Kesehatan Mental and Pekerjaan Sosial da

KESEHATAN MENTAL DAN PEKERJAAN SOSIAL
DALAM PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA*
Toton Witono

Abstrak
Kesehatan merupakan salah satu indikator penting dalam pencapaian Millenium
Development Goals. Namun demikian, kesehatan dalam tujuan Millenium tersebut
tampaknya lebih fokus ke bidang kesehatan secara fisik, sementara kesehatan mental
tidak tercakup secara spesifik. Dengan memperhatikan fakta cukup tingginya angka
penderita gangguan mental-emosional di Indonesia, pengabaian isu kesehatan mental
dapat menyebabkan upaya mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan Milenium bidang
kesehatan menjadi tidak efektif. Namun sayangnya Indonesia tidak mempunyai
kebijakan khusus terkait penanganan kesehatan mental karena landasan hukum yang
kurang memadai. Satu sisi, dalam Undang-Undang terkait, definisi kesehatan dan
kesejahteraan sosial telah melingkupi aspek fisik, mental, sosial, spiritual, dan
intelektual. Ini berarti landasan legal formal sebetulnya memandang totalitas manusia
sebagai entitas utuh yang saling terkoneksi satu sama lain. Namun, di sisi lain,
perspektif semacam ini akan sulit diwujudkan apabila praktik penanganan masih
berkutat pada pendekatan biomedis dan psikososial yang kurang memperhatikan
dimensi-dimensi penting lain. Untuk itu, perencanaan dan kebijakan kesehatan mental
harus diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan primer dalam kerangka pencapaian

Deklarasi Milenium tersebut.
Kata kunci: kesehatan, kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan MDGs

A. Latar Belakang
Globalisasi dengan ideologi kapitalismenya digadang-gadang dapat mewujudkan
cita-cita keadilan dan kemakmuran bagi seluruh penghuni planet bumi, namun
ternyata gagal total. Stiglitz (2006) dalam bukunya, Making Globalization Work,
menyimpulkan bahwa globalisasi mendatangkan kemakmuran bagi hanya segelintir
orang dalam suatu negara. Pendapatan domestik bruto memang menunjukkan
perbaikan, “namun cara hidup dan nilai-nilai dasar terancam” (p. 292). Bukannya
memberantas kemiskinan, ideologi kapitalisme bahkan menciptakan kemiskinan baru
dan juga kerusakan lingkungan yang parah.
Berbagai masalah yang berakar dari kemiskinan dan kerusakan lingkungan
seperti dijelaskan di atas muncul tak terkendali. Orang menjadi putus asa, stres,
bahkan gila karenanya. Dengan materialisme dan konsumerisme, alih-alih membuat
manusia bahagia dan sejahtera, era modernisasi malah menjadikan banyak orang

*

Artikel ini diambil dari sebagian tema dalam paper yang dipresentasikan dalam Asia Pacific


Conference yang diselenggarakan oleh International Consortium for Social Development (ICSD),
Yogyakarta, 27-30 Juni 2012. Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Quantum: Jurnal
Kesejahteraan Sosial BBPPKS Padang Vol. X No. 17 Januari-Juni 2012 (BBPPKS Padang), hal.
58-67.
1

merasa teralienasi, hidup tanpa tujuan, hampa makna, dan kering secara spiritual.
Pada intinya globalisasi dan modernisasi menyebabkan, atau paling tidak memicu,
terganggunya kondisi mental, emosional, dan tingkah laku penduduk bumi ini.
Isu kemiskinan dan lingkungan merupakan dua dari delapan target Millenium
Development Goals (MDGs) hingga 2015. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan itu
sendiri memiliki hubungan sebab akibat (Cox, 1996; Tveitdal, 2002). Menurut salah
satu badan dunia yang menangani kesehatan, WHO (2001), kemiskinan juga menjadi
faktor penyebab gangguan mental dan tingkah laku, di samping determinan lain
seperti jenis kelamin, usia, bencana, penyakit berat, keluarga, dan lingkungan sosial.
Kesehatan mental dan kemiskinan digambarkan WHO memiliki hubungan yang
kompleks dan multidimensional bagai lingkaran setan. Keterkaitan erat antara ketiga
isu ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut dalam Gambar 1 di
bawah ini.


Kemiskinan

Gangguan
Masalah MentalEmosional

Kerusakan
Lingkungan

Gambar 1 Hubungan sebab-akibat antara kesehatan mental, kemiskinan, dan lingkungan

B. Kesehatan Mental dan MDGs
Isu kesehatan mental tidak secara eksplisit termasuk dalam salah satu tujuan
ataupun target pembangunan Milenium. Isu ini tampak tenggelam di bawah bayangbayang dominasi kesehatan secara umum. Padahal sebagian besar MDGs memiliki
keterkaitan tertentu dengan kesehatan mental, baik selaku sebab maupun akibat,
yakni kemiskinan dan kelaparan, gender dan pemberdayaan perempuan, kematian
balita, kesehatan ibu, penyakit menular, dan kelestarian lingkungan.
Hubungan tersebut didasarkan atas asumsi WHO (2001) yang memandang
bahwa kesehatan mental punya sejumlah faktor determinan, yaitu kemiskinan,
gender, usia, konflik sosial, bencana alam, penyakit berat, keluarga, dan lingkungan

sosial. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan delapan MDGs yang memiliki hubungan
multidimensional dengan kesehatan mental beserta faktor penyebabnya. Item dengan
cetak miring dan tebal adalah yang memiliki hubungan tertentu dengan kesehatan
mental.
2

8 MDGs in 2015:
1. Kemiskinan dan
kelaparan
2. Pendidikan dasar
3. Gender dan
pemberdayaan
perempuan
4. Kematian anak
5. Kesehatan ibu
6. Pemberantasan HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit
menular lain
7. Kelestarian lingkungan


Faktor determinan
kesehatan mental:
• Kemiskinan
• Gender
• Usia
• Konflik

Kesehatan
mental

• Bencana
• Penyakit berat
• Keluarga
• Lingkungan sosial
(WHO, 2001)

Gambar 2 Hubungan antara MDGs dan kesehatan mental beserta faktor determinannya

Seperti tampak pada Gambar 2, kemiskinan menjadi salah satu MDGs
sebagaimana juga menjadi faktor determinan kesehatan mental. Kesehatan mental

adalah satu wilayah dalam kesehatan secara umum karena kesehatan seperti
didefinisikan UU Kesehatan dan WHO, tidak hanya mencakup kesehatan fisik, tetapi
juga

mental.

Penjelasan

Anandita

(17

November

2011)

tentang

pembiayaan


kesehatan dan pengaruhnya terhadap pencapaian MDGs dapat mengilustrasikan
kaitan erat antara kemiskinan dan kesehatan. Dia mengutip ADB yang melaporkan
ada 78 juta orang di dunia terseret ke bawah garis kemiskinan karena harus
membayar biaya kesehatan secara tunai. WHO, seperti dikutip Anandita, bahkan
memperkirakan 5% penduduk di sejumlah negara akan jatuh menjadi miskin setiap
tahunnya karena masalah kesehatan.
Singkatnya, dari uraian tersebut Anandita menyimpulkan bahwa masalah
kesehatan dapat menjadi faktor pemicu kemiskinan, dan kemiskinan dapat membuat
orang lebih rentan terhadap masalah kesehatan, dan seterusnya. Anandita memang
tidak menyinggung kesehatan mental secara khusus, namun dalam lingkaran setan ini
problem kesehatan mental pasti kental turut mewarnai. Betapa tidak, problem
keuangan yang melilit seseorang, sebagai contoh, dapat membuat mentalnya
terganggu. Belum lagi bila jatuh sakit, sedih dan stres karena ketiadaan biaya
pengobatan akan membuat sakitnya tambah parah.

C. Penanganan Masalah Kesehatan Mental
Sebelum menjelaskan kesehatan mental dalam pencapaian MDGs lebih jauh, di
sini perlu dijelaskan terlebih dahulu kondisi penanganan isu ini di Indonesia. Kondisi
penanganan kesehatan mental di Indonesia secara umum tampaknya mirip seperti
3


yang dilaporkan WHO (2001) bahwa beban jumlah penderita dengan beban anggaran
sangat tidak berimbang. Sebagai gambaran, menurut WHO dari 450 juta penderita,
hanya sebagian kecil saja yang memperoleh perawatan, meskipun dalam bentuk
sangat dasar sekalipun. Di negara berkembang bahkan sebagain besar penderita
gangguan

mental-perilaku,

semacam

depresi,

demensia,

skizofrenia,

dan

ketergantungan obat, tidak tertangani. Lebih jauh dijelaskan, jumlah penderita

gangguan mental-perilaku sebesar 12% dari keseluruhan jenis penyakit, namun
anggaran buat penanganannya hanya 1% saja dari total anggaran belanja kesehatan.
Ini menunjukkan jumlah penderita dengan beban anggaran sangat tidak proporsional.
Itu terjadi karena Indonesia tidak memiliki kebijakan spesifik untuk penanganan
kesehatan mental. Sebenarnya pijakan hukum tentang kesehatan mental pernah lama
dibuat, yaitu UU No. 3/1966 tentang Kesehatan Mental. Namun UU ini tidak cukup
memadai untuk dijadikan payung hukum penanganan kesehatan mental yang memiliki
wilayah sangat luas dan kompleks. Selain itu, UU ini masih sangat bernuansa medis
yang dapat berimplikasi pada medikalisasi penanganan kesehatan mental.
Menarik untuk disinggung bahwa orang dengan gangguan mental serius
dimasukkan dalam nomenklatur penyandang cacat mental menurut UU Penyandang
Cacat No. 4/1997. UU ini praktis menjadi landasan pijak operasional Kementerian
Sosial (Kemensos) yang mengategorikan orang-orang dengan masalah mental ke
dalam kelompok penyandang cacat. Pasal 1 mendefinisikan kelompok ini sebagai
“setiap

orang

yang


mempunyai

kelainan

fisik

dan/atau

mental,

yang

dapat

mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya.” Mereka terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, dan
cacat fisik dan mental. Semuanya masuk dalam satu kategori atau nomenklatur
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan sebutan orang dengan
kecacatan (ODK). ODK hanya memasukkan kelompok penderita retardasi mental dan
eks-psikotik.

Penanganan bagi orang yang mengalami gangguan mental-emosional dilakukan
oleh dua institusi utama: 1) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan pendekatan
medis untuk kelompok target penderita masalah mental-emosional berat; dan 2)
Kemensos yang menggunakan pendekatan pekerjaan sosial dengan penekanan pada
aspek psikososial bagi penderita retardasi mental dan eks-psikotik. Kalau demikian
halnya, sejumlah gangguan mental-emosional lain seperti depresi, neurosis, frustrasi,
stres, fobi, kepanikan berlebih, trauma, atau masalah spiritual-religius yang umum
dialami masyarakat Indonesia tidak termasuk dalam skema penanganan oleh
pemerintah secara serius. Gangguan-gangguan seperti itu merupakan fenomena
umum yang dipicu sejumlah faktor seperti kemiskinan, pengangguran, kondisi

4

kesehatan buruk, perumahan tidak layak, penelantaran, penyakit kronis yang
mematikan, bencana alam, konflik sosial, kekerasan, penindasan, dan seterusnya.
Padahal faktor-faktor ini sesungguhnya masih menjadi persoalan besar bangsa ini.
Kemenkes memakai landasan pijak UU Kesehatan No. 36/2009. Pendekatan
medikal dan model institusional (hospital-based care) cukup dominan dilakukan oleh
kementerian ini. Profesi utama yang terlibat adalah dokter, perawat, dan psikiater. Di
beberapa rumah sakit jiwa milik pemerintah ada juga pekerja sosial, seperti di RS dr.
H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor ada lima pekerja sosial. Nomenklatur yang muncul
dalam Riskesdas adalah penderita gangguan mental-emosional dan gangguan jiwa
berat. Persentase keduanya di tahun 2007 hampir 12% dan anggarannya disatukan
dengan penyakit fisik yang lebih menjadi fokus utama Kemenkes dan dengan
persentase yang jauh lebih besar. Oleh karenanya, anggaran untuk kesehatan mental
itu sendiri menjadi tidak proporsional dan jauh lebih kecil dibanding untuk kesehatan
fisik.
Kemensos menggunakan UU Penyandang Cacat sebagai dasar. Penanganannya
lebih banyak berbasis institusional dengan pendekatan pekerjaan sosial melalui
intervensi psikososial. Sumber daya manusia yang terlibat juga terutama terdiri dari
pekerja sosial, perawat, dan psikolog. Ketika menggunakan metode manajemen
kasus, beberapa profesi lain seperti dokter, psikiater, dan ahli agama juga dilibatkan
dalam tim multidisiplin.
Dalam UU, usaha-usaha kesejahteraan sosial tidak saja menjadi tanggung jawab
pemerintah, tetapi juga masyarakat. Dalam hal kesehatan mental, masyarakat telah
banyak melakukan upaya penanganan melalui yayasan atau lembaga sosial baik
dengan model institusional maupun berbasis masyarakat. Pelayanannya lebih inklusif
karena mencakup segala jenis penderita mental, baik yang berat maupun ringan, dan
melibatkan banyak profesi, termasuk di antaranya pekerja sosial. Pendekatan mereka
lebih beragam dan inovatif. Sebagian ada yang menggunakan metode alternatif, yakni
dengan memanfaatkan tradisi atau praktek keagamaan dan spiritualitas. Sehingga,
lebih banyak penderita atau keluarga yang memiliki penderita memanfaatkan
pelayanan oleh masyarakat ini ketimbang dari pemerintah dengan berbagai alasan,
seperti masalah biaya, malu, takut terstigma negatif, tidak tercakup dalam kelompok
target, dan kekhawatiran tidak dihargainya pandangan atau keyakinan mereka.

D. Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Kesehatan Mental
Seperti dijelaskan di atas, penanganan kesehatan mental di Indonesia masih
bersifat reduksionistik. Padahal, landasan legal-formal telah mengadopsi pendekatan
yang lebih holistik yang mencakup tidak hanya aspek fisik dan mental, yang telah

5

sekian lama menjadi prioritas melalui perencanaan dan penganggaran hingga saat ini,
tetapi juga aspek sosial, intelektual, dan spiritual. Di samping alasan legal,
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang komunal, bukan individualis,
dimana hampir semua aktivitas dan upaya penyelesaian masalah selalu melibatkan
orang-orang sekitar.
Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan tradisi keagamaan dan praktik
spiritual yang secara teoretis merupakan kekuatan potensial untuk mengatasi
gangguan mental, emosional, dan perilaku. Sebagai gambaran, Nelson (2009)
berpendapat masyarakat tradisional Muslim pada umumnya meyakini gangguan
kesehatan mental sebagai akibat dari masalah spiritual atau lemahnya iman si
penderita, sehingga mereka lebih memilih datang ke pemimpin spiritual atau imam
mereka. Di samping itu, mereka juga punya pandangan negatif terhadap psikologi dan
sistem kesehatan mental karena stigma negatif yang akan dilekatkan ke penderita
gangguan mental dan juga kekhawatiran kalau pandangan religius mereka tidak akan
dihargai.
Bagian berikut akan menjelaskan pendekatan pekerjaan sosial yang telah sekian
lama terabaikan dalam arus utama penanganan kesehatan mental di negeri ini.
Padahal dalam sejarah, penanganan kesehatan mental sangat erat berkaitan dengan
profesi yang satu ini. Penanganan kesehatan mental merupakan salah satu bidang
dalam

upaya

pembangunan

kesejahteraan

sosial.

Salah

satu

pilar

penting

penyelenggaraannya adalah profesi pekerjaan sosial.
Hubungan antara pekerjaan sosial dan kesehatan mental memiliki latar belakang
sejarah yang panjang lebih dari seabad atau hampir sama dengan kemunculan disiplin
pekerjaan sosial itu sendiri di masyarakat Barat, yakni sejak akhir abad ke-19.
Menurut Heinonen dan Metteri (2005), aktivitas pekerjaan sosial pada masa itu telah
terjalin-kelindan dengan praktik medis dan psikiatri, khususnya yang menawarkan
pertolongan dan konseling bagi pasien rumah sakit tidak mampu. Baik dalam bidang
kesehatan (fisik) maupun kesehatan mental, pekerja sosial berupaya memromosikan
kesehatan, kesejahteraan (well-being), pertumbuhan, dan perubahan baik di tingkat
individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas.
Meskipun sama-sama menangani masalah kesehatan mental, keduanya berbeda
dari sisi pendekatan atau model. Menurut Pritchard (2006), perbedaan inilah yang
menyebabkan hubungan panjang itu selalu diwarnai kontroversi antara dua kubu yang
berbeda. Dua kubu tersebut yakni model atau pendekatan medikal dan psikiatri
dengan

pendekatan

pekerjaan

sosial

atau,

menurut

Zastrow

(2004),

model

interaksional.

6

Kubu pertama menjelaskan kondisi terganggunya tingkah laku (atau tingkah
laku yang mengganggu) sebagai akibat dari gangguan fisik tertentu (Pritchard, 2006).
Model medikal memandang masalah tersebut sebagai penyakit mental, sebagaimana
mereka menyebut penyakit fisik. Penyebabnya bisa karena keturunan, kekacauan
metabolik, penyakit menular, konflik batin, penggunaan bawah sadar sebagai
mekanisme bertahan, pengalam traumatik waktu anak-anak, dan lain-lain (Zastrow,
2004).
Model kedua, pendekatan pekerjaan sosial, dengan akar ilmu-ilmu sosial dan
behavioral menawarkan perspektif yang berbeda tentang mereka yang terstigma
sebagai orang aneh, tidak normal, atau “outsiders” (Pritchard, 2006). Model ini
merupakan bentuk kritik terhadap pendekatan medikal. Kritik ini pertama kali muncul
dekade 1950-an oleh Thomas Szasz, yang menganggap penyakit mental hanyalah
mitos. Teorinya menekankan pada proses interaksi sosial sehari-hari dan pengaruh
pemberian label. Menurut Szasz, seperti dikutip Zastrow (2004), implikasi menyebut
penyakit mental adalah berarti ada penyakit dalam pikiran atau jiwa seseorang, dan
itu sangat tidak tepat.
Selaras dengan pendekatan pekerjaan sosial terhadap kesehatan mental yang
dimaksud Pritchard (2006) dan model interaksional menurut Thomas Szasz, KirstAshman (2010) menyarankan para pekerja sosial untuk berpikir kritis terhadap
panduan diagnostik oleh APA yang sangat bernuansa medikal. Ada dua hal yang
menjadi alasan Kirst-Ashman untuk bersikap kritis. Pertama, penekanan panduan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada patologi atau
kelemahan individu berarti mengabaikan kekuatan mereka. Pengategorian tersebut
juga kurang memperhatikan pentingnya lingkungan bagi individu. Kedua, masalah
pemberian label (labeling) menurut kriteria tertentu, padahal belum tentu sama atau
dipandang berbeda menurut standar yang lain.
Model interaksional yang diusung Thomas Szaz atau kritisisme Kirst-Ashman
terhadap

model

medikal

merupakan

ciri

khas

pekerjaan

sosial

yang

sangat

menekankan sisi kekuatan atau potensi si penderita ketimbang sisi patologis atau
kelemahannya. Ciri khas lain adalah bahwa praktik pekerjaan sosial tidak saja fokus
pada si penderita masalah mental, namun yang tidak kalah penting adalah lingkungan
sosialnya. Model semacam ini dikenal sebagai individu dalam lingkungan atau personin-environment (PIE).

E. Signifikansi Kesehatan Mental dalam Pencapaian MDGs
Selanjutnya, di sini patut dijelaskan sejumlah alasan mengapa isu kesehatan
mental

semestinya

dipertimbangkan

dalam

upaya-upaya

mewujudkan

tujuan

7

Deklarasi Meilenium. Alasan tersebut di antaranya adalah tingginya jumlah penderita
gangguan mental-emosional di dunia dan juga di Indonesia, alasan yuridis formal, dan
alasan konseptual.

1. Fakta Penderita Masalah Kesehatan Mental
Di awal Milenium ke-21 ini, WHO (2001) melaporkan ada sekitar 450 juta orang
di

dunia

menderita

gangguan

mental

dan

tingkah

laku.

Lebih

detail

WHO

memperkirakan tahun 2008 dan 2010 angka penderita depresi berturut-turut berkisar
154 juta dan 151 juta jiwa; penderita skizofrenia 25 juta dan 26 juta; orang dengan
pengaruh alkohol 91 juta dan 125 juta; orang terpengaruh penyalahgunaan NAPZA
ada 15 juta (2008); penderita epilepsi 50 juta dan 40 juta; penderita alzheimer dan
gangguan demensia lain 24 juta (2008 dan 2010); dan orang meninggal bunuh diri
ada 877 ribu dan 844 ribu setiap tahunnya (WHO & Wonca, 2008; WHO, 2010).
Gangguan mental, emosional, dan perilaku juga banyak dijumpai di Indonesia,
dari yang ringan sampai berat. Fobi air laut, kecemasan berlebih, depresi, stres,
panik, dan trauma, misalnya, adalah fenomena umum setelah tsunami atau gempa
yang kerap menimpa bangsa ini. Kondisi sosial-ekonomi Indonesia yang semakin sulit,
seperti pengangguran, kemiskinan, tindak kekerasan, ketelantaran, keterasingan, dan
ketertindasan, juga menjadi akar penyebab utama timbulnya gangguan mental di
masyarakat. Bahkan penderita HIV/AIDS dan korban penyalahgunaan NAPZA pun
banyak yang mengalami gangguan mental-emosional semacam perasaan terasing
atau terkucil, terbuang, terdiskriminasi, kekosongan atau kehampaan, tidak berguna,
atau perasaan bersalah.
Jumlah penderita gangguan mental di Indonesia tidak bisa dihitung secara pasti
karena masalah mental dari stres ringan hingga yang paling berat umum dialami
orang. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan Kementerian
Kesehatan

(Kemenkes)

menunjukkan

persentase

penderita

gangguan

mental-

emosional sebesar 0,46% dan gangguan jiwa berat sebesar 11,6%. Data persentase
penderita gangguan mental tampak tidak terlalu signifikan, namun mengingat
fenomena gunung es jumlah penderita yang sebenarnya jauh lebih besar. Ini bisa
dipahami karena kebanyakan penderita atau keluarga yang anggotanya terkena
gangguan cenderung menutupi-nutupi karena malu dan sering kali menjadi sasaran
stigma atau diskriminasi. Para penderita juga kadang mengabaikan gangguan mentalemosional yang dialami, terutama gangguan ringan, karena menganggapnya masih
lumrah dan tidak berbahaya.
Di

samping

itu,

apabila

dikaitkan

dengan

laporan

WHO

(2001)

yang

menyebutkan beberapa determinan gangguan penyebab mental-perilaku seperti

8

disebutkan di atas dan lingkaran setan kemiskinan-kesehatan mental, realitas dan
data yang ada tampaknya bisa menjadi petunjuk tingginya jumlah penderita
gangguan tersebut. Sebagai contoh, faktor konflik sosial dan bencana alam di
Indonesia menjadi berita sehari-hari di media massa. Untuk contoh ekstrim, tsunami
26 Desember 2004 yang melanda Aceh telah merenggut nyawa sekitar 250 ribu jiwa.
Kondisi mental korban selamat menjadi terganggu karena mengalami ketakutan akan
kematian, kehilangan orang-orang tercinta, kehilangan atau kerusakan harta-benda,
kesulitan secara fisik (disabilitas), rusak atau bahkan hilangnya pranata sosial, dan
kesulitan

ekonomi. Jumlah

mereka

yang

mental, emosional, dan

perilakunya

terganggu seperti ini tentu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang jumlah korban
meninggal.

2. Landasan Hukum Penanganan Mental di Indonesia
Setiap upaya pelayanan untuk penderita masalah mental memiliki tujuan utama
mewujudkan kondisi sejahtera, bahagia, sehat, dan sentosa. Istilah bahasa Inggris
yang dapat mengambarkan kondisi tersebut adalah well-being, wellness, social
welfare, atau health. Tujuan lain dari pelayanan semacam itu adalah mewuujudkan
kemandirian, ketahanan, atau perkembangan. Tujuan-tujuan tersebut dijamin negara
melalui seperangkat kebijakan dan program, khususnya Undang-Undang (UU) tentang
kesejahteraan sosial dan tentang kesehatan.
UU kesejahteraan sosial, baik UU lama No. 6/1974 dan penggantinya No.
11/2009, pada prinsipnya mendefinisikan istilah kesejahteraan sosial (social welfare)
sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan fisik, spiritual, dan sosial terpenuhi. UU No.
4/1997 tentang Penyandang Cacat, yang di dalamnya memasukkan penderita
gangguan mental-emosional berat ke dalam penyandang cacat mental, juga merujuk
ke kesejahteraan sosial menurut UU Kessos 1974 terkait tujuan penanganannya.
Aspek spiritual secara eksplisit disebutkan bersamaan dengan aspek fisik dan sosial,
namun tidak menyebut aspek mental atau psikologis. Akan tetapi, penjelasan UU ini
dan peraturan-peraturan terkait masih melulu berputar-putar pada biopsikososial,
tanpa penjelasan terang-benderang apa yang dimaksud dengan aspek spiritual itu.
Dalam sejumlah penjelasan dan peraturan, aspek spiritual dalam UU kesejahteraan
sosial tampak disalahpahami. Aspek ini sering disilihgantikan dengan aspek mental
dan/atau psikologis. Terlepas dari ketidakjelasan ini, pada prinsipnya kesejahteraan
sosial yang dimaksud UU ini merujuk ke suatu kondisi yang memperhatikan aspekaspek yang agak lebih menyeluruh.
Begitu juga UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi landasan
untuk mewujudkan kesehatan manusia Indonesia. Di dalamnya kesehatan diartikan

9

sebagai “keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dalam salah satu konsideran UU ini, kesehatan merupakan salah satu unsur
kesejahteraan. WHO pun telah memasukkan aspek spiritual bersama aspek-aspek
penting manusia lain sejak 1946. Menurut badan PBB ini, kesehatan adalah “sebuah
kondisi optimalnya kesehatan jasmani, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dan
tidak hanya hilangnya penyakit atau kelemahan” (Meier et al., 2005, p. 1). Jelas
kiranya bahwa definisi kesehatan lebih komplit dengan memasukkan aspek mental,
intelektual, dan emosional ketimbang definisi kesejahteraan sosial di atas. Ironisnya,
impelementasi pelayanan kesehatan mental didominasi model biomedikal dan/atau
psikososial yang lebih menekankan aspek fisik, mental, dan sosial.

3. Pentingnya Kesehatan Mental dalam Kesehatan secara Umum
Meskipun
pembangunan

kesehatan
Milenium,

mental
terdapat

tidak

secara

sejumlah

spesifik

tujuan

masuk

dalam

yang berhubungan

tujuan
dengan

kesehatan: mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; dan memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain. Terkait pandangan para ahli bahwa
ragam dimensi dalam diri manusia saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu
sama lain, di sini dapat dikatakan kesehatan jasmani seseorang akan mempengaruhi
kondisi mentalnya. Begitupun sebaliknya, masalah kejiwaan seseorang mungkin dapat
memperburuk kondisi fisiknya. Dengan kata lain, problem kesehatan fisik dan mental
saling berjalin-kelindan sebagaimana disimpulkan WHO dan Wonca (2008). Lihat
Gambar 3 berikut ini:

Kesehatan
Mental

Kesehatan
Fisik

Gambar 3 Hubungan sebab-akibat antara kesehatan mental dan kesehatan fisik

Untuk memahami lebih jauh hubungan tersebut, konsep neurosis yang dibuat
pakar psikologi eksistensialis, Viktor E. Frankl (2004), mungkin dapat membantu
secara konseptual. Seperti tampak pada Tabel 1 di bawah, baik mental-psikologis
maupun fisik dapat bertindak sebagai penyebab atau genesis (sumbu datar etiologi)
maupun selaku akibat atau gejala (sumbu vertikal simptomotologi). Tatkala kondisi
kejiwaan (psikogenik), seperti stres dan kecemasan, menyebabkan atau memicu
10

penyakit fisik (feno-somatik), seperti hipertensi atau diabetes, namanya Neurosis
Somatis

atau

umumnya

disebut

Psikosomatis.

Kasus

lain

ketika

kejadiannya

sebaliknya, seseorang yang menderita penyakit kronis dapat menjadi penyebab atau
memicu (somatogenik) masalah mental semacam frustrasi, ketakutan akan kematian,
putus asa, dan sejenisnya (feno-psikologis). Kasus yang kedua ini dinamakan Psikosis.
Tabel 1 Bentuk-bentuk Neurosis dilihat dari asal-usul dan gejalanya

Etiologi

Simptomotologi
Feno-psikologis

Feno-somatik

Somatogenik

Psikosis

Penyakit fisik “biasa”

Psikogenik

Psikoneurosis

Neurosis somatis

Sumber: Frankl (2004, p. 44)

Selaras dengan alasan-alasan teoretis dan faktual yang dikemukakan tadi, WHO
(2001) telah mengusulkan agar pelayanan kesehatan mental diintegrasikan dengan
penanganan kesehatan secara umum, di samping alasan beban terlalu berat untuk
menangani tingginya jumlah dan kompleksnya masalah gangguan mental (p. 9). Oleh
karena itu, isu kesehatan mental tidak selayaknya dipinggirkan dalam pencapaian
MDGs, khususnya terkait tujuan-tujuan yang berhubungan dengan bidang kesehatan.
Hal ini tidak saja karena tingginya jumlah penderita gangguan mental, akan tetapi
juga eratnya kaitan antara kesehatan mental dengam kemiskinan dan juga kelestarian
lingkungan, yang keduanya termasuk dalam tujuan MDGs pula. Seperti telah
dijelaskan, kemiskinan dan lingkungan adalah determinan bagi kondisi mental dan,
sampai tahap tertentu, kesehatan mental juga dapat menjadi faktor pengaruh atau
menyebabkan kemiskinan dan perusakan lingkungan.
F. Kesimpulan
Pada intinya, uraian di atas secara keseluruhan hendak meyakinkan betapa
penting kedudukan isu kesehatan mental dalam mewujudkan MDGs yang target
waktunya tinggal tersisa tiga tahun saja hingga 2015. Dengan begitu, di sini tidak ada
pretensi untuk memastikan atau menjanjikan bahwa apabila isu kesehatan mental
beserta pendekatan pekerjaan sosialnya yang non-reduksionistik turut dipromosikan,
maka kemudian tujuan-tujuan pembangunan Milenium bidang kesehatan akan dapat
terwujud.
Sebaliknya, MDGs tahun 2015 yang penuh angka-angka itu tidak harus menjadi
patokan

dengan

menyadari

keterbatasan

kemampuan

pemerintah

Indonesia.

Jangankan mengejar target waktu tersisa, telah lebih dari satu dasawarsa pun
11

tampaknya

belum

menunjukkan

capaian

yang

memuaskan.

Oleh

karena

itu,

pandangan atau masukan dalam artikel ini harus diletakkan dalam kerangka waktu
panjang ke depan, sementara upaya-upaya mewujudkan MDGs yang lewat menjadi
pelajaran berharga bagi bangsa ini. Dengan kata lain, ketimbang terpaku pada MDGs
yang disepakati bersama 188 negara lain di dunia, Indonesia sebaiknya membuat
perencanaan dan program yang melampaui (go beyond) batas waktu MDGs pada
2015 nanti.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan paling tidak ada tiga tantangan
atau penghalang besar (barrier) untuk memastikan bahwa isu kesehatan mental dan
pendekatan pekerjaan sosial mesti dipertimbangkan untuk mendukung efektivitas
pencapaian MDGs. Tiga barrier tersebut kurang-lebih dapat diilustrasikan dalam
Gambar 4.

Pendekatan
Holistik

Marginalisasi level 3

Barrier 3
Fokus psikososial

Pendekatan Pekerjaan
Sosial

Model biomedikal

Marginalisasi level 2

Barrier 2
Marginalisasi level 1

Kesehatan Mental

Barrier 1
Mainstream kesehatan fisik

MDGs in 2015

Gambar 4 Penghalang besar bagi isu kesehatan mental, pendekatan
pekerjaan sosial, dan perspektif holistik dalam pencapaian MDGs

Pertama, kesehatan mental tidak termasuk isu utama dalam Dekalarasi Milenium
yang disepakati 189 negara. Padahal WHO dan, terutama, UNCRPD (Konvensi PBB
tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas) telah menjadikan isu ini sebagai arus
utama. Kedua, seandainya kesehatan mental diperhatikan dalam pencapaian MDGs
untuk sisa tiga tahun terakhir, pekerjaan sosial masih menjadi profesi yang dipandang
sebelah mata dalam penanganan gangguan mental. Padahal pengetahuan dan
keahlian profesi ini tidak kalah penting dibanding profesi-profesi lain. Ini terjadi
12

karena model dominan yang dipakai dalam penanganan kesehatan mental adalah
biomedikal. Terakhir, arus utama pekerjaan sosial yang dipraktikkan di Indonesia
masih berkutat pada pendekatan reduksionistik psikososial yang agak menepikan
aspek-aspek penting lain, seperti intelektual, spiritual, dan agama. Padahal, secara
yuridis formal pandangan holistik terhadap manusia seutuhnya telah diadopsi, yang
seharusnya jadi landasan pijak utama dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Masing-masing barrier, seperti tampak pada gambar 4 di atas, juga dapat
dikatakan merepresentasikan tingkatan marginalisasi isu atau pendekatan. Sebagai
contoh penjelasan, untuk memasukkan pendekatan pekerjaan sosial pada lingkup
kesehatan mental ke dalam upaya-upaya pencapaian MDGs bidang kesehatan,
pendekatan ini harus menghadapi dua penghalang besar, yaitu barrier 2 (model
dominan biomedikal dalam kesehatan mental) dan barrier 1 (arus utama kesehatan
fisik dalam MDGs). Artinya, marginalisasi terhadap pendekatan pekerjaan sosial dalam
MDGs ada di tingkat 2. Begitupun misalnya untuk pendekatan holistik, akan ada tiga
penghalang besar, yakni barrier 1-3, apabila hendak turut-serta dipromosikan ke
dalam upaya pencapaian MDGs.

G. Rekomendasi
Dalam artikel ini

diajukan tiga rekomendasi

sebagai

berikut. Pertama,

Indonesia mempunyai angka penderita gangguan mental yang tinggi yang disebabkan
atau dipicu oleh serangkaian faktor penyebab yang juga masih menjadi persoalan
besar di negara ini, seperti kemiskinan, bencana, konflik, kekerasan, dan kecelakaan.
Oleh karena itu, kebijakan khusus tentang penanganan kesehatan mental mendesak
untuk dibuat. Atau kalau tidak, alternatif lainnya adalah dengan membuat aturan
penjelas di bawah UU Kesehatan, yang baru beberapa tahun disahkan, yang mampu
mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam penanganan kesehatan secara umum.
Kedua,

di

sini

sangat

direkomendasikan

untuk

mengembangkan

model

penanganan kesehatan mental dengan menggunakan pendekatan pekerjaan sosial
yang sensitif terhadap kultur lokal, termasuk di dalamnya spiritualitas dan agama.
Pendekatan semacam ini dapat dibangun melalui penelitian dengan mengeksplorasi
konteks dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Grounded theory tampaknya bisa
menjadi strategi menguntungkan karena, menurut Sherman dan Reid (1994), metode
ini cukup menjanjikan untuk membangun teori dan pengetahuan pekerjaan sosial
bermuatan kultur lokal. Oleh Shaw dan Gould (2001), grounded theory dikatakan
dapat menjadi stimulus bagi penelitian yang dilakukan secara bersamaan dengan
praktik pekerjaan sosial. Bahkan Denzin dan Lincoln (1994) menganggapnya sebagai
sebuah revolusi dalam penelitian kualitatif. Namun perlu dicatat di sini bahwa

13

grounded theory akan lebih baik dipakai dalam penelitian kualitatif, ketimbang tradisi
kuantitatif, bersama-sama dengan paradigma konstruktivis terkait eksplorasi terhadap
pemahaman (verstehen) dan pengalaman yang bersifat subjektif berdasarkan sudut
pandang pelaku, baik praktisi maupun pemanfaat layanan.
Ketiga, upaya-upaya dalam pencapaian MDGs hingga tahun 2015, khususnya
tiga tujuan bidang kesehatan, akan lebih baik apabila mengadopsi perspektif holistik
yang memandang totalitas manusia secara utuh, tidak terbagi-bagi. Berkaitan dengan
isu yang diangkat dalam artikel ini, di sini dapat diklaim bahwa efektivitas programprogram kesehatan jasmani, atau kesehatan mental, tidak akan optimal apabila aspek
sosial dan spiritual dipandang sebagai perkara yang remeh-temeh. Begitupun
sebaliknya, penekanan terhadap aspek sosial dan spiritual dalam penanganan problem
gangguan mental bukan berarti aspek-aspek lain menjadi kurang relevan. [ ]

Referensi
Anandita, W. (November 17, 2011). Pembiayaan Kesehatan; Pengaruhnya dalam
Pencapaian MDGs. In www.mdgsindonesia.org (diakses 30 Maret 2012)
Cox, D. (1996). Focusing on Poverty: Enhancing Social World’s Developmental
Relevance Through Poverty Alleviation Programs. The Journal of Applied Social
Sciences, 21 (1), Fall/Winter, 27-36.
Denzin, N. & Lincoln, Y. (1994). Introduction: Entering the Field of Qualitative
Research. Dalam N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative
Research (pp. 1-17). California: Sage Publications, Inc.
Frankl, V. E. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction
to Logotherapy and Existential Analysis. 8th Edition. Terj. James M. DuBois. New
York dan Hove: Bruner-Routledge.
Heinonen T. & Metteri, A. (2005). Social Work in Health and Mental Health: Issues,
Developments, and Actions. Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Kirst-Ashman, K. K. (2010). Introduction to Social Work & Social Welfare: Critical
Thinking Perspective. 3rd Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Meier, A., O’Connor, T., & VanKatwyk, P. L. (2005). Introduction. Dalam A. Meier, T.
S. O’Connor, & P. L. VanKatwyk (Eds.). Spirituality & Health: Multidisciplinary
Explorations (pp. 1-8). Ontario: Wilfrid Laurier University Press.
Nelson, J. M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valparaiso, USA: Springer
Science + Business Media, LLC.
Pritchard C. (2006). Mental Health Social Work: Evidence-Based Practice. London &
New York: Routledge.
Shaw, I. & Gould, N. (2001). A Review of Qualitative Research in Social Work. Dalam
Shaw dan N. Gould (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 32-46).
London: Sage Publications, Ltd.
Sherman, E. & Reid, W. (1994). Introduction: Coming of Age in Social Work - The
Emergence of Qualitative Research. Dalam E. Sherman dan W. Reid (Eds.),
Qualitative Research in Social Work (pp. 1-15). New York: Columbia University
Press.
Stiglitz, J. E. (2006). Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Company,
Inc.

14

Tveitdal, S. (2002). Special Issue for the Johannesburg Summit. Environment and
Poverty
Times.
No.
1
First
Issue,
August
2002.
Diakses
dari
http://www.povertymap.net/ publications/povertytimes/01/
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa.
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
WHO (2001). The World Health Report 2001. Mental Health: New Understanding, New
Hope. Geneva: WHO Press.
WHO & Wonca (2008). Integrating Mental Health into Primary Health Care: A Global
Perspective. Singapore: WHO Press.
WHO (2010). Mental Health and Development: Targeting People with Mental Health
Conditions as a Vulnerable Group. Geneva: WHO Press.
Zastrow, C. (2004). Introduction to Social Work and Social Welfare. 8th Edition.
Belmont, CA: Brooks/Cole-Thomson Learning.

15