PERDA KOTA BIMA NO 12 TAHUN 2010

J A L A B O
M A

DA H U

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA
NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BIMA,
Menimbang : a.

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, daerah berwewenang mengelola
sumber daya alam bidang pertambangan mineral logam, bukan logam dan
batuan yang tersedia diwilayahnya sesuai dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku;

b.

bahwa bahan galian mineral logam, bukan logam dan batuan merupakan

sumber pendapatan daerah yang potensial dan dapat diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi pembiayaan pembangunan, pemerintahan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b diatas, perlu
ditetapkan Peraturan Daerah Kota Bima yang mengatur tentang pengelolaan
usaha pertambangan.

: 1.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970) Nomor 1 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2918);

2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1990 Nomor 449 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

3.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima di
Propinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4418);

4.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

5.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008

tentang Perubahan Ke dua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);

6.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4438);

7.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4959);

Mengingat


8.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja dibidang Pertambangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3003);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan
Galian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3174);
11. Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4314);
13. Peraturan Pemerintah
Pertambangan

Nomor

22

Tahun

2010

tentang

Wilayah

14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
15. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung

16. Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 6 tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2007
Nomor 6);
17. Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2008
Nomor 6);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BIMA
Dan
WALIKOTA BIMA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

PERATURAN
DAERAH
PERTAMBANGAN

TENTANG

PENGELOLAAN


USAHA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.
Daerah adalah Daerah Kota Bima
2.
Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah
3.
Kepala Daerah adalah walikota Bima
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bima
5.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Unit kerja yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi dibidang pertambangan di Kota Bima


6.

7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

18.

19.
20.

21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan,
baik dalam bentuk lepas atau padu.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau
batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batuan

yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta pascatambang
Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan.
Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP
Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
wilayah dan investasi terbatas.
Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP
tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi
geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber

daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup.
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh
informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan
ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak
lingkungan serta perencanaan pascatambang.
Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta
sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh
fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral
dan pengikutnya serta batuan.
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan
mutu mineral serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan
batuan dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan.
Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan
mineral dan batuan.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan
untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki
potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP
yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUP.
Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP
tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

30.

31.
32.
33.
34.

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak
besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan
Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan
Sumbangan Pihak Ketiga kepada daerah adalah pemberian pihak ketiga kepada daerah
dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pembangunan daerah, baik berupa uang atau
barang bergerak atau tidak bergerak.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Pertambangan mineral logam, bukan logam dan batuan dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan daerah;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan daerah yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan
mineral logam, bukan logam dan batuan adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral logam, bukan logam dan batuan sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu
bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral
logam, bukan logam dan batuan.
BAB III
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 4
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam bidang pertambangan adalah
meliputi :
a. Menyusun data dan informasi tentang usaha pertambangan;
b. Memberikan IUP dan IPR mineral logam, bukan logam dan batuan;
c. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan IUP dan IPR;
d. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan
termasuk reklamasi lahan pascatambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah
terhadap usaha pertambangan mineral logam, bukan logam dan batuan;
e. Melakukan penertiban kegiatan pertambangan.
f. Melakukan pengendalian dan pengawasan kegiatan Pertambangan mineral logam, bukan
logam dan batuan sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan yang berlaku,

Pasal 5
Berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pasal 4 diatas walikota
dapat :
1. Mengusulkan Wilayah Pertambanggan kepada menteri;
2. Mengusulkan WUP kepada menteri melalui gubernur setelah mendapatkan penetapan WP
dari menteri;
3. Menetapkan WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan
4. Menentukan wilayah yang tertutup untuk pertambangan mineral logam, bukan logam dan
batuan;
5. Ketentuan wilayah tertutup sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan walikota.
Pasal 6
(1) Walikota untuk kepentingan pembangunan daerah dapat mencabut/membatalkan izin
Pertambangan yang ada;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis kepentingan pembangunan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB IV
JENIS USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 7
Jenis Usaha Pertambangan meliputi :
a.
pertambangan mineral logam, terdiri dari : emas, mangan, galena
b. pertambangan mineral bukan logam, terdiri dari : pasir kuarsa, batu gamping, tawas, garam
batu
c. pertambangan batuan, terdiri dari : marmer, tanah serap, andesit, granit, tanah liat, tanah
urug, batu apung, batu gunung, kerikil batuan dari bukit, kerikil sungai, batu kali, pasir urug,
kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah
merah, batu gamping, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam
dan bukan logam.
Pasal 8
Jenis usaha pertambangan selain yang dimaksud pada pasal 7 diatas, tetap mengacu pada
Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 9
1.
2.

Usaha pertambangan dilakukan setelah memperoleh IUP dari Walikota.
IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. IUP dan atau IUPK :
1. IUP dan atau IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan;
2. IUP dan atau IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
b. IPR
BAB VI
TATA CARA MEMPEROLEH IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10

Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
a. administratif;

b.
c.
d.

teknis;
lingkungan; dan
finansial.
Pasal 11

1. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk badan
usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam :
1. surat permohonan;
2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil badan usaha;
3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang
telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
2. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk koperasi
meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam :
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil koperasi;
3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus; dan
6. surat keterangan domisili.
3. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk orang
perseorangan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam :
1. surat permohonan; dan
2. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. nomor pokok wajib pajak; dan
4. surat keterangan domisili.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk perusahaan
firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil perusahaan;
3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan

6.

surat keterangan domisili.
Pasal 12

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk:
a.

IUP Eksplorasi, meliputi:
1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi
yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional.

b.

IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan system informasi geografi yang berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi;
3. laporan studi kelayakan;
4. rencana reklamasi dan pascatambang;
5. rencana kerja dan anggaran biaya;
6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi;
dan
7. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling
sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 13

Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi:
a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
2. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d untuk:
a.

IUP Eksplorasi, meliputi:
1. bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan
2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral
logam sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya
pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan
logam atau batuan atas permohonan wilayah.

b.

IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi
pemenang lelang WIUP yang telah berakhir.
Bagian Kedua
Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 15

(1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan apabila telah
mendapatkan IPR.
(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis; dan
c. persyaratan finansial.

(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk:
a. orang perseorangan, paling sedikit meliputi:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. komoditas tambang yang dimohon; dan
4. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat.
b. kelompok masyarakat, paling sedikit meliputi:
1. surat permohonan;
2. komoditas tambang yang dimohon; dan
3. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat.
c. koperasi setempat, paling sedikit meliputi:
1. surat permohonan;
2. nomor pokok wajib pajak;
3. akte pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. komoditas tambang yang dimohon; dan
5. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan
yang memuat paling sedikit mengenai:
a. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;
b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah
tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan
c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.
(5) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa laporan
keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.
Pasal 16
Disamping memenuhi persyaratan secara umum, pemohon IUP atau IPR harus melampirkan
laporan estimasi produksi perbulan bahan mineral logam, bukan logam dan batuan.
BAB VII
LUAS WILAYAH
Pasal 17
(1) Pemegang IUP eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000
(lima ribu) Hektar dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) Hektar
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak
25.000 (dua puluh lima ribu) Hektar
(3) IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 8 (delapan) tahun.
(4) IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 8 (delapan) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun
(5) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga)
diajukan kepada walikota selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa
berlaku IUP operasi produksi bersangkutan
Pasal 18
(1) Pemegang IUP eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500
(lima ratus) Hektar dan paling banyak 25.000 (dua puluh rima ribu) Hektar
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling
banyak 5.000 (lima ribu) Hektar.
(3) IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun

(5) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga)
diajukan kepada walikota selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa
berlaku IUP operasi produksi bersangkutan
Pasal 19
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) Hektar
dan paling banyak 5.000 (lima ribu) Hektar
(2) Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP paling banyak 1.000 (seribu) Hektar
(3) IUP eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun.
(4) IUP operasi produksi untuk pertambangan batuan tertentu dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5
(lima) tahun
(5) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga)
diajukan kepada walikota selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa
berlaku IUP operasi produksi bersangkutan
Pasal 20
(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada :
a. Perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar
b. Kelompok masyarakat paling banyak 5 (hektar) dan/atau
c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
BAB VIII
PENAMBANGAN BATUAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
(1) Setiap kegiatan penambangan batuan harus memiliki izin dari Walikota.
(2) Bentuk-bentuk izin sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas dikelompokkan :
a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan
b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan
Bagian Kedua
Izin Usaha Pertambangan Batuan
Pasal 22
(1) IUP batuan terdiri dari IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
(2) Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi
dan studi kelayakan.
(3) Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian termasuk pengangkutan dan penjualan.
Pasal 23
(1)
(2)
(3)
(4)

Tata cara dan persyaratan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan
diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Jangka Waktu Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi batuan adalah maksimal 3
(tiga) Tahun.
Jangka Waktu Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi batuan adalah maksimal
5 (lima) Tahun dan dapat diperpanjang kembali sebanyak 2 kali masing-masing 5 Tahun.
Apabila pemegang Izin setelah jangka waktu 6 (enam) bulan, tidak melakukan kegiatan
penambangan, Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan peringatan
secara tertulis kepada pemegang izin.

(5)

Apabila setelah diberikan peringatan, pemegang izin tidak juga melaksanakan kegiatan,
maka sesuai kewenangannya Walikota dapat mencabut IUP tersebut.

Bagian Ketiga
Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Pasal 24
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) terdiri dari :
a. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan kepada Kelompok penambangan rakyat
b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan kepada Koperasi dan
c. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan kepada orang pribadi.
Pasal 25
(1) Tata cara dan persyaratan untuk mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan
diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
(2) Jangka Waktu Izin Pertambangan Rakyat (IPR) batuan adalah selama 3 (tiga) Tahun, dan
dapat diperpanjang kembali.
(3) Lokasi penambangan batuan yang akan diberikan izin, harus terlebih dahulu disurvey oleh
Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
(4) Penambangan yang berpotensi mengancam keselamatan lingkungan dan penduduk sekitar
dapat dihentikan.
(5) Setiap badan usaha atau koperasi yang mengambil dan mengolah batuan menjadi produk
yang dapat dijual dikenakan pungutan lain-lain daerah yang sah setiap tahun.
Bagian Keempat
Tata Cara Penambangan
Pasal 26
(1) Tata cara penambangan, khusus untuk kelompok penambangan rakyat harus memenuhi
kemiringan jenjang sebagai berikut :
a. Untuk batuan keras adalah 70 - 80 dengan perbandingan dimensi jenjang satu
berbanding tiga dan 50 - 60 dengan perbandingan jenjang satu berbanding dua.
b. Untuk batuan rapuh atau retak adalah 40 - 50 dengan perbandingan dimensi jenjang
satu berbanding satu.
c. Untuk batuan lepas atau lunak adalah 35 - 45 dengan perbandingan dimensi jenjang
adalah tiga berbanding satu.
(2) Walikota dapat menghentikan kegiatan penambangan yang tidak memenuhi tata cara
penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud ayat 2 dilakukan setelah diberikan
pembinaan dan atau peringatan terlebih dahulu kepada kelompok penambang.
(4) Kegiatan usaha penambangan yang dilakukan didekat fasilitas umum harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar pekuburan dan prasarana
peribadatan minimal berjarak 50 meter.
b. Lokasi usaha penambangan yang berada disepanjang jalan umum minimal berjarak 50
meter
c. Lokasi usaha penambangan yang berada disepanjang jaringan irigasi minimal berjarak
20 meter
d. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar tiang listrik minimal berjarak 10 meter
e. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar pemukiman atau pabrik minimal
berjarak 100 meter
f. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar danau atau waduk minimal berjarak
100 meter
g. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar mata air minimal berjarak 200 meter
h. Lokasi usaha penambangan yang berada disekitar bendung atau jembatan minimal
berjarak 1000 meter dibawah dan 500 meter diatas.
i. Lokasi usaha penambangan yang berada di sepanjang alur sungai hanya diperbolehkan
dilakukan penggalian ditengah sungai dengan lebar penggalian sebesar setengah (1/2)
dari lebar sungai
BAB IX

REKLAMASI
,Pasal 27
(1) Setiap kegiatan usaha pertambangan wajib melakukan reklamasi sebagaimana yang
ditetapkan dalam dokumen lingkungan.
(2) Untuk terjaminnya pelaksanaan kegiatan reklamasi dan pengelolaan lingkungan pada
kegiatan pertambangan, pemegang izin usaha pertambangan diwajibkan menyetor dana
jaminan reklamasi dengan rekening khusus pada Bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota
Bima.
(3) Tata cara penyetoran dan pencairannya diatur dengan Peraturan Walikota.
(4) Jaminan reklamasi sebagaimana di maksud pada ayat (2), hanya dikenakan pada
pemegang izin usaha pertambangan.
(5) Besarnya nilai jaminan reklamasi ditentukan berdasarkan perhitungan nilai kerusakan yang
timbul akibat kegiatan penambangan.
(6) Perhitungan nilai kerusakan sebagaimana di maksud pada ayat (5) ditetapkan oleh
Walikota.
(7) Pelaksanaan reklamasi dan pengelolaan lingkungan pada lahan bekas pertambangan
berpedoman pada rencana tata ruang wilayah dan/atau mengikuti perencanaan peruntukan
wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan permintaan
masyarakat setempat.
BAB X
KEWAJIBAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Jaminan Kesungguhan
Pasal 28
(1) Pemegang IUP wajib menyetor uang jaminan kesungguhan.
(2) Besarnya uang jaminan kesungguhan sebagaimana pada ayat (1) dihitung berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Uang jaminan kesungguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disimpan dalam
rekening khusus pemerintah Kota Bima atas nama Sekretaris Daerah, pada bank yang
ditunjuk oleh Walikota.
(4) Tanda bukti penyetoran uang jaminan kesungguhan wajib dilampirkan pada syarat
permohonan IUP, yang apabila dalam jangka waktu tersebut pemohon tidak dapat
memenuhi kewajiban, maka IUP tidak dapat diberikan.
Pasal 29
(1) Pencairan Jaminan kesungguhan beserta bunganya dapat dilakukan setelah kegiatan
eksplorasi selesai dilakukan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dari waktu yang telah ditentukan, pemegang
IUP tidak melakukan kegiatan, maka perushaan pemegang IUP dikenakan denda sebesar
10 % ( persen ) dari besarnya jaminan kesungguhan.
(3) Denda dan bunga sebagaimana yamg dimaksud pada ayat 2 (dua) menjadi hak
Pemerintah Daerah dan disetor ke kas daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencairan jaminan kesungguhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian kedua
Iuran
Pasal 30
Jenis – jenis iuran yang dibebankan kepada pemegang IUP adalah :
a. Iuran Tetap
b. Iuran Ekplorasi
c. Iuran Eksploitasi (Royalti)
Pasal 31

(1) Pengusaha wajib membayar iuran tetap yang besarnya dihitung berdasarkan luas wilayah
dikalikan tarif yang nilainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Iuran eksploitasi (royalti) dihitung berdasarkan jumlah penjualan kali tarif kali harga jual.
Pasal 32
(1) Disamping kewajiban untuk membayar iuran sebagaimana dimaksud pasal 30, setiap
badan usaha atau koperasi yang khusus melaksanakan kegiatan pengolahan mineral
bukan logam dan batuan diwajibkan untuk menyisihkan sebagian keuntungan perusahaan
untuk kepentingan daerah.
(2) Besarnya keuntungan perusahaan yang disisihkan untuk kepentingan daerah
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan sebesar 2,5 (dua koma lima) persen, yang
dibayar setiap akhir tahun anggaran.
(3) Nilai keuntungan yang disisihkan oleh badan usaha atau koperasi sebesar 2,5 (dua koma
lima) persen sebagaimana dimaksud ayat 2 diatas ditetapkan berdasarkan Laporan
keuangan badan usaha atau koperasi yang wajib dikirimkan kepada Walikota setiap akhir
tahun anggaran.
(4) Laporan keuangan badan usaha atau koperasi setidak-tidaknya memuat : Mineral bukan
logam atau batuan yang diolah, Volume produksi, biaya produksi, nilai penjualan dan
keuntungan yang diperoleh.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran
Pasal 33
(1) Pembayaran iuran tetap, iuran ekplorasi dan iuran eksploitasi (royalti) oleh pemegang IUP
atau denda atas keterlambatan, yang menggunakan mata uang Rupiah (Rp) dapat
dilakukan melalui Bank Umum atau Kantor Pos yang ditunjuk pemerintah, sedangkan yang
menggunakan mata uang Dollar Amerika ($) dikirimkan ke Kas umum negara Bank
Indonesia.
(2) Pembayaran Iuran disetorkan langsung ke Kas daerah melalui rekening resmi pemerintah
daerah, kemudian bukti setor disampaikan kepada SKPD.
(3) Pembayaran sumbangan pihak ketiga dapat di lakukan oleh badan usaha atau koperasi
atas pemberian izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan rakyat melalui
SKPD yang menangani kegiatan pertambangan dan disetorkan ke Kas Daerah Kota Bima.
(4) Pembayaran sumbangan pihak ketiga sebagaimana di maksud pada ayat (3) dilaksanakan
melalui SKPD yang menangani kegiatan pertambangan dan di setorkan ke Kas Daerah
Kota Bima
Pasal 34
Tata cara pelaksanaan ketentuan pasal 31, pasal 32 dan pasal 33 di atur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.
BAB XI
BERAKHIR IJIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 35
(1) IUP dinyatakan tidak berlaku lagi karena :
a. Massa berlaku IUP telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi
b. Pemegang IUP mengembalikan izin tersebut kepada walikota atau kepada SKPD yang
menangani bidang pertambangan sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkan
dalam IUP yang bersangkutan
c. Dicabut atau dibatalkan oleh walikota dan/atau pejabat lain yang berwewenang karena :
1) Melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana yang dimuat dalam peraturan
daerah ini, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di bidang
pertambangan dan tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam IUP dan IPR
yang bersangkutan
2) Pemegang IUP ingkar menjalankan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh pihak yang berwajib untuk kepentingan daerah

3)

Pemegang IUP tidak melaksanakan kegiatan pertambangan tanpa memberikan
alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
4) Bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(2) IUP dapat dibatalkan dengan Keputusan Walikota untuk kepentingan pembangunan
daerah
(3) Pengembalian IUP dinyatakan sah setelah disetujui oleh Walikota atau pejabat lain yang
diberi wewenang
Pasal 36
(1) IUP berakhir karena hal-hal sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (1) maka :
a. Wilayah usaha pertambangan kembali kepada negara
b. Pemegang IUP harus menyerahkan semua bahan-bahan peta, gambar-gambar ukuran
tanah dan sebagainya yang bersangkutan dengan usaha pertambangan kepada
Walikota
c. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak masa berlakunya IUP,
atau 1 (satu) tahun sejak masa berlakunya IUP dan IPR berakhir, walikota atau pejabat
yang berwenang, menetapkan jangka waktu kesempatan terakhir untuk mengangkat
keluar segala sesuatu yang menjadi milik pemegang IUP yang masih terdapat dalam
batas wilayah pertambangan, kecuali benda dan bangunan-bangunan yang telah
dipergunakan untuk kepentingan umum sewaktu IUP yang bersangkutan masih berlaku;
d. Sebelum meninggalkan bekas wilayah pertambangan, baik karena pembatalan maupun
karena hal lain, pemegang IUP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha
pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah
disekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum;
e. Walikota dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian
keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang IUP sebelum
meninggalkan batas wilayah pertambangan;
(2) Segala biaya yang timbul dari kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepenuhnya
menjadi tanggungan pemegang IUP tanpa menerima ganti kerugian.
(3) Apabila IUP dibatalkan untuk kepentingan daerah, maka kepadanya diberi ganti kerugian
yang wajar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XII
HUBUNGAN PEMEGANG IUP DENGAN HAK ATAS TANAH
Pasal 37
(1) Untuk kegiatan pertambangan tidak diperkenankan adanya hak milik atas tanah
(2) Apabila pengalihan hak atas tanah tidak dapat dihindarkan atas permintaan pemilik tanah
yang berhak, maka tanah tersebut harus dibebaskan atas nama perusahaan pemegang
IUP dengan status sebagai hak guna usaha dengan ketentuan seluruh lahan pasca
pertambangan diserahkan kepada Negara yang diatur lebih lanjut dengan peraturan
walikota.
(3) Pemegang IUP diwajibkan mengganti kerugian akibat dari kegiatan usaha pertambangan
yang berada diatas tanah kepada yang berhak di dalam lingkungan atau wilayah IUP
maupun diluarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan
atau/tidak dengan sengaja, maupun dapat atau/tidak dapat diketahui terlebih dahulu.
(4) Ganti rugi seperti dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan apabila pemegang atas tanah
telah kehilangan haknya sebagai pemilik tanah.
(5) Besarnya ganti rugi dan/atau biaya pengalihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat antara pihak
terkait dengan berpedoman pada harga yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 38
Apabila telah memperoleh IUP atas suatu wilayah yang menurut ketentuan hukum yang
berlaku, maka pemegang hak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pemegang IUP atas

tanah yang bersangkutan untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, setelah pemegang IUP
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Sebelum pekerjaan dimulai, dengan memperlihatkan IUP atau salinannya yang sah,
pemegang IUP memberitahukan tentang maksud dan tempat kegiatan yang akan
dilakukan.
b. Memberikan ganti kerugian/jaminan ganti rugi yang besarnya ditetapkan atas
musyawarah/mufakat kedua belah pihak.
c. Dalam hal tidak tercapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud huruf (b),
penentuannya diserahkan kepada walikota
d. Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan walikota tentang ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, maka penentuan diserahkan kepada Pengadilan
negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.
BAB XIII
HAK dan KEWAJIBAN PEMEGANG IUP
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 39
(1) Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan,
baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
(2) untuk keperluan pertambangan pemegang IUP dapat memanfaatkan prasarana dan sarana
umum setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban
Pasal 40
(1) untuk bahan galian tertentu yang dapat diolah langsung, pemegang IUP wajib mengolah
bahan galian tersebut didaerah
(2) ketentuan lebih lanjut mengenai jenis bahan galian yang dapat diolah secara langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan walikota
(1)

(2)
(3)
(4)
(5)

Pasal 41
Pemegang IUP wajib melaksanakan pemeliharaan di bidang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), teknik penambangan yang baik dan benar, pengelolaan lingkungan serta
melakukan reklamasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan petunjuk-petunjuk oleh
pejabat instansi lainnya yang berwenang.
Pemegang IUP wajib memberikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan kegiatan
pengusahaan pertambangannya.
Laporan sebagaimana dimaksud ayat 2 dikirimkan kepada Walikota secara periodik setiap
tiga bulan sekali.
Pemegang IUP wajib mengutamakan tenaga kerja lokal yang disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan dan kemampuan tenaga kerja yang tersedia.
Pemegang IUP wajib memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam IUP.

Pasal 42
(1) Pelaksanaan reklamasi dan pengelolaan lingkungan pada lahan bekas penambangan
berpedoman terhadap rencana tata ruang wilayah, dan/atau mengikuti perencanaan
peruntukan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau pemerintah kota
yang bersangkutan dengan memperhatikan permintaan masyarakat setempat.
(2) Tanggung jawab pelaksanaan reklamasi tetap pada pemegang IUP
(3) Apabila dana jaminan reklamasi tidak mampu menutup biaya reklamasi, tanggung jawab
biaya reklamasi keseluruhan tetap berada pada pemegang IUP.
BAB XIV
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN MASYARAKAT
Pasal 43
(1) Pemegang IUP ikut bertanggung jawab dalam melaksanakan pengembangan wilayah dan
masyarakat setempat yang dilaksanakan Pemerintah Daerah.

(2) Dalam rangka melaksanakan pengembangan wilayah, masyarakat setempat dan tenaga
kerja Indonesia, maka pemegang IUP ikut bertanggung jawab dalam melakukan
perencanaan, pelaksanaan, pelatihan dan peningkatan kemampuan managemen, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pendidikan.
(3) Dalam melaksanakan pengembangan wilayah dan masyarakat setempat pemegang IUP
tetap mengacu dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan keperluan daerah setempat.
(4) Pemegang IUP bersama-sama dengan Pemerintah Daerah membina serta menumbuh
kembangkan usaha kecil dan menengah setempat.
(5) Walikota bersama-sama dengan masyarakat setempat melakukan pengawasan terhadap
perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah dan masyarakat setempat sebagai
mana dimaksud dalam ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan wilayah dan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XV
PEMBINAAN DAN PENGAWASA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Pembinaan pertambangan
Pasal 44
(1) SKPD yang menangani bidang pertambangan dapat melaksanakan bimbingan teknis,
memberikan pedoman, arahan dalam melakukan penataan serta eksplorasi bahan galian
dalam wilayah kota Bima.
(2) SKPD dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan usaha pertambangan menyiapkan
dan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparat Pelaksana Inspeksi Tambang
Daerah.
Bagian Kedua
Pengawasan Pertambangan
Pasal 45
(1) Pengawasan Usaha Pertambangan terhadap pemegang izin usaha pertambangan
dilakukan oleh Walikota dan dilaksanakan oleh SKPD yang menangani bidang
pertambangan.
(2) Pengawasan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) dilaksanakan pada semua
tahapan usaha pertambangan sampai dengan pascatambang yang mencakup aspekaspek:
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi;
c. Produksi;
d. Pemasaran/penjualan;
e. Pengolahan dan Pemurnian;
f. Pengangkutan dan Penjualan;
g. Pengapalan;
h. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
i. Pengelolaan lingkungan hidup;
(3) SKPD yang menangani bidang pertambangan sewaktu-waktu dapat melakukan
pengawasan lapangan secara langsung apabila dianggap perlu
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud ayat 2 diatas dilaksanakan oleh Tim Terpadu
Pengendalian Kegiatan Pertambangan di Kota Bima atau sebutan lain yang dibentuk untuk
melakukan survey, inventarisasi dan pemetaan, tahapan eksplorasi dan operasi produksi
mineral logam, bukan logam dan batuan.
(5) SKPD yang menangani bidang pertambangan dalam rangka pengelolaan usaha
pertambangan menyiapkan dan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparat
aparat Pelaksana Inspeksi Tambang Daerah.

Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf h dan huruf i dilaksanakan oleh
Inspektur Tambang.
(2) Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Tata cara pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Lingkungan beserta
pelaporannya berpedoman pada ketentuan dan peraturan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 47
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah daerah diberi wewenang
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
peraturan daerah Kota Bima
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 48
(1) Setiap orang atau badan yang melakukan usaha pertambangan tanpa memiliki ijin usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (1) diancam pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran
(3) Setiap orang atau badan yang melakukan usaha pertambangan yang mengakibatkan
kerusakan atau pencemaran lingkungan dipidana sesuai dengan ketentuan pidana yang
diatur dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup.
BAB XVIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 49
(1) Dalam hal pemegang IUP melakukan pelanggaran dan/atau melakukan tindakan yang
bertentangan dengan peraturan Daerah ini dan peraturan perundanga-undangan yang
berlaku, maka Walikota dapat memberikan sanksi berupa :
a. Peringatan tertulis
b. Pencabutan sementara IUP
c. Pencabutan IUP
(2) Selain dikenakan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1), pemegang IUP juga
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 50
Semua hak usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan, dan Badan Usaha milik
Negara dan/atau perusahaan daerah, koperasi, perusahaan swasta, badan hukum lainnya,
kelompok usaha pertambangan Rakyat atau perseorangan yang diperoleh berdasarkan
peraturan yang ada sebelum berlakunya peraturan daerah ini, tetap dapat dijalankan sampai
habis masa berlakunya.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Peraturan Walikota sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini, di tetapkan paling lambat 1
(satu) tahun sejak ditetapkan Peraturan Daerah ini
Pasal 52
Peraturan daerah ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini
dengan penempatannya dalam lembaran daerah.
Ditetapkan : di Raba-Bima
Pada Tanggal : 28 Agustus 2010
WALIKOTA BIMA,
ttd
M. QURAIS H. ABIDIN
Diundangkan di : Raba – Bima,
Pada tanggal, 28 Agustus 2010
Plt. Sekretaris Daerah,
ttd
H. NURDIN
Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2010 Nomor 109
Salinan sesuai dengan aslinya.
KEPALA BAGIAN HUKUM SETDA KOTA BIMA

MARIAMAH, SH
NIP. 19670311199303 2 013

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BIMA
NOMOR TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN

I.

PENJELASAN UMUM
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan
seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta
berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat secara
berkelanjutan. Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu melakukan penataan kembali
pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan, yang meliputi:
1.

Pengusahaan pertambangan diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan,
Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat.

2.

Pengutamaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan
dalam negeri guna menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan
baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.

3.

Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya
guna, berhasil guna, dan berdaya saing.

4.

Peningkatan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

5.

Penerbitan perizinan yang transparan dalam kegiatan usaha pertambangan mineral
sehingga iklim usaha diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif.

6.

Peningkatan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian mineral
dan batubara di dalam negeri. Pengaturan-pengaturan tersebut di atas perlu
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Berkaitan dengan pengelolaan usaha pertambangan di Kota Bima, maka dalam

rangka pengaturan dan pengamananya, Pemerintah Kota Bima berkewajiban dan
berkewenangan untuk menetapkan regulasi agar dampak negatif yang ditimbulkan dari
pengelolaan pertambangan dapat diminimalisir, dalam bentuk Peraturan Daerah.
II.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8

Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25

Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42

Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR …….