PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

(1)

PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI OLEH

:

ZAKY MUHAMMADY NIM: C01211074

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang ”Perkawinan Bagi Penderita Penyakit Impotensi dalam Perspektif Hukum Islam”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan penelitian., Bagaimana definisi dan ciri-ciri perkawinan yang harmonis bagi penderita penyakit impotensi?, Dan bagaimana hukum perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam?.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang juga merupakan penelitian kepustakaan sehingga sumber utamanya adalah literatur-literatur yang terkait dengan penyakit impotensi dan perkawinan baik dalam perspektif hukum islam maupun literatur yang relefan terkait kasus-kasus impotensi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perkawinan yang harmonis bagi penderita penyakit impotensi adalah ketika calon suami dan istri bisa saling terbuka sehingga ada transparansi dan tercapai keridloan dari pihak istri terhadap penyakit tersebut. Saling terbuka dan saling rela ini penting dicapai sejak sebelum pernikahan sehingga niat untuk melakukan pernikahan yaitu untuk melakukan ibadah, teman, nafkah, pelayanan, perlindungan atau tujuan lainnya. Dari sini rumah tangga yang harmonis dapat tercapai karena hak istri untuk fasakh dengan alasan impotensi sudah gugur.

Dan hasil penelitian ini menunjukan bahwa hukum perkawinan bagi seorang yang sudah mengetahui bahwa dirinya menderita penytakit impotensi sejak sebelum melaksanakan perkawinan adalah mubah dengan syarat dan ketentuan tertentu, salah satunya yaitu dengan adanya keterbukaan dan transparansi antara kedua belah pihak yakni calon mempelai laki-laki dan perempuan sehingga terjadi saling ridha terhadap akibat dan konsekuensi dari penyakit impotensi tersebut. Sedangkan dalam perspektif hukum islam,hukum perkawinan bagi seseorang yang sudah mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit impotensi adalah boleh dengan syarat dan ketentuan tertentu, seperti saling terbuka, saling mengetahui, dan saling ridha, sehingga tujuan dari perkawinan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak sebagai pemenuhan fungsi pelayanan, perlindungan serta pertemanan. Kesimpulan ini diambil karena melihat bahwa ada beberapa jenis impotensi yang bisa disembuhkan, beberapa contoh kasus nyata kesembuhan impotensi dan juga kasus nyata dimana perkawinan dapat harmonis meskipun suami menderita penyakit impotensi, akan tetapi hukum perkawinan bagi penderita penyakit impotensi bisa jatuh menjadi makruh bahkan haram ketika tidak ada keterbukaan karna adanya unsur mendzalimi.

Sejalan dengan kesimpulan diatas maka ada beberapa saran. Saran yang pertama adalah hendaknya bagi calon suami istri melakukan tes kesehatan terlebih dahulu agar dapat diketahui kemungkinan-kemungkinan kondisi kesehatannya, hendaknya calon suami-istri saling terbuka sehingga tidak ada unsur mendzalimi satu sama lain, dan tujuan perkawinan harmonis sakinah mawaddah wa rahmah dapat tercapai.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8

G. Definisi Operasional ... 9

H. Metode Penelitian ... 10

I. Sistimatika Pembahasan ... 14

BAB II: PERKAWINAN DAN IMPOTENSI A. Perkawinan ... 16

1. Pengertian Perkawinan ... 16

2. Dasar Hukum Perkawinan ... 19

3. Hukum Perkawinan ... 20

4. Rukun Dan Syarat Perkawinan ... 22

5. Larangan Perkawinan ... 27

6. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ... 30


(8)

1. Pengertian Impotensi ... 32

2. Sebab-Sebab Impotensi ... 38

3. Jenis-Jenis Impotensi ... 42

4. Faktor-Faktor Terjadinya Impotensi ... 49

BAB III: HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DAN CIRI-CIRI PERKAWINAN HARMONIS DALAM RUMAH TANGGA ISLAM A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Bagi Penderita Penyakit Impotensi ... 53

B. Pengertian Keharmonisan Keluarga ... 61

C. Faktor-Faktor Pendukung Keluarga Harmonis ... 62

D. Faktor-Faktor Penyebab Keluarga Kurang Harmonis ... 63

E. Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga ... 64

F. Dampak Keluarga Tidak Harmonis ... 65

G. Ciri-Ciri Perkawinan Harmonis ... 66

H. Studi Kasus Kronologis Perkara Impotensi... 69

BAB IV: HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis Pandangan Hukum Islam Dan Imam Madhab Terhadap Perkawinan Bagi Penderita Impotensi ... 72

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia yang akan atau telah berkeluarga pasti mempunyai keinginan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, keluarga yang saki>nah (tentram), mawaddah (cinta), wa rahmah ( dan kasih sayang). Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an Surat Ar Rum 30:21.1

                                    

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu

rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21)

Berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri dapat mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangganya. Karena itu Islam sangat memperhatikan aturan-aturan terkait dengan perkawinan mulai dari sebelum menikah, semasa menikah, sampai terjadi putusnya perkawinan. Maka, Islam juga mengatur beberapa hal terkait hak dan kewajiban dalam perkawinan Syariat Islam menganjurkan perkawinan agar terbentuk suatu keluarga sakinah yang akan mengamankan dari perbuatan yang tercela.

Nafsu seksual pada umumnya telah muncul sebelum seseorang mendapatkan kemampuan finansial untuk memasuki jenjang perkawinan.

1


(10)

2

Oleh karena itu, cinta kepada Allah SWT dengan memperbanyak dzikir merupakan motif untuk menjaga kehormatan.2 Allah SWT berfirman dalam Surat an–Nur ayat 33:

                                                                                         

Artinya: “Dan orang–orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga

kesucian darinya, sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya”. (QS. an–Nur: 33).3

Adapun sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan Islam yakni harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Syarat umum

Perkawinan itu tidak dilakukan yang bertentangan dengan larangan–larangan yang termaktub dalam ketentuan. Misalnya yaitu larangan perkawinan dalam beda agama.

2. Syarat Khusus

a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan b. Kedua calon mempelai tersebut haruslah Islam, akil baligh, sehat

jasmani maupun rohani.

Apabila dikaitkan dengan syarat khusus yang nomor dua, dalam hal ini para ulama’ telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami atau isteri

2

Al-Ghazali, Percikan Ihya‟ Ulumuddin “Menyingkap Hakikat Perkawinan, (jakarta: IKAPI, 2015),40

3


(11)

mengetahui ada aib pada pihak lain sebelum akad nikah atau diketahuinya sesudah akad tetapi ia sudah rela secara tegas atau ada tanda yang menunjukkan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk meminta fasakh dengan alasa aib itu bagaimanapun juga.4

Di kalangan madzhab-madzhab fiqih terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang menyebabbkan terjadinya fasakh (kerusakan) perkawinan, diantaranya: Impotensi, al-Jubb dan al-Khasha‟, Gila, Sopak, dan Kusta.5 Dimana impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya.6 Dalam keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh madzhab istri dapat membatalkan perkawinan.

Sementara itu madzhab Imamiyah mengatakan bahwa pilihan untuk memmbatalkan nikah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan adanya impotensi terhadap semua wanita. Kalau seandainya impotensi itu hanya terhadap istri tapi tidak terhadap wanita lain, maka tidak ada pilihan fasakh bagi istri.7 Sebab dalil yang ada menunjukkan bahwa istri seorang laki-laki impoten dapat membatalkan perkawinannya. Dengan demikian orang yang bisa menggauli wanita tertentu, jelas secara hakiki bukan impoten. Madzhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi memgatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya maka istrinya berhak menjatuhkan pilihan berpisah,

4

Ismuha, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), 211 5

Muhammad Jawad Mughniyah,Terjemah Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,2001), 351

6

Bagus Maulana, “Apa arti Impotensi”, http://www.impotensi.org/2011/04/apa -arti-impotensi-impotensi-adalah.html, diakses pada 17 April 2015.

7


(12)

4

meskipun suaminya itu mampu melakukannya dengan wanita lain. Sebab dinisbatkan kepada istrinya itu, laki-laki tersebut disebut impoten.8

Persoalan impotensi dan pernikahan cukup penting untuk dikaji karena merupakan perkara yang komplek dan banyak terjadi ditengah masyarakat Indonesia, persoalan ini juga menjadi menarik dan penting untuk dibahas karena perkara penyakit impotensi tidak bisa di generalisir menjadi satu kenyataan sederhana yang homogeny atau sama. Realita menunjukkan bahwa ada kalanya penyakit impotensi itu bisa disembuhkan, terlebih kenyataan menunjukkan ada beberapa kasus impotensi yang bisa disembuhkan. Selain itu ada juga indikasi bahwa meskipun terdapat sebuah penyakit impotensi dalam sebuah rumah tangga, bisa jadi perkawinan tersebut harmonis, karena itu menjadi penting untuk bertanya bagaimana hukum perkawinan seseorang untuk menikah ketika dia mengetahui bahwa dia menderita penyakit impotensi.

Selama ini pembahasan hanya fokus pada hak istri untuk mengajukan fasakh ketika penyakit impotensi suaminya dalam masa perkawinan, akan tetapi belum dikaji secara menyeluruh tentang hukum perkawinan bagi seorang laki-laki penderita penyakit impotensi jika dia sudah mengetahui sejak sebelum perkawinan. Karena menghalangi hakseseorang menikah hanya karena dia menderita penyakit impotensi tanpa ada kajian yang menyeluruh juga dapat melanggar hak asasi seseorang dan bahkan menutup kemungkinan seseorang untuk bisa sembuh. Disisi lain juga berbahaya jika tanpa aturan

8


(13)

membolehkan pada setiap laki-laki yang menderita penyakit impotensi untuk melangsungkan pernikahan. Tentunya ada beberapa aturan-aturan yang harus dipertimbangkan. Karena bisa jadi jika tidak diatur sedemikian rupa bisa merugikan pihak lain dalam hal ini adalah calon istri.

Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan sebuah penelusuran secara ilmiah terkait dengan fenomena yang terjadi dalam kajian pustaka. Penelusuran ilmiah tersebut akan penulis laksanakan dalam wujud penelitian sebagai syarat akademik dengan judul penelitian. ” Perkawinan

Bagi Penderita Penyakit Impotensi dalam Perspektif Hukum Islam”.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Melalui latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Proses dilaksanakannya perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

2. Deskripsi perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dilihat dari perspektif keharmonisan rumah tangga Islam.

3. Faktor-faktor yang melatar belakangi permasalahan perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

4. Tinjauan analisis hukum Islam terhadap hukum perkawinan bagi penderita impoten dalam perspektif hukum Islam.

5. Rukun dan syarat terhadap perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.


(14)

6

6. Hak fasakh.

Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang :

1. Hukum perkawinan bagi penderita impoten dalam perspektif hukum Islam.

2. Deskripsi dan cirri-ciri perkawinan harmonis bagi penderita penyakit impotensi.

C. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum perkawinan bagi penderita impoten dalam perspektif hukum Islam?

2. Bagaimana deskripsi dan cirri-ciri perkawinan harmonis bagi penderita penyakit impoptensi?

D. Kajian Pustaka

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang relevans dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan hanya sedikit, yaitu sebagai berikut: 1. Khalimah Muflichah (Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel

Surabaya Angkatan 2003) Cerai Gugat karena Suami Impoten (Studi Kasus di PA Jombang). Tujuannya untuk mengetahui dasar hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena suami impoten, dalam hal ini hakim


(15)

memutus dengan dasar pembuktian yaitu pengakuan dan saksi.9

2. Muhammad Imdadur Rochman (Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya Angkatan Tahun 2004) Impotensi Sebagai Alasan Perceraian di Pengadilan Agama Wilayah Jawa Timur (Studi Analisa Hukum Islam) di dalam skripsi ini dijelaskan tentang apa saja kriteria Impotensi yang dapat dikategorikan sebagai alasan perceraian.10

Antara penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan, memiliki kesamaan fokus kajian, yaitu tentang impotensi. Sedangkan yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu dari kedua penelitian tersebut membahas persoalan impotensi ketika dijadikan alasan perceraian, sementara penulis justru ingin melihat bagaimana persoalan impotensi dalam hukum islam melihat persoalan tersebut sejak sebelum trerjadinya perkawinan. Dengan demikian fokus pembahasan dalam skripsi yang penulis susun ini merupakan karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih sangat penting jika penulis mengangkat tema ini kedalam karya ilmiah.

9

Khalimah Muflichah, Cerai Gugat Karena Suami Impoten (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003), 1-5.

10

Imdadur Rochman, Impotensi Sebagai Alasan Perceraian (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004), 1-6.


(16)

8

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini, maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hukum perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum islam.

2. Untuk mengetahui deskripsi perkawinan harmonis bagi penderita penyakit impotensi.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Teoritis

Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam menjawab isu perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi pemerhati hukum Islam dalam memahami praktik tersebut.

2. Praktis

Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi masyarakat, khususnya dalam menjawab isu perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam. Penelitian ini juga memberikan gambaran akan


(17)

definisi dan cirri-ciri perkawinan harmonis bagi penderita penyakit impotensi.

G. Definisi Oprasional

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini, dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah: Hukum syariat Islam berupa seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulnya tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang terbebani hukum, konteks ini berupa hukum Islam berdasarkan ilmu fiqh dan pendapat empat madzhab.

2. Perkawinan bagi penderita penyakit impotensi adalah ija>b dan qabu>l („aqad}) yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah sesuai dengan syari’at Islam di mana calon suami yang akan melakukan perkawinan mempunyai penyakit impotensi.11

11 Bagus Maulana, “Apa arti Impotensi”, http://www.impotensi.org/2011/04/apa

-arti-impotensi-impotensi-adalah.html, diakses pada 17 April 2015.


(18)

10

H. Metode Penelitian

Adapun penulisan dan pembahasan skripsi ini merupakan penelitian kualitatif, karena data yang dikemukakan bukan data angka. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti, dimana peneliti adalah sebagai instumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.12

1. Data Yang Dikumpulkan

Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka data yang dikumpulkan ada 2 sebagai berikut:

a. Proses terjadinya perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

b. Deskripsi perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam keharmonisan rumah tangga Islam.

c. Faktor-faktor yang melatar belakangi permasalahan perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

d. Rukun dan syarat terhadap perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

e. Dampak positif dan negatif yang terjadi dalam perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam

12


(19)

2. Sumber Data

Agar memperoleh data yang kompleks dan komprehensif, serta terdapat korelasi yang akurat sesuai dengan judul penelitian ini, maka sumber data dalam penelitian ini di bagi dua, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer yaitu merupakan sumber data utama dalam penelitian ini yang diperoleh oleh peneliti dari sumbernya secara langsung. Adapun yang dimaksud dengan data primer yaitu :

1) Deskripsi perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam keharmonisan rumah tangga Islam

2) Hukum perkawinan bagi penderita impoten dalam perspektif hukum Islam.

3) Pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini yaitu berupa perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai pendukung data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur yang mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini seperti buku, catatan, dan dokumen. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, ialah sebagaimana berikut:


(20)

Al-12

„Arba‟ah, Juz. 3, Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyah, 2003.

2) Departemen Agama RI, .Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Penerbit JART).

3) M.A. Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009).

4) Muh. Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abi Dawud juz I, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.).

5) A Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995).

6) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008).

7) Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973

8) Dokumen-dokumen lain mengenai perkawinan bagi penderita impoten.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data yang akurat dan dibutuhkan oleh peneliti sesuai dengan judul penelitian, maka dalam pengumpulan data peneliti menggunakan beberapa metode, sebagaimana berikut:

a. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto, dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan


(21)

harian, dan sebagainya.13 Dalam hal ini yaitu segala data yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengolahan Data

Untuk mensistematisasikan data yang telah dikumpulkan dan mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data, maka peneliti mengolah data tersebut melalui beberapa teknik, dalam hal ini data yang diolah merupakan data yang telah terkumpul dari beberapa sumber adalah sebagaimana berikut:14

a. Pengeditan: yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian penelitian.

b. Pemberian kode: yaitu memberikan kode terhadap data-data yang diperoleh dan sudah dieedit, kemudian dikumpulkan sesui dengan relevansi masing-masing data tersebut.

c. Pengorganisasian: yaitu mengkategorisasikan atau mensistematiskan data yang telah terkumpul. Data-data yang sudah diedit dan diberi kode kemudian diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang telah dipersiapkan.

5. Teknik Analisis Data

Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul semua dan sudah diolah melalui tekhnik pengolahan data yang digunakan

13

Ibid., 125. 14


(22)

14

oleh peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Sugiono menyatakan: Bahwa analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari cacatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat mudah diinformasikan kepada orang lain.15

Untuk menganalisa data-data yang sudah dikumpulkan dan di olah melalui tekhnik pengolahan data, penulis menggunakan metode deskripif. Metode deskriptif yaitu merupakan salah satu metode analisa data dengan mendeskripsikan fakta-fakta secara nyata dan apa adanya sesuai dengan objek kajian dalam penelitian ini.16

Selain itu, peneliti juga menggunakan pola pikir deduktif untuk menganalisa data-data yang sudah dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dalam penelitian ini. Pola pikir deduktif yaitu metode analisa data dengan memaparkan data yang telah diperoleh secara umum untuk ditarik kesimpulan secara khusus. Peneliti menggunakan metode ini untuk memaparkan secara umum mengenai perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum Islam, dan kemudian ditarik kesimpulan secara khusus sesuai dengan perspektif hukum Islam.

I. Sistematika Pembahasan

Agar lebih mudah memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang saling berkaitan antara

15

Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 224 16


(23)

bab satu dengan bab yang lainnya. Dari masing-masing diuraikan lagi menjadi beberapa sub bab yang sesuai dengan judul babnya. Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut :

Bab pertama ini berisi tentang pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti mengkaji secara umum mengenai seluruh isi penelitian, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua ini adalah Perkawinan Dalam Hukum Islam. Dalam landasan bab kedua ini, peneliti akan mengkaji tentang 1. Pengertian Perkawinan, 2. Dasar hukum Perkawinan, 3. Rukun dan syarat Perkawinan, 4. Hukum Perkawinan, 5. Hikmah Perkawinan, 6. Pengertian impotensi, sebab, jenis dan faktor-faktor terjadinya impotensi.

Pada bab ketiga ini menjelaskan tentang 1. Pengertian keharmonisan keluarga, 2. Faktor-faktor pendukung keluarga harmonis, 3, Aspek-aspek keharmonisan keluarga, 4. Dampak keluarga tidak harmonis, 5. Ciri-ciri perkawinan harmonis, 6. Studi kasus kronologis perkara impotensi.

Pada bab keempat ini akan di Jelaskan hasil analisis tentang hukum perkawinan bagi penderita penyakit impotensi dalam perspektif hukum islam.

Bab kelima menyajikan penutup. Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan hasil penelitian, yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran.


(24)

16 BAB II

PERKAWINAN DAN IMPOTENSI

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Kata nikah berarti "berkumpul", sedangkan dalam arti kiasan berarti aqad{ atau "mengadakan perkawinan" dalam penggunaan sehari-hari kata nikah lebih banyak dipakai dalam pengertian yang terakhir, yaitu dalam arti yang kiasan. Para ahli fiqh sendiri, dalam mengartikan kata nikah masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut, apakah dalam pengertian Watha>‟ atau dalam pengertian aqad}. Imam Syafi'i, misalnya, memberikan pengertian nikah itu dengan "mengadakan perjanjian perikatan", sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan watha>‟ atau setubuh.1 Nikah menurut bahasa artinya, berkumpul menjadi satu, sedangkan menurut istilah syara' (Undang-undang Agama Islam) ialah akad yang yang mengandung unsur diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwi>j (ija>b qabu>l).2

Secara etimologis dalam bahasa Arab perkawinan berarti nikah atau zawa>j. Al-Nikah mempunyai arti Al-Wath}‟i, Al -D}ommu, Al-Tada>khul, Al-Jam‟u> yang berarti bersetubuh,

1

Lily Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), 2.

2

Fatihudin Abul Yasin, Risalah Hukum NIkah, (Surabaya: Terbit Terang, 2006), Ed. Revisi, 12.


(25)

hubungan badan, berkumpul, jima>‟ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya

istimta>‟ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang

wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti sebab susuan.3

Menurut sebagian ulama’ Hanafiah, nikah adalah suatu akad yang mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang dengan sengaja bagi seorang pria dan wanita untuk mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut madzhab Maliki, nikah adalah suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan semata-mata untuk meraih kenikmatan seksual. Adapun menurut madhzab Syafi’iah, nikah adalah sebuah akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal “inka>h atau tazwi>j”. Sedangkan ulama’ hanabilah mendefinisikan nikah tangan “akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inka>h atau tazwi>j guna mendapatkan kesenangan.4 Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan yakni: a. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Dalam Q.S An-Nisa ayat 21, dinyatakan “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”. Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

3

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (yogyakarta:Graha Ilmu 2011),4

4 Ibid,4


(26)

18

1) Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dengan rukun dan syarat tertentu

2) Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur t{ala>q, kemungkinan fasakh, shiqa>q, dan sebagainya.

b. Segi sosial dari suatu perkawinan

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau sudah pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

c. Pandangan perkawinan dari segi agama

Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau menjadi pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah SWT.

Allah SWT menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya suatu aturan. Sehingga Allah SWT mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan secara terhormat dengan jalan pernikahan. Pernikahan merupakan sunatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Dengan adanya pernikahan


(27)

ini pula manusia dapat memenuhi hasrat dan kebutuhan biologisnya yang merupakan fitrah dari setiap manusia.Selanjutnya terwujudlah kelestarian dan kehidupan manusia berlangsung di muka bumi ini sampaiwaktu yang ditentukan oleh Allah SWT.5

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjelaskan tentang definisi pernikahan yaitu: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang priadengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Sedangkan definisi perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsa>qan ghali>zhan untuk menta’ati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah”.6

2. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan dalam islam disyariatkan dan memiliki posisi penting, dasar hukum pernikahan sebagai firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum Ayat 21 yang berbunyi:

                                     5

Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta, Cendekia Sentra Muslim, 2005), 21

6

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), 46.


(28)

20

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Qs. Ar-Rum: 21).7 Selain ayat Qur'an di atas perintah menikah juga terdapat pada hadits-hadits Nabi, seperti sabda Nabi SAW yang artinya ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk menciptakan ketenangan. Dan kedamaian bagi manusia yang telah mampu untuk melaksanakannya. Sebagai firman Allah SWT:

ﺝﻮ ﺘﻴ ﻓ ﺓﺀ ﻢﻛ ﻤ ﻉ ﻁﺘﺳ ﻤ ﺷ ﺳﻌﻤ ﻴ

Artinya: “hai sekalian pemuda. siapa yang sanggup bersetubuh

(Karena ada belanja nikah), hendaklah berkawin” 3. Hukum Perkawinan

Sebagaimana dijelaskan dalam sub bab-sub bab sebelumnya, perkawinan disyariatkan dalam agama islam, sedangkan hukum perkawinan itu sendiri sunnah menurut jumhur ulama', akan tetapi hukum perkawinan bisa berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi masing-masing individu. Artinya masing-masing individu harus menimbang hukum menikah untuk dirinya, sesuai dengan kelima hukum yang ada dalam syari’at, yaitu:

a. Wajib

7

Departemen Agama RI, .Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Penerbit JART), 406.


(29)

Menikah menjadi wajib bagi orang yang takut akan jatuh dalam jurang perzinahan, dan ia sudah sanggup secara materiil maupun moril. Selain itu tidak ada niat untuk menyakiti wanita yang nantinya menjadi istrinya, atau melalaikan kewajiban sebagai suami. Yang lebih penting bagi adalah ia sudah tidak sanggup lagi menahan hasrat seksnya, meskipun dengan berpuasa.8

b. Sunnah

Menikah menjadi sunnah jika seorang tidak dikhawatirkan akan jatuh ke jurang kemaksiatan bila tidak segera menikah. Juga tidak punya niat menzhalimi istrinya.9

c. Mubah

Hukum menikah menjadi mubah bagi orang yang tidak mempunyai syahwat atau keinginan untuk menikah dan tidak punya niat untuk menzhalimi istrinya atau meninggalkan kewajiban sebagai suami bila menikah.

8

Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Pernikahan dalam Islam, (Jakarta, Cendekia Sentra Muslim, 2005), 33.

9 Ibid.,


(30)

22

d. Makruh

Hukum menikah menjadi makruh bagi orang yang mempunyai niat ingin berbuat zhalim kepada istrinya atau ia yakin tidak akan mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami, seperti tidak sanggup memberi nafkah, memberi kepuasan seks.10

e. Haram

Menikah menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang mempunyai niat menzhalimi istrinya.11

4. Rukun dan Syarat Perkawinan

Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika Kompilsi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsa<qan gholi<dhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya sebagai ibadah (pasal 2 KHI ). Pernikahan yang penuh nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya pernikahan tercapai. Syarat-Syarat Pernikahan:

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam

2) Laki-laki 10

Ibid., 11


(31)

3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan b. Calon mempelai wanita syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam 2) Perempuan 3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuannya 5) Tidak terdapat halangan perkawinan c. Wali nikah syarat-syaratnya

1) Laki-laki 2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya d. Saksi nikah syarat-syaratnya:

1) Minimal dua orang laki-laki 2) Hadir dalam ija>b qabu>l 3) Dapat mengerti maksud akad 4) Islam

5) Dewasa

e. Ija>b qabu>l syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali


(32)

24

3) Memakai kata nikah, tazwi<j atau terjemahan dari kata dari kata nikah atau tazwi<j

4) Antara ija>b dan qabu>l bersambungan 5) Antara ija>b dan qabu>l jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan ija>b qabu>l tidak sedang dalam ihram haji/ umrah

f. Majelis ija>b dan qabu>l dihadiri sedikitnya empat orang, yaitu: Calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.12 Sejalan dengan asas-asas dan prinsip perkawinan, Undang-Undang perkawinan meletakkan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Bab II pasal 6 hingga pasal 12 memuat syarat-syarat perkawinanitu sebagai berikut:

1) Persetujuan kedua belah pihak 2) Izin orang tua-wali

3) Batas umur untuk kawin 4) Tidak terdapat larangan kawin

5) Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain

6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami-isteri yang sama yang akan dikawini.

7) Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang iddah).

12


(33)

8) Memenuhi tata cara pernikahan.13

Selain dari rukun dan syarat di atas, bagi golongan orang-orang Islam jika mereka ingin kawin, maka mereka harus diperlakukan layaknya apa yang ada dalam Hukum Perkawinan Islam seperti yang ditetapkan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974.14 Adapun sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan Islam yakni harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut: a. Syarat umum

Perkawinan itu tidak dilakukan yang bertentangan dengan larangan–larangan yang termaktub dalam ketentuan. Misalnya yaitu larangan perkawinan dalam beda agama.

b. Syarat Khusus

1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan

2) Kedua calon mempelai tersebut haruslah Islam, akil baligh, sehat jasmani maupun rohani.

Apabila dikaitkan dengan syarat khusus yang nomor dua, dalam hal ini para ulama’ telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami atau istri mengetahui ada aib pada pihak lain sebelum akad nikah atau diketahuinya sesudah akad tetapi ia sudah rela secara tegas atau ada tanda yang menunjukkan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk meminta fasakh dengan alasa aib

13

Rasjidi Lily, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), 73.

14 Ibid.


(34)

26

itu bagaimanapun juga.15Di kalangan madzhab-madzhab fiqih terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang menyebabbkan terjadinya fasakh (kerusakan) perkawinan, diantaranya: Impotensi, al-Jubb dan al-Khasha‟, Gila, Sopak, dan Kusta.16Dimana impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya.17 Dalam keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh madzhab istri dapat membatalkan perkawinan.

Madzhab Imamiyah mengatakan bahwa pilihan untuk memmbatalkan nikah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan adanya impotensi terhadap semua wanita. Kalau seandainya impotensi itu hanya terhadap istri tapi tidak terhadap wanita lain, maka tidak ada pilihan fasakh bagi istri.18 Sebab dalil yang ada menunjukkan bahwa istri seorang laki-laki impoten dapat membatalkan perkawinannya. Dengan demikian orang yang bisa menggauli wanita tertentu, jelas secara hakiki bukan impoten. Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi memgatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya maka istrinya berhak menjatuhkan pilihan berpisah, meskipun suaminya itu mampu melakukannya dengan wanita lain.

15

Ismuha, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), 211

16

Muhammad Jawad Mughniyah,TerjemahFiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,2001), 351

17Bagus Maulana, “Apa arti Impotensi”, http://www.impotensi.org/2011/04/apa -arti-impotensi-impotensi-adalah.html, diakses pada 17 April 2015.

18


(35)

Sebab dinisbatkan kepada istrinya itu, laki-laki tersebut disebut impoten.19

5. Larangan Perkawinan

Islam juga mengatur larangan perkawinan, adapun yang dimaksud dengan perkawinan di sini yakni dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah). Dalam hal ini macam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:

a. Larangan perkawinan karena berlainan agama

Dasar hukumnya yakni dalam Al-Qur’an Surah Al -Baqarah ayat 221, “dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita mushrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita mushrik walaupun ia menarik hatimu”.

b. Larangan perkawinan karena hubungan darah

Dari sudut ilmu kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak akan kurang sehat dan cacat bahkan intelegensinya kurang cerdas.20 Dalam al-Qur’an banyak disebutkan tentang larangan dalam perkawinan sedarah. Seperti dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 23 yang berbunyi “dilarang kamu menikahi perempuan dari saudara

19 Ibid,352 20


(36)

28

kandungmu”. Larangan disini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ija>b qabu>l), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.

c. Larangan Perkawinan karena hubungan sesusuan

Ada dua pendapat tentang hubungan sesusuan. Pendapat pertama dari madzhab hanafi dan madzhab maliki mengatakan bahwa walaupun menyusu hanya satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan antara anak laki-laki yang menyusu dengan anak wanita dari ibu yang menyusui. Pendapat kedua dari madzhab syafi’i mengatakan bahwa menyusu itu minimal lima kali sampai kenyang setiap kali menyusu, dengan tidak dipersoalkan kapan waktu menyusu nya.

d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda

Hubungan semenda yakni setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak atau adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).

e. Larangan perkawinan masih dalam hubungan semenda tetapi lebih bersifat khusus.

Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 22 dijelaskan “jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji”


(37)

Jangan kamu (laki-laki) menikahi wanita yang sedang bersuami. Dari sudut wanita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah dengan laki-laki lain).

g. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li‟an

Li‟an diatur dalam surah An-Nur ayat 4 dan 6. Akibat istri

yang di li’an maka mereka bercerai untuk selama-lamanya dan tidak dapat dirujuk lagi maupun menikah lagi antara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya saja.

h. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)

Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut dinikahi lebih dahulu oleh laki-laki lain secara sah kemudian tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu). Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 230 dikatakan “kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali.

i. Larangan kawin bagi laki-laki yang telah mempunyai istri empat orang. Prinsip perkawinan menurut hukum Islam yakni monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan


(38)

30

anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dari anak yatim tersebut dua, tiga dan maksimal empat orang. Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi batasnya hanya sampai dengan empat orang. Apabila seseorang sudah mempunyai empat orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk kelimanya.

6. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan

Pernikahan memiliki banyak hikmah, di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:21

a. Menjaga orang yang melaksanakannya dari perbuatan haram. Itu karena pernikahan adalah solusiterbaik yang paling sesuai dengan fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhan seksual.

b. b. Melestarikan nasab dan membangun keluarga besar yang dapat menciptakan masyarakat makmur sentosa. Di dalamnya juga akan tercipta sikap saling menolong dan bahu membahu antar anggotanya.

c. Untuk menjaga keturunan dan memperjelas tanggung jawab, siapa yang merawat, membesarkan, dan mendidik mereka, itulah tugas dan tanggung jawab ayah dan ibu, dibantu saudara dan seluruh anggota keluarga, dalam hal ini semuanya punya peran dan tanggung jawab masing-masing.

21

Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Pernikahan dalam Islam, (Jakarta, Cendekia Sentra Muslim, 2005) 45.


(39)

d. Memberikan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang akan membuat bahagia semua pihak. Rasa itu tercermin dalam kehidupan saling mencintai, menyayangi, dan melindungi antar anggota keluarga.

Masih dalam kaitan hikmah perkawinan atau pernikahan yaitu untuk melangsungkan hidup dan membentuk keturunan, serta menjaga kehormatan diri, dan bisa terhindar dari perbuatan yang diharamkan dan sebagai penyalur nafsu birahi.Sebagai jalan untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling tolong menolong.22Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan. Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas di dalam rumah tangganya, seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan suasana menyenangkan, supaya suaminya dapat mengerjakankewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.23

22

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta PT. Pustaka Al-Kautsar, 2006), 379.

23 Ibid.,


(40)

32

B. Impotensi

1. Pengertian Impotensi

Menurut bahasa impotensi adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh. Dan menurut istilah orang impoten adalah orang yang tidak sanggupmensenggamai isterinya, karena terhalang dari sisuami itu sendiri. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Abdurrahman Al-Jaziri memperinci lagi maksud dari impoten itu, ia mengemukakan bahwa orang impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluanya, walaupun sudah bangun kemaluanya waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan wanita lain. (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut impoten) orang yang sanggup dengan isterinya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaanya seperti yang tersebut diatas dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya.24

Menurut ilmu kedokteran yang dimaksud impoten atau disebut juga disfungsi erektil adalah ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk menyelesaikan koiteus. Pasien dapan melaporkan penurunan frekuensi ereksi, ketidak mampuan untuk mencapai ereksi yang keras, atau detumescence

24

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. .89


(41)

(menghilangnya ereksi) yang cepat.25 Disfungsi seksual sering disebut juga disfungsi ereksi yaitu masalah seksual bagi sebagian pria. Tingkatan disfungsi ereksi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti fisik (hormonal & gaya hidup) maupun psikis, dari ejakulasi dini hingga ketidakmampuan untuk mengalami ereksi sama sekali.26

Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian diatas adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah Syara’ ialah orang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya. Dalam hal ini penulis beranggapan apabila hal ini terdapat pada seorang seorang suami tentu isteri kurang menerima haknya. Selama seorang istri tidak mempermasalahkan hal ini dan merelakan keadaan suaminya impoten tidak akan menjadi masalah, akan tetapi bagi istri yang tidak menerima keadaan seperti yang dijelaskan di atas dia akan menuntut haknya.

Seorang isteri bisa mengadukanya kepada pengadilan Agama setempat dan tidak sedikit dari isteri yang mengalami keadaan seperti ini akan berakhir pada perceraian. Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh Para ulama telah sepakat bahwa jika salah satu dari suami isteri mengetahui adanya cacat pada pihak lain sebelum akad nikah ataupun diketahuinya sesudah akad, tetapi ia telah rela atau ada tanda

25

Brunner &Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Jakarta, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, 1997) jilid 8. 1621

26


(42)

34

yang menunjukan kerelaanya, ia tidak mempunyai hak untuk meminta cerai dengan alasan cacat bagaimanapun juga.27

Tetapi hal ini bisa berbeda bila salah satu pihak mengetahui adanya cacat pada salah satu pihak, dan pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bercerai. Seperti seorang suami yang mempunyai penyakit impoten atau lemah syahwat atau disfungsi seksual, maka bila terjadi hal itu istri dapat meminta bercerai atau khulu terdhadap suaminya. Hal ini sejalan dengan pendapat para ulama tentang kebolehan khulu dengan alasan suami impoten atau mengalami disfungsi seksual adalah sebagai berikut:

a. Hanafiyah berpendapat bahwa suami tidak mempunyai hak Fasakh karena sesuatu cacat yang ada pada istri. Yang memiliki hak fasakh hanyalah istri apabila suaminya impoten, istri tidak boleh khulu kecuali penyakit jab (terpotongnya zakar), impoten, gila, sopak, kusta.28

b. Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabillah berpendapat bahwa boleh tidaknya menuntut cerai adalah hak masing-masing seorang isteri. Ahmad bin Hanbal menambahkan penyakit yang boleh menuntut cerai adalah delapan yaitu: gila, sopak, kusta, jab (terpotongnya zakar), impoten, ar-ritq (tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan kesulitan bersenggama), al-qorn (benjolan yang tumbuh pada vagina), dan al-a‟fal (daging yang tumbuh dan selalu

27

Mahmud Syalthut, Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Mahmud Ali Shibih, 1953), .99 28


(43)

mengeluarkan bau busuk). Sebagian mereka menambahkan lagi beberapa cacat seperti ambeien, buang air kecil terus menerus dan bau badan.

Tiga imam tersebut berhujjah dengan dalil nash untuk sebagian dan dengan qiyas untuk sebagian yang lain. Adapun nash hadits yang menerangkan bahwa nabi Saw bersabda kepada perempuan yang dilihatnya ada noda putih pada lambungnya, “bergabung kembali dengan keluargamu”. Dengan hadits ini jelas sopak, kemudian diqiyaskan kepada kusta dan gila dengan alasan sama-sama menjijikan. Rasulullah Saw bersabda ”Larilah dari orang yang berpenyakit kusta”.

Hadis ini tegas-tegas memandang kusta itu salah satu untuk lari dan maksud dari lari itu adalah dengan fasakh. Mereka mengatakan, nikah dikiaskan dengan jual beli, cacat-cacat yang membolehkan fasakh pada jual beli, membolehkan juga fasakh pada nikah. Mereka mengqiaskan cacat-cacat tersebut kepada jab dan impoten, dengan alasan masing-masing penyakit tersebut menghilangkan tujuan nikah bagi pihak suami isteri.

a. Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dan kasih sayang. Beliau berpendapat bahwa menuntut cerai bisa dilakukan dengan alasan setiap cacat yang mebuat pasangan hidupnya tidak bertahan hidup bersamanya, baik penyakitnya


(44)

36

parah atau tidak seperti mandul, tuli, buta, tangan atau kakinya terpotong, dan lain-lain.29

Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk melakukan perceraian. Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi pada kata-kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.

Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan

29

Mahmud syalthut, Muqoronah al Madzahib fi al Fiqh, (Mahmud Ali Shibih, 1953), 101


(45)

alasan untuk bercerai. Impotensi, yang lebih memperinci lagi maksud impoten itu adalah: orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun kemaluannya pada waktu mendekati istrinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan wanita lain.

Impoten bisa disebut juga karena orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup pada perempuan perawan, bisa disebut impoten juga karena orang yang sanggup pada istrinya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaannya seperti itu disebut dinamakan impoten untuk mensetubuhi istrinya. Dengan demikian impoten menurut bahasa: Orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah Orang yang tidak danggup besenggama pada kemaluan istrinya.30

Impoten atau disfungsi ereksi pada dasarnya terjadi akibat tersumbatnya darah menuju zakar. Dalam hal ini kasusnya cukup bervariasi. Ada suami yang bisa ereksi selama cumbuan awal, namun ketika hendak melakukan hubungan suami istri penetrasinya lemas. Ada juga suami yang bisa melakukan penetrasi, namun berapa kali gerakan zakarnya sudah lemas dan terlepas dari vagina. Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian di atas menurut bahasa adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh,

30

Fidaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), 91


(46)

38

sedangkan menurut istilah Syara’ ialah orang yang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya.

Kalau hal ini terdapat pada salah seorang suami tentu istri kurang menerima haknya. Selama istri merelakan itu tidak menjadi persoalan, tetapi bagi istri yang tidak rela, ia (istri) akan menuntut haknya. Dalam hal ini ia (istri) harus melalui prosedur Pengadilan. 2. Sebab-Sebab Impotensi

Dari segi penyebabnya, impotensi dibagi menjadi tiga bagian antara lain sebagai berikut:

a. Impotensi organis adalah impoten yang disebabkan oleh penyakit kelamin atau penyakit lainnya yang kemudian mempengaruhi alat kelamin, sehingga kemampuan seksualnya tidak normal. Penyakit yang dimaksug di atas yaitu mencakup trauma operasi yang menyebabkan sirkalulasi darah ke zakat tidak baik, kerusakan sum-sum tulang belakang (trauma medulla spinalis), pembengkakan prostat, kerusakan saraf akibat penyakit kelamin, atau karena membengkaknya saraf-saraf karena difteria.

Impotensi juga bisa karena suami menderita penyakit TBC, malaria, dankencing manis. Pada prinsipnya kencing manis merupakan penyakit karena gangguan metabolisme tubuh, yakni kegagalan mengurangi gula di dalam membuka peluang bagi terjadinya komplikasi seperti gangguan pada pembuluh darah (vaskulopati), gangguan persarafan (neoropati), dan gangguan


(47)

pada sel otak (miopati). Padahal ketiga faktir tersebit memegang peranan penting dalam proses ereksi,. Oleh karena itu, wajar jika impotensi sering menimpa pada penderita kencing manis.

b. Impotensi fungsional adalah impotensi yang disebabkan oleh gangguan saraf, pemakaian obat-obatan antihipertensi, antidepresi, trankuilizer, obat diksi seperti alkohol. Barbiturat, heroin, amfetamin secara berlebihan.

Sebagaimana diketahui, ereksi yang biasanya berlanjut dengan ejakulasi semuanya diatur oleh saraf secara otomatis. Apabila saraf itu terganggu, maka sudah tentu potensi seksualnya juga terganggu. Di samping itu kekurangan kekurangan hormon dan kelelahan akibat bekerja terlalu keras juga bisa mengakibatkan impotensi jenis yang disebutkan di atas.

c. Impotensi psikis adalah impotensi yang disebabkan oleh faktor psikologis. Laki-laki yang menderita impotensi jenis ini dari segi fisik penisnya normal, namun tidak bisa ereksi karena ada gangguan yang bersifat psikis. Namun jika dibiarkan bisa menjadi impotensi sejati.31

d. Impotensi yang disebabkan oleh tertutupnya kedua pasangan saluran cairan mani. Tertutup cairan mani ini biasanya terjadi pada saluran mani atau saluran pengecar, karena gejala yang

31Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori,

Bimbigan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), 110


(48)

40

bermacam-macam seperti bengkak-bengkak atau bintik-bintik pada penis.32

Dan penaggulangannya atau pengobatan impotensi sangat tergantung dari penyebabnya, namun terlebih dahulu harus diketahui impotensi jenis apa yang diderita oleh suami di antaranya adalah: a. Jika yang diderita adalah impotensi organis yang disebabkan oleh

kelainan fisik, maka upaya penyembuhannya harus ditangani oleh dokter ahli. Penanganan para ahli dalam hal ini terbukti banyak membuahkan hasil yang memuaskan. Paling tidak, mereka sampai target hubungan seksual (penetrasi) berhasil dilakukan. Untuk keperluan penyembuhan tersebut para ahli telah menciptakan alat bantu yang bantu dari luar yang prinsip kerjanya megembangkan ruang vakum (kosong) di sekitar penis. Di Inggris telah menciptaka alat bantu seperti itu. Alat bantu yang pertama berupa silicon yang dikenakan seperti memakai kondom. Dengan memasukkan udara kedalamnya, maka akan menghasilkan penegangan. Namun para pengguna juga banyak yang mengeluh karena berkurangnya kepekaan (sensivitas) karena alat tersebut dirasakan terlalu tebal.

b. Jika yang diderita adalah impotensi fungsional yang disebabkab oleh gangguan saraf, maka upaya penyembuhannya adalah alat yang kedua berupa silinder platik yang dikenakan pada penis, lalu

32

Abu Yusuf Al-Banjari, Penyakit Kulit dan Kelamin Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmi, 1996), 148


(49)

udaran di dalamnya disedot dengan pompa jika penis tersebut sudah membesar, maka dengan sendirinya darah akan masuk ke dalam pembuluh darah penis. Setelah itu pada pangkal penis dipasang karet silikon yang berbentuk lingkaran sebagai penyumbat udara. Para pemakai alat ini biasanya bisa menikmati hubungan seksual. Meskipun sesudah menggunakan alat ini biasanya pembengakakan, namun kemudian bisa normal kembali. c. Jika yang diderita adalah impotensi psikis yang disebabkan oleh

factor psikolosgis, maka upaya penyembuhannya memerlukan kesabaran dan bantuan psikiater diperlukan untuk menyelidiki latar belakang kehidupannya sehingga mengalami impotensi. Hasil penyelidikan itu akan dianalisa untuk dijadikan dasar alam memberikan saran dan nasehat bagi upaya penyembuhan tahap berikutnya.

Disamping itu peran istri dalam upaya menyembuhkan impotensi psikis ini juga sangat penting. Misalnya, jika suami menderita impotensi karena kekhawatirannya terhadap penisnya yang pendek atau kecil, di samping berkonsultasi dengan psikiater, istri pun harus membantu suaminya agar tidak usah menghiraukannya, karena jika suami terus-terus memikirkannya justru akan menambah kecemasannya, dan itu akan memperparah impotensi yang dideritanya.33

33Anang Zamroni dan Ma’ruf


(50)

42

3. Jenis-Jenis Impotensi

Di kalangan madzhab-madzhab fiqih terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang menyebabbkan terjadinya fasakh (kerusakan) perkawinan, diantaranya: Impotensi, al-Jubb dan al-Khasha‟, Gila, Sopak, dan Kusta.34

a. Impotensi

Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya. Dalam keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh madzhab istri dapat membatalkan perkawinan.

b. Al-Jubb dan Al khasha‟

Al-Jubb adalah terpotongnya dzakar, sedangkan al-khasha‟ adalah kehilangan atau pecahnya buah dzakar.35

c. Gila. Gila adalah adanya gangguan jiwa. d. Sopak dan Kusta

e. Al-Ritq, Al-Qarn, Al-Afal, dan Al-Ifdha

Al-Ritq adalah tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama. Al-Qarn adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip tanduk domba, dan al-„afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan

34

Muhammad Jawad Mughniyah, TerjemahFiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,2001), 351

35


(51)

wanita yang selalu mengeluarkan cairan, sedangkan al-ifdha‟ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan.36

Ada tiga macam impotensi, yaitu yang sifatnya a.) Organis, b.) Fungsional dan c.) Psikogen

a. Impotensi Organis jarang ditemukan, yaitu disebabkan oleh cacat organis atau anatomis pada alat kelamin, atau ada kerusakan pada susunan syaraf pusat.37

b. Impotensi fungsional disebabkan oleh gangguan pada syaraf, oleh pemakaian obat-obatan tertentu dan obat bius (Drugs) yang berlebihan.38 Bisa juga disebabkan oleh terlalu banyaknya kecanduan alkohol, kekurangan hormon, kelelahan, dan gangguan pada kesehatan badan, misalnya disebabkan penyakit diabetes atau penyakit gula.

c. Impotensi Psikogen paling banyak terjadi. Yaitu disebabkan oleh gangguan-gangguan psikis, gangguan emosional (rasa ketakutan dan kecemasan yang hebat, kecewa, rasa jengkel, motif balas dendam, kurang kepercayaan diri, dll)39

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwasaanya banyak jenis impotensi mulai dari yang ringan sampai yang sama sekali tidak dapat ereksi, namun dari semua jenis atau tingkatan impotensi itu mempunyai akibat yang sama, yaitu orang yang

36

Ibid.,357. 37

Kartini kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: CV. Mandar Maju,1989) ,239

38

Ibid.,239 39


(52)

44

bersangkutan tidak dapat melakukan hubungan intim suami istri. Adakalanya bisa terjadi ereksi, akan tetapi dzakar menjadi lemas kembali setelah mendakati vagina (lubang senggama wanita) seperti takut pada vagina. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa kecemasan atau ketakutan sebagai produk dari pengalaman traumatis pada waktu kecil dan masa muda.Impotensi yang paling mengecewakan adalah impotensi dimana alat kelamin pria itu sama sekali tidak mau ereksi, semakin dirangsang dan dicoba, semakin tidak mau ereksi. Adapun macam-macam tingkat keparahan impotensi antara lain sebagai berikut:

a. Impotensi Absolut atau Primer yaitu gangguan impotensi seksual yang terjadi terus menerus kapan dan dimana saja, dengan kata lain laki-laki tersebut total atau sama sekali tidak dapat ereksi.40 b. Impotensi Relatif atau sekunder yaitu impotensi yang terjadi

sesudah ereksi artinya hilangnya ketegangan alat kelamin pria sesudah yang bersangkutan mengalami ejakulasi.41

c. Impotensi Selektif yakni seorang laki-laki dapat berhubungan kelamin dalam keadaan tertentu, akan tetapi tidak dapat ereksi dalam keadaan yang lain, artinya si penderita akan muncul keluhan impotensi hanya pada pasangan tertentu dan lancar-lancar saja pada pasangan yang lain.42

40

Ibid., 380 41

Ibid., 380 42


(53)

d. Ereksi yang kurang sempurna yaitu pria dalam melakukan hubungan seksual pasti ingin memberikan kepuasan terhadap pasangannya. Tetapi dalam hal ini pria tidak dapat ereksi secara sempurna, sehingga kurang berfungsi secara sempurna juga. Keadaan ini karena adanya keengganan mengadakan hubungan seksual dengan pasangannya sehingga hal ini dapat mempengaruhinya.43

e. Ejakulasi prematur yaitu pembuangan sperma yang terlalu dini atau cepat, berlangsung sebelum dzakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang senggama, atau berlangsung ejakulasi beberapa detik sesudah penetrasi. Bentuk ini merupakan bentuk yang sering dijumpai. Keadaan ini disebbkan antara lain karena biasa melakukan hubungan seksual dengan tergesa-gesa karena takut diketahui oleh orang lain, karena adanya dorongan yang kuat, ataupun karena adanya perasaan rendah diri dari yang bersangkutan.44

43

Ibid., 90 44


(54)

46

Sedangkan macam-macam impotensi pada wanita antara lain: a. Frigiditas atau dingin syahwat adalah keadaan wanita tanpa

kegairahan seksual dan kekurang-mampuan wanita untuk menikmati kepuasan seksual.45Atau dia tidak mampu menghayati orgasme dalam Coitus.46 Dan dia memandang bahwasannya senggama sebagai suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat. Penyebab Frigiditas antara lain:

1) Faktor Fisik: Secara fisik pada wanita Frigid darah tidak mengalir sepenuhnya ke organ seksual, sehingga organ seksualnya tidak bisa mengeras atau tegang, kelenjar-kelenjarnya tidak mengeluarkan cairan, dan begitu pula bibir dalam dan bibir lauar vagina tidak dipenuhi dengan lendir. Berbeda dengan laki-laki, wanita yang Frigid masih tetap dapat melakukan senggama tetapi hanya bersifat pasif tanpa ekspresi.47

2) Faktor Organis: kelainan pada rahim dan vagina sehingga penderita tidak mampu melakukan senggama yang normal dan akhirnya menjadi beku secara seksual.48

3) Faktor Psikologis: adanya rasa bersalah atau berdosa, rasa cemas dan takut yang kronis sehingga hal ini

45

Nina Surtiratna, Bimbingan Seks Suami Istri: Pandangan Islam dan Medis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 153

46

Kartini kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: CV. Mandar Maju,1989), 237

47

Ibid., 237 48


(55)

halangi wanita tadi untuk menjalin relasi afektif dengan seorang pria atau suaminya, sekaligus menghalang-halangi dirinya untuk menghayati orgasme.49

b. Vaginismus adalah kejang urat yang sangat menyakitkan pada vagina. Adakalanya fungsi vagina itu menjadi abnormal. Yaitu mengadakan kontraksi-kontraksi (penegangan, pengejangan, dan pengerasan) yang menyakitkan sekali. Peristiwa vaginismus bisa timbul secara spontan tanpa disadari, bisa relaktif sewaktu zakar melakukan penetrasi atau sewaktu berlangsung emissio penis (zakar mengeluarkan air mani). Atau berlangsung pada waktu diadakan pemeriksaan ginekologis. Adapun bentuk-bentuk vaginismus yaitu :50

1) Vaginismus reflektif primer, yang terjadi pada saat melakukan coitus/senggama pertama kali.

2) Vaginismus reflektif sekunder, disebabkan kelainan somatis atau gangguan organis. Pada mulanya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus biasa.

3) Vaginismus psikogen primer, pada peristiwa senggama pertama yang bersumber pada sebab-sebab psikis.

4) Vaginismus psikogen sekunder, pada awalnya yang bersangkutan mampu melakukan senggama akan tetapi sesudah beberapa waktu lamanya timbul gejala vaginismus

49

Ibid., 237 50


(56)

48

yang disebabkan oleh rasa penolakan untuk melakukan senggama.

c. Dyspareunia yaitu persenggamaan yang sangat menyakitkan atau tidak adanya kapasitas untuk menikmati relasi seksual atau persenggamaan. Kesakitan pada dyspareunia ini menurut tempatnya bisa dibagi dalam beberapa penggolongan sebagai berikut :51

1) Sewaktu pria mengeluarkkan air mani, pihak wanita merasakan sakit pada lubang kemaluannya.

2) Karena keluarnya lendir pelicin yang kurang, hal ini disebabkan karena kurang lamanya dalam melakukan pemanasan, dimuati rasa-rasa ketakutan misalnya takut hamil dan lain sebagainya.

Secara umum dari uraian diatas dapat ditemukan bahwa impotensi merupakan problematika yang dapat terjadi pada suami dan istri, karena dalam tubuh manusia memiliki gejolak-gejolak revolusi seks yakni pada keadaan tertentu naluri yang ada pada manusia (libido) akan mempunyai perasaan yang mudah terangsang oleh sesuatu, baik yang berupa rangsangan-rangsangan seksual dari luar (penglihatan dan pendengaran) ataupun berupa khayalan-khayalan dan impian-impian seksual, sehingga bangkitlah keinginan untuk melakukan persetubuhan. Dan dalam keadaan tertentu pula naluri seks

51


(57)

akan menurunkan hingga akhirnya tidak mampu untuk melakukan hubungan biologis. Untuk mengetahui bahwa seseorang dikatakan normal dengan beberapa kriteria sebagai berikut :

a. Ia mampu bereaksi manakala melihat seseorang wanita yang menarik, melihat gambar, membaca atau mendengar sesuatu yang merangsang.

b. Ia mampu ereksi

c. Ia mampu melakukan kewajiban hubungan intim suami istri d. Ia mampu mengeluarkan cairan mani dan sperma

e. Dan ia mampu memuaskan istrinya.52

Adapun mengenai lamanya hubungan intim suami istri, hal inipun relatif singkat, tergantung pada reaksi lawan seksnya, terutama bagi pihak wanita, sebab ada wanita yang sensitif atau cepat mengalami orgasme dan adapula yang lambat. Dari situlah dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengalami impotensi atau penurunan potensi seksual yakni apabila ia tidak mampu untuk mencapai kriteria-kriteria diatas dan selain itu perasaan cemas, panik dan lainnya akan selalu terbawa dalam jiwanya.

4. Faktor-Faktor terjadinya Impotensi

Ada beberapa faktor terjadinya impotensi, namun pada umumnya para ahli berpendapat bahwa sebab dari impotensi itu banyak yang terletak pada sebab yang bersifat psikologis. Berbagai

52

Dadang Hawari, Al-Qur‟an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta : PT.Dana Bhakti Prima yasa, 1997) ,383


(58)

50

faktor yang menyebabkan ketidakmampuan ereksi atau hilangnya nafsu birahi (Impotensi) dapat diklasifikasikan menjadi tiga sebab, yaitu karena faktor psikologi, obat-obatan dan sebab fisiologis.53 a. Impotensi karena faktor Psikologi

Impotensi karena faktor psikologi sering disebut impoten psikologis, pada umumnya impotensi ini bersifat kolektif, yakni pada suatu waktu dalam keadaan impotensi, tetapi pada waktu yang lain dalam keadaan poten. Misalnya pada saat menghadapi istrinya sendiri dalam keadaan impoten tetapi dalam menghadapi wanita tidak demikian, ia masih cukup poten untuk melakukan hubungan seksual, ataupun sebaliknya. Jadi impotensi psikologi pada umunya bersifat selektif.

Bila seseorang individu masih mampu ber-ereksi, secara fisiologi individu ia masih mampu untuk melakukan hubungan seksual. Akan tetapi jika pada suatu waktu ia tidak dapat melakukan hubungan seksual karena tidak dapat ber-ereksi dan tidak ada sebab-sebab pada fisiologinya, misalnya karena jatuh atau sebab lain maka hal tersebut bisa dikarenkan karena faktor psikologi. Impotensi karena faktor psikologi ini dapat ditimbulkan karena beberapa macam sebab:

1) Impotensi karena tidak atau belum adanya pengalaman dalam hubungan seksual

53


(59)

2) Impotensi hanya dengan istrinya yaitu yang hanya terjadi dengan istrinya saja, sedangkan dengan wanita lain ia masih dalam keadaan poten, hal ini disebabkan karena adanya perasaan kurang senang, rasa dendam, ataupun permusuhan karena istrinya menyeleweng dalam melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.

3) Impotensi sebelum ejakulasi, pada ejakulasi prematur puncak hubungan seksual telah tercapai sebelum dikehendaki oleh individu yang bersangkutan.54

b. Impotensi karena obat-obatan

Impotensi dapat disebabkan karena penggunaan obat-obatan dan narkotika. Dengan penggunaan obat-obat-obatan, pada taraf pemulaannya hanya mengurangi minatnya terhadap jenis seks yang lain, namun pada perkembangan kemudian akan dapat menimbulkan impotensi.55

c. Impotensi karena faktor Fisiologi

Penyakit yang menimbulkan kelemahan, perasaan sakit, biasanya akan mempengaruhi minat dalam hubungan seksual. Hal ini merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan perkawinan. Dengan menurunnya minat dalam hubungan seksual dapat berakibat turunnya potensi dalam hubungan seksual dan dapat mengakibatkan timbulnya impotensi apabila keadaanya bersifat

54

Ibid., 88-90 55


(60)

52

kronis. Impotensi karena keadaan fisiologi juga dapat terjadi karena keadaan organik, khususnya karena pusat susunan syaraf (otak) maupun syaraf lain dalam keadaan tidak berfungsi lagi, termasuk juga soal hormonal.56 Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya impotensi dapat dialami oleh pria maupun wanita, hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor seperti faktor psikologis, faktor fisik yang sudah tua, faktor organis karena kelainan dan lain sebagainya.

56


(61)

53 BAB III

HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DAN CIRI-CIRI PERKAWINAN HARMONIS DALAM RUMAH

TANGGA ISLAM

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Bagi Penderita Penyakit Impotensi

Pernikahan adalah media untuk menyalurkan kebutuhan biologis yang sah dan merupakan satu-satunya cara yang sesuai dengan aturan syariat Islam. Dan perkawinan disyariatkan karena adanya tujuan penjagaan diri dari dosa yang dapat merusak agama, pemeliharaan keturunan, penciptaan generasi, pelayanan, nafkah, perlindungan serta menjaga kesehatan bagi para pelakunya. Di dalam Al Quran penyebutan pernikahan hanya pada aturan-aturan yang bersifat umum, yang kemudian dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW dan penjabarannya yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh lama. Nampaknya tentang hukum nikah yang sudah ada pada karya-karya ulama terdahulu kurang disemangati dan dikembangkan oleh generasi sesudahnya, diselaraskan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dewasa ini.

Ijtihad Ibnu Qudamah dengan mengedepankan teori maslahah tentang penetapan hukum nikah bagi pengidap impotensi menyatakan pendapatnya, bahwa pengidap impotensi adalah lebih baik tidak menikah karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah. Tujuan maslahah yang dihadapi orang yang mengidap impotensi (tidak mampu bersenggama) adalah tingkatan maslah}ah Dharuriyat. Oleh karena ada singgungan dengan maslah}ah Dharuriyat maka


(62)

54

harus diupayakan agar maslah}ah tersebut dapat terjaga. Padahal ini yang diupayakan adalah agar seorang calon isteri tidak merusak agamanya dikarenakan selama masa perkawinannya tidak mendapat hak nafkah batin yang dipandang ia akan mencari pemenuhannya melalui cara-cara yang tidak dibolehkan dalam agama. Juga mengenai tujuan reproduksi dan meneruskan keturunan yang dapat terganggu akibat keadaan calon suaminya tersebut.

Karena penyakit impotensi ada bermacam ragam menurut asal penyebabnya, maka dalam hukum yang ditentukan dalam hal ini adalah menurut keadaan yang dialaminya tersebut. Yakni ketentuan untuk tidak menikah adalah lebih baik untuk impotensi jenis asal kejadian dan pada impotensi yang bisa diupayakan penyembuhannya seperti impotensi karena keadaan cuaca dan impotensi psikis masih digunakan hukum yang bersifat umum, selama calon isteri yang dinikahinya itu ridho.

Mengenai penyakit Impotensi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila calon suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka calon istrinya berhak menjatuhkan pilihan tidak melanjutkan perkawinan atau pembatalan perkawinan, walaupun calon suaminya itu mampu melakukannya dengan wanita lain. Sebab, dinisbatkan kepada calon istrinya itu, laki-laki tersebut disebut impotensi. Dan apa manfaat untuk si calon istri dari kemampuan calon suaminya melakukan hubungan seksual dengan wanita lain kalau tidak bisa berhungan dengan calon istrinya.


(1)

87

lagi memenuhi maksud perkawinan, baik maksud utama yaitu untuk

berketurunan ataupun untuk mengadakan hubungan seksual. Mereka juga

sependapat bahwa sebelum tidak dilanjutkan perkawinannya si calon

suami diberi masa tangguh selama setahun, sesuai dengan yang

dicontohkan Khalifah Umar supaya selama masa tersebut suami dan istri

itu dapat berusaha mengobatinya dengan harapan impotennya itu dapat

disembuhkan. Diberikan kesempatan 1 tahun masa tangguhan, agar dapat

memberikan kemampuan bersetubuh.

B. Saran

Sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi ini, penulis ingin

memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada para istri yang menemui kasus seperti diatas, janganlah terlalu

cepat minta fasakh, tetapi cobalah bermusyawarah terlebih dahulu untuk

mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, dan kepada para istri yang

belum atau tidak menemuinya, harus hati-hati supaya jangan terjadi

hal-hal yang tidak diingini. Selain itu bagi calon pasutri sebelum

melaksanakan perkawinan maka hendaklah lebih mempelajari makna

mendalam dari tujuan perkawinan, sehingga lebih bijak dalam menghadapi

tantangan kehidupan rumah tangga.

2. Bagi pasangan suami istri sebelum melangsungkan perkawinan hendaklah

melakukan test kesehatan dalam membentuk sebuah keluarga yang

saki>nah mawaddah wa al rahmah dan agar ikatan perkawinan mereka


(2)

88

mengetahui keadaan masing-masing sehingga tidak ada kekecewaan di

kemudian hari yang dapat menjadi penyebab keretakan dalam ikatan

perkawinan.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyadari bahwa penelitian

ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, maka kritik dan saran yang

membangun sangatlah diharapkan. Dan penulis berharap semoga apa yang

sudah dipersembahkan akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi penulis


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Banjari, Abu Yusuf. Penyakit Kulit dan Kelamin Menurut Pandangan Islam,

Jakarta: Pustaka Ilmi, 1996.

Al-Ghazali. Percikan Ihya’ Ulumuddin ‚Menyingkap Hakikat Perkawinan,

Jakarta: IKAPI, 2015

Amin, Suma Muhammad. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 2005.

Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbandingan, cet. Ke-1 Yogyakarta: Darrussalam, 2004.

Asrori, Anang Zamroni dan Ma’ruf. Bimbigan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda, 1997

As-Sanidy, Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid. Indahnya Nikah Sambil Kuliah, Jakarta, Cendekia Sentra Muslim, 2005

Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.

Bagus, Maulana. ‚Apa arti Impotensi‛, http://www.impotensi.org/2011/04/apa-arti-impotensi-impotensi-adalah.html, diakses pada 17 April 2015.

Departemen Agama RI. .Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV.

Penerbit JART)

Departemen Agama. al–Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Jabal Raudhoh Jannah, 2010).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1989)

Dirjen Binaga Islam. Ilmu Fiqh Jilid II, Jakarta, 1985

Firdaweri. Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan karena ketidak mampuan suami menunaikan kewajibannya, cet. ke-1 Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: PT. Prenda Media, 2003. Harahap, Yahya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-1


(4)

Hawari, Dadang. Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima yasa, 1997.

http://www.andriewongso.com diakses pada tanggal 30-10-2009.

http://www.beritasatu.com/57213-impotensi-lelaki-ini-sembuh-setelah-minum-asi-istrinya.html, diakses pada 28 oktober 2015.

Ibnu, Rusyd. Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Semarang: CV. Asy syifa’, 1990.

Ismuha. Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1993.

Junaedi. ‚Tanya jawab tentang Hukum Menikah dengan Waria atau orang

Impoten APA Beda?‛, Web Internet Facebook, 19 juni 2011

Kartono. Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Pernikahan, 142

Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. ke-2 Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

M.Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet. ke-1 Jakarta: Kencana, 2004.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, yogyakarta: Graha Ilmu 2011.

Maududi, Abul A’ala. Kawin dan Cerai Menurut Islam, cet. ke-1 Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Maulana, Bagus. ‚Apa arti Impotensi‛, http://www.impotensi.org/2011/04/apa-arti-impotensi-impotensi-adalah.html, diakses pada 17 April 2015.

Muflichah, Khalimah. Cerai Gugat Karena Suami Impoten Surabaya: IAIN

Sunan Ampel, 2003.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Terjemah Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: PT.

Lentera Basritama, 2001.

Muhammad, Abu Bakar. Terjemah Subulus Salam III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995 Muhammad, Husain. Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKIS, 2002


(5)

Muhammad, Syaikh Kamil ‘Uwaidah. Fiqih Wanita, Jakarta PT. Pustaka Al-Kautsar, 2006

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Ramali, Ahmad. Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, Jakarta: Djambatan, 2003. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo

Rasjidi, Lily. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.

Rochman, Imdadur. Impotensi Sebagai Alasan Perceraian, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004.

Rofiq, Ahamad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003. Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Semarang: CV. Asy syifa’, 1990.

Saebani, Beni Ahmad. Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang

(Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Poligami dan Problematikanya), cet. ke-1 Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Suddarth, Brunner. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.

Sugiyino. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008.

Surtiratna, Nina. Bimbingan Seks Suami Istri: Pandangan Islam dan Medis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Syalthut, Mahmud. Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, Mahmud Ali Shibih, 1953.

Syarafudin, Muhammad. Terjemah Kitab Al-Mughni, Pustaka Azam, 2013. Thalib, Muhammad. 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, Bandung:

Irsyad Baitus Salam, 1997.

Walgito, Bimo. Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta; Andi Offset, 2002.


(6)