Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam
Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam
Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengkaji hukum Islam dalam masa
modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi
pencatatan nikah dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung
kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian
lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah
sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini
pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan
pernikahan.
A. Tujuan Pencatatan Pernikahan (di Indonesia)
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah
agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar
benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang
dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan
sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti
waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Selain itu disebutkan
dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar
mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU
tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut
agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur
segala halhal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai
kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan
rapat dengan warismalwaris sehingga perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan
sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan.
Dan ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawa Pencatat Nikah.[2]
B. Pencatatan Nikah Di Negara Lain
Yang dimaksud dengan Negara lain disini adalah Negara dengan penduduk mayoritas
Islam atau Negara dengan Hukum Islam. Pada subbab ini hanya akan dijelaskan
sekilas mengenai Pencatatan nikah di beberapa negara lain.[3]
1. Malaysia
Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan
perkawinan. Proses pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah. Contohnya teks
UU Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiaptiap orang
yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkahwinan tidaptiap orang yang
tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang hendaklah
didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya
merupakan perbautan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau
penjara.
2. Brunei Darussalam
Sebagaimana Negara sebelumnya, Brunei juga mengharuskan adanya pendaftaran
perkawinan, meskipun dilakukan setelah akad nikah dan lewat pendaftaran inilah
Pegawai Pendaftar memerikas lengkap atau tidak syaratsyaratnya. Bagi pihak yang
tidak mendaftarkan perkawinannya termasuk pelanggaran yang dapat dihukum denda
atau penjara.
3. Mesir
Aturan pertama tentang pencatatan tersebut dalam UU Mesir tentang Organisasi dan
Prosedur Beperkara di pengadilan Tahun 1897, disebutkan dalam UU ini ,
pemberitahuan satu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan
(akta). kemudian menurut peraturan tahun 1911, pmbuktian harus dengan catatan
resmi pemerintah atau tulisan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal
dan dalam peraturan tahun 1931 lebih doertegas lagi dengan katakata harus ada bukti
resmi ( Akta) dari pemerintah.
4. Lebanon
Dalam UU lLebanon mengeani Hukum Keluarga tahun 1962 disebut , seharusnya
pegawai yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan. Tetapi tidak ada
penjelasan tentang status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai prosedur.
5. Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan
atau perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran.
6. Pakistan dan Bangladesh
Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, Pakistan dan Bangladesh
mengharusan pendaftaran perkawinan. Ulama Tradisioanl Pakistan juga setuju dengan
kaharusan pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat syah
perkawinan. Bagi yang melanggar peraturan dapat dihukum denda dan atau penjara.
7. Yordania
Dalam UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan
dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman
pidana.
Selain Negaranegara tersebut Negara lainya sperti Syria, Maroko, Tunisia, Libya ,
Yaman diberlakukan peraturan pencatatan nikah.
C. Dampak Negatif tidak Dicatatkannya Perkawinan
Beberapa akibat negatif disebabkan tidak dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah:
1. Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan pencatatan nikah adalah untuk
kepastian hukum. Sehingga jika terjadi sengketa dalam perkawinan maka akan
kesulitan dalam pemecahan permasalahan di pengadilan.
2. Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat Negara), akibat tidak memiliki Akta Nikah,
dalam banyak kasus yang banyak dirugikan adalah pihak Istri. Siti Lestari dari Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang dalam
kegiatannya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya
perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri ternyata banyak memberikan kerugian
terhadap perempuan. Menurutnya, apaapa yang berdampak dari perkawinan siri
secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan
perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan
tidak dapat menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan
sebagainya apabila sang suami tidak mau memberi.[4]
3. Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak. Padahal dewasa ini akta kelahiran
menjadi alat yang sangat penting terutama sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga
masa depan anak ikut terkena dampak buruknya.
D. Dampak Negatif Adanya Pencatatan Nikah
“Hal negatif” yang mungkin saja bisa timbul akibat pencatatan nikah (Akta nikah).
Surat nikah kadangkadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan
tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri
telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masihmemegang surat nikah. [5]
E. Pentingnya Pencatatan Nikah
Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah dicatatkan:
1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah
maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu
masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili.
2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat dilakukan dengan
ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat
menjanjikan lagi maka penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk
mencapai tujuan maslahah.[6]
3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah
menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi
SAW mensunahkan untuk mengadaan walimah. [7]
F. Pencatatan Nikah Dalam Hukum Islam
Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitabkitab fikih konvensional tidak
ditemukan hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan. [8] Di
dalam kitabkitab Fikih Klasik biasanya diterangkan bahwa secara filosofis keberadaan
saksi bertujuan untuk memelihara kehormatan wanita dengan adanya kehatihatian
dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari tindakan yang tidak bertanggung
jawab sebab adanya tindakan curang yang dilakukan oleh salah satu pihak serta
menjaga status nasab.[9]Kebanyakan Ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak syah
tanpa adanya bayinah (bukti) yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad.[10]
Yang Perlu menjadi perhatian adalah bahwa dulu persaksian adalah alat yang paling
utama untuk menentukan hak seseorang, Karena persaksian adalah alat bukti yang
paling terpercaya pada masa itu. Karena masih banyak orang yang adil dan kredibel
yang bisa dipertanggung jawabkan.[11]
Mengenai saksi ini, beberapa pendapat Ulama Klasik sebagai berikut:[12]
a. Imam malik.
Imam Malik menekankan fungsi saksi, yakni pengumuman. Imam Malik membedakan
antara pernikahan sirri dengan pernikahan tanpa bukti. Niah sirri adalah nikah yang
secara sengaja dirahasiakan oleh para pihak yang terlibat dalam pernikahan, hukum
pernikahan seperti ini adalah tiadak sah. Sebaliknya hukum pernikahan yang tidak ada
bukti tetapi diumumkan kepada khalayak ramai (masyarakat) adalah sah.
b. Imam Syafi’ie
Imam Syafi’ie mengharuskan saksi dalam pernikahan. saksi harus dua orang pria
yang adil. Khorudin nasution menulis dalam bukunya bahwa pada prinsipnya semua
ulama tersebut mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Sehingga dari penjelasan
tersebut, bukanlah suatu kesimpulan yang radikal dan ekstrim jika dikatakan
Pencatatan Nikah berkedudukan penting sebagaimana halnya kedudukan dan fungsi
saksi dalam akad pernikahan,yaitu sebagai bukti telah dilangsungkannya akad
pernikahan dengan sah.
G. Kaitanya Dengan Nikah Sirri dan Istinbath Hukum
Adapun yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah perkawinan yang tidak
dicatatkan ke Badan Pencatat Pernikahan.
Dalam kaidah ulhsul alFiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan
untuk beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat
menemukan aturan di dalam nash (alQuran dan asSunnah asShohihahaw al
Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara lain, yang disebut dengan Ijtihad. Ijtihad dapat
dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:
1. Nash (alQuran dan asSunnah) yang dzoni
2. Terhadap masalahmasalah yang secara explisit tidak disebutkan di dalam nash
Melihat dari dampakdampak negatif yang banyak menimbulkan kemudhorotan atau
mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah
dalam qowaid alFiqhiyah yaitu Saddu alDzaro’i. dan adzaro’i. ) سد ( S addu adzaro’i
meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata saddu Sadd berarti menutup dan
adzara’i merupakanbentuk jama’ dari alDzari’ah berasal dari kata dzir’un yang berarti
memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal alDzari’ah mempunyai beberapa
makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna
saddu adzaria’I adalah menutup jalanjalan dan perantaraperantara sehingga tidak
menyampaikan kepada tujuan .yang dimaksud
Menurut alSyathibi, dzari’ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat
kepada perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan aldzari’ah dengan
perbuatan yang dhohirnya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang
diharamkan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian aldzara’i adalah
memotong perantara perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang
dibolehkan karena akan menyampaikan kepada yang dilarang.
Firman Allah dalan anNur ayat 31:
Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan” (alNur: 31)
Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan kaki mereka, karena
dapat menjadikan sebab para lelaki mendengar bunyi gemerincing yang dapat
menimbulkan syahwat tehadap wanita itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan
merupakan perbuatan yang dilarang. Ini
merupakan larangan melakukan perbuatan yang diperbolehkan karena
mempertimbangkan akibat yang timbul yang kadangkadang menimbulkan mafsadat.
Selanjutnya, pembahasan nikah sirri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas, yaitu
berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di atas sebenarnya Allah
tidak melarang menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan
kemafsadatan (misal: menimbulkan syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu
dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri sebenarnya bukan merupakan
perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan di Indonesia dan
tidak ada larangan langsung dari nash (laQuran dan asSunnah). Akan tetapi dengan
melihat kepada mafsadatnya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif
terutama bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis[13]
perbuatan nikah sirri itu dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.
[1] .Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
HukumPerkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.
336.
[2] Ibid, hlm. 338.
[3] Ibid, hlm. 338352
[4] Mariana Amiruddin: Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan dan Redaktur
PelaksanaJurnal Perempuan. Diambil dari Radio Jurnal Perempuan edisi 341 yang
diliput oleh KamiliaManaf, jurnalis Radio Jurnal Perempuan
[5] HTI Press.
[6] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia,
hlm 77.
[7] ibid.
[8] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,
2009), hlm.323.
[9] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia,
hlm 77, Syari’ah UIN SUKA, Tidak Diterbitkan.
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.
327332
[13] Penjelasan mengenai Istimbath Hukum ini adalah saduran dari ulisan Cak Kur yang
ditulis di blognya dengan judul : Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)
Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengkaji hukum Islam dalam masa
modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi
pencatatan nikah dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung
kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian
lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah
sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini
pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan
pernikahan.
A. Tujuan Pencatatan Pernikahan (di Indonesia)
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah
agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar
benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang
dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan
sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti
waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Selain itu disebutkan
dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar
mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU
tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut
agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur
segala halhal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai
kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan
rapat dengan warismalwaris sehingga perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan
sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan.
Dan ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawa Pencatat Nikah.[2]
B. Pencatatan Nikah Di Negara Lain
Yang dimaksud dengan Negara lain disini adalah Negara dengan penduduk mayoritas
Islam atau Negara dengan Hukum Islam. Pada subbab ini hanya akan dijelaskan
sekilas mengenai Pencatatan nikah di beberapa negara lain.[3]
1. Malaysia
Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan
perkawinan. Proses pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah. Contohnya teks
UU Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiaptiap orang
yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkahwinan tidaptiap orang yang
tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang hendaklah
didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya
merupakan perbautan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau
penjara.
2. Brunei Darussalam
Sebagaimana Negara sebelumnya, Brunei juga mengharuskan adanya pendaftaran
perkawinan, meskipun dilakukan setelah akad nikah dan lewat pendaftaran inilah
Pegawai Pendaftar memerikas lengkap atau tidak syaratsyaratnya. Bagi pihak yang
tidak mendaftarkan perkawinannya termasuk pelanggaran yang dapat dihukum denda
atau penjara.
3. Mesir
Aturan pertama tentang pencatatan tersebut dalam UU Mesir tentang Organisasi dan
Prosedur Beperkara di pengadilan Tahun 1897, disebutkan dalam UU ini ,
pemberitahuan satu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan
(akta). kemudian menurut peraturan tahun 1911, pmbuktian harus dengan catatan
resmi pemerintah atau tulisan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal
dan dalam peraturan tahun 1931 lebih doertegas lagi dengan katakata harus ada bukti
resmi ( Akta) dari pemerintah.
4. Lebanon
Dalam UU lLebanon mengeani Hukum Keluarga tahun 1962 disebut , seharusnya
pegawai yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan. Tetapi tidak ada
penjelasan tentang status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai prosedur.
5. Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan
atau perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran.
6. Pakistan dan Bangladesh
Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, Pakistan dan Bangladesh
mengharusan pendaftaran perkawinan. Ulama Tradisioanl Pakistan juga setuju dengan
kaharusan pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat syah
perkawinan. Bagi yang melanggar peraturan dapat dihukum denda dan atau penjara.
7. Yordania
Dalam UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan
dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman
pidana.
Selain Negaranegara tersebut Negara lainya sperti Syria, Maroko, Tunisia, Libya ,
Yaman diberlakukan peraturan pencatatan nikah.
C. Dampak Negatif tidak Dicatatkannya Perkawinan
Beberapa akibat negatif disebabkan tidak dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah:
1. Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan pencatatan nikah adalah untuk
kepastian hukum. Sehingga jika terjadi sengketa dalam perkawinan maka akan
kesulitan dalam pemecahan permasalahan di pengadilan.
2. Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat Negara), akibat tidak memiliki Akta Nikah,
dalam banyak kasus yang banyak dirugikan adalah pihak Istri. Siti Lestari dari Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang dalam
kegiatannya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya
perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri ternyata banyak memberikan kerugian
terhadap perempuan. Menurutnya, apaapa yang berdampak dari perkawinan siri
secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan
perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan
tidak dapat menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan
sebagainya apabila sang suami tidak mau memberi.[4]
3. Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak. Padahal dewasa ini akta kelahiran
menjadi alat yang sangat penting terutama sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga
masa depan anak ikut terkena dampak buruknya.
D. Dampak Negatif Adanya Pencatatan Nikah
“Hal negatif” yang mungkin saja bisa timbul akibat pencatatan nikah (Akta nikah).
Surat nikah kadangkadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan
tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri
telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masihmemegang surat nikah. [5]
E. Pentingnya Pencatatan Nikah
Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah dicatatkan:
1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah
maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu
masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili.
2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat dilakukan dengan
ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat
menjanjikan lagi maka penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk
mencapai tujuan maslahah.[6]
3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah
menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi
SAW mensunahkan untuk mengadaan walimah. [7]
F. Pencatatan Nikah Dalam Hukum Islam
Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitabkitab fikih konvensional tidak
ditemukan hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan. [8] Di
dalam kitabkitab Fikih Klasik biasanya diterangkan bahwa secara filosofis keberadaan
saksi bertujuan untuk memelihara kehormatan wanita dengan adanya kehatihatian
dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari tindakan yang tidak bertanggung
jawab sebab adanya tindakan curang yang dilakukan oleh salah satu pihak serta
menjaga status nasab.[9]Kebanyakan Ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak syah
tanpa adanya bayinah (bukti) yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad.[10]
Yang Perlu menjadi perhatian adalah bahwa dulu persaksian adalah alat yang paling
utama untuk menentukan hak seseorang, Karena persaksian adalah alat bukti yang
paling terpercaya pada masa itu. Karena masih banyak orang yang adil dan kredibel
yang bisa dipertanggung jawabkan.[11]
Mengenai saksi ini, beberapa pendapat Ulama Klasik sebagai berikut:[12]
a. Imam malik.
Imam Malik menekankan fungsi saksi, yakni pengumuman. Imam Malik membedakan
antara pernikahan sirri dengan pernikahan tanpa bukti. Niah sirri adalah nikah yang
secara sengaja dirahasiakan oleh para pihak yang terlibat dalam pernikahan, hukum
pernikahan seperti ini adalah tiadak sah. Sebaliknya hukum pernikahan yang tidak ada
bukti tetapi diumumkan kepada khalayak ramai (masyarakat) adalah sah.
b. Imam Syafi’ie
Imam Syafi’ie mengharuskan saksi dalam pernikahan. saksi harus dua orang pria
yang adil. Khorudin nasution menulis dalam bukunya bahwa pada prinsipnya semua
ulama tersebut mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Sehingga dari penjelasan
tersebut, bukanlah suatu kesimpulan yang radikal dan ekstrim jika dikatakan
Pencatatan Nikah berkedudukan penting sebagaimana halnya kedudukan dan fungsi
saksi dalam akad pernikahan,yaitu sebagai bukti telah dilangsungkannya akad
pernikahan dengan sah.
G. Kaitanya Dengan Nikah Sirri dan Istinbath Hukum
Adapun yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah perkawinan yang tidak
dicatatkan ke Badan Pencatat Pernikahan.
Dalam kaidah ulhsul alFiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan
untuk beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat
menemukan aturan di dalam nash (alQuran dan asSunnah asShohihahaw al
Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara lain, yang disebut dengan Ijtihad. Ijtihad dapat
dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:
1. Nash (alQuran dan asSunnah) yang dzoni
2. Terhadap masalahmasalah yang secara explisit tidak disebutkan di dalam nash
Melihat dari dampakdampak negatif yang banyak menimbulkan kemudhorotan atau
mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah
dalam qowaid alFiqhiyah yaitu Saddu alDzaro’i. dan adzaro’i. ) سد ( S addu adzaro’i
meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata saddu Sadd berarti menutup dan
adzara’i merupakanbentuk jama’ dari alDzari’ah berasal dari kata dzir’un yang berarti
memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal alDzari’ah mempunyai beberapa
makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna
saddu adzaria’I adalah menutup jalanjalan dan perantaraperantara sehingga tidak
menyampaikan kepada tujuan .yang dimaksud
Menurut alSyathibi, dzari’ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat
kepada perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan aldzari’ah dengan
perbuatan yang dhohirnya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang
diharamkan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian aldzara’i adalah
memotong perantara perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang
dibolehkan karena akan menyampaikan kepada yang dilarang.
Firman Allah dalan anNur ayat 31:
Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan” (alNur: 31)
Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan kaki mereka, karena
dapat menjadikan sebab para lelaki mendengar bunyi gemerincing yang dapat
menimbulkan syahwat tehadap wanita itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan
merupakan perbuatan yang dilarang. Ini
merupakan larangan melakukan perbuatan yang diperbolehkan karena
mempertimbangkan akibat yang timbul yang kadangkadang menimbulkan mafsadat.
Selanjutnya, pembahasan nikah sirri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas, yaitu
berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di atas sebenarnya Allah
tidak melarang menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan
kemafsadatan (misal: menimbulkan syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu
dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri sebenarnya bukan merupakan
perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan di Indonesia dan
tidak ada larangan langsung dari nash (laQuran dan asSunnah). Akan tetapi dengan
melihat kepada mafsadatnya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif
terutama bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis[13]
perbuatan nikah sirri itu dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.
[1] .Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
HukumPerkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.
336.
[2] Ibid, hlm. 338.
[3] Ibid, hlm. 338352
[4] Mariana Amiruddin: Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan dan Redaktur
PelaksanaJurnal Perempuan. Diambil dari Radio Jurnal Perempuan edisi 341 yang
diliput oleh KamiliaManaf, jurnalis Radio Jurnal Perempuan
[5] HTI Press.
[6] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia,
hlm 77.
[7] ibid.
[8] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,
2009), hlm.323.
[9] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia,
hlm 77, Syari’ah UIN SUKA, Tidak Diterbitkan.
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.
327332
[13] Penjelasan mengenai Istimbath Hukum ini adalah saduran dari ulisan Cak Kur yang
ditulis di blognya dengan judul : Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)