagi populer adalah studi tentang doa (Lihat Box)
dan kedokteran, khususnya apakah ada hubungan sebab-akibat atau korelatif antara
permohonan spiritual dan peningkatan kesehatan. Survei yang dilaksanakan Gallup, National
Opinion Research Centre dan Pew Organization menyimpulkan bahwa orang yang
berkomitmen secara spiritual dua kali lebih mungkin melampirkan ”sangat bahagia” daripada
orang yang paling kurang berkomitmen secara spiritual. Analisa atas lebih dari 200 studi
sosial bahwa ”kereligiusan yang tinggi memprediksi risiko depresi dan penyalahgunaan obat
yang lebih rendah dan usaha bunuh diri yang lebih sedikit, dan lebih banyak laporan tentang
kepuasan dengan kehidupan dan rasa sejahtera” dan tinjauan atas 498 studi yang
dipublikasikan dalam jurnal-jurnal yang ditinjau sesama rekan menyimpulkan bahwa
sebagian besar studi ini menunjukkan korelasi positip antara komitmen agama dan tingkat
persepsi sejahtera dan harga diri yang lebih tinggi, dan tingkat hipertensi, depresi dan
masalah klinik yang lebih rendah. Survei menunjukkan adanya hubungan kuat antara iman
dan altruisme. Studi Keith Ward menunjukkan bahwa agama secara keseluruhan merupakan
kontributor positip kepada kesehatan mental. Michael Argyle dan kawan-kawan mengklaim
bahwa sedikit atau tidak ada bukti bahwa agama pernah menyebabkan penyakit jiwa.
Studi lainnya menunjukkan bahwa penyakit jiwa tertentu, seperti schizophrenia dan
penyakit obsesif-kompulsif, juga terkait dengan tingkat kereligiusan yang tinggi. Selain itu,
obat anti-psikotik, yang pada pokoknya bertujuan menghambat reseptor dopamine, biasanya
mengurangi perilaku religius dan delusi religius.
Sebagian ahli sejarah, filsuf dan ilmuwan berharap agar teori memetika, sisa-sisa dari
teori genetika, akan memungkinkan pemodelan evolusi budaya manusia, termasuk asalmuasal evolusi agama. Buku Daniel Dennett Breaking the Spell (2006) berupaya memulai
analisa sedemikian atas agama-gama modern. Ide bahwa proses evolusi terlibat dalam
perkembangan budaya dan agama manusia tidak begitu kontroversial di kalangan pakar ilmu
alam, akan tetapi pendekatan lainnya yang didasarkan pada ilmu sosial seperti antropologi,
psikologi, sosiologi dan ekonomi lebih lazim dalam kegunaan akademik.
Ditulis oleh: Drs. Beltasar Pakpahan
Disarikan dari berbagai sumber

12

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2