Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan Pelem GKJW Magetan melakukan Slametan ) T1 712008046 BAB IV

(1)

65 BAB IV

Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan

4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja turut ikut campur dalam kaitanya dengan kebudayan yang dilakukan oleh jemaatnya agar, gereja dapat berjalan dengan kebudayaan dan masyarakat sekitar. Masyarakat kota Magetan mayoritas kehidupannya bermatapencaharian sebagai pegawai, hal ini dikarenakan jemaat GKJW Magetan mayoritas pendatang, jemaat GKJW Magetan yang tinggal di wilayah pedesaan kebanyakan bekerja sebagai sebagai petani, buruh pabrik dan pedagang, hal ini tidak membuat kebudayaan slametan hilang. Justru mereka masih mempertahankan hingga sekarang. Jika kita melihat pandangan masyarakat Jawa terutama jemaat GKJW Magetan terhadap kebudayaan upacara slametan, kita akan melihat begitu kentalnya kebudayaan slametan yang masih dipegang, dapat kita lihat melalui upacara slametan yang dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan seperti: Bestonan, Kelahiran, Panen, Kematian, Kitanan, Syukuran. Hal ini jelas bahwa jemaat GKJW Magetan sangat menghargai warisan nenek moyang. Walaupun upacara slametan ini sebagai salah satu bukti masyarakat untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka, namun mereka berusaha untuk menghindari sisi negatif untuk mencari keselamatan kepada roh halus atau roh nenek moyang. Dilihat dari asal kata nama itu sendiri slamet, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa, slametan merupakan serangkaian kegiatan manusia


(2)

66 yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dalam keselamatan. Bagi masyarakat pendukungnya upacara tersebut tentunya akan mengalami kesulitan untuk meninggalkan tradisi tersebut, karena keselamatan dan manusia tidak dapat dipisahkan, setiap orang berlomba-lomba untuk mencari keselamatanya.

Selain sebagai budaya nenek moyang slametan merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh orang Jawa. Karena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi tersebut, ada sesuatu yang kurang dari keselamatan mereka. Ketika Islam masuk dalam kebudayaan slametan ini, doa serta tata cara slametan berubah dan berbau Islami, tidak heran banyak orang yang beranggapan bahwa upacara slametan merupakan kebudayaan Islam. Dari tradisi nenek moyang, warisan turun-trurun dan budaya Islam, mau tidak mau jemaat GKJW Magetan juga ikut terpengaruh oleh situasi budaya demikian. Dari tradisi inilah banyak jemaat GKJW Magetan yang beranggapan, jikalau tidak melakukan slametan warga GKJW Magetan akan mendapat sanksi sosial. Karena peranan masyarakat sangat berpengaruh dalam slametan tersebut. Mereka merasa dikucilkan karena tidak bisa berbaur dengan masyarakat setempat, malu karena tidak saling menghargai. Karena bisa dikatakan orang Jawa sangat menghargai hubungan sosial yang baik.

Dalam hal ini Geertz juga mengatakan bahwa kebudayaan slametan merupakan warisan nenek moyang yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa, karena slametan merupakan ekspresi orang Jawa dalam mencari keselamatan di bumi dan akhirat. Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana mengacu pada Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup), sebagai


(3)

67 pokok dasar adanya upacara slametan ini. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan syukur pada Tuhan atau untuk memuja makhluk gaib. Jika kita melihat upacara

slametan yang dilakukan dalam masyarakat Jawa, maka kita akan menemukan

suatu kelompok masyarakat yang saling membangun dalam suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut. Clifford Geertz juga mengatakan bahwa upacara slametan merupakan upacara yang menyangkut akan keselamatan serta kesejahteraan orang Jawa, serta pandangan orang Jawa tentang Tuhan merupakan warisan nenek moyang yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Hal ini sangat jelas berkaitan antara padangan Greetz dengan pemahaman warga jemaat GKJW Magetan, karena slametan menjadi kebudayaan yang sulit untuk dipisahkan bagi orang Jawa karena menyangkut keselamatan mereka.

Geertz tidak mengatakan bahwa faktor budaya merupakan akibat dari terpengaruhnya masyarakat. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan warisan nenek moyang. Dalam era modernisai orang beranggapan budaya bukan hanya merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Melainkan juga, budaya merupakan kesatuan sosial yang saling menghargai antara satu dengan yang lain, serta mengatur nilai dan norma. Oleh karena itu jikalau mereka tidak melakukan slametan seperti halnya orang lain, tidak ada norma dan nilai yang bisa mereka pegang. Mereka merasa tidak saling menghargai antara satu dengan yang lain. Rasa saling menghargai ini lah yang membuat masyarakat menjadi terpengaruh untuk saling berinteraksi dengan yang lain. sehingga


(4)

68 menjadikan slametan itu penting untuk dilakukan oleh orang Jawa. Jikalau kita kembali melihat masyarakat muslim yang melakukan slametan, peranan masyarakat muslim sangat berpengaruh kepada slametan karena, jikalau orang muslim tidak melalukan slametan dan menganggap bahwa slametan merupakan suatu hal yang dilarang agama (kafir), mungkin upacara slametan tidak dapat kita jumpai pada saat ini.1

Secara etimologis kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal, namun ada juga yang menggangap bahwa budaya bersal dari kata majemuk “budi daya” yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang berupa cipta, rasa dan karsa. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, bahasa, religi, dan kesenian serta benda yang semuanya merupakan warisan sosial.2 Kebudayaan adalah hasil dari gagasan manusia yang berupa cipta, rasa dan karsa baik yang kongkrit ataupun abstrak yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup, yang telah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dari leluhur dan didalamnya terkandung norma atau gagasan yang menjadi pedoman dan pengaruh bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupuan kelompok, aturan dan nilai-nilai sosial, sehingga banyak orang yang masih memegang kebudayaan sebagai salah satu bentuk dari fungsi sosial.3

1 Hasil wawancara bapak Didik tgl 24 Agustus 2012.

2

E.B Taylor, Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi, Religion, art and Custom, Gloucester, MA (1958/1871).


(5)

69 Kebudayaan bukan suatu yang statis dalam keadaan diam (tidak bergerak, tidak aktif, tidak berubah keadaannya), melainkan kebudayaan sangat dinamis (bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) atau cair sehingga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bisa jadi kebudayaan yang dulu dilakukan oleh nenek moyang sekarang tidak dilakukan oleh masyarakat karena dianggap sebagai suatu yang berolak belakang dengan norma yang berlaku. Jika melihat kebudayaan slametan yang dilakukan orang Jawa secara turun-temurun memang ada perubahan di dalam slametan tersebut. Dimana ada pergeseran makna yang mungkin menurut orang zaman dulu roh halus sangat berpengaruh terhadap keselamatan mereka tetapi di zaman sekarang ketika agama masuk orang beranggapan bahwa roh tersebut merupakan suatu hal yang sudah dianggap tidak penting dan bisa saja orang tidak lagi melakukan

slametan karena dianggap sebagai suatu yang tidak etis untuk dilakukan. Mereka

lebih beranggapan bahwa Tuhan yang memberi keselamatan bagi mereka, tetapi dalam memahami Tuhan yang trasenden tekanan utama terletak pada ‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret; sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi


(6)

70 pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-tantangan masa kini.

Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa dan jemaat GKJW Magetan memang harus dilestarikan sebagai bentuk tradisi nenek moyang, tradisi turun-temurun, norma, aturan-aturan, religi dan nilai-nilai sosial tanpa harus membedakan agama dan satatus sosial seseorang. Orang Jawa cukup antusias melaksanakan suatu aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaannya tanpa harus meninggalkan Tuhan sebagai pusat keselamatan. Upacara slametan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang dekat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya cukup memberikan motivasi tersendiri bagi orang Jawa untuk menyelenggarakannya, jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks diamana gereja dapat memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan tanpa harus meninggalkan tradisi slametan tersebut.

4.2 Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan

Orang Jawa (khususnya jemaat GKJW Magetan Pepantahan Pelem) sangat menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, lingkungan alam dan pada Tuhan. Masing-masing pola perilaku yang ditunjukkan semata-mata untuk mengutamakan keseimbangan, sehingga apabila terjadi suatu, gangguan kelangsungan kehidupan manusia, hal ini dianggap sebagai adanya gangguan keseimbangan. Dari hal itu manusia harus dengan segera memperbaiki ganguan tersebut, sehingga keseimbangan kembali dapat


(7)

71 dirasakan. Keselamat menjadi harapan bagi semua manusia, oleh karena itu jemaat GKJW Magetan pepanthan Pelem menginginkan keselamatan baik dibumi maupun di kehidupan yang akan datang. Keselamatan yang diharapkan oleh sitap manusia bukan hanya keselamatan jasmani melainkan juga dalam keselamatan rohani. Selain untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan jemaat GKJW Magetan juga menggagap slametan sebagai tempat untuk berkumpulnya jemaat lain, dimana Interaksi sosial merupakan suatu bentuk hubungan, baik hubungan orang perorangan, individu dengan kelompok maupun hubungan kelompok dengan kelompok. Interaksi tersebut terjadi karena kehidupan manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dapat saling mengenal, saling membantu dan saling membagi pengalaman. Salah satu bentuk interaksi melalui komunikasi, komunikasi merupakan sarana yang sangat penting untuk terwujudnya sebuah hubungan yang baik. Selain itu sistem kekerabatan juga sangat berpengaruh dalam sebuah relasi. Secara umum sistem kekerabatan orang Jawa Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu), menunjukkan arti penting dalam kebersamaan keluarga luas.

Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan juga mengandung kebersamaan warga jemaat dan non warga jemaat dan menumbuhkan nilai kegotong-royongan. Nilai kegotong–royongan ini terlihat baik pada saat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk upacara

slametan itu sendiri, hingga kesuksesan upacara slametan tentunya tidak dapat


(8)

72 gotong-royong atau kerja bakti, sehingga walaupun tidak mendapat upah masyarakat tetap antusias untuk ikut melaksanakannya demi kelangsungan upacara slametan. Kepedulian melaksanakan gotong-royong tidak terlepas dari tingginya kesadaran masyarakat. Salah satu dampak positif dari gotong-royong adalah membentuk pribadi masyarakat yang suka menolong dan rela berkorban untuk kepentingan bersama, dengan demikian perwujudan dari bentuk gotong-royong akan membuktikan secara langsung bahwa kepentingan individu tidak lebih diutamakan, namun hasil gotong-royong dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Upaya menanamkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong kepada generasi muda merupakan tanggungjawab masyarakat. Lingkungan merupakan sarana efektif pembentuk sikap generasi muda yang menjadi sumber dalam menentukan masa depan berkaitan dengan sikap moral masyarakat. Dengan demikian upacara slametan juga mengandung makna untuk menanamkan sikap gotong-royong dan tolong menolong sebagai wujud solidaritas jemaat GKJW Magetan.

Slametan menurut jemaat GKJW Magetan Pepanthan Pelem juga sebagai

bentuk dari rasa syukur mereka atas apa yang telah Tuhan berikan serta sebagai wujud cinta kasih mereka pada sesama. Karena menurut jemaat GKJW Magetan Tuhan yang telah memberikan keselamatan dan berkat kurang lengkap jika orang lain juga tidak merasakan berkat dan keselamatan tersebut. Sebagai ungkapan syukur dan cinta kasih mereka atas apa yang tuhan berikan, dapat kita lihat melalui makan-makan yang telah disiapkan untuk dibagi-bagikan pada keluarga terdekat dan pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga


(9)

73 dapat menikmati sukacita seperti keluarga yang melakukan slametan. rasa saling memeberi dan berbagi pada sesama inilah yang juga membuat slametan itu masih tetap dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan. Ada jemaat yang menganggap bahwa makan yang diberikan pada orang lain merupakan bentuk untuk mengenang Yesus ketika melakukan perjamuan terakhir, hal ini sangat menarik untuk kita analisa karena seperti halnya Yesus yang memberikan berkat dan cinta kasih pada orang lain.

Slametan juga dipandang untuk menghargai kehidupan atas apa yang telah

Tuhan berikan. Berkaitan dengan lingkungan slametan dipandang sebagai upaya untuk melestariakan alam dan menghargai serta merawat lingkungan. Karena bagi seorang petani mereka mendapatkan kehidupan dari alam oleh karena itu mereka juga harus dapat melestarikan alam.

Pandangan Geertz mengenai upacara slametan sebagai salah satu kebudayaan yang penting yang bertujuan untuk mencari keselamatan baik di dunia maupun di akhirat, keselamatan di bumi untuk menjalin relasi antara manusia dan alam semesta agar semuanya berjalan seimbang. Geertz juga mengatakan, upacara slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua duduk bersama mengelilingi satu meja untuk menjalin sebuah relasi yang baik. Karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan merupakan wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan


(10)

74 sosial dan pengalaman perseorangan. Dengan demikian slametan merupakan upacara dasar yang inti bagi masyarakat Jawa.

Jikalau kita kaitkan pemahaman Geertz dengan pemahaman jemaat GKJW Magetan, hal ini sangat erat hubungannya kerena keduanya menganggap bahwa

slametan merupakan upaya orang untuk mencari keselamatan akan dirinya, baik

berkaitan pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang, selain itu

slametan juga merupakan upacara inti bagi masyarakat Jawa untuk membentuk

relasi yang baik dengan masyarakat dengan cara saling gotong-royong dalam menjalin solidaritas sosial.

Dalam upacara slametan ini terdapat makanan sebagai salah satu bentuk syarat utama yang harus ada dalam upacara slametan. Jika Geertz mengatakan bahwa makanan merupakan bentuk sesaji bagi makhluk halus, selain itu Geertz secara umum juga menggambarkan doa yang terdapat dalam upacara slametan ini ditujukan pada roh nenek moyang atau pada leluhur, karena masyarakat Jawa menyadari bahwa keberadaan roh-roh yang ada di lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap keselamatan mereka, oleh karena itu doa yang ditujukan pada roh agar tidak menggangu. Roh nenek moyang adalah alasan mengapa orang melakukan slametan. Geertz juga mengatakan inti upacara slametan terletak pada makanan karena makanan merupakan persembahan atau sesaji buat roh-roh nenek moyang, dimana roh tersebut juga ikut makan bersama orang yang melakukan

slametan. Dalam hal ini bukan berati roh tersebut memakan makanan kita


(11)

75 hal ini dimaknai agar para roh-roh nenek moyang dan roh-roh yang berada di sekitar kita tidak mengganggu kelangsungan hidup manusia.

Tetapi warga Jemaat GKJW Magetan tidak melakukan slametan karena roh nenek moyang, karena dalam era modernisasi orang berfikir secara rasional dimana keselamatan itu sudah diberikan Tuhan secara langsung pada manusia. Berbeda dengan padangan Geertz jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem lebih mengganggap makanan tersebut merupakan bentuk ungkapan syukur dan cinta kasih mereka, selain itu ada juga jemaat yang beranggapan bahwa acara makan bersama dimaknai untuk mengenang Yesus dalam perjamuan terakhir, dalam

slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh masyarakat Jawa

terkhusus jemaat GKJW Magetan, dimana jemaat berdoa dan berpengharapan pada Tuhan. Karena keselamatan itu sendiri berpusat pada Yesus, bukan pada roh halus. Inilah yang harus kita luruskan karena keselamatan yang dilakukan jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem, harus ditujukan pada Tuhan Yesus Kristus, sebagai orang Kristen yang percaya bahwa Yesus merupakan Juruslamat karena Ia telah menyelamatkan dan menebus dosa manusia.

Bahkan Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia. Disini manusia harus menggali dirinya untuk menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui dosanya. yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci". Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. “Sebab karena kasih


(12)

76

karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9). Luther menyatakan bahwa manusia

diselamatkan bukan karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-mata oleh karena anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam Surat Roma: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena

Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Calvin juga

mengutarakan bahwa Keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang dengannya ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk memantapkan keyakinannya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya mendorong mereka untuk memuliakan Allah.

Dengan demikian unsur-unsur dalam kebudayaan sangat dinamis, upacara

slametan yang dilakukan orang Jawa mengalami perkembangan, seiring dengan

berjalannya waktu orang lebih berfikir rasional. Masuknya agama baru dalam masyarakat Jawa juga sangat mempengaruhi pola pikir pemahaman tentang

slametan itu sendiri. Setiap orang menginginkan keselamatan tetapi bagaimana

cara orang mendapatkan keselamatan berbeda. Masuknya agama akan memberikan makna yang berbeda bagi keselamatan, sehingga jemaat GKJW Magetan tidak menaruh keselamatan pada roh halus melainkan pada Tuhan. Sebagai konsekuensi dari sikap ini, tindakan dan prilaku manusia tidak dapat lepas dari nilai moral keagamaan, karena itu kebudayaan dan kesenian yang


(13)

77 berkembang di daerah Jawa merupakan unsur keagamaan dan tujuan keagamaan. Bercampurnya budaya dan agama membuat orang mengerti akan pentingnya nilai sosial, norma dan pentingnya menjaga kelestarian budaya itu sendiri. Sebagai orang Kristen kita harus dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat sesuai dengan ajaran Kekristenan. Dengan demikian konteks kebudayaan dan agama menjadi sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan sosial.


(1)

72 gotong-royong atau kerja bakti, sehingga walaupun tidak mendapat upah masyarakat tetap antusias untuk ikut melaksanakannya demi kelangsungan upacara slametan. Kepedulian melaksanakan gotong-royong tidak terlepas dari tingginya kesadaran masyarakat. Salah satu dampak positif dari gotong-royong adalah membentuk pribadi masyarakat yang suka menolong dan rela berkorban untuk kepentingan bersama, dengan demikian perwujudan dari bentuk gotong-royong akan membuktikan secara langsung bahwa kepentingan individu tidak lebih diutamakan, namun hasil gotong-royong dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Upaya menanamkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong kepada generasi muda merupakan tanggungjawab masyarakat. Lingkungan merupakan sarana efektif pembentuk sikap generasi muda yang menjadi sumber dalam menentukan masa depan berkaitan dengan sikap moral masyarakat. Dengan demikian upacara slametan juga mengandung makna untuk menanamkan sikap gotong-royong dan tolong menolong sebagai wujud solidaritas jemaat GKJW Magetan.

Slametan menurut jemaat GKJW Magetan Pepanthan Pelem juga sebagai bentuk dari rasa syukur mereka atas apa yang telah Tuhan berikan serta sebagai wujud cinta kasih mereka pada sesama. Karena menurut jemaat GKJW Magetan Tuhan yang telah memberikan keselamatan dan berkat kurang lengkap jika orang lain juga tidak merasakan berkat dan keselamatan tersebut. Sebagai ungkapan syukur dan cinta kasih mereka atas apa yang tuhan berikan, dapat kita lihat melalui makan-makan yang telah disiapkan untuk dibagi-bagikan pada keluarga terdekat dan pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga


(2)

73 dapat menikmati sukacita seperti keluarga yang melakukan slametan. rasa saling memeberi dan berbagi pada sesama inilah yang juga membuat slametan itu masih tetap dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan. Ada jemaat yang menganggap bahwa makan yang diberikan pada orang lain merupakan bentuk untuk mengenang Yesus ketika melakukan perjamuan terakhir, hal ini sangat menarik untuk kita analisa karena seperti halnya Yesus yang memberikan berkat dan cinta kasih pada orang lain.

Slametan juga dipandang untuk menghargai kehidupan atas apa yang telah Tuhan berikan. Berkaitan dengan lingkungan slametan dipandang sebagai upaya untuk melestariakan alam dan menghargai serta merawat lingkungan. Karena bagi seorang petani mereka mendapatkan kehidupan dari alam oleh karena itu mereka juga harus dapat melestarikan alam.

Pandangan Geertz mengenai upacara slametan sebagai salah satu kebudayaan yang penting yang bertujuan untuk mencari keselamatan baik di dunia maupun di akhirat, keselamatan di bumi untuk menjalin relasi antara manusia dan alam semesta agar semuanya berjalan seimbang. Geertz juga mengatakan, upacara slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua duduk bersama mengelilingi satu meja untuk menjalin sebuah relasi yang baik. Karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan merupakan wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan


(3)

74 sosial dan pengalaman perseorangan. Dengan demikian slametan merupakan upacara dasar yang inti bagi masyarakat Jawa.

Jikalau kita kaitkan pemahaman Geertz dengan pemahaman jemaat GKJW Magetan, hal ini sangat erat hubungannya kerena keduanya menganggap bahwa slametan merupakan upaya orang untuk mencari keselamatan akan dirinya, baik berkaitan pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang, selain itu slametan juga merupakan upacara inti bagi masyarakat Jawa untuk membentuk relasi yang baik dengan masyarakat dengan cara saling gotong-royong dalam menjalin solidaritas sosial.

Dalam upacara slametan ini terdapat makanan sebagai salah satu bentuk syarat utama yang harus ada dalam upacara slametan. Jika Geertz mengatakan bahwa makanan merupakan bentuk sesaji bagi makhluk halus, selain itu Geertz secara umum juga menggambarkan doa yang terdapat dalam upacara slametan ini ditujukan pada roh nenek moyang atau pada leluhur, karena masyarakat Jawa menyadari bahwa keberadaan roh-roh yang ada di lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap keselamatan mereka, oleh karena itu doa yang ditujukan pada roh agar tidak menggangu. Roh nenek moyang adalah alasan mengapa orang melakukan slametan. Geertz juga mengatakan inti upacara slametan terletak pada makanan karena makanan merupakan persembahan atau sesaji buat roh-roh nenek moyang, dimana roh tersebut juga ikut makan bersama orang yang melakukan slametan. Dalam hal ini bukan berati roh tersebut memakan makanan kita melainkan roh tersebut memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam


(4)

75 hal ini dimaknai agar para roh-roh nenek moyang dan roh-roh yang berada di sekitar kita tidak mengganggu kelangsungan hidup manusia.

Tetapi warga Jemaat GKJW Magetan tidak melakukan slametan karena roh nenek moyang, karena dalam era modernisasi orang berfikir secara rasional dimana keselamatan itu sudah diberikan Tuhan secara langsung pada manusia. Berbeda dengan padangan Geertz jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem lebih mengganggap makanan tersebut merupakan bentuk ungkapan syukur dan cinta kasih mereka, selain itu ada juga jemaat yang beranggapan bahwa acara makan bersama dimaknai untuk mengenang Yesus dalam perjamuan terakhir, dalam slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh masyarakat Jawa terkhusus jemaat GKJW Magetan, dimana jemaat berdoa dan berpengharapan pada Tuhan. Karena keselamatan itu sendiri berpusat pada Yesus, bukan pada roh halus. Inilah yang harus kita luruskan karena keselamatan yang dilakukan jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem, harus ditujukan pada Tuhan Yesus Kristus, sebagai orang Kristen yang percaya bahwa Yesus merupakan Juruslamat karena Ia telah menyelamatkan dan menebus dosa manusia.

Bahkan Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia. Disini manusia harus menggali dirinya untuk menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui dosanya. yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci". Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. “Sebab karena kasih


(5)

76 karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9). Luther menyatakan bahwa manusia diselamatkan bukan karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-mata oleh karena anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam Surat Roma: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Calvin juga mengutarakan bahwa Keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang dengannya ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk memantapkan keyakinannya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya mendorong mereka untuk memuliakan Allah.

Dengan demikian unsur-unsur dalam kebudayaan sangat dinamis, upacara slametan yang dilakukan orang Jawa mengalami perkembangan, seiring dengan berjalannya waktu orang lebih berfikir rasional. Masuknya agama baru dalam masyarakat Jawa juga sangat mempengaruhi pola pikir pemahaman tentang slametan itu sendiri. Setiap orang menginginkan keselamatan tetapi bagaimana cara orang mendapatkan keselamatan berbeda. Masuknya agama akan memberikan makna yang berbeda bagi keselamatan, sehingga jemaat GKJW Magetan tidak menaruh keselamatan pada roh halus melainkan pada Tuhan. Sebagai konsekuensi dari sikap ini, tindakan dan prilaku manusia tidak dapat lepas dari nilai moral keagamaan, karena itu kebudayaan dan kesenian yang


(6)

77 berkembang di daerah Jawa merupakan unsur keagamaan dan tujuan keagamaan. Bercampurnya budaya dan agama membuat orang mengerti akan pentingnya nilai sosial, norma dan pentingnya menjaga kelestarian budaya itu sendiri. Sebagai orang Kristen kita harus dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat sesuai dengan ajaran Kekristenan. Dengan demikian konteks kebudayaan dan agama menjadi sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan sosial.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan Pelem GKJW Magetan melakukan Slametan ) T1 712008046 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan Pelem GKJW Magetan melakukan Slametan ) T1 712008046 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan Pelem GKJW Magetan melakukan Slametan ) T1 712008046 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan Pelem GKJW Magetan melakukan Slametan )

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hole (“Suatu Tinjauan Sosio-Antrpologi Terhadap Makna Hole dalam Kekristenan Jemaat Gmit Ebenheazer-Lederabba Sabu Mesara”) T1 712006043 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggapan Warga Jemaat Kalimbu Kuni terhadap Gerakan Hidup Hemat T1 712004031 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kinerja Rendah Sebagai Alasan PHK T1 312005001 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Permasalahan Pengelolaan Sekolah Minggu Pepanthan-Pepanthan GKJ dan Solusinya

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penelitian tentang Peran GKJW Ngagel Surabaya terhadap Pendidikan Politik bagi Warga Jemaat

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Slametan: Kajian Sosio-Teologis tentang Peringatan Leluhur dan Orang Mati di Jemaat GKJW Wilayah Balun

0 0 1