TUGAS PAK NATAJAYA ANALISIS SUMBER DAYA

ANALISIS SUMBER DAYA PENDIDIKAN
Oleh: Jarot Syamsurizal
Tugas : Prof. Dr. Nyoman Natajaya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi saat ini sejalan dengan makin meningkatnya tingkat pendidikan dan

keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan
pendidikan tampak makin meningkat pula. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan
tersebut, tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan kecuali menyelenggarakan pelayanan
pendidikan yang sebaik-baiknya. Upaya meningkatkan derajat pendidikan masyarakat,
banyak hal yang perlu dilakukan. Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan
penting ialah menyelenggarakan pelayananpendidikan. Adapun yang dimaksud dengan
pelayanan pendidikan ini ialah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan pendidikan .
Mengingat pelayanan pendidikan itu penting maka peranan sekolah yang dipimpin serta

dikelola oleh kepala sekolah haruslah memberikan sumbangsih atas segala pemikiran yang
baik sehigga berdampak kepada pendidikan yang baik pula .Dengan pemberian layanan dan
suasana sekolah yang kondusif akan membawa citra atau kesan sekolah yang menarik untuk
dijadikan tempat belajar bagi yang membutuhkan layanan pendidikan yang layak yakni
masyarakat.
Berhasilnya suatu pelayanan yang diberikan sangat tergantung pada kemampuan
didalam

menjalankan

fungsi-fungsi

keuangan,

pemasaran,

personalila

dan fungsi


administrasi. Apabila dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan dari organisasi, kinerja itu

ii

sangat penting karena merupakan suatu pedoman dalam bidang personalia untuk mengetahui
dan menilai hasil kerja pegawai dan guru selama periode tertentu. Menurut Suprihanto
(2001:7) kinerja adalah hasil kerja seseorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan
dengan berbagai kemungkinan misalnya standar, target atau sasaran atau kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Berdasarkan dari pengertian
tersebut, bahwa kinerja yang baik sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi. Faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja menurut Rivai (2005:18) adalah atribut-atribut yang
berhubungan dengan pekerjaan karyawan, prilaku dan kecakapan, tingkat absensi dan proses
komunikasi.
Dari kenyataan ini, penulis melihat bahwa motivasi merupakan unsur hakiki dalam
integrasi antara pribadi individu (dalam hal ini karyawan perusahaan) dan tujuan organisasi.
Dalam konteks ini, pemberian motivasi merupakan salah satu fungsi dan tugas dari seorang
manajer. Ia harus mampu memotivasi individu-individu yang terlibat untuk dapat
memberikan kinerja yang optimal demi pencapaian tujuan organisasi. Teori Maslow akan
menjadi titik tolak dan landasan pemikiran bagi gagasan tentang penemuan motivasi untuk
peningkatan kinerja individu dalam organisasi. Tidak disangkal bahwa dewasa ini muncul
pelbagai kritik tentang validitas teori ini . Namun sebagai konsep dasar bagi pengenalan

struktur pribadi individu dan pelbagai faktor yang mendorong orang melakukan sesuatu, teori
ini masih bisa bergema keras. Stephen P. Robbins, dalam buku Perilaku Organisasi, menulis
bahwa “meskipun dikritik habis-habisan..., agaknya [teori Maslow] masih merupakan
penjelasan yang paling baik soal motivasi karyawan”. Teori-teori lain yang muncul setelah
teori Maslow lebih merupakan penyempurnaan dan penyesuaian daripada penemuan suatu
teori yang betul-betul baru. Dari telaah filosofis, dengan kelebihan maupun kelemahan
teorinya, Maslow telah berhasil mencetuskan pemikiran yang amat bermanfaat. Kelebihan
dari teorinya jelas memberikan sumbangan besar dalam pengetahuan tentang motivasi dan

ii

kepribadian manusia. Dan kelemahan teorinya serta-merta tetap berguna karena telah
memberikan atau memancing feedback bagi pemikir-pemikir selanjutnya untuk memperbaiki
dan menyempurnakannya.
Komunikasi berperan penting dalam perusahaan atau organisasi, karena merupakan suatu
kegiatan untuk menumbuhkan pengertian seseorang terhadap sesuatu informasi. Menurut
Everett M. Rogers yang dikutip Sutrisna Dewi (2006:3) Komunikasi adalah suatu proses
dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu sama
lainnya yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian. Komunikasi akan efektif
apabila terjadi pemahaman yang sama dan merangsang pihak lain untuk berpikir atau

melakukan sesuatu. Menurut Gorda (2004:205) faktor yang mempengaruhi komunikasi yang
efektif adalah manajer puncak memandang penting komunikasi, manajer membangun
komunikasi dua arah, manajer memanfaatkan umpan balik, manajer mengembangkan
komunikasi bernuansa empati, manajer lebih menekankan komunikasi tatap muka dan
manager mampu membangun tanggung jawab bersama. Seseorang yang tidak dapat
melakukan komunikasi, sulitlah baginya untuk membina hubungan kerja dengan orang lain.
Keberhasilan membina kerjasama akan ditentukan oleh keberhasilan dalam melakukan
komunikasi. Menurut Gorda (2004:156) bahwa perusahan atau organisasi yang melaksanakan
fungsi sebagai komunikator secara baik akan memberi sumbangan yang berarti terhadap
terbentuknya saling pengertian, ini akan menyebabkan terwujudkan semangat kerja karyawan
yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan.
Pencapaian tujuan suatu organisasi juga sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan.
Walaupun organisasi itu kaya dengan sumber daya, apabila tidak dapat dikelola dan
dimanfaatkan dengan efektif dan efisiensi akan dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi
pihak organisasi. Menurut Gorda (2004:151) kepemimpinan adalah sifat dan karakter, atau
cara seseorang di dalam upaya membina dan menggerakkan seseorang atau kelompok orang

ii

agar mereka bersedia, komitmen dan setia untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas

dan tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan perusahaan yang telah di tetapkan
sebelumnya. Uraian tentang pengertian kepemimpinan tersebut, maka kepemimpinan
merupakan kunci dalam manajemen yang memainkan peran yang penting dan strategis dalam
kelangsungan hidup suatu organisasi. Menurut Gorda (2004:154) bahwa fungsi-fungsi
kepemimpinan itu yaitu sebagai inovator, komunikator, motivator dan kontroler.
Kepemimpinan merupakan suatu proses memberikan inspirasi orang lain untuk mendorong
bekerja tulus-iklas dan tanpa mengenal putus asa serta mengarahkan usaha-usaha ke tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Menurut Stoner dkk (2003:170) bahwa pendekatan
kepemimpinan akan mempengaruhi perbaikan kinerja.
Kepemimpinan yang diterapkan di dalam menghasilkan kinerja yang baik adalah
menyangkut kemampuan pimpinan untuk mengatur serta memotivasi bawahan dalam
pekerjaan sehingga dapat menghasilkan pelayanan yang prima bagi masyarakat. Pimpinan
harus mampu mempengaruhi bawahannya untuk melaksanakan tugas dengan baik, ini dapat
dilihat dari kesediaan pihak atasan dalam memberikan bimbingan pengawasan, pengarahan
dan contoh-contoh Melihat permasalahan yang terjadi, maka penulis merasa tertarik untuk
menulis makalah yang berjudul pengaruh motivasi, komunikasi dan kepemimpinan kepala
Sekolah terhadap kinerja pegawai dan guru . Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan,
maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1)


Apakah motivasi, komunikasi dan kepemimpinan secara serempak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja pegawai dan guru?

2)

Apakah motivasi, komunikasi dan kepemimpinan secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap kinerja pegawai dan guru ?

3)

Variabel manakah berpengaruh dominan antara motivasi komunikasi dan kepemimpinan
terhadap kinerja pegawai dan guru?

ii

1.2

Tujuan dan Kegunaan

1.2.1


Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan dari motivasi, komunikasi
dan kepemimpinan secara serempak terhadap kinerja pegawai dan guru.
2) Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan dari motivasi, komunikasi
dan kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai dan guru.
3) Untuk mengetahui diantara Variabel motivasi, komunikasi dan kepemimpinan yang
mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai dan guru .
1.2.2

Kegunaan penulisan

1) Bagi mahasiswa.
Untuk menambah wawasan dan mengaplikasikan teori yang diperoleh dalam perkuliahan
dengan kenyataan di lapangan khususnya mengenai mata kuliah manajemaen pendidikan
dan analisis sumber daya pendidikan, sehingga menambah pemahaman mengenai ilmu
yang diperoleh.
2) Bagi khasanah ilmu pengetahuan

Penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi tambahan, khususnya
dibidang manajemaen pendidikan dan analisis sumber daya pendidikan
3) Bagi organisasi atau instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran
dalam merumuskan kebijakan sekolah

ii

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI
1. Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin
motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata
ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai
dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu
manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena
pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang
tertentu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan
sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan
intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci
dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan
berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar
dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai
arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah

ii

dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana
orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan
dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka.
Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum
dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam
studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan
salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain

misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.
2. Sekilas Tentang Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan pada tahun 1908 dalam keluarga imigran RusiaYahudi di Brooklyn, New York. Ia seorang yang pemalu, neurotik, dan depresif namun
memiliki rasa ingin tahu yang besar dan kecerdasan otak yang luar biasa. Dengan IQ 195,
ia unggul di sekolah.
Ketika beranjak remaja, Maslow mulai mengagumi karya para filsuf seperti Alfred
North Whitehead, Henri Bergson, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Plato, dan Baruch
Spinoza. Di samping berkutat dalam kegiatan kognitif, ia juga mempunyai banyak
pengalaman praktis. Ia bekerja sebagai pengantar koran dan menghabiskan liburan
dengan bekerja pada perusahaan keluarga.
Maslow hidup dalam zaman di mana bermunculan banyak aliran psikologi yang
baru tumbuh sebagai disiplin ilmu yang relatif muda. Di Amerika William James
mengembangkan Fungsionalisme, Psikologi Gestalt berkembang di Jerman, Sigmund
Freud berjaya di Wina, dan John B. Watson mempopulerkan Behaviorisme di Amerika.
Ketika pada tahun 1954 Maslow menerbitkan bukunya yang berjudul Motivation and

ii

Personality, dua teori yang sangat populer dan berpengaruh di universitas-universitas
Amerika adalah Psikoanalisia Sigmund Freud dan Behaviorisme John B. Watson.

Dalam ranah psikologi, Psikoanalisa Freud dianggap mazhab (force) pertama.
Sedangkan Behaviorisme disebut mazhab kedua. Agaknya Maslow (kendati pernah
mengagumi kedua aliran tersebut) mempunyai prinsip yang berbeda. Sampel penelitian
Freud adalah pasien-pasien neurotis dan psikotis di kliniknya. Pertanyaan kita adalah:
bagaimana kesimpulan dari sampel orang-orang yang terganggu jiwanya dapat diterapkan
pada orang-orang pada umumnya (yang sehat mental). Maslow mempunyai prinsip
bahwa sebelum mengerti penyakit mental, orang harus terlebih dahulu memahami
kesehatan mental. Di kutub lain, kaum Behavioris menghimpun data dari penelitian atas
binatang seperti burung merpati dan tikus putih. Maslow melihat bahwa kesimpulan
mereka bisa jadi berlaku bagi ikan, katak, atau tikus, tetapi tidak untuk bangsa manusia.
Berlawanan secara radikal dengan kedua aliran tersebut, Maslow mencari sampel pada
manusia-manusia yang dalam masyarakat dilihat sebagai “tokoh”. Ia melibatkan
penelitiannya terhadap tujuh tokoh modern dan sembilan tokoh sejarah: Abraham Lincoln
dan Thomas Jefferson (presiden AS), Eleanor Roosevelt (First Lady yang dermawan),
Jane Addams (pelopor pekerja sosial), William James (psikolog), Albert Schweitzer
(dokter dan humanis), Aldous Huxley (penulis), dan Baruch Spinoza (filsuf).
Penyelidikan tentang tokoh-tokoh ini (dan yang lainnya) -kebiasaan, sifat, kepribadian,
dan kemampuan mereka- telah mengantar Maslow sampai pada teori tentang kesehatan
mental dan teori tentang motivasi pada manusia. Secara dialektis, tesis Freud dan antitesis
Watson dkk. melahirkan sintesis Abraham Maslow. Oleh karena itu, Maslow menyebut
teorinya sebagai mazhab ketiga.
3. Proposisi Maslow atas Teori Motivasi

ii

Sebelum menguraikan teori tentang Hirarki Kebutuhan, Maslow dalam karya
masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah proposisi
yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori motivasi yang sehat.
Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat benar dalam arti dapat
diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain barangkali kurang dapat diterima
dan dapat diperdebatkan. Hal ini mencerminkan kelegowoan Maslow untuk tidak begitu
saja memutlakkan teorinya. Berhubung teori ini berkenaan dengan manusia yang dinamis
multidimensional, lumrah kiranya bahwa pandangan tertentu kurang universal. Berikut ini
sejumlah proposisi awal untuk memahami jalan pikiran Maslow.
1.

Individu sebagai Kesatuan Terpadu

Maslow pertama-tama menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang
terpadu dan terorganisasi. Pernyataan ini hampir menjadi aksioma yang diterima oleh
semua orang, yang kemudian sering dilupakan dan diabaikan tatkala seseorang
melakukan penelitian. Penting sekali untuk selalu disadarkan kembali hal ini sebelum
seseorang melakukan eksperimen atau menyusun suatu teori motivasi yang sehat. Maslow
memberikan contoh: yang membutuhkan makanan bukanlah perut John Smith sematamata, melainkan seluruh individu John Smith sebagai kesatuan. Dengan kata lain,
makanan akan memuaskan rasa lapar John Smith, dan bukan rasa lapar pada perut John
Smith.
2. Cara dan Tujuan
Bila kita telisik keinginan dalam pengalaman sehari-hari, hal penting untuk
disadari adalah pembedaan antara cara dan tujuan. Kebutuhan-kebutuhan biasanya lebih
merupakan cara atau sarana bagi suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Misalnya kita
menginginkan atau membutuhkan uang agar dapat membeli mobil. Analisis selanjutnya
menunjukkan bahwa kita menginginkan mobil karena para tetangga memilikinya dan kita

ii

tidak ingin merasa kurang daripada mereka. Rupanya ini soal harga diri dan kebutuhan
untuk dihormati. Kita dapati bahwa ada gejala dan ada pula arti di balik gejala, yakni apa
yang sesungguhnya menjadi tujuan yang lebih dasariah pada akhirnya. Intinya kita harus
menemukan tujuan terdalam seseorang ketika menginginkan sesuatu bila tidak ingin
terjatuh dalam pemuasan kebutuhan yang tidak tepat sasaran. Tujuan-tujuan lebih
universal daripada cara-cara yang ditempuh untuk mencapainya. Karena faktor budaya,
bisa saja tujuan yang sama, misalnya harga diri, dicapai individu dalam masyarakat
tertentu dengan menjadi prajurit, dan dalam masyarakat yang lain dicapai dengan menjadi
dokter. Karena perbedaan perilaku individu dalam pemuasan kebutuhan tersebut, orang
seringkali membuat pembedaan atas tujuan yang sebetulnya sama. Meskipun beragam
budaya, sebetulnya umat manusia lebih banyak serupa daripada yang terlihat dan
disangka banyak orang.
3.

Motivasi Ganda

Seseorang bisa jadi dapat menjelaskan motivasi tertentu yang mendasari
perilakunya. Namun tidak jarang terdapat pula aneka motivasi lain yang barangkali tidak
disadari dan dikira oleh individu itu. Satu gejala sekaligus dapat menggambarkan
bermacam-macam keinginan yang berbeda-beda, bahkan juga kepentingan-kepentingan
yang bertentangan satu sama lain. Teori motivasi yang sehat tidak boleh mengabaikan
aspek kehidupan alam bawah sadar. Gejala psikopatologis kelumpuhan, misalnya, dapat
menggambarkan dipenuhinya sekaligus keinginan akan balas dendam, dikasihani, dan
dihormati. Jika gejala ini hanya dilihat sebagai gejala lahiriah tanpa menelaah
kemungkinan keinginan atau motivasi bawah sadar, berarti kita telah semena-mena
meniadakan kemungkinan untuk memahami seluruh perilaku dan keadaan motivasional
seorang individu.
4. Tata Hubungan Motivasi

ii

Manusia adalah makhluk yang punya keinginan dan jarang mencapai keadaan
puas sepenuhnya kecuali untuk waktu yang singkat. Apabila keinginan yang satu telah
terpenuhi, keinginan lainnya akan timbul menggantikan keinginan sebelumnya. Jika
keinginan itu pun terpenuhi, masih ada keinginan lainnya yang akan menyusul, dan begitu
seterusnya. Kenyataan ini menuntut kita untuk menelaah tata hubungan semua motivasi
satu sama lain. Pada saat yang sama, kita juga harus melepaskan unit-unit motivasi yang
tersendiri untuk mencapai pengertian lebih luas yang dicari.
5. Tolak Daftar Dorongan Dikotomis
Tidak ada gunanya membuat daftar dorongan-dorongan (stimulus) yang muncul.
Dorongan-dorongan satu sama lain bukanlah hal-hal yang terpilah-pilah. Pendaftaran
dorongan secara dikotomis mengabaikan sifat dinamis dari dorongan-dorongan itu,
misalnya bahwa segi-segi kesadaran dan ketidaksadaran mungkin berbeda-beda, atau
bahwa suatu keinginan tertentu sebenarnya dapat merupakan suatu saluran bagi
pengungkapan berbagai keinginan lainnya, dan sebagainya. Pada kenyataannya,
dorongan-dorongan juga tidak mengelompokkan diri secara aritmetik dan tersendiri
dengan ciri-ciri tersendiri. Biasanya terdapat suatu tumpang-tindih, sehingga hampir tidak
mungkin secara jelas dan tajam memisahkan dorongan yang satu dari yang lain.
6. Lingkungan
Aspek yang satu ini tidak boleh dilupakan. Setiap teori motivasi dengan
sendirinya harus memperhitungkan fakta pengaruh lingkungan. Motivasi manusia jarang
mewujudkan diri dalam suatu perilaku yang lepas dari situasi dan dengan orang-orang
lain. Namun pengakuan akan pengaruh situasi lingkungan hendaknya tidak berlebihan,
karena pusat telaah kita tetaplah organisme atau struktur watak dari individu. Teori
motivasi yang sehat harus mempertimbangkan situasi, tetapi jangan terjebak ke dalam
teori situasi murni. Telaah tentang motivasi jangan meniadakan atau menyangkal telaah

ii

tentang penentu-penentu situasional. Di lain sisi, telaah motivasi jangan pula melupakan
sifat intrinsik organisme demi kepentingan pemahaman dunia di mana organisme itu
hidup.
7. Kemungkinan Mencapai Hasil
Maslow, sebagaimana juga J. Dewey dan Thorndike, menekankan aspek motivasi
yang sering diabaikan kebanyakan psikolog, yakni kemungkinan. Pada umumnya secara
sadar kita mendambakan apa yang menurut pikiran kita dapat dicapai. Bila penghasilan
seseorang bertambah, ia sadar bahwa dirinya secara aktif mengharapkan untuk
memperoleh hal-hal yang diidamkan beberapa tahun sebelumnya. Bila rata-rata orang
mendambakan mobil dan rumah, hal itu lumrah dan merupakan kemungkinan yang nyata.
Mereka tidak mendambakan pesawat jet atau kapal pesiar karena barang-barang itu ada di
luar jangkauan rata-rata kemampuannya. Mungkin sekali bahwa secara tidak sadar pun ia
tidak mendambakannya. Faktor kemungkinan untuk mencapai hasil ini penting
diperhatikan dalam usaha memahami perbedaan motivasi di antara berbagai kelas dalam
masyarakat atau antara individu-individu dari negara atau kebudayaan yang berbedabeda.
8. Pengetahuan Mengenai Motivasi Sehat
Proposisi ini merupakan nilai lebih dari pandangan Maslow dibandingkan dengan
kedua mazhab psikologi sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa hal berikut merupakan
kritik Maslow atas sampel penelitian mereka. Menurut Maslow, sebagian besar ahli
motivasi mendapatkan data dari para psikoterapis yang sedang merawat pasien. Pasienpasien itu merupakan sumber kekeliruan yang besar karena mereka merupakan contoh
yang kurang baik dari suatu populasi. Sebagai asas sekali pun, kehidupan motivasional
para penderita gangguan emosi harus ditolak sebagai contoh bagi motivasi sehat. Teori
motivasi yang sehat sepatutnya merupakan kesimpulan dari penelitian atas orang-orang

ii

yang sehat pula. Oleh karena itu, sampel penelitian Maslow adalah orang-orang yang
ternama dalam sejarah manusia.

 Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling
berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai
tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi,
orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan
berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan
manusia menjadi sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat
berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan
terhadap kerugian fisik dan emosional.
3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih
sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga
diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan
perhatian.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh
kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori
yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan
mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan

ii

Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney,
Reich, Jung, dan Adler. Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya
terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan
dalam berikutnya.
4. IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat
tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan,
harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang
berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan.
Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika
kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi
tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan
mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segalagalanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar
ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu
yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhankebutuhan ini.
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada
perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu
banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya,

ii

kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya
dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah saleh dapat
memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat
kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang penuh makanan
dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang
hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya hidup untuk makan
saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya.
Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini
dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.
Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923
melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan penyebab
terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian produksi di mana
pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari asumsi kelelahan
tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan serangkaian waktu
istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan jadwal. Hasil yang
diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis, produktivitas meningkat,
dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat menemukan apa yang dibutuhkan
karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri karena memberikan kesempatan
kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang biasanya menjadi
monopoli pimpinan perusahaan. Dengan satu panah, Mayo membidik dua burung; dua
kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow
sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam

ii

kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan
kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya.
Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan
suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan
kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi
cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan
keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing
dan tidak diharapkan.Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan
akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang
adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana
tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat
memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan
karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan
termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat
dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan
cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa
orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari
batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan
dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat
mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas
seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak
dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam
organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas.

ii

Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia
merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa
sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan
dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi.
Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan menginginkan ketenteraman,
supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.
Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor
teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan
jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3. Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup
kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi
motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya,
orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus
akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia
membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan
berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini
bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia
pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting.
Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan,
tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia
ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan
afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang

ii

mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga
tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau
perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan
seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging).
Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas
misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara
pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya
dirasakan secara timbal balik.
Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik.
Berbeda dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan
interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok
namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau buruk
tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan,
dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga
dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang
berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya rasa
kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru dan asing,
dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka kebutuhan yang masuk
dalam hirarki tahap ini.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang
patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap,
mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga
diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan

ii

secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri,
kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan
kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain,
prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau
nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian
ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan
rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik.
Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa
ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa
ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu
telah terpuaskan.Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk
mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada apa gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak
memuaskannya? Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam
organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan
peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang
diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi
penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu
pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak
kinerja.Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat
mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah
top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam
perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau
melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan
penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar

ii

biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan
penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif
dan program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan
tanggung jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi
kinerja dan performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan
sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif
penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali
untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa
pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.
Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan
kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi.
Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F.
Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji
secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian. Bahkan Napoleon
Bonaparte terkejut menyaksikan kekuatan pengakuan sebagai motivator. Setelah tahu bahwa
para prajuritnya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan medali yang diberikannya,
Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan apa yang akan dilakukan orang untuk barang
sepele seperti itu.”
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan
manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow
sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin

ii

menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan
penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi
Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak
prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan
tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman
spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi
kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak
kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku
organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar
pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami,
memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat
sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
 Ciri-ciri Pribadi Aktualisasi Diri
Dari hasil penelitian yang merupakan proses analisis panjang, Maslow akhirnya
mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.
1. Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas), termasuk kemampuan untuk mendeteksi
kepalsuan dan menilai karakter seseorang dengan baik. Berkat persepsi yang tajam,
mereka lebih tegas dan jitu dalam memprediksikan peristiwa yang bakal terjadi.
Mereka lebih mampu melihat dan menembus realitas-realitas yang tersembunyi dalam
aneka peristiwa; lebih peka melihat hikmah dari pelbagai masalah.
2. Pribadi demikian melihat hidup apa adanya dan bukan berdasarkan keinginan mereka.
Mereka lebih obyektif dan tidak emosional. Orang yang teraktualisasi diri tidak akan

ii

membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan
mereka. Sebaliknya kebanyakan orang lain mungkin hanya mau mendengarkan apa
yang ingin mereka dengar dari orang lain sekalipun menyangkut hal yang tidak benar
dan jujur.
3. Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi. Mereka lebih peka terhadap inner life yang
kaya dan tidak konvensional, serta memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari
sudut pandang baru dan menghargai keindahan dalam hal-hal yang biasa. Biasanya
mereka tidak merasa perlu menyembunyikan perasaan atau pikiran mereka, atau
bertingkah laku yang dibuat-buat. Pribadi teraktualisai punya selera yang tinggi
terhadap seni, musik, dan masalah-masalah politik dan filsafat.
4. Keterpusatan-pada-masalah. Mereka amat konsisten dan menaruh perhatian pada
pertanyaan dan tantangan dari luar diri, memiliki misi atau tujuan yang jelas sehingga
menghasilkan integritas, ketidakpicikan, dan tekun introspeksi. Mereka mempunyai
komitmen yang jelas pada tugas yang harus mereka kerjakan dan mampu melupakan
diri sendiri, dalam arti mampu membaktikan diri pada pekerjaan, tugas, atau
panggilan yang mereka anggap penting.
5. Merindukan kesunyian. Selain mencari kesunyian yang menghasilkan ketenteraman
batin, mereka juga dapat menikmatinya.
6. Mereka sangat mandiri dan otonom, namun sekaligus menyukai orang lain. Mereka
punya keinginan yang sehat akan keleluasaan pribadi yang berbeda dari kebebasan
neurotik (yang serba rahasia dan penuh rasa takut). Terkadang mereka terlihat sangat
otonom, karena mereka menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas sendiri.
Inilah paradoksnya: mereka adalah orang yang paling individualis sekaligus sosial
dalam masyarakat. Bila mereka menaati suatu aturan atau perintah, hal itu didasarkan

ii

pada pemahaman akan manfaat yang dapat dicapai dari pemenuhan aturan yang
bersangkutan, dan bukan karena ikut-ikutan.
7. Ada kalanya mereka mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak
experience); saat-saat ketika mereka merasa berada dalam keadaan terbaik, saat
diliputi perasaan khidmat, kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam atau
ekstase. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi secara
luar biasa. Kadang-kadang kemampuan ini membuat mereka seolah linglung. Tidak
jarang mereka mengalami flow dalam kegiatan yang mereka lakukan.
8. Rasa kekeluargaan terhadap sesama manusia yang disertai dengan semangat yang
tulus untuk membantu sesama.
9. Pribadi unggul ini lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain. Mereka
yakin bahwa dalam banyak hal mereka harus belajar dari orang lain. Hal ini membuat
mereka mampu untuk mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran. Keutamaan
(virtue) ini lahir dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Sama seperti
anak-anak, mereka mampu mendengarkan orang lain tanpa apriori atau penilaian
sebelumnya. Maslow menyebut keunggulan ini sebagai “Being cognition” atau “Bcognition”; pengamatan yang pasif dan reseptif.
10. Mereka memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Namun
bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi
masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang
lebih luhur.
11. Selera humor yang baik. Mereka tidak tertarik pada pelbagai lelucon yang melukai
atau menyiratkan inferioritas yang membuat orang lain merasa dilecehkan. Mereka
lebih menyukai humor yang filosofis, kosmik, atau yang nilai humornya terkandung
dalam logika kata-kata. Mereka juga menonjol dalam hal toleransi terhadap

ii

kelemahan-kelemahan alamiah orang lain. Namun mereka sangat anti terhadap
ketidakjujuran, penipuan, kebohongan, kekejaman, dan kemunafikan.
12. Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu. Sifat ini
dikaitkan dengan fleksibelitas, tidak takut membuat sesuatu yang di kemudian hari
ternyata adalah kesalahan, dan keterbukaan. Seperti seorang anak yang lugu, mereka
tidak takut berkreasi karena cemoohan orang lain. Mereka kreatif dan melihat aneka
peristiwa secara segar tanpa prasangka. Menurut Maslow, hampir setiap anak mampu
membuat lagu, sajak, tarian, lakon, atau permainan secara mendadak, tanpa
direncanakan atau didahului oleh maksud tertentu sebelumnya. Demikian jugalah
kira-kira kreativitas orang yang teraktualisasi diri.
13. Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan
akan potensi diri mereka sendiri. Mereka bisa menerima pujian dan penghargaan
tetapi tidak sampai tergantung pada penghargaan yang diberikan orang lain. Mereka
tidak mendewakan kemasyhuran dan ketenaran kosong.
14. Ketidaksempurnaan. Mereka tentu juga mempunyai perasaan bersalah, cemas,
bersalah, iri dan lain-lain. Namun perasaan itu tidak seperti yang dialami orang-orang
yang neurotis. Mereka lebih dekat dengan cara pikir positif. Mereka tidak selalu
tenang, kadang-kadang bisa meledakkan amarah pula; bosan dengan obrolan basabasi , omong-kosong, dan hiruk-pikuk suasana pesta.
15. Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas. Mereka mampu melihat dan
membedakan mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan dalam situasi tertentu.
Kadar konflik dirinya rendah. Mereka memiliki lebih banyak energi untuk tujuantujuan yang produktif daripada menghabiskan waktu untuk menyesali diri dan
keadaan. Bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah
menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-

ii

nilai yang lebih luhur, dan dengan tulus mengikutinya. Bagi orang-orang ini, disiplin
diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang
mereka yakini benar. Nilai-nilai mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka,
bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka.
16. Resistensi terhadap inkulturisasi. Mereka mampu melihat hal-hal di luar batasan
kebudayaan dan zaman. Maslow menyebut mereka mempunyai apa yang disebut
“kemerdekaan psikologis”. Hal itu tercermin dari keputusan-keputusan mereka yang
terkadang “melawan arus” pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak
kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan akal sehat. Untuk hal-hal kecil
seperti sopan-santun, bahasa, dan pakaian, makanan, dan sebagainya tidak
dipermasalahkan. Tapi bila menyangkut hal-hal yang dirasa melawan prinsip-prinsip
dasar, mereka dapat bersikap bebas mandiri dan bertindak di luar kebiasaan.
17. Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang
sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani, namun tidak menghiraukan ciriciri superfisial seperti kelas sosial, agama, latar belakang ras, dan penampilan. Dalam
hal ini mereka tidak merasa terganggu oleh perbedaan-perbedaan. Makin matang
kepribadiannya, mereka makin tidak peduli dengan penampilan ayu, tubuh tegap,
badan montok, dan sebagainya. Sebaliknya mereka amat menjunjung tinggi soal
kecocokan, kebaikan, ketulusan, dan kejujuran.
18. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang teraktualisasi diri cenderung
membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup.
Dalam pribadi yang sehat, perkawinan yang terbina memungkinkan kedua belah
pihak saling meningkatkan kepercayaan dan harga diri, saling memberikan manfaat.
19. Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan yang
perlu secara tertib. Sementara kebanyakan orang dalam masyarakat cenderung

ii

bersikap sangat praktis atau sangat teoritis, orang yang teraktualisasi diri lebih
condong bersikap praktis sekaligus teoritis tergantung kondisi yang bersangkutan.
Mereka berusaha mencintai dunia apa adanya, dengan tetap membuka mata pada
kekurangan yang ada seraya berupaya memperbaikinya.
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang
bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah
mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka
lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka
didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain
kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh
kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk
mengembangkan

serta

mengaktualisasikan

kemampuan-kemampuan

dan

kapasitas-

kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk
diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat
spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan
diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having
to be man.
5. Teori-teori Motivasi Komplementer
Dari sudut pandang filosofis, tidak ada teori dalam sejarah yang tak berguna. Gagasan
“selemah” apa pun tetap dapat menjadi titik tolak atau pancingan untuk melahirkan ide yang
lebih baik dan lengkap. Dalam sejarah, pandangan muskil geosentris yang melihat bumi
sebagai pusat tata surya telah memancing teori yang benar: heliosentris dari Copernicus.
Tidak mengherankan muncul sebuah istilah teknis: “pembalikan kopernikan” untuk
menyatakan suatu terobosan gagasan yang menjungkirbalikkan suatu pandangan sebelumnya.
Bagian ini tidak dimaksudkan untuk mengusulkan suatu teori motivasi yang baru. Tetapi apa

ii

yang akan diuraikan berikut menyiratkan bahwa dewasa ini tidak ada satu pun teori
motivasional tunggal yang dapat memecahkan segala pertanyaan tentang motivasi karyawan.
Oleh karena itu perpaduan berbagai teori motivasional dalam bagian ini akan memperlihatkan
bagaimana teori-teori tersebut saling melengkapi (komplementer) dan kapan sebaiknya
diterapkan

sesuai

dengan

situasi

dan

kondisi

organisasi.

Pertanyaan yang paling banyak diajukan sehubungan dengan tema motivasi adalah:
“Bagaimana saya dapat memotivasi karyawan saya?” Untuk menjawab masalah ini, ada
empat hal yang harus digali, yakni:
1. Apa yang secara intrinsik (batiniah) merangsang perilaku individu?
2. Imbalan (reward) apa yang dapat memuaskan kebutuhan individu?
3. Bagaimana menyesuaikan kebutuhan individu dengan imbalan (reward)?
4. Bagaimana caranya agar individu betah dalam organisasi?
Untuk soal pertama, praktisi teori Maslow akan mengatakan tingkat kebutuhan terendah
yang belum terpenuhi yang akan merangsang perilaku karyawan dalam organisasi. David
McClelland mengusulkan tiga motif kebutuhan, yakni: afiliasi (sama dengan kebutuhan sosial
Maslow), kekuasaan (keinginan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain), dan
pencapaian prestasi (keinginan untuk memenuhi kegiatan yang bernilai). McClelland tidak
mengatakan bahwa ketiga motif itu berada dalam hirarki yang sama dalam diri setiap orang.
Ia mengusulkan bahwa lebih dari satu kebutuhan dapat menjadi dominan pada saat yang
sama.
Untuk soal kedua, McClelland telah melakukan banyak riset dan mengusulkan tiga
jawaban, yakni:

ii

1. Bagi individu yang memiliki motif afiliasi tinggi, sebaiknya diberi kesempatan untuk
bertugas dalam kelompok yang dipilih sendiri. Kembangkanlah program kompensasi
lebih berdasarkan kelompok daripada produktivitas individual.
2. Bagi individu dengan motif kekuasaan yang tinggi, sebaiknya diberi wewenang atas
orang lain yang disesuaikan dengan derajat keterampilan yang mereka miliki.
3. Bagi individu dengan motif pencapaian prestasi yang tinggi, hendaknya ditentukan
bersama dengan mereka sasaran dengan tingkat kesulitan yang sedang saja. Berikan
tanggung jawab untuk menyelesaikan sasaran denga cara mereka sendiri dan pastikan
bahwa mereka mendapatkan cukup pengetahuan tentan