Upaya Hukum Kasasi oleh Jaksa Penuntut U

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………....... 1
BAB I PENDAHULUAN ....…………….………………………………………. 2
A. Pernyataan Masalah …..…...........……………………………………..… 2
B. Perumusan Masalah .….………………………………………................. 5
BAB II KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS ........................................................ 6
A. Sejarah Singkat Lembaga Kasasi …………………………………..……. 6
B. Kasasi Sebagai Upaya Hukum ……………………..……………….…… 7
C. Jenis Putusan Bebas …………………………………………………..…. 8
D. Realitas Kasasi Atas Putusan Bebas …………………………………… 15
BAB III KERANGKA TEORI …………………………………...………….... 19
BAB IV ANALISIS KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS ……………………. 28
BAB V KESIMPULAN……………………….…………………………...…… 44
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..… 47
LAMPIRAN

1

BAB I
PENDAHULUAN


A.

Pernyataan Masalah
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, bahkan

dalam ilmu hukum terdapat adagium yang berbunyi : “Ubi societas ibi ius”
(dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “perekat”
tersebut adalah hukum.1
Tentang hukum acara pidana, selalu berkaitan dengan sistem peradilan
pidana serta sistem hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Hal ini merupakan
kewajaran, sistem peradilan pidana adalah sebagai suatu sub bab sistem dari
sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu Negara. Oleh
sebab itu, setiap Negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana,
meskipun secara garis besar hampir sama, namu memiliki karakter tersendiri,
yang disesuaikan dengan kondisi social masyarakat, budaya dan politik yang
dianut.2

Sistem peradilan pidana Indonesia, sebenarnya telah menempatkan bangsa
Indonesia, sebagai Negara hukum yang modern, karena telah mampu memberikan
dukungan dengan hadirnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

1 Ratna Artha Windari, SH,M.H, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok:Rajawali Pers, 2017) Cet.I,
hlm. 1
2 DR.Syaiful Bakhri,SH,M.H, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dalam Perspektif
Pembaruan, Teori dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014), Cet. I, hlm. 7

2

(KUHAP) yang modern hingga sekarang, telah memberikan kontribusi nyata
dalam menjalankan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih
kolonial, walaupun telah di perbarui secara parsial dan sesuai dengan kebutuhan
suasana kemerdekaan. Kritikan-kritikan penegakan hukum yang masih belum
menampakan ketaatan pada KUHAP adalah masalah tersendiri, sehingga
muncullah suatu gagasan pembaruan KUHAP, yang selalu berkorelasi dengan
pembaruan KUHP.3
Pemeriksaan perkara pidana pada tingkat Kasasi, tidaklah sama dengan
pemeriksaan seperti yang dilaksanakan pada pemeriksaan tingkat pertama

(Pengadilan Negeri) atau pemeriksaan pada tingkat banding (Pengadilan Tinggi).
Oleh karena itu pemeriksaan pada tingkat kasasi, tidak dapat disebut sebagai
pemeriksaan tingkat ketiga. Karena pemeriksaan pada tingkat kasasi, hanya
ditujukan kepada permasalahan penerapan hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan bawahan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).4
Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak tersebut.
Seandainya

mereka

dapat

menerima

putusan

yang

dijatuhkan,


dapat

mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil,
dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.5
Putusan pengadilan mana yang dapat diajukan permohonan kasasi ?
Pertanyaan ini dijawab oleh ketentuan Pasal 244 KUHAP. Menurut ketentuan
3 Ibid, Hlm. 19
4 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I , hlm.
1
5 M.Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) Ed.2,
Cet.VII, hlm. 537

3

Pasal 244 putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan
kasasi:
-


Semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan,

-

Kecuali terhadap putusan:


Mahkamah Agung sendiri, dan



Putusan bebas.

Adalah wajar dan logis jika permohonan kasasi tidak dapat diajukan
terhadap putusan Mahkamah Agung. Tidak wajar memeriksa dan memutus
kembali putusan perkara yang telah diambil oleh Mahkamah Agung. Hal itu akan
melenyapkan tujuan penegakan kepastian hukum. Kalau putusan kasasi masih
boleh lagi dikasasi, tidak terwujud kepastian hukum atau legal certain, dan akan

terjadi siklus pemeriksaan perkara yang tidak berujung pangkal. Itulah sebabnya
undang-undang membatasi bahwa kasasi terhadap putusan Mahkamah Agung,
tidak diperkenankan.6
Selanjutnya dalam pasal 244 KUHAP, ditentukan pula bahwa putusan
bebas, dikecualikan dari putusan pengadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, bahwa terhadap putusan
bebas, tidak dapat di mintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Jadi dikaitkan
dengan uraian di atas, berarti terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan
banding atau kasasi. Dengan demikian secara yuridis normatif, apabila dijatuhkan
putusan bebas, maka tertutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum.
6 Ibid, hlm. 542

4

Oleh karena itulah, Soedirdjo dalam pembahasannya terhadap putusan bebas
memberi judul uraiannya ”Putusan Bebas Pintu Jalan Hukum Tertutup”.7
Akan tetapi dewasa ini didalam praktek sehari-hari terhadap putusan bebas
(vrisjpraak) juga dilakukan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
sebagaimana


contoh

kasus

dalam

Putusan

Pidana

Nomor

:

1545/Pid.Sus/2017/PN.Tng tanggal 12 Desember 2017 dengan Terdakwa Mustari
Efendi yang tentunya hal ini bertentangan secara yuridis normatif dengan Pasal
244 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia, untuk melihat lebih
jauh mengenai upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap suatu Putusan Bebas maka dari itulah Penulis didalam makalah ini akan
mengambil judul “Upaya Hukum Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap

Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”
B.

Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah :

1. Bagaimanakan pengaturan mengenai upaya hukum oleh Jaksa Penuntut
Umum terhadap putusan bebas dalam KUHAP ?
2. Bagaimanakah aplikasi upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia saat ini dan masa yang akan datang ?

BAB II
KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS
7 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I , hlm.
117

5

A. Sejarah Singkat Lembaga Kasasi

Untuk memahami arti dan perkembangan lembaga kasasi dan bagaimana
fungsi kasasi terhadap jalannya peradilan, tentunya kita harus memahami dahulu,
apakah yang dimaksud dengan kasasi dan bagaimana perkembangannya, sehingga
lembaga tersebut masuk ke dalam hukum acara pidana kita.
Coops dalam bukunya Groontrekken van het Nederlansch Burgelijk
Procesrecht, sebagaimana dikutip oleh Soedirjo, mengemukakan bahwa perkataan
kasasi yang di negeri kelahirannya Perancis disebut cassation berasal dari kata
kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan. Lembaga kasasi telah
dikenal di Perancis sejak abad ke-16 dan diciptakan pada zaman itu sebagai
benteng kekuasaan Raja. Dengan memperalat Counseil du roi raja-raja di Perancis
mempertahankan pelaksanaan ordonnances du roi, kemudian pada tahun 1783
peradilan kasasi diserahkan kepada Court de cassation. Pengertian peradilan
kasasi itu diambil alih dalam perundang-undangan revolusioner di Perancis.
Dalam perkembangan selanjutnya lembaga kasasi di ikuti oleh Negaranegara di Eropa Barat yang menganut sistem hukum kodifikasi, antara lain di ikuti
oleh negeri Belanda. Lembaga kasasi tersebut di jembatani oleh asas konkordansi,
pada gilirannya dianut pula dalam hukum acara pidana di Indonesia. Lebih lanjut
lembaga kasasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 setelah itu
dibentuklah Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan untuk melaksanakannya dibentuklah UndangUndang Nomor 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung. Kemudian UndangUndang Nomor 13 tahun 1965 itu sendiri dicabut pula oleh Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kehakiman setelah itu berlakulah

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
6

Acara Pidana (KUHAP) dimana mengenai hukum acara kasasi diatur
didalamnya.8
B.

Kasasi Sebagai Upaya Hukum
Dikatakan kasasi sebagai upaya hukum, karena kasasi adalah salah satu

bentuk daripada upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa atau penuntut
umum apabila ia tidak dapat menerima putusan pada tingkat terakhir.
Dalam Pasal 153 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa pemeriksaan dalam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan 248 KUHAP guna menentukan
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang; apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya. Pasal 244 KUHAP sendiri mengatur tentang putusan tingkat
terakhir yang dapat dimintakan kasasi dan para pihak (terdakwa atau penuntut

umum) yang dapat mengajukan permohonan kasasi.9
Berhubungan dengan Pasal 244 KUHAP tersebut maka didalam makalah
ini Penulis akan berfokus kepada upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak).

C. Jenis Putusan Bebas
Sebelum lebih jauh membahas mengenai upaya hukum kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) maka kita akan membahas
mengenai seperti apakah yang dimaksud dengan putusan bebas tersebut. Sesuai
dengan rumusan pengertian bebas dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka dapat
8 Ibid, hlm. 41-45
9. 244 KUHAP berbunyi : Terhadap putusan perkara pidana yang diberikanpada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.

7

kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah “putusan
pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat
pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya”.
Dikatakan dakwaan tidak terbukti, bila dari hasil pemeriksaan sidang
ternyata tidak terdapat cukup bukti-bukti, yang menunjukkan bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menurut sistem
pembuktian yang dianut oleh KUHAP (sistem pembuktian yang disebut Negatief
Wettelijk), untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa itu terbukti, minimal harus terdapat dua alat bukti yang sah dan hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem pembuktian demikian, dapat
kita lihat dalam pasal 183 KUHAP.10
Sehubungan dengan putusan bebas ini, Wijono Prodjodikoro mengatakan,
kalau peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam surat tuduhan (dakwaan)
seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti, maka terdakwa
harus dibebaskan dari tuduhan (vrijgesproken). Ketiadaan terbukti ini ada dua
macam :
Ke-1

ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum,
yaitu ada hanya pengakuan terdakwa saja atau adanya hanya seorang
saksi saja, atau adanya hanya satu penunjukkan saja, tidak dikuatkan oleh
lain alat bukti.

10 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I ,
hlm. 108

8

Ke-2

minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang telah
dipenuhi, misalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukkan atau
lebih, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut, erat kaitannya dengan

ketentuan pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi dengan demikian, untuk dapat membuktikan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa, minimal harus tersedia dua alat bukti yang sah. Dan
berdasarkan pada penggunaan minimal dua alat bukti yang sah tersebut, hakim
berkeyakinan bahwa tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum kepada
terdakwa benar-benar telah terjadi, dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Kalau kita teliti dengan seksama perumusan pasal 183 KUHAP tersebut,
maka nampak inti pasal tersebut ialah: Adanya dua alat bukti yang sah, adanya
keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana adanya keyakinan hakim bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Jadi meskipun syarat adanya
minimal dua alat bukti tersebut telah terpenuhi, tindak pidana telah terbukti, tetapi
bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
tersebut, maka terdakwa pun akan dibebaskan.
Dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP dirumuskan, jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,

9

maka terdakwa diputus bebas. Seyogianya, bila kesalahan terdakwa yang tidak
terbukti, maka putusannya bukanlah pembebasan, tetapi pelepasan dari segala
tuntutan hukum. Karena sebagaimana telah diuraikan di atas, yang harus terbukti
tersebut, bukan hanya perbuatan yang didakwakan saja atau kesalahan terdakwa
saja. Perbuatan yang didakwakan (tindak pidana) dan kesalahan terdakwa atas
perbuatan tersebut harus terbukti, dan atas keterbuktian kedua hal itu hakim yakin
adanya, maka barulah terdakwa dapat dijatuhi pidana.11
Dalam KUHAP, hanya dikenal bentuk putusan bebas sebagaimana
dimaksud pasal 191 ayat (1), di luar ketentuan tersebut tidak dikenal bentuk
putusan bebas lainnya. Tetapi dalam praktek sehari-hari dan ilmu pengetahuan
hukum (acara pidana), dikenal bentuk putusan bebas murni dan putusan bebas
tidak murni.
1.

Putusan bebas murni (vrijspraak)

Dalam penjelasan atas pasal 191 ayat 1 KUHAP di kemukakan, bahwa
yang dimaksud dengan ”perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah
dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti yang menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Alat
bukti yang Sah ditentukan dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, yakni: Keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dari rangkaian
pasal 191 ayat 1 beserta penjelasannya, pasal 183 dan pasal 184 ayat 1 KUHAP
tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud putusan bebas,

11 Ibid, Hlm. 110

10

ialah putusan yang membebaskan terdakwa, karena perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti.12
Dalam praktek dan ilmu hukum, putusan bebas yang didasarkan pada tidak
terbuktinya perbuatan yang didakwakan tersebut, disebut sebagai pembebasan
yang murni. Karena pengertian bebas murni ini dibahas dalam hubungannya
dengan penggunaan upaya hukum kasasi, maka sebaiknya kita kemukakan pula
bagaimana pendapat Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut.
Dalam putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan kasasi
atas putusan bebas, Mahkamah Agung tidak secara tegas menyatakan pendapatnya
tentang putusan bebas murni tersebut. Dalam putusan-putusan demikian, biasanya
Mahkamah Agung hanya menyatakan, bahwa terhadap putusan bebas murni tidak
dapat dimintakan kasasi (tanpa mengemukakan pengertian putusan bebas murni).
Menurut pendapat penulis, karena terhadap putusan bebas murni tidak dapat
dimintakan kasasi, maka seharusnya Mahkamah Agung mengemukakan secara
rinci apakah yang dimaksud dengan putusan bebas murni atau pembebasan murni
tersebut.
2.

Putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak)

Bahwa putusan bebas tidak murni sangat erat kaitannya dengan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dalam pasal
191 ayat (2) KUHAP dinyatakan, bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
12 Ibid, Hlm. 112

11

tuntutan hukum”. Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 191 ayat 2 tersebut, terlalu sempit ruang
lingkupnya. Karena perumusan demikian, tidak mencakup seluruh makna putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Dalam hukum pidana kita kenal juga hal-hal yang merupakan alasan
pengecualian dan alasan pemaaf, yang menjadi dasar hukum sehingga orang yang
terbukti telah melakukan tindak pidana, tidak dapat dipidana. Dalam hal yang
demikian, pengadilan pun akan menjatuhkan putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum. Putusan demikian dijatuhkan, karena tindak pidana yang telah
terbukti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahkan kepada
terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar alasan pemaaf/pengecualian tersebut, dalam
KUHP terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.13

13. a. Pasal 44 KUHP menyatakan: Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah
akal tidak boleh dihukum;
b. Pasal 48 KUHP menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh suatu
kekuasaan yang tak dpat di hindarkan tidak boleh dihukum;
c. Pasal 49 KUHP (ayat 1) menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan
atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan
mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum;
d. Pasal 49 KUHP (ayat 2) menyatakan: Melampaui batas per tahanan yang sangat perlu, jika
perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan“ terguncang dengan segera
pada saat itu juga, tidak boleh dihukum;
e. Pasal 50 KUHP menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
undang-undang, tidak boleh dihukum;
f. Pasal 51 ayat 1 KUHP menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan
perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.

12

Menurut Andi Hamzah suatu pembebasan tidak murni (nietzuivere
vrijspraak) ialah suatu putusan yang bunyinya bebas (viijspraak) tetapi
seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag yan rechts
vervolging) yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung
(bedekt wontslag vanrechts vervolging). Jadi, bebas tidak murni sama dengan
lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Sebaliknya dapat juga terjadi,
putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang didasarkan kepada tidak
terbuktinya suatu unsur (bestandeel) suatu dakwaan, jadi seharusnya putusannya
bebas (vrijspraak).
Van Bemmelen memberikan rumusan lain tentang bilakah terjadinya bebas
tidak murni (niet zuivere vrijs praak) itu, yaitu bebas tidak murni (niet zuivere
vrijspraak) jika hakim menjalankan (menyatakan, penulis) putusan bebas, yang
didasarkan atas kenyataan bahwa yang tersebut dalam dakwaan lebih banyak
daripada yang ada dan lebih banyak daripada “yang perlu dimuat didalamnya.“
Soedirdjo merumuskan bahwa putusan pembebasan tidak murni sesungguhnya
merupakan putusan pelepasan dari tuntutan hukum, apabila putusan itu menurut
kulit atau bentuknya mengandung pembebasan terdakwa, sedang menurut isi atau
substansinya mengandung pelepasan dari tuntutan hukum, oleh karena itu disebut
juga pelepasan dari tuntutan hukum terselubung (bedekt ontslag van rechts
vervolging). Dikatakan pembebasan tidak murni adalah pelepasan dari tuntutan
hukum terselubung, apabila dalam surat tuduhan dirumuskan suatu unsur tindak
pidana dengan istilah yang sama sebagaimana terdapat dalam undang-undang dan
hakim memberikan interpretasi secara tidak benar tentang istilah itu dan juga

13

mengenai undang-undang sedemikian, bahkan interpretasi itu keliru sehingga
dianggap tidak terbukti.14
Jadi, yang dimaksudkan dengan putusan bebas tidak murni tersebut,
adalah suatu putusan pengadilan yang amamya berbunyi pembebasan dari
dakwaan (segala dakwaan), yang pada hakikatnya merupakan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum, yang terjadi karena pengadilan (hakim) keliru dalam
menafsirkan suatu istilah yang terdapat dalam surat dakwaan. Secara formal bunyi
putusan adalah pembebasan, tetapi secara material sesungguhnya putusan itu
berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum.

D.

Realitas Kasasi Atas Putusan Bebas
Pasal 67 KUHAP mengecualikan putusan bebas dari penggunaan upaya

hukum banding. Dengan perkataan lain suatu putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding ke pengadilan tinggi. Kemudian dalam pasal 233 ayat 2
KUHAP, lebih ditegaskan lagi, bahwa hanya permintaan banding sebagaimana
dimaksud dalam pasal 67 yang boleh diterima oleh panitera pengadilan. Atau
dengan kata lain suatu permintaan banding yang bertentangan dengan ketentuan
pasal 67 KUHAP, tidak dibenarkan untuk diterima oleh panitera pengadilan.
Selanjutnya dalam pasal 244 KUHAP, ditentukan pula bahwa putusan
bebas, dikecualikan dari putusan pengadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan

14Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I ,
hlm.115-116

14

kasasi kepada Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, bahwa terhadap putusan
bebas, tidak dapat di mintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Berkenaan dengan ketentuan-ketentuan ini, adalah menjadi yurisprudensi
tetap bahwa, tidak dilihat secara formal apa bunyi putusan, tapi dilihat dari isinya.
Ini berarti bahwa meskipun putusan, bunyinya dibebaskan, kita lalu dimohon
banding atau kasasi, jika menurut pandangan pengadilan yang bersangkutan
seharusnya putusan bukan dibebaskan dari dakwaan (vrijgesproken van de
tenlastelleggings), maka penghapusan dengan banding atau kasasi dibolehkan.
Sebab jika demikian dikatakan bahwa pembebasan adalah pembebasan yang tidak
sesungguhnya (geen zuivere vrijspraak).
Sedang Mahkamah Agung, berpendapat bahwa putusan bebas merupakan
hak terdakwa. Pandangan demikian dapat kita temukan dalam putusannya tanggal
15 Desember 1983 Regno 275 K/Pid/l983. Dalam pertimbangannya, antara lain
dinyatakan: Menimbang, “bahwa pada kenyataannya pengadilan tinggi telah
menerima permohonan banding dari jaksa/pembanding terhadap putusan
pengadilan negeri yang membebaskan terdakwa, padahal ketentuan pasal 67 dan
pasal 233 ayat 2 KUHAP tersebut merupakan ketentuan yang bertujuan untuk
menjamin hak terdakwa yang sudah dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh
pengadilan negeri.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pengajuan upaya hukum
banding atau kasasi terhadap putusan bebas, telah kita kenal dalam praktek sejak
masa keberlakuan HIR, sampai berlakunya KUHAP. Hanya bedanya, semasa
berlakunya HIR, kasasi terhadap putusan bebas tidak dapat langsung dimintakan

15

kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi harus menggunakan upaya hukum banding
terlebih dahulu. Hal ini dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal
10 Maret 1959 Nomor): 2 K/Kr/1959, yang menyatakan bahwa permohonan
kasasi yang langsung diajukan ke Mahkamah Agung, tidak dapat diterima.
Kemudian dalam putusannya tanggal 20 Januari 1958 Nomor : 235 K/Kr/1957,
Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi karena pemohon
tidak menggunakan upaya hukum banding terlebih dahulu.
Sejak berlakunya KUHAP, terhadap putusan bebas telah secara langsung
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Ketentuan kasasi terhadap putusan
bebas (yang secara langsung dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung) dapat
kita lihat dalam :
1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M. 01-PW. 07.03
Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, yang menyatakan: Mengingat bahwa mengenai masalah ”salah
atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat
dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan
melihat pada pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan
bebas tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa
terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak
dapatdiajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan
kasasi. Jadi, dengan membuktikan bahwa suatu putusan bebas sebagai
pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum
terselubung), maka terhadap putusan bebas tersebut dapat secara langsung
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
16

2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.14--PW.
07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, menyatakan bahwa
terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demihukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan
bebas dapat dimintakan kasasi.15
3. Yang terakhir ialah adanya Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 tahun
1985 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung yang berbunyi : “Mahkamah Agung memutus
permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau
Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan”.
Dengan memakai dasar-dasar hukum diatas itulah sekarang ini dalam
praktek sistem peradilan pidana di Indonesia, hampir untuk setiap putusan bebas
Jaksa Penuntut Umum selalu melakukan upaya hukum kasasi dengan contoh
kasus ialah kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Kabupaten Tangerang atas Putusan Bebas (vrijspraak) Nomor :
1545/Pid.Sus/2017/PN.Tng tanggal 12 Desember 2017 di Pengadilan Negeri
Tangerang. Walaupun terkadang isi dari Memori Kasasi yang menjadi alasan
kasasi Jaksa Penuntut Umum hanyalah berupa pengulangan fakta-fakta atau
penilaian atas hasil pembuktian yang sesungguhnya bukan domain dari
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam pasal 253
ayat (1) KUHAP.16
15 Ibid, hlm 118-119
16 Pasal 253 ayat (1) KUHAP : Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan 248 guna
menentukan :

17

BAB III
KERANGKA TEORI
Dalam landasan teoritisi ini bertujuan sebagai dasar atau landasan dengan
menggunakan teori-teori untuk mengkaji, menganalisis serta memecahkan
permasalahan yang terkandung dalam substansi topik materi (hukum) selaku
variabel-variabel dalam judul yang disajikan. Dalam relevansinya dengan judul
makalah ini pada intinya menyangkut tentang upaya proses penegakan hukum
yang dilakukan oleh komponen struktur Sistem Peradilan Pidana dalam rangka
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum dari pencari keadilan atau dalam
rangka mencari kebenaran materiil.
Terkait dengan ide dasar pembentuk undang-undang sehingga tidak
memperkenankan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi
a.
b.
c.

Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

18

terhadap Putusan Bebas (vrijspraak), adalah dalam hal ini pembentuk undangundang (pembentuk KUHAP) berorientasi pada “hak kebebasan” yang dimiliki
tiap orang yang merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. Dalam
konteks ini terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut tidak boleh dimohonkan
upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung oleh
karena

pembentuk

undang-undang

menerapkan

ide-ide

pemikiran

yang

menganggap bahwa putusan bebas yang diberikan oleh pengadilan negeri kepada
terdakwa, merupakan suatu hak yang diperoleh terdakwa dan tidak boleh di
ganggu gugat. Selain itu ada “keadilan” bagi diri terdakwa yang akan terzalimi
setelah menempuh proses peradilan pidana yang sedemikian lama sejak proses
penyidikan, dakwaan, persidangan, penuntutan hingga putusan dinyatakan bebas
tiba-tiba harus kembali berhadapan dengan upaya hukum kasasi yang dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum pada tingkat kasasi.
Terkait dengan keadilan bagi diri terdakwa didalam makalah ini maka bisa
dikorelasikan dengan teori keadilan Aristoteles yang merupakan salah satu orang
pertama yang telah mencoba untuk membedah gagasan keadilan dalam bab kedua
dari bukunya Ethika Nikomacheia (norka Nikouaxeia) aslinya: Ethikon
Nikomacheion (norkwa Nikouaxeia), untuk dapat memahami kompleksitasnya.
Dia tergugah untuk mendalami soal keadilan (dikaiosyne) karena mengamati,
betapa orang memberi makna yang berbeda-beda pada gagasan tersebut, bahkan
di zamannya yang belum mengenal urusan-urusan yang rumit seperti sengketa
mengenai hak cipta atau malpraktik dokter. Pada prinsipnya untuk Aristoteles apa
yang adil itu berada di tengah (doktrin Mesotes, ueootn), karena situasi yang

19

sangat adil dan sangat tidak adil selalu bersifat ekstrem. Namun Aristoteles
membedakan moderasi itu antara keadilan umum dan keadilan khusus, dua istilah
yang akan berulang kali naik lagi ke permukaan sejarah sebagai iustitia generalis
dan iustitia particularis (atau iustitia specialis).17
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan dalam arti umum;
2. Keadilan dalam arti khusus.18
Keadilan dalam arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi semua
orang. Tidak membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya.
Justice for all. Keadilan dalam arti khusus merupakan keadilan yang berlaku
hanya ditujukan pada orang tertentu saja (khusus). Aristoteles mengemukakan dua
konsep keadilan, yaitu menurut:
1. Hukum;
2. Kesetaraan.
Istilah tidak adil dipakai, baik bagi orang yang melanggar hukum maupun
orang yang menerima lebih dari haknya, yaitu orang yang berlaku tidak jujur.
Orang yang taat pada hukum dan orang yang jujur keduanya pasti adil. Sehingga
yang adil berarti mereka yang benar menurut hukum dan mereka yang berlaku
seimbang atau jujur. Yang tidak adil berarti mereka yang melanggar hukum atau
mereka yang berlaku seimbang atau tidak jujur. Yang benar menurut hukum

17 Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan,
(Bandung:Yrama Widya, 2016).Cet.I, hlm. 269
18 Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 146.

20

memiliki makna yang luas, dan kesetaraan memiliki makna yang sempit. Di
samping itu, Aristoteles juga membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan distributif;
2. Keadilan korektif.19
Keadilan distributif dijalankan dalam distribusi kehormatan, kemakmuran,
dan aset-aset lain yang dapat dibagi dari komunitas yang bisa dialokasikan di
antara para anggotanya secara merata atau tidak merata oleh legislator. Prinsip
keadilan distributif adalah kesetaraan yang proporsional (seimbang). Keadilan
korektif merupakan keadilan yang menyediakan prinsip korektif dalam transaksi
privat. Keadilan korektif dijalankan oleh hakim dalam menyelesaikan perselisihan
dan memberikan hukuman terhadap para pelaku kejahatan.
Jadi esensi keadilan distributif pada intinya mengandung kepemilikan hak
bagi setiap orang. Dalam konteks ini terkait dengan hak terdakwa yang diputus
bebas

(vrispraak)

oleh

pengadilan

negeri

dihadapan

hukum

dalam

memperjuangkan keadilan bagi para pencari keadilan yang merupakan suatu hak
kebebasan.
Berikut pendapat doktrinal yang senada dengan versi pembentuk undangundang

yang

memberikan

pandangannya

mengenai

ide

dasar

yang

melatarbelakangi sehingga terdakwa yang diputus bebas (vrijspraak) berhak atas
hak kebebasan, yakni menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh
Moeljatno mengatakan, “…. Oleh memorie van toelichting bahwa putusan
pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh
19 Ibid, hlm. 146-148

21

diganggu gugat. Tapi ada juga yang menyatakan bahwa pembebasan adalah
wewenang juri dan putusan juri dijunjung tinggi oleh wet”.20
Selain keadilan bagi diri terdakwa, terhadap putusan bebas juga harus
memperhatikan keadilan di dalam masyarakat, maka dari itu bisa juga
dikorelasikan dengan teori keadilan John Stuart Mill yang merupakan murid dari
Jeremy Bentham. Dimana ia mengemukakan bahwa:
“Tidak ada teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan.
Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang
melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan
masyarakat, klaim-klaim untuk memegang janji diperlakukan dengan
setara, dan sebagainya”.21
Jhon Stuart Mill memokuskan konsep keadilan pada perlindungan
terhadap klaim-klaim di masyarakat. Tujuan dari klaim itu, yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan dan memegang janji secara setara. Secara setara
diartikan bahwa kedudukan orang adalah sejajar (sama tingginya), sama
kedudukannya atau kedudukannya seimbang. Pandangan Jhon Stuart Mill
dipengaruhi oleh pandangan utilitarianisme yang dikemukakan Jeremy Bentham.
Terkait dengan pembentukan undang-undang (pembentuk KUHAP)
maupun adanya perubahan-perubahan peraturan perundangan-undangan seperti
adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 yang kemudian diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan diubah lagi menjadi Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung bisa juga dikorelasikan dengan

20 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I ,
hlm.117
21 Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 23

22

Teori Legislasi atau Teori Perundang-undangan dari Ann Seidemen dkk. Dimana
ia mengemukakan :
“Kategori untuk membantu seseorang dalam pembuatan rancangan
undang-undang

memformulasikan

suatu

hipotesis

penyebab

yang

terperinci untuk merancang undang-undang yang efektif”.22
Konstruksi teori perundang-undangan yang disajikan oleh Ann Seidemen
dkk dilihat dari aspek formulasi dari undang-undang yang akan dibuat. Yang
diformulasikan adalah mengenai faktor penyebab terperinci untuk merancang
undang-undang. Pandangan Ann Seidemen dkk tidak lengkap karena yang
dilihatnya hanya faktor penyebabnya saja, tetapi tidak mengkaji tentang tata cara
penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu sejak dari penyusunan naskah
akademik sampai kepada penetapannya.
Burkrardt Krems mengemukakan bahwa :
“Ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan ilmu yang bersifat
interdisipliner

merupakan

ilmu

yag

bersifat

interdisipliner

yang

berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologis yang secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan
dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian, dan bersifat
kognitif; dan
2. Ilmu

perundang-undangan

yang

berorientasi

pada

melakukan

perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan
bersifat normatif’.23

22 DR.H.Salim HS,SH,M.S dkk, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2017), Ed.I, Cet. V, hlm.35
23 Ibid, hlm. 36

23

Dengan demikian, maka pengertian teori legislasi perlu disempurnakan.
Teori legislasi merupakan :
“Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang cara atau teknik
pembentukan perundang-undangan, yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan,

pembahasana,

pengesahan

atau

penetapan

dan

pengundangan”.
Selain dari teori legislasi diatas, terhadap masih dilakukannya upaya
hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak)
dalam praktek sehari-hari walaupun sudah dikecualikan melalui Pasal 244
KUHAP maka dapat pula ditinjau dari aspek “kebijakan hukum pidana” dimana
pada tanggal 10 Desember 1983, keluar Keputusan Menteri Kehakiman No. M.
14-PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan tanggal dan nomor
yang sama.
Pada angka 19 Lampiran dimaksud terdapat penegasan yang berupa pedoman:


Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding,



Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi. .
Demikian bunyi lampiran yang dijumpai pada angka 19, yang

memperlihatkan kepada pihak pemerintah melalui Departemen Kehakiman,
kurang sependapat dengan larangan pada Pasal 244 KUHAP.24
24 M.Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) Ed.2,
Cet.VII, hlm.544

24

Dalam kaitannya dengan “kebijakan hukum pidana” tersebut ditelusuri
dari segi etimologis, kebijakan hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief, adalah sebagai berikut :
Istilah “kebijakan”, diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan
hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”.
Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal
dengan berbagai istilah, antara lain : “penal policy”, “criminal law policy”,
atau “strafrechtpolitiek”.25
Berdasarkan batasan politik hukum pidana diatas maka dapat dipahami
pengertian “politik hukum”, adalah “legal policy atau garis kebijakan resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
Negara”. 26
Oleh karena itu berbicara masalah kebijakan hukum erat kaitannya dengan
masalah penegakan hukum (law enforcement). Dalam konteks ini, penegakan
hukum pidana sangat erat kaitannya dengan upaya kebijakan hukum pidana.
Berikut kita simak pendapat dari Barda Nawawi Arief, antara lain menyatakan :
“Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa
politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)”.27
25 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet.I, hlm. 22
26 Prof.DR.Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2017), Cet.VII,
hlm. 1
27 Op.Cit, Hlm. 24

25

Putusan bernuansa keadilan memang tidak mudah untuk didapat. Hal ini
memerlukan mekanisme yang panjang lewat bekerjanya komponen system
peradilan pidana baik menyangkut substansi, struktur dan budaya hukumnya.
Dalam penegakan hukum untuk terwujudnya tujuan hukum secara komprehensif,
yakni : kepastian, kemanfaatan dan keadilan terutama keadilan yang hakiki, tidak
hanya menggunakan saran penal (hukum pidana) saja akan tetapi juga diperlukan
sarana-sarana non penal, diantaranya memupuk rasa kesadaran hukum bagi semua
warga masyarakat agar jangan melanggar hukum.
Diluar sarana penal, sebagai langkah teoritis penegakan hukum, menurut
Prof.DR.Drs. Abintoro Praksoso, SH,M.S yang mengutip dari bukunya Soerjono
Seoekanto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yakni :
1. Faktor hukumnya sendiri (didalam penulisan ini dibatasi pada
peraturan perundang-undangannya saja);
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukumnya;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum tersebut
diterapkan;
5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.28

Terkait dengan faktor-faktor diatas, sebagai kunci keberhasilan penegakan
hukum (law enforcement) yang dalam hal ini sasarannya adalah untuk
mendapatkan putusan pengadilan yang bernuansa keadilan maka kelima faktor
tersebut diatas, yakni berupa faktor hukumnya, penegak hukum, sarana atau
28 Prof. DR. Drs. Abintoro Prakoso, SH, M.S, Sosiologi Hukum, (Yogyakarta:LaksBang
Pressindo, 2017), Cet.I, hlm. 229

26

fasilitas yang mendukung serta faktor masyarakat dan kebudayaan adalah
merupakan faktor yang esesial sebagai penentu keberhasilan penegakan hukum
yang adil (due process of law) sehingga tercipta suatu keadilan hukum yakni
keadilan Pancasila yang dikenal dengan “Keadilan Sosial”.

BAB IV
ANALISIS KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS

Sudah dapat dipastikan, bahwa yang bertindak sebagai pemohon kasasi
atas putusan bebas itu, adalah Jaksa Penuntut Umum. Karena yang merasa
keberatan atas putusan bebas adalah Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa sendiri,
tidak mungkin keberatan atas pembebasan dirinya. Bukankah pembebasan itu
sangat menguntungkan terdakwa. Keuntungan yang diperolehnya ialah, ia tidak
dijatuhi pidana dan nama baiknya direhabilisasi. Keuntungan lainnya yang
bersifat materiil ialah, dibebaskan dari kewajiban membayar biaya perkara dan
atas dasar pembebasan itu, ia dimungkinkan untuk menuntut ganti kerugian atas
alasan bahwa ia telah ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang

27

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan, sebagaimana dimaksud pasal 95 KUHAP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP sendiri, terhadap putusan bebas
tidak dapat diajukan permohonan kasasi. Akan tetapi, kenyataan praktek, larangan
Pasal 244 KUHAP tersebut telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara
contra legem. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Permohonan banding terhadap putusan bebas, mutlak tidak dapat diajukan.
Jadi, dengan dalih dan alasan apa pun, permohonan banding terhadap putusan
bebas mutlak tidak dapat diajukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67
KUHAP. Nyatanya praktek peradilan sampai pada saat ini, masih berpegang
teguh secara murni dan konsekuen terhadap ketentuan Pasal 67 tersebut.

2. Permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas dapat diajukan. Inilah
yang kita jumpai dalam kenyataan praktek peradilan, telah dengan sengaja
menyingkirkan ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP. Apa yang dilarang pasal
itu telah dibenarkan dalam kenyataan praktek. Hal ini jelas-jelas merupakan
contra legem, yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terangterangan ”bertentangan dengan undang-undang”.29
Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP malah
datangnya dari pihak eksekutif sendiri (Departemen Kehakiman), yaitu :

29 M.Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) Ed.2,
Cet.VII, hlm.543-544

28

a. pada tanggal 10 Desember 1983, keluar Keputusan Menteri Kehakiman No.
M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan
tanggal dan nomor yang sama.
Pada angka 19 Lampiran dimaksud terdapat penegasan yang berupa pedoman:


Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding,



Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi. .

Demikian bunyi lampiran yang dijumpai pada angka 19, yang memperlihatkan
kepada pihak pemerintah melalui Departemen Kehakiman, kurang sependapat
dengan larangan Pasal 244 KUHAP. Penulis berpendapat mungkin pemerintah
menilai, larangan tersebut kurang sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai
penegakan hukum. Melarang putusan bebas diperiksa dalam peradilan kasasi,
dapat mengakibatkan putusan pengadilan yang berisi pengangkangan terhadap
keadilan dan kebenaran. Dugaan itu dikaitkan pemerintah berdasar ”situasi
dan kondisi” saat itu. Barangkali pemerintah mensinyalir, dalam kondisi dan
situasi

saat

itu,

masih

sering

terjadi

penyelewengan

hukum

dan

penyalahgunaan jabatan oleh sementara hakim. Terdakwa jelas terbukti
korupsi atau menyelundup, bisa dibebaskan oleh hakim. Sekiranya atas
putusan yang demikian tidak dapat dimintakan pemeriksaan kasasi oleh jaksa,
kita telah mengabaikan dan masa bodoh terhadap pengkhianatan keadilan dan
kebenaran, yang sengaja dilakukan oleh hakim yang bermoral buruk. Maka

29

untuk mengoreksi penyelewengan yang demikian, Menteri Kehakiman
mempercayakan

kepada

Mahkamah

Agung

untuk

melahirkan

dan

menciptakan yurisprudensi yang mendobrak larangan Pasal 244 KUHAP
dimaksud.
b. Pada tanggal 15 Desember 1983, lahir yurisprudensi pertama dalam putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/ 1983. Hanya berserang 5 hari dari
Keputusan Menteri Kehakiman tadi, Mahkamah Agung secara positif
menyambutnya. Mahkamah Agung telah menerima permohonan kasasi jaksa
atas putusan bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam penerobosan
Pasal 244 tadi, sejalan dengan apa yang dikemukakan Menteri Kehakiman,
bahwa berdasar situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran
terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan dalam peradilan kasasi.
Menurut putusan Mahkamah Agung ini, penerimaan permohonan kasasi atas
putusan bebas tanpa mempersoalkan apakah putusan bebas itu ”mumi atau
tidak murni”. Hal ini berarti:


Mahkamah Agung nanti yang akan menentukan murni atau tidaknya
pembebasan tersebut,



Mahkamah Agung yang menentukan dapat atau tidak permohonan kasasi
diterima.
Jika putusan pembebasan itu benar-benar murni, sudah barang tentu

permohonan kasasi tidak dapat diterima. Misalnya, kesalahan yang didakwakan
terhadap terdakwa sama sekali tidak didukung oleh alat bukti yang sah. Dalam hal

30

yang seperti ini, putusan pembebasan itu benar-benar ”murni”. Oleh karena itu,
permohonan kasasi dinyatakan ”tidak dapat diterima”. Pendirian ini dapat dibaca
dalam pertimbangan halaman 31 Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/
1983 yang berbunyi: ”… sesuai dengan yurisprudensi yang ada, apabila ternyata
putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan
yang murni sifatnya maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP
permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima …”.
Bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan
bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan,
atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya dalam arti bukan saja dalam wewenang yang menyangkut
kompetensi absolut dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur
nonyuridis turut dipertimbangkan dalam putusan pengadilan itu, hal mana dalam
melaksanakan wewenang pengawasannya, meskipun hal itu tidak diajukan
sebagai keberatan kasasi oleh jaksa, Mahkamah Agung wajib menelitinya maka
atas pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang
murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut”.
Memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, sesuatu putusan
dikategorikan sebagai putusan bebas ”tidak mumi” atau yang lazim disebut
sebagai pembebasan ”yang terselubung” (verkapte vrijspraak).
-

Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada ”penafsiran yang keliru”
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan,

31

-

Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui
wewenangnya:


Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau
relatif,



Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan
pembebasan itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur
nonyuridis.30
Itulah ukuran yang dipergunakan Mahkamah Agung untuk menentukan

apakah suatu putusan pembebasan bersifat murni atau tidak murni. Dalam putusan
Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 Reg. No. 275 K/Pid/l983 tersebut,
putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10
Februari 1982 No. 33/ 1981 adalah pembebasan tidak murni, karena mengandung
penafsiran keliru terhadap pengertian ”melawan hukum”.
Di sini terlihat Mahkamah Agung melahirkan Yurisprudensi yang berusaha
meluruskan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan dibawahnya, agar
penerapan hukum tersebut benar-benar sesuai dengan arti dan makna yang
terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk
menyesuaikan pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan-aspirasi hukum dan
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebab larangan kasasi
terhadap putusan bebas, di rasakan terlalu idealistik dan belum sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat kita, oleh karena itu demi hukum, kebenaran dan

30 Ibid, hlm. 544-545

32

keadilan, Mahkamah Agung membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi
terhadap putusan bebas.31
Dikaitkan dengan teori-teori keadilan maka penulis berpendapat dalam
perkara-perkara yang biasa apalagi sederhana, terhadap putusan bebas seharusnya
Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan upaya hukum kasasi karena jika memang
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan maka itu
merupakan keadilan bagi diri terdakwa dan penulis berkeyakinan terhadap perkara
biasa tersebut tidak diajukannya kasasi tidak akan menimbulkan masalah karena
tidak menyangkut kepada kepentingan masyarakat luas.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

Hukum Konsumsi Tembakau (Merokok)

0 30 6

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merk Yang Ditangani Oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Jawa Barat

1 23 1

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22

Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum

0 5 23