PKS Implementasi Politik Gerakan Tarbiya

PKS: Implementasi Politik Gerakan Tarbiyah Indonesia dan Pemilu
Beberapa tahun belakangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampil sebagai partai yang paling banyak
dibicarakan publik. Dengan membawa citra partai dakwah, partai ini kemudian dianggap sebagai
entitas kekuatan baru yang mewarnai perpolitikan negeri ini. Dan masyarakat pun mulai
menggantungkan harapannya ke pundak PKS untuk mengusung perubahan yang selama ini tidak
pernah tercapai.
Dengan berbagai slogan-slogan kampanye yang mengusung tentang partai baru yang bersih dari KKN,
partai yang berisikan orang-orang yang kuat ilmu dalam agama dan salih dalam beribadah, mereka
bergerak dilingkungan mesjid-mesjid dan kampus-kampus, karena pada umumnya, para kader PKS
memang sebagian besar adalah aktifis-aktifis dakwah di kampus-kampus dan tokoh-tokoh yang
sering mengisi pengajian rutin pada berbagai majelis ta'lim dan kelompok-kelompok pengajian
masyarakat.
Dalam hal berdirinya PKS, tidak terlepas dari maraknya gerakan keislaman yang berideologi
transnasional yang kemudian ber-metamorfrosis menjadi gerakan atau organisasi keislaman di era
pra-kemerdekaan RI seperti Sarekat Islam/SI (1911), Parmusi/Persatuan Muslimin Indonesia,
PII/Partai Islam Indonesia (1938), Muhammadiyah (1912), dan NU/Nahdlatul Ulama (1926) yang
kemudian menjelma menjadi gerakan perlawanan politik terhadap penjajahan Belanda, Portugis, dan
Jepang adalah hakikat dan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. Sasaran atau tujuan gerakan ini
bukanlah untuk memecah belah keutuhan bangsa Indonesia, justeru ia bertujuan menyatukan
kembali kedaulatan Indonesia yang telah tercabik-cabik akibat munculnya berbagai kerajaan, seperti
kerajaan Perlak, Demak, Fatahilah, dll. Para sejarawan menamakan era 1900 sebagai era kebangkitan

dan pembebasan.

Gerakan Tarbiyah Di Indonesia
Di tinjau dari sejarah, gerakan tarbiyah menjadi memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat
sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumni-alumninya dari Timur Tengah. Ada
perubahan-perubahan metode, materi dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama
sebelum reformasi berlangsung. Namun perubahan terus dilakukan pada saat reformasi telah
berlangsung 1998.
Gerakan tarbiyah melakukan gerakan pada masyarakat dengan berbasiskan masjid-masjid, semula
dari masjid kampus sebagaimana awal pendiriannya. Masjid Salman ITB dan Masjid Al Falah di IPB
Bogor adalah cikal-bakal gerakan tarbiyah yang berlangsung di Indonesia. Khusus gerakan tarbiyah
yang kemudian menjelma dalam bentuknya Partai Keadilan (Partai Keadilan Sejahtera) dengan rinci
dibahas oleh Ali Said Damanik (2001) dimana ia membahas dengan detail seluk beluk gerakan
tarbiyah, sejarahnya, siapa para tokohnya, apa aktivitasnya, dimana mereka bergerak, di kampuskampus dan sekolah-sekolah tingkat menengah, sampai ke mushola-mushola. Tema-tema yang
disampaikan dan ideologisasi yang dibuatnya, dibahas dengan rinci sehingga memberikan gambar
terkait gerakan tarbiyah yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(sekarang ini).
Gerakan keislaman yang muncul sejak permulaan abad 19 tidak pernah berhenti karena berhentinya
penjajahan Belanda, ia terus melakukan perubahan, penyesuaian, dan penyegaran yang dibingkai
dalam berbagai format, sebutan atau istilah yang beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi


perkembangan dunia Islam global. Hal ini akan terus dilakukan mengingat kejayaan Islam yang hakiki
yaitu berdirinya Khilafah Islamiyah sebagai tujuan akhir bagi gerakan keislaman belum kunjung
terwujud. Umat Islam secara global masih mengalami kemunduran dan keterpurukan baik di bidang
ekonomi, militer, politik, pendidikan, peradaban, ilmu pngetahuan dan teknologi. Di samping masih
menguatnya hegemoni dan penjajahan Barat atas dunia Islam, dan semua ini menjadi inspirasi bagi
para tokoh pembaharu pergerakan Islam untuk terus melakukan gerakan pembaharuan Islam dalam
semua aspeknya, tak terkecuali politik.
Seorang orientalis Barat, Lothrop Stoddard (1966) berusaha menyingkap rahasia di balik kemunculan
berbagai pergerakan kebangkitan keislaman. Kesimpulan beliau adalah: "Hakikat mendasar bagi
munculnya perlawanan bangsa Indonesia pada substansinya adalah hakikat perlawanan umat Islam
yang disinari oleh gerakan salaf, dan dari sanalah semua gerakan modern dan gerakan nasional
terpengaruh secara massif".
Perang Padri di Sumatera Barat yang dikomandani Tuanku Imam Bonjol adalah sebuah gerakan
pembaharuan keislaman yang terinspirasi oleh gerakan salaf di Timur Tengah. Demikian pula, berdiri
dan eksisnya kerajaan Arab Saudi hingga kini berkat kerja sama antara pihak kerajaan dengan tokoh
pembaharu Islam modern, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, di mana antara keduanya ada
kesamaan ideologi yang harus diperjuangkan. Tidak terkecuali Republik Islam Pakistan, ia dapat
berdiri dan esksis berkat perjuangan para tokoh pergerakan pembaharuan Islam, yaitu Abul A'la AlMaududi, sang penggagas two nation theory, yang akhrinya negara ini dapat memisahkan diri dari
India dengan kedaulatan penuh. Hingga kini beliau dianggap the founding father negara Pakistan.

Dengan demikian, jelaslah pula bahwa sebagai sebuah komunitas masyarakat yang berpenduduk
mayoritas muslim tidak mungkin bangsa Indonesia ini dapat mengisolasikan diri dari keterlibatannya
dalam gerakan pembaharuan dunia Islam dan tokoh-tokohnya sebagaimana penjelasan di atas. Dan
sebagai kekuatan baru yang berkembang di Indonesia, PKS menjadi salah satunya, sebuah partai
yang dibangun dengan basis kekuatan Gerakan Tarbiyah.

Gerakan Tarbiyah Sebagai Basis Perjuangan Politik
Apakah yang dimaksud dengan Tarbiyah? Tarbiyah, dalam definisi Muhammad Quthb dalam Manhaj
Tarbiyah Islamiyah adalah “Seni Membentuk Manusia” (Fannu Tasykilil Insan) (dalam Anis Matta,
2006. Arsitek Peradaban). Anis Matta sendiri dalam bukunya tersebut, mengartikan makna Tarbiyah
sebagai pendidikan. Dari definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa Gerakan Tarbiyah atau gerakan
pendidikan adalah gerakan dalam membentuk, mengajarkan atau menanamkan nilai-nilai Islam
kepada anak, siswa ataupun orang-orang yang kita tuju dalam kepentingan dakwah.
Dalam kehidupan pribadi atau masyarakat, pendidikan (tarbiyah) bisa dipastikan menduduki posisi
yang sangat penting. Sebab melalui proses pendidikan pribadi seorang dapat tumbuh dan
berkembang secara baik, sesuai yang diharapkan. Tarbiyah dapat membentuk kepribadian seseorang
selaras dengan nilai-nilai dan prinsip yang mendasarinya sehingga menjadi kepribadian yang
sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai dan prinsip Islam.
Ciri khas gerakan tarbiyah ini adalah membentuk halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) kecil yang
terdiri dari lima hingga dua belas orang anggota (mutarabbi) dibimbing oleh seorang murabbi bahkan

dalam realisasinya satu atau dua orang anggota pun jadi untuk dikader dan dibina sehingga memiliki
wawasan keislaman yang kuat. Contoh lainnya dari proses kaderisasi dan regenerasi dalam tubuh PKS
yaitu dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan/Daurah. Dari berbagai jenis

daurah tarbiyah (sarana untuk membekali peserta tarbiyah dengan pengalaman untuk
pengembangan keahlian dan pengetahuan), terdapat daurah yang merupakan kegiatan sosial-politik
misalnya daurah penyelenggaraan/ pengawasan pemilu dan pengelolaan lembaga kemasyarakatan
(RT, RW, Badan Desa, LSM) (Tim Kaderisasi DPP PKS, 2004).
Mencermati dan menganalisa munculnya gerakan Gerakan Tarbiyah dan peranannya dalam
perpolitikan nasional bukanlah hal yang mudah. Salah satu sebabnya adalah gerakan yang muncul
pada pertengahan tahun 1980-an ini -hingga berubah menjadi kekuatan nasional yang
diperhitungkan- dirintis oleh pionir-pionir yang bukanlah merupakan figur-figur yang sebelumnya
dikenal publik secara luas. Mereka itu tidak lain hanyalah anak-anak muda biasa yang berkeinginan
untuk mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka yakini sebagai ajaran agama yang
universal dan menyeluruh dengan sedikit upaya untuk memperluas kesadaran keagamaan itu dalam
berbagai aspek kehidupan termasuk politik.
Terkait dengan partai politik, dalam kegiatan tarbiyah, diberikan materi saluran politik yang bertujuan
agar peserta tarbiyah dapat mengetahui hak-hak sosialnya dalam dunia politik, membandingkan
beberapa saluran politik untuk melihat kelebihan, kesamaan, dan kekurangannya dengan objektif,
memilih saluran politik dengan benar yang sesuai dengan aspirasinya, dan terlibat aktif untuk

menyalurkan ide-idenya dalam memperbaiki masyarakat pada saluran politik yang dipilihnya (Tim
Kaderisasi DPP PKS, 2003).
Sekitar awal tahun 1998, tepatnya 20 Juli 1998, kader-kader gerakan tarbiyah mendirikan partai
politik Islam yaitu Partai Keadilan (PK) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di tahun 2001. Meski telah bertransformasi menjadi partai politik, metode
pembinaan yang digunakan PKS tetap mengacu pada sistem pengkaderan dakwah tarbiyah. Ada
berbagai pihak menilai, kuatnya penguasaan gerakan tarbiyah terhadap lembaga dakwah formal
kampus kampus dan sekolah-sekolah ini telah memberikan keuntungan politik berupa dukungan para
aktivis dakwah terhadap PKS.
Kegiatan tarbiyah, sebagai wadah dan sarana kaderisasi PKS dapat dikatakan sebagai sebuah proses
sosialisasi politik keagamaan karena dengan mengikuti kegiatan tarbiyah, baik sebelum dan setelah
berdirinya PKS, memungkinkan individu untuk mendapatkan pengetahuan dan orientasi politik
disamping mendapatkan pengetahuan agama. Misalnya, beberapa prinsip pemikiran Ikhwanul
Muslimin yang disosialisasikan dalam gerakan tarbiyah adalah Islam merupakan ajaran bersifat
totalitas yang tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Dalam ungkapan yang sering
digunakan; Islam adalah agama sekaligus negara (din wa dawlah) yang artinya Islam menolak
sekularisme (Rahmat, 2005).
Hal ini pun diakui oleh Nur Hasan Zaidi (2006), Wakil Sekjen DPP PKS, dimana PKS, dalam
perjalanannya, memilih gerakan tarbiyah sebagai modelnya. Pola gerakan ini tidak hadir dengan tibatiba, tapi telah dirintis oleh anak-anak muda sekitar tahun 80-an. Gerakan tarbiyah sebagai sarana
yang paling efektif untuk melakukan introspeksi dan penyadaran Islam terhadap generasi muda;

menumbuhkan semangat berdakwah sambil belajar kesabaran mengadapi kediktatoran orde baru;
mengajak ke jalan dakwah, dengan menghindari lawan arus terhadap orang yang belum
mengapresiasi Islam.

Metamorfosis Gerakan Dakwah Berbasis Kaderisasi

Pada 20 April 2002, sebuah partai baru dibentuk, bernama Partai Keadilan Sejahtera dan setahun
kemudian, Partai Keadilan melebur ke dalam partai baru itu, sebagai konsekwensi tidak lolosnya
mereka dari Electoral Treshold. Hidayat Nur Wahid memimpin sebagai ketua umum (mereka
menyebutnya presiden) dan Anis Matta sebagai sekretaris jenderal. Dalam perjalanan sejarahnya,
PKS adalah sebuah partai politik yang didasari oleh transmisi gerakan Ikhwanul Muslimin Indonesia
yang melakukan dan memunculkan gerakan dakwah yang disebut dengan Tarbiyah (Rahmat, 2005).
Dimana gerakan Ikhwanul Muslimin ini adalah sebuah gerakan Islamisme yang menganggap bahwa
Islam bukanlah hanya sekedar sebuah agama, namun juga sebagai sebuah ideologi Politik (Roy,
1992). Sehingga sebagai sebuah ideologi politik, maka Islam adalah sesuatu yang harus
diperjuangkan dalam tataran politis.
Adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi (2001) yang menyebutkan dalam bahwa PKS di Indonesia adalah
perpanjangan tangan dari Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir. Sebuah jamaah yang didirikan oleh Hasan
Al-Banna sejak tahun 1928 yang lalu dan kini telah memiliki cabang di 70 negara dunia. Namun
tulisan ulama yang kini bermukim di Qatar itu belum pernah mendapat konfirmasi dari para

pengurus DPP PKS. Entahlah apa yang dimaksud oleh Al-Qaradawi dengan istilah 'perpanjangan
tangan' itu dan seperti apa bentuknya. Rasanya hal itu tidak penting untuk dibahas di sini.
Sebagai sebuah partai baru yang fenomenal, PKS sangatlah didukung oleh gerakan dakwah, tidak
terlepas dengan apa yang disebut sebagai sosialisasi politik, yaitu adalah proses bagaimana individu
mendapatkan beragam bentuk orientasi politik, partisipasi politik, derajat keterlibatan, dan ideologi
yang mendasari partisipasi politik tersebut (Glencoe, dalam Hepburn 2005). Sosialisasi keagamaan
berperan sebagai agen sosialisasi politik ketika berbagai orientasi politik diperoleh individu dari
interaksinya dengan pengalaman keagamaan (Davis, 1992).
Dalam landasan filosofis Partai Keadilan Sejahtera itu terdapat penegasan bahwa Islam merupakan
kaca mata pandang untuk memahami realitas politik maupun untuk membangun strategi-strategi
cerdas perjuangan politik. Partai ini hendak membuktikan kebenaran sebuah aksioma dalam dunia
politik bahwa Islam merupakan agama universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan dengan
berbagai dimensinya yang kompleks.
Dengan kata lain Islam dalam konsepsi para aktifis Partai Keadilan Sejahtera adalah sebuah sistem
hidup yang universal, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air,
pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, kebudayaan dan perundangundangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan
dakwah, tentara dan fikrah, akidah yang lurus dan ibadah yang benar.
Dalam hal pemaknaan ideologi Islam tersebut, PKS, tidaklah memiliki tujuan untuk mendorong
terbentuknya Negara Islam Indonesia, setidaknya itu yang termaktub dalam isi pidato Presidennya,
Tifatul Sembiring, dalam acara diskusi Platform PKS di Hotel Bidakarsa Jakarta Selatan, Ahad 20 April

2008. Dia mengatakan bahwa dalam falsafah perjuangan PKS tentang politik, adalah berjuang melalui
ranah demokrasi. Kemudian banyak pertanyaan orang, bagaimana warna demokrasi PKS. Dia
mengatakan, bahwa demokrasi yang diperjuangkan oleh PKS adalah demokrasi yang diwarnai oleh
Islam, sebagaimana demokrasi di negara-negara lain, baik itu di Amerika atau di Jerman, yang di
warnai oleh pemikiran, kebudayaan atau agama yang dominan pada masing-masing wilayah.
Tifatul juga mengatakan Visi PKS yang telah di rumuskan dalam bentuk cita-cita PKS, yaitu terciptanya
masyarakat Indonesia yang madani, berperadaban, manusia yang adil, sejahtera dan bermartabat.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, PKS mempersiapkan SDM dan mencari SDM yang bersifat bersih,
peduli dan profesional. Bersih berarti kesolehan secara pribadi, peduli bermakna kesolehan secara

sosial dan Profesional berarti memiliki kompetensi. Hal ini menunjukkan bahwa PKS tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan tidak mengedepankan pemaksaan kehendak, walaupun
pemeluk Islam di Indonesia adalah mayoritas.
PKS dalam mengemas dakwahnya juga memiliki tema-tema praktis, dari yang sederhana sampai yang
berat. Semisal memilih pasangan, hidup bersih dan sehat, makan dan minum Rasulullah, pentingnya
kerja kolektif (amal jama’i), menutup aurat, ghirah pada keluarga dan agama, perjalanan dakwah
kaum muda, dakwah di negeri-negeri Muslim, menghafal hadits arba'in dan surat-surat pendek
dalam AI- Qur`an, ghazw al-fikr (perang ideologi), gerakan terselubung yang memusuhi Islam,
lembaga-lembaga yang menentang Islam, sistem politik dan hubungan internasional, hak asasi
manusia, dan lain sebagainya.

Syariat Islam ditegakkan melalui praktik riil seperti masalah sholat wajib dan sunnah puasa wajib dan
sunnah, mengenakan jilbab, menjauhkan makanan dan gaya hidup haram bahkan yang ragu-ragu
ditinggalkan. Mungkin itu sebabnya gerakan tarbiyah (PKS) yang pada awalnya hanya dianggap
sebagai gerekan pinggiran dan gerakan eksklusif kini telah berubah menjadi gerakan mainstream di
tengah-tengah kehausan masyarakat akan Islam.
Sebagai partai yang mendeklarasikan dirinya sebagai partai kader, PKS memiliki sistem kaderisasi
kepartaian yang sistematis dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekrutmen calon anggota dan
fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai. Fungsi-fungsi ini dijalankan
secara terbuka melalui infra struktur kelembagaan yang tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat
ranting. Fungsionalisasi berjalan sepanjang waktu selaras dengan tujuan dan sasaran umum partai,
khususnya dalam bidang penyiapan sumber daya manusia partai.
Dari perjalanan pengkaderan yang tidak singkat itulah akan membentuk pribadi-pribadi para kader
PKS sebagai pribadi yang sangat patuh dan taat bukan hanya kepada Tuhannya tetapi juga kepada
para pemimpin partainya selama instruksi yang diberikan adalah selaras dengan Al-Qur`an dan
Sunnah yang jadi pedomannya. Hal ini dapat dibuktikan ketika PKS mengadakan aksi sejuta umat,
sebuah aksi demonstrasi yang mengagumkan. Unjuk rasa yang bukan hanya diikuti oleh orang-orang
dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja bahkan terdapat juga ibu-ibu yang menggendong anaknya
atau mendorong kereta bayinya. Keberanian mereka berdemonstrasi sambil membawa bayinya, di
antara ratusan ribu orang di Bundaran Hotel Indonesia, jelas menunjukkan tingginya jaminan dan
kepercayaan bahwa unjuk rasa itu akan berlangsung tertib dan damai.

Salah satu contoh keberhasilan tarbiyah yang dilakukan PKS terhadap kadernya sehingga menjadi
taat secara total adalah pengambilalihan peran pendanaan partai yang biasanya oleh kaum kapitalis,
bagi PKS menjadi tanggung jawab seluruh kader partai. Gerakan Lima Ribu Rupiah (GALIBU) dari para
kader untuk mendanai aktifitas partai dapat diciptakan oleh Dewan Pimpinan Pusat PKS. Dalam
konteks Indonesia yang dilanda krisis ekonomi gerakan GALIBU adalah indikasi militansi kader partai
terhadap partainya. Serta berbagai gerakan-gerakan sosial dilakaukan oleh kader-kader PKS beserta
para relawannya, seperti menerjunkan relawan ke daerah-daerah bencana, mengirimkan bantuanbantuan sosial, mengadakan kegiatan pengobatan gratis untuk masyarakat, merupakan bentuk
penetrasi politis kepada masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang nyata dan bersentuhan langsung
dengan kepentingan masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan pada saat
mendekati pemilu saja (seperti kebanyakan yang dilakukan oleh partai-partai lain), sehingga
kegiatan-kegiatan tersebut bisa berubah fungsi sebagai investasi politik PKS pada saat menghadapi
pemilu.

Sedangkan prinsip egalitarianisme tidaklah dijumpai dalam PKS kecuali dalam kaitannya dengan
kepemimpinan yaitu bahwa setiap anggota mempunyai hak yang setara untuk menjadi pemimpin
walaupun dalam praktiknya setiap calon pemimpin harus memenuhi syarat dan kriteria-kriteria
tertentu serta harus disepakati oleh Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi di PKS.
Analisa tersebut di atas menunjukkan bahwa PKS dengan metode tarbiyah yang diterapkan untuk
membina para kadernya menghasilkan sikap keberagamaan yang total. Tidak selamanya sikap taat
secara total itu negatif selama diciptakan keseimbangan berfikir yang rasional dan irrasional. Hal ini

dibuktikan oleh PKS yang berhasil membentuk kader-kadernya menjadi kader militan, intelektual
tetapi berkarakter santun sehingga dapat diterima sebagian besar masyarakat sehingga akhirnya
mampu mempertahankan keberadaan partainya dan dalam kurun waktu yang cukup singkat, hanya
dalam 3 kali periode pemilu (kurang lebih 15 tahun), PKS sudah mampu membuktikan kekuatan
politik dan gerakannya, dengan menenmpatkan dirinya berada pada jajaran elit partai-partai yang
lebih mapan dari segi pengalaman, kekuatan dana dan dukungan basis massa yang lebih tersebar
merata dan tradisional.

Perolehan Suara Dari 1999-2009
Dalam perkembangannya, fenomena yang terjadi terhadap partai ini dan perolehan suaranya sangat
menarik untuk dianalisa, hanya dalam satu tahun umurnya, PKS (sebelumnya bernama Partai
Keadilan/PK) meraih sekitar 1.6 % suara (Fathudin Dja’far, 2009). Hal ini berarti bahwa Partai Keadilan
berhasil meraup 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD
Kota/Kabupaten) dalam pemilu 1999 yang merupakan Pemilu pertama yang mereka ikuti. Tidak
hanya itu tapi juga menempatkan salah satu kader terbaiknya menjadi menteri di tatanan kabinet,
yaitu Presiden Partai, Nur Mahmudi Ismail, sebagai Menteri Kehutanan.
Pada pemilu 1999 ini, meski tidak memenuhi standar electoral threshold, PKS (ketika itu masih
bernama Partai Keadilan/PK) berhasil meraih 1,36 persen suara dan menempatkan tujuh wakilnya di
DPR. Hasil ini menempatkan PKS sebagai partai terbesar ketujuh di Indonesia di bawah PDI-P, Golkar,
PKB, PPP, PAN, dan PBB. Sebuah prestasi luar biasa bagi sebuah partai baru yang tidak memiliki
sejarah besar di masa lalu. Prestasi ini juga luar biasa mengingat PKS mampu mengungguli partaipartai lain yang punya sejarah besar di masa lalu seperti PSII, Murba, IPKI, PPII Masyumi, juga
Masyumi Baru. PKS juga mengalahkan partai-partai baru yang dipimpin oleh tokoh yang sangat
marketable seperti PUDI pimpinan Sri Bintang Pamungkas, PUI pimpinan Deliar Noer dan Harun Al
Rasyid, PDR pimpinan Adi Sasono, dan PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko (Faried F Saenong, 2007).
Dengan kerja keras seluruh kader --walaupun harus merubah nama menjadi PKS karena tidak
memenuhi electoral threshold dua persen pada Pemilu 1999-- akhirnya pada Pemilu 2004 dapat
meraih suara tujuh persen. Capaian itu menjadikan eksistensi PKS makin mendapat tempat dalam
peta politik Indonesia (Nur Hasan Zaidi, 2006).
Dalam pemilu 2004 telah terjadi lonjakan perolehan suara yang sangat fenomenal untuk sebuah
partai yang oleh beberapa kalangan masih dianggap sebagai partai anak bawang. Perolehan suara
sebanyak 7,34% dari jumlah total setara dengan 8.325.020 suara dan mendapatkan 45 kursi di DPR
dari total 550 kursi yang ada di DPR. Dan hasil ini juga berhasil menempatkan Hidayat Nur Wahid
(Presiden PKS yang sedang menjabat) sebagai ketua MPR masa bakti 2004-2009 yang kemudian
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden PK Sejahtera. Partai ini masuk lima besar partai
pengumpul suara terbanyak.

Dari perhitungan suara skala nasional pada pemilu 2009, PKS mendapatkan suara sebesar 8.206.955
suara atau 7,88%, dan menempatkan partai ini diurutan ketiga dari daftar perolehan suara terbanyak
partai politik pada pemilu 2009 ini. Dan dari jumlah suara ini, PKS menempatkan 59 orang wakilnya
di Legislatif (sumber: KPU/ http://pemilu.detiknews.com).
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat katakan bahwa pada Pemilu 2009 yang lalu, adalah
merupakan awal kebangkitan pemilih rasional dalam menentukan pilihannya, dimana diharapkan
mengarah pada terbentuknya Politik Electorate, dimana rakyat sebagai penentu kemenangan politik.
Dengan demikian, bagi partai-partai politik yang tidak mempunyai tokoh dan atau kader yang
berkualitas dan bisa dibanggakan, bagi partai politik yang tidak mampu menunjukkan karakternya
yang jelas dalam mengusung program-program atau isu riil yang langsung dirasakan masyarakat,
serta bagi partai politik yang tidak mampu mengelola efektifitas organisasi dan melaksanakan proses
regenerasi dengan pengkaderan yang baik, maka cepat atau lambat partai-partai politik tersebut
akan ditinggalkan oleh pemilih yang umumnya rasional dan pendukung fanatiknya lama-lama akan
tergerus mengikuti arus kuat yang terjadi.
Yang menarik untuk dicermati, kendati perolehan suara secara persentase naik tipis sekitar 0,5 %,
namun bila kita lihat dari total perolehan suara, sebenarnya menurun sekitar 130,000 suara. Di kotakota besar seperti Jakarta dan sekitarnya penurunan itu sangat tajam. Sebaliknya di beberapa daerah
mengalami kenaikan. Di DKI Jakarta misalnya, pada Pemilu 2004 PKS meraih sekitar 1,1 juta suara.
Kemudian pada Pilkada DKI Jakarta 2007 yang lalu, PKS meraih 1,53 juta suara. Menurut berbagai
sumber, Adang Daradjatun membawa sekitar 0,5 sampai 0,6 juta suara. Jika data itu benar, berarti
suara PKS di Jakarta dalam kurun 4 tahun mengalami penurunan sekitar 0,1 sampai 0,2 juta suara.
Kemudian pada Pemilu 2009, PKS hanya meraih suara sekitar 0,69 juta. Artinya, lima tahun
belakangan suara PKS di DKI Jakarta merosot tajam sekitar 0,41 juta suara atau sekitar 37,27%.
Kemerosostan tersebut menyebabkan PKS hanya meraih rangking tiga pada Pemilu 2009 di mana
pada Pemilu 2004 meraih rangking pertama. Kali ini yang menjadi rangking pertama adalah PD
dengan perolehan suara 31,89 %, kemudian PDIP 15,89% dan disusul PKS 13,12%.
Fenomena perolehan suara PKS yang dari pemilu ke pemilu merangkak naik menunjukkan perilaku
pemilih yang rasional dari sisi kelembagaan. Meskipun kenaikan perolehan suara PKS tidak
spektakuler seperti Demokrat, namun kenaikaan suara pada Pemilu 2009 bagi PKS merupakan simbol
keberhasilan pelembagaan parpol dalam masyarakat. Jika parpol yang berbasis Islam mengalami
kemorosotan suara yang tajam seperti PKB, PPP, PBB dan PBR, maka PKS mampu membangun
lembaganya dengan ideologi dan disiplin partai yang tegas, kader yang jujur, militan dan terpelajar.
Sebagai partai kader, PKS mampu membangun citra positif dan mampu mencerminkan perilaku
politik dan kinerja parpol yang islami tanpa harus bersikap ekstrim. Menurut Arbi Sanit (dalam Seri
Buku Politik UI, Menggugat Partai Politik, 2003), dalam rangka menunaikan fungsi-fungsi partai yang
optimal, maka Partai Politik harus melakukan pembaharuan dalam sistem pengkaderan partai politik.
Dengan menitikberatkan partai kader, pelatihan kader yang sistematis terarah untuk membentuk
pemimpin yang demokratik dan sekaligus efektif, kemajuan kader perlu dikaitkan dengan posisinya
didalam struktur partai dan kenegaraan. Dalam hal ini, PKS dengan mengedepankan Gerakan
Tarbiyahnya, yang terkenal dengan Halaqah, Liqo dan sebagainya, berusaha melakukan rekrutmen
kader-kader berkualitas yang dilatih militansinya dan penanaman ideologis yang kuat serta
mendorong kemampuan kadernya untuk masuk dan terjun didalam partai serta dituntut untuk
berkontribusi secara nyata. Dalam hal ini pula bahwa PKS menitikberatkan pada pengkaderan
generasi muda Muslim yang ditegaskan oleh Syahrul Hidayat (dalam Seri Buku Politik UI, Menggugat
Partai Politik, 2003) bahwa PK/PKS, walaupun menegaskan komitmen terhadap Islam, namun lebih

membidik generasi muda sebagai target basis massa. Hal ini di buktikan dengan kader-kader PKS
yang banyak berasal dari Mahasiswa dan pelajar, sebagai target perjuangan dakwah dan politiknya.
Dengan kiprah PKS yang simpatik, akhirnya pemilih yang rasional dan mayoritas beragama Islam
menjatuhkan pilihannya pada PKS karena dinilai kinerjanya bagus dan karakternya jelas dibandingkan
partai lain yang berbasis Islam. PKS merupakan simbol partai modern yang tidak mengandalkan figur
sebagai pemersatu dan penggerak partai, akan tetapi sudah bekerja atas dasar sistem dengan
menempatkan kader di semua lini organisasi sebagai tokoh yang bersih, jujur, terpelajar, berwawasan
dan militan. Hal in juga didukung dengan pengelolaan keuangan yang transparan yang dilakukan oleh
PKS, seperti diungkapkan oleh Syahrul Hidayat (dalam Seri Buku Politik UI, Menggugat Partai Politik,
2003), yang mengatakan bahwa seluruh dana yang diterima oleh anggota legislatif dari PKS
dilaporkan dan dikonsultasikan kepada partai tanpa terkecuali. Setelah itu Partai yang akan
menentukan apakah dana tersebut layal diterima ataukah ditolak serta menentukan besarnya jumlah
dana yang diterima oleh anggota legislatif yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Sehingga hal ini
dapat berfungsi menjadi sistem kontrol dan transparansi pengelolaan dana pada PKS yang
mengedepankan citra partai yang bersih, akuntabel dan transparan.
Jadi secara langsung ataupun tidak langsung, dari paparan di atas tersebut, peningkatan perolehan
suara PKS pada setiap pemilu bukanlah hal yang hanya kebetulan belaka, melainkan sudah
dipersiapkan dengan matang dan penuh perhitungan. Dengan melakukan analisa mendalam
terhadap kondisi perpolitikan nasional, parta-partai pesaing, baik yang sekuler maupun yang
berbasiskan massa Islam, proses pengkaderan yang matang dan pembentukan sistem partai, baik
organisasi maupun penyusunan strategi, yang efisien, para pemimpin partai beserta kader-kader dari
tingkat pusat hingga ke tingkat lokal betul-betul memahami tujuan perjuangan mereka dan
bagaimana proses pencapaiannya dalam proses demokrasi. Walaupun dalam beberapa hal, masih
ada kekurangan yang harus ditambal sulam, seperti penentangan dari ormas-ormas Islam yang lebih
dulu ada dan mapan, seperti NU dan Muhammadiyah, kemudian kritik-kritik dari kader yang merasa
tidak puas dalam berjalannya organisasi partai. Namun setidaknya PKS mampu meredam itu semua
hingga Pemilu 2009 yang telah lalu.

Profil Pemilih PKS Dalam Pemilu
Menurut Dr. Fahmi Amhar (2004), Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina, ada 5 kelompok profil
pemilih PKS, yaitu:
1. Adalah pemilih klasik, yaitu binaan gerakan (harakah) tarbiyah di Indonesia, yang sejak era 1980-an
marak di kampus-kampus. Mereka inilah kader inti PKS, dengan ciri-ciri khasnya yaitu: muda, terdidik
dan islamis. Mereka dibina dalam halaqoh-halaqoh dengan pola yang cukup rapi, mengacu pada
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
2. Adalah simpatisan harakah-harakah lain dengan karakteristik kader yang mirip, semisal Hizbut
Tahrir, yang meski memiliki massa cukup besar, namun tidak secara tegas memerintahkan kader atau
simpatisannya agar memilih partai tertentu. Mereka hanya menunjukkan beberapa kriteria, seperti
bahwa parpol yang dipilih harus yang berasas Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Meski PKS
tidak pernah terang-terangan berkampanye untuk syariat Islam, namun di level bawah, kader-kader
inti PKS terus bergerak dari masjid ke masjid atau di majelis-majelis taklim, seraya mencoba
meyakinkan massa Islam pro syariat bahwa jalan yang ditempuh PKS ini akan sampai ke penerapan
syariat oleh negara. Maka tak heran bila simpatisan harakah-harakah ini akhirnya berpikir bahwa PKS

adalah salah satu atau bahkan satu-satunya partai yang memenuhi syarat tadi. Apalagi juga tidak
pernah ada seruan dari harakah-harakah tadi untuk Golput.
3. Adalah pemilih pindahan, yaitu kalangan Islam modernis, yang di Pemilu 1999 memilih PBB atau
PAN, dan karena suatu hal menilai bahwa PKS lebih cocok sebagai wadah aspirasi mereka. Ini
dibuktikan dari perolehan PBB dan PAN yang merosot jauh di bawah PKS.
4. Adalah orang-orang Islam yang khawatir pada isu kristenisasi, seperti isu proyek Yusuf 2004 yang
diasosiasikan ke PDS, atau isu banyaknya caleg non muslim di PDIP atau Partai Demokrat --yang
belakangan ternyata memang mendapat cukup banyak suara. Kelompok ini bukanlah binaan PKS
atau harakah lain, juga bukan "pelarian" PBB atau PAN. Mereka bahkan semula ingin golput, karena
kebingungan dengan tawaran yang ada, atau sudah apatis dengan sistem pemilu. Namun isu
kristenisasi, yang mungkin juga dihembuskan oleh kader-kader PKS sendiri (meski tidak resmi dari
pimpinan PKS), ternyata cukup ampuh. Orang yang ingin golput jadi merasa berdosa bila golputnya
berakibat prosentase Kristen di Parlemen terdongkrak. Sekalipun Islamnya sekedar KTP, masih banyak
orang yang tergerak bila ada ancaman dari kelompok agama lain.
5. Adalah simpatisan humanisme, yang tertarik PKS karena track record PKS selama ini di aspek anti
korupsi dan kepedulian menolong sesama yang dilanda bencana. PKS memiliki Pos Keadilan Peduli
Ummat, yang meski secara formal independen (salah satu Lembaga Amil Zakat Nasional), namun di
lapangan, aksi-aksi kemanusiaannya dilaksanakan kader-kader PKS, yang hampir selalu beratribut PKS
(paling tidak di topi atau kaos). Yang jelas citra "bersih" dan "peduli" menjadi melekat pada PKS.
Pemilih tipe ini dapat dikatakan "non-ideologis", bahkan bisa saja non muslim. Meski demikian, bila
ada alternatif selain PKS, mereka akan mudah pula pindah.
Komposisi profil pemilih PKS ini tetap saja harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi
5 profil tersebut.

Perjuangan Masih Panjang
Dari paparan tentang fenomena PKS tersebut, maka dapat diambil beberapa hal sebagai kesimpulan
yg dapat dipetik antara lain bahwa PKS cenderung memiliki ikatan sejarah maupun ideologis dengan
gerakan Trans-nasional, yaitu Ikhwanul Muslimin dari Mesir, bahwa kemunculan PKS adalah pada
saat yang tepat dan sangat diuntungkan dengan kondisi perpolitikan tanah air yang masih dalam
kondisi euphoria pasca Orde Baru. Kemudian bahwa PKS memiliki peningkatan jumlah perolehan
suara dalam tiap pemilu yang mereka ikuti, hal ini bisa disebabkan oleh kerja keras kader-kadernya,
proses pencitraan partai sebagai partai baru yang berisikan orang-orang taat beragama, bersih dari
unsur KKN dan profesional.
Bahwa perolehan suara PKS dalam setiap pemilu juga bisa berasal dari suara-suara Partai berbasiskan
masa Islam, seperti PAN dan PKB yang memiliki basis massa tradisional NU dan Muhammadiyah,
yang menemukan bahwa PKS merupakan partai Islam yang modern, progresif dan tidak
berlandaskan prinsip ketokohan dan kharismatik pemimpinnya, namun merupakan partai terbuka,
partai kader, ideologis dan programatis. Bahwa sebuah partai akan menjadi kuat bila punya konsep
kaderisasi yang profesional. Tidak didasarkan pada kekuatan figurnya, atau impian kenangan
kejayaan masa lalu. Dan hal ini dibuktikan oleh PKS dengan proses pengkaderan yang baik dan
terarah dalam proses Tarbiyah, Halaqah dan Liqo.
Kemudian sulit pula disangkal bahwa PKS sudah menunjukkan kemampuan dan kualitasnya sebagai
Partai yang ideologis, modern dari sisi organisasi, pengkaderan dan proses rekrutmen anggota serta

program-program kepartaian yang mereka miliki. Walaupun sebetulnya, partai yang mengusung isu
keIslaman atau berbasis umat Islam bukan hanya PKS, namun yang dapat dianggap berhasil
menggalang kekuatan besar pemilih adalah PKS. Setidaknya untuk ukuran DKI Jakarta dari hasil
pilkada 2007 lalu. Hal ini membuktikan bahwa sekedar mengusung isu keIslaman dan berbasis umat
Islam, belum tentu bisa menangguk kemenangan. Yang lebih berperan adalah mesin kampanye yang
kuat, bisa bergerak tanpa harus mengajukan proposal dana dan anggaran. Di PKS, mesin itu adalah
jutaan kader yang menjadi SDM yang tidak ada habisnya. Mereka umumnya masih muda,
berpendidikan, berpenghasilan tetap bahkan sebagiannya lumayan, enerjik, dinamis dan punya
wawasan politik yang semakin hari semakin baik.
Seperti yang telah banyak dibahas diatas, bahwa dari setiap Pemilu mulai dari Pemilu tahun 1999
sampai ke Pemilu 2009, PKS mampu meningkatkan perolehan suaranya secara signifikan dan
menempatkan wakil-wakilnya di DPR dalam jumlah yang cukup dapat mempengaruhi keputusan
DPR. Kemudian pada Pemilu 2004, perolehan suara PKS mengalami lonjakan yang luar biasa.
Lonjakan perolehan suara dari 1,4 juta suara (7 kursi DPR) menjadi 8.2 juta suara (45 kursi DPR)
dalam kurun hanya 5 tahun dan saat calon-calon yang diusung PKS memenangkan Pilkada langsung
di beberapa daerah di tanah air; Bogor, Depok, Bekasi, lalu susul menyusul kemenangan PKS dalam
pilgub/wagub Jawa Barat dan Sumatera Utara dalam waktu yang hampir bersamaan. Hal ini adalah
sebuah sukses besar walau tanpa seorang figur atau tokoh nasional sekalipun yang dijadikan simbol
di dua Pemilu terdahulu
Namun begitu, apa yang dilakukan oleh PKS ternyata belum cukup untuk memenangkan keseluruhan
pemilu, dikarenakan kultur masyarakat dan kondisi perpolitikan nasional yang masih memiliki
ketergantungan terhadap figur dan kahrisma tokoh, sehingga belum mampu mengungguli Partai
Demokrat, dengan Susilo Bambang Yudhoyono, PDI-P dengan Megawatinya serta Partai Golkar, yang
merupakan partai berpengalaman secara politik dan memiliki kader-kader yang merupakan tokohtokoh lama dalam dunia perpolitikan Indonesia

Daftar Referensi

Ali Said Damanik, 2001. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia, Jakarta: Teraju
Anis Matta, 2006, Arsitek Peradaban, Bandung: Fitrah Rabbani
Arbi Sanit, 2003. Menggugat Partai Politik: Seri Buku Politik, Editor: Mahrus Irsyam,
Lili Romli, Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI.
Davis L. Charles 1992. Religion and Partisan Loyalty; The Case of Chatolic Workers in Mexico. The
Western Political Quarterly.
Dr.
Fahmi
Amhar,
Setelah
PKS
http://media.isnet.org/islam/Etc/PKSMenang.html

menang,

Fathuddin Ja’far, MA, 2009. http://www.ilmupsikologi.com/?p=477

18

April

2004,

Faried F Saenong, 2007, PKS dan Fenomena Posislamisme, Jakarta: Republika Online Jumat, 09 Maret
2007
Hepburn, A. M 2004. Revitalizing Political Socialilization Reseach; An Introduction to Symposium.
Perspectives on Political Science.
Hogg, M. & Dominic, A. 1988. Social Identifications. London: Routledge.
Lothrop Stoddard, 1966, Dunia baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit
Nur Hasan Zaidi, 2006, Kesinambungan Dakwah PKS, Jakarta : Republika Online
Tifatul Sembiring, 2008, Pidato Dalam Launching Buku Falsafah Perjuangan PKS, Disampaikan dalam
diskusi Platform PKS di Hotel Bidakarsa Jakarta Selatan, Ahad 20 April 2008
Rahmat M. I. 2005. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Roy, Olivier 1996. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Penerbit Serambi
Sumber: KPU, http://pemilu.detiknews.com
Syahrul Hidayat, 2003. Menggugat Partai Politik: Seri Buku Politik, Editor: Mahrus Irsyam, Lili Romli,
Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI.
Tim DPP Kaderisasi PKS 2004. Manajemen Tarbiyah Anggota Pemula. Jakarta: DPP Partai Keadilan
Sejahtera Departemen Kaderisasi & Syamil Cipta Media.
Dr.Yusuf Qardhawi, 2001, Ummatuna Baina Qarnain (Islam menyongsong abad 21), Solo: Era
Intermedia