KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT NURCHOLIS MADJID.

(1)

KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT NURCHOLIS MADJID

SKRIPSI

Oleh :

ANIYATUL MUTHOFANAH NIM : D01212004

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JANUARI 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Aniyatul Muthofanah, “Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid”, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2015.

Masalah yang diteliti dalam skripsi ini ada dua, pertama tentang sistem pendidikan dan kurikulum pesantren di Indonesia, kedua tentang konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren menurut Nurcholis Madjid.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan library research atau penelitian berbasis kepustakaan. Dengan metode analisis content atau isi, analisa historis dan analisa deskriptif. Dengan penelitian berbasis kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengadaptasi berbagai catatan yang relevan dengan tema pembahasan baik dari buku, artikel, majalah, surat kabar, prasasti, notulen rapat, catatan agenda, dan catatan-catatan lain dari media cetak maupun elektronik.

Kurikulum Pendidikan pesasntren merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Menurunnya akhlak dan moral peserta didik, pemerataan kesempatan belajar, masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, status kelembagaan, manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, sumber manusia yang belum professional. Pesantren. Adapun problematika yang dihadapi pesantren saat ini adalah adanya penyempitan kurikulum yakni penelaahan terhadap ilmu-ilmu tersebut hanya secara gramatiknya saja seperti: berkisar pada nahwu-sharaf, fiqih, aqa’id, tasawuf, tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Dalam konteks ini, kurikulum pendidikan pesantren perlu merumuskan kembali visi dan tujuannya dan mengembangkan kurikulum yang ada didalamnya.

penerapan kurikulum di pesantren perlu adanya check and balance. Perimbangan antara khasanah islam klasik, pengetahuan keislaman, dan penegetahuan umum. Santri dapat menelaah ilmu-ilmu tersebut tidak hanya secara gramatiknya saja, tetapi bagaimana menguasai ilmu-ilmu tersebut secara lisan ataupun teks sehingga produk (santri) tidak hanya sebagai konsumen melainkan produsen.

Dengan demikian, skripsi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi pokok-pokok pemikiran Nurchilis Madjid dalam pandangannya mengenai kurikulum pendidikan pesantren. Kemudian alasan mengapa skripsi ini hanya terfokus untuk mengkaji pemikiran dari satu tokoh ini dikarenakan Nurcholis Madjid adalah seorang intelektualis Islam Indonesia terkemuka yang dirasa mampu melihat realita dunia pendidikan pesantren.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

SURAT PERNYATAAN PENGESAHAN ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Definisi Operasional ... 14

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II PENGERTIAN UMUM PENDIDIKAN PESANTREN DAN SISTEM KURIKULUM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN ... 25


(7)

1. Sejarah dan dinamika pesantren ... 27

2. Tujuan pendidikan pesantren ... 31

a. Dasar konstitusional ... 32

B. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Pendidikan Pesantren ... 34

1. Kurikulum pendidikan pesantren ... 34

2. Asas-asas kurikulum ... 39

3. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum ... 41

a. Prinsip umum ... 42

b. Prinsip khusus ... 44

C. Pengembangan Kurikulum ... 59

D. Metode Pembelajaran Dalam Pesantren ... 62

E. Evaluasi pembelajaran di pesantren ... 67

BAB III GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS ... 70

A. Biografi Nurcholis Madjid ... 70

1. Latar Belakang Karir Nurcholish Madjid ... 72

2. Corak Pemikiran Nurcholish Madjid ... 77

3. Karya- karya Nurcholish Madjid ... 82

B. Konsep Kurikulum Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholish Madjid 87 1. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren ... 89

2. Penyempitan Orientasi Kurikulum ... 93

C. Analisis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholish Madjid ... 99


(8)

BAB V

PENUTUP ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Melihat dari gambaran dunia saat ini begitu banyak permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan, terlebih lagi jika dihadapkan kepada realitas yang ada pada masa ini. Permasalahan-permasalahan muncul ketika pendidikan Islam menemui sebuah hambatan di era globalisasi yang mana mengharuskan kita mampu berkompetisi dan mempertahankan nilai-nilai dari pendidikan Islam itu sendiri.

Di tengah berjalanya arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan semakin komplek dan saling ketergantungan satu sama lain. Dikatakan pula bahwa perubahan yang akan terjadi dalam bentuk tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan. Masa depan merupakan suatu yang tidak berkesinambungan. Kita memerlukan pemikiran ulang dan rekayasa ulang terhadap masa depan yang akan dilewati. Sehingga kita berani tampil dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara lama yang tidak produktif, namun semua pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dunia akan kurang siap dalam menghadapi hal tersebut akan tetapi hal ini menjadi suatu dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.

Dalam wacana ini Pesantren adalah system pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous. Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia.


(10)

2

Secara potensial, karakteristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan- persoalan lain yang menghadang pesantren, secara khusus, dan masyarakat luas, secara umum.1

Pesantrean, dengan teologi yang dianutnya hingga kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. . pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi, dapat menumbuhkembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitas jati dirinya, dan pada sisi lain dapat menghantarkan masyarakat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, pesantren

menjadi tumpuan harapan. Menurut Nurcholis Madjid, “semboyan mewujudkan

masyarakat madani akan terwujud bila institusi pesantren tanggap atas perkembangan dunia modern”2

Penilaian Nurcholis Madjid itu merupakan penilaian bersyarat, artinya pesantren harus tanggap terhadap perkembangan dunia modern, Persyaratan ini sebenarnya berfungsi juga sebagai tantangan yang perlu direspon oleh pesantren. Pesantren tidak bisa mengelak dari tanggung jawab menghadapi tantangan tersebut, karena jika mengelak, resiko yang ditanggung pesantren tidaklah kecil.

1

Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, (Bandung : Ciputat Press), h. 9. 2

Nurcholis Madjid, Bilik- Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:Paramadina, 1992), h. 95-96.


(11)

3

Santri maupun alumni pesantren bisa gagap menghadapi perubahan global yang berkembang dengan cepat. Mastuhu juga menilai bahwa akibat dari pengaruh globalisasi, pesantren tidak bisa menutup diri dari perubahan sosial yang begitu cepat.3Realita semacam ini memang terasa sebagai suatu dilema yang tidak mudah dipecahkan oleh pesantren. Pesantren tidak bisa bersikap isolatif dalam mengadapi berbagai tantangan tersebut. Respon yang positif adalah dengan memberikan banyak alternatif yang berorientasi pada pemberdayaan manusia sebagai santri yang professional untuk menghadapi eraglobalisasi, yang membawa berbagai persoalan yang semakin kompleks pada sekarang ini.

Pendidikan adalah proses “memanusiakan” manusia. Dengan pendidikan kita akan menjadi makhluk ciptaan tuhan yang sesungguhnya, karena pendidikan akan menjadikan kita berakhlak dan beradab. Melalui pendidikan pulalah, manusia baru bisa menjalankan fungsi hakiki yakni menjadi hamba Allah SWT dan memerankan misi penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi (QS. 2:3)4

Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari

pengajaran Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatan pendidikannya

untuk mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai cara hidup Islam yang

3

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 123.

4

Hidayat Nurwahid, Sekolah Islam Terpadu: Konsep dan Aplikasinya (Jakarta:Syaami Cipta Media, 2006), h.10


(12)

4

diselenggarakan di lembaga-lembaga model barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.5

Ditilik dari sejarah pendidikan Indonesia, pesantren sebagai system pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tetapi, dalam pandangan Nurcholish Madjid lembaga pendidikan ini telah banyak memiliki sisi kelemahan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, akhir-akhir ini menarik dicermati kembali. Di era 70-an Nurcholish Madjid telah memprediksikan pesantren sebagai suatu yang dapat dijadikan alternative terhadap system yang ada. Menurutnya, system pendidikan waktu itu masih sangat “pegawai oriented” hingga menjadikan salah satu problem pendidikan di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari tujuan dan sifat pendidikan yang mengacu pada mencetak calon-calon pegawai yang bakal mengisi system menengah ke bawah dalam piramida system administrasi pemerintahan. 6

5

Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, (Bandung : Ciputat Press), h. 59. 6


(13)

5

Salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan, adalah kurikulum.7 Namun, kurikulum seringkali tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan.

Dalam pendidikan pesantren dikenal dua model sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan pesantren modern dan sistem pendidikan pesantren tradisional. Hakekatnya ini terjadi akibat adanya ekspansi pendidikan modern ala penjajah Belanda pada saat itu, yang kemudian oleh beberapa pesantren yang ingin kontinuitas dan kelangsungannya direspon dengan cara ”menolak sambil

mencontoh”.8

Model sistem pendidikan pesantren modern adalah sistem kelembagaan pesantren yang dikelola secara modern baik dari segi administrasi, sistem pengajaran maupun kurikulumnya. Pada sistem pendidikan modern ini aspek kemajuan pesantren tidak dilihat dari figur seorang kiai dan santri yang banyak, namun dilihat dari aspek keteraturan administrasi (pengelolaan), misal sedikitnya terlihat dalam pendataan setiap santri yang masuk sekaligus laporan mengenai kemajuan pendidikan semua santri.

Selanjutnya kurikulum atau mata pelajaran yang dipelajari terdiri dari berbagai mata pelajaran baik mata pelajaran agama maupun umum. Pelajaran

7

Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 13. 8


(14)

6

agama tidak sebatas mempelajari kitab klasik dan satu mazhab, tetapi berbagai hasil karya intelektual muslim klasik dan kontemporer dan tidak membatasi pada salah satu mazhab. Pesantren modern juga menyelenggarakan institusi tipe pendidikan umum seperti SMP, SMU, atau perguruan tinggi.9 Sebagai salah satu contoh institusi pesantren modern yang terkenal adalah pondok pesantren Gontor.

Sedangkan model sistem pendidikan pesantren tradisional adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan.10 Praktek pendidikan Islam tradisional masih terikat kuat dengan aliran pemikiran para ulama ahli fikih (teoritikus hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ketujuh sampai abad ketigabelas.11

Dilihat dari aspek kurikulum, pendidikan pesantren tradisional menitikberatkan pada materi agama, nahwu sharaf dan pengetahuan umum. Kurikulum agama merupakan materi pelajaran yang tertulis dan mengandung unsur bahasa arab, dimana kajian materinya terfokus pada fikih, aqaid, dan tashawuf. Fikih merupakan segi yang paling utama kemudian menyusul akidah. Sedangkan tasawuf hanya merupakan anjuran dan menjadi hak istimewa orang-orang tertentu saja.

Materi pelajaran nahwu sharaf adalah pelajaran gramatika bahasa arab. Materi ini di pesantren menempati posisi penting sehingga menuntuut waktu dan

9

Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 87.

10

Ibid.., hal. 83. 11

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1994). hal. 1.


(15)

7

tenaga yang sangat banyak untuk memahami dan menghafalkan bait syair-syair kitab awamil, imrithi, dan alfiyah.12hal ini adalah sebagai ilmu alat untuk mempelajari agama dengan baik yang tertulis di kitab-kitab klasik yang dipelajari. Adapun mata pelajaran umum( pengetahuan umum), saat ini banyak pesantren yang memberi mata pelajaran umum hanya setengah-setengah saja, sekedar untuk memenuhi syarat atau agar tidak dianggap konservatif saja. Hali ini berakibat pada keterbatasan kemampuan santri dalam mengembangkan potensi pengetahuan umumnya dan kurang mendapat pengakuan masyarakat umum.13

Intelektualisme dalam pendidikan pesantren tradisional kurang begitu progresif, karena sifat pengajarannya yang massih dogmatis dari seorang kiai, sikap seorang santri yang pasif terhadap wacana di luar pesantren, pendidikan yang masih terlalu teoritis dari kitab-kitab klasik dan masih kuatnya system hafalan. Hal ini mengakibatkan santri kurang kreatif menciptakan buah pikiran yang baru yang merupakan hasil pengolahan sendiri dari bahan-bahan yang ada, karena sifatnya hanya taqlid, sehingga menimbulkan dogmatis yang kuat.14

Berangkat dari pemikirannya Nurcholish Madjid memaparkan tentang kondisi objektif pesantren yang ada di Indonesia. Dia berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya mengandung nilai keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab cikal bakal pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya15,

12

Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren.., h. 93 13

Ibid.., h. 94 14

Nurcholis, Bilik-Bilik.., h. 95 15

Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press 2002), h.62


(16)

8

seperti dalam penelitian A. steenbrink yang mengatakan bahawa secara terminologis bahwa system pengajaran pendidikan yang ada di pesantren Indonesia berasal dari India yaitu sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, system itu sudah digunakan secara umum untuk pengajaran pendidikan Hindu di Jawa. Nurcholish Madjid memaparkan terdapat kemiripan dengan tata pengajaran tersebut dengan gambaran kiyai duduk di atas kursi dengan landas bantal dan para santri mengelilinginya, sehingga peran kiyai sangat fenomenal dan signifikan dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kiyai adalah sebuah elemen dasar sebuah pesantren.

Pesantren di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena kyailah perintis, pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren. 16Segala urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi dan bahkan bisa dicampuri oleh kyai langsung. Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca wafatnya sang kyai.

Dalam proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana kitab-kitab tersebut dapat mengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang bernuansa kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran

16


(17)

9

pesantren. Disini, masjid bukan hanya dijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga sebagai pusat belajar mengajar.

Dari sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi.17 Jenis salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.

Pada kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren, adanya pembaharuan pesantren serta membaharui manajemen pesantren.18 Dalam hal ini kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.

19

Pada dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara, serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di

17

Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, hal 163 18

Ibid, hal.18 19

Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


(18)

10

bidang-bidang itu berasal dari para ilmuan muslim.20 Tujuan akhirnya adalah beriman, berilmu dan beramal.

Dalam salah satu karyanya Nurcholis Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut : 1. nahwu-sharaf, 2) fiqh, 3) Aqaid, 4) tasawuf, 5) tafsir, 6) Hadits, 7) Bahasa Arab

Adapun salah satu aspek yang selalu ditekankan dalam karya Nurcholis Madjid yaitu agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and

balance.21 Perimbangan ini dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan

pengetahuan umum agar dapat berjalan sejalan satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam system nilai adda tiga aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem nilai yang dikenal sebagai

Ahl-al-sunnah wa al-jamaah, yaitu : Teologi Al-Asy’ari,Fiqh madzhab, Tasawuf praktis.

22

Mengacu pada konsep yang telah dipaparkan Nurcholis Madjid dalam karyanya berpendapat bahwa kurikulum pendidikan di pesantren harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren menurut Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal ini

20

Nurcholis Madjid, Islam, doktrin dan peradaban . (Jakarta: Paramadina) 1992, hal. xii 21

Yasmadi, Modernisasi Pesantren... hal. 89 22


(19)

11

dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.

Nurcholis madjid mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai pendidikan islam pesantren sebagai berikut :

1. Pesantren hendaknya merumuskan kembali visi dan tujuan yang kompeten sehingga tidak ketinggalan ketika dibandingkan dengan dunia luar pesantren.23

2. Dalam bidang metodelogi dan materi pengajaran pesantren mengemban amanat moral yang berpotensi untuk memakai pola pendekatan pengajaran modern24

3. Pesantren sebagai pendidikan (indiegenous) asli Indonesia dan media perubahan social berpeluang untuk membuka diri dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi.25

23

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.328

24

Nurcholis Madjid, Islam kerakyatan dan keindonesiaan, ( Bandung: Mizan, 1993), h.228 25


(20)

12

Dari berbagai kajian penelitian yang sudah ada tentang beberapa pemikiran Nurcholish Madjid tentang pendidikan Islam inilah yang membuat ketertarikan penulis mengkaji pemasalahan pendidikan pesantren , berdasarkan pemaparan di atas, maka latar belakang itulah yang mendasari skripsi penelitian terhadap pandangan atau pemikiran Nurcholis madjid dengan judul, “Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Menuru Nurcholis

Madjid” bermaksud untuk mengetahui tawaran pendidikan pesantren seperti apakah yang dimaksud olehnya, sekaligus juga aspek-aspek lainnya yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren, sehingga sebagaimana gagasannya, bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang mengajarkan Islam secara menyeluruh, sehingga mampu menjawab segala tantangan zaman.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren di Indonesia?

2. Bagaimana analisis konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren Nurcholis Madjid?

C. Tujuan Penelitian

1. Menguraikan konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren di Indonesia secara umum.


(21)

13

2. Menjelaskan analisis konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren menurut Nurcholis Madjid yang diaplikasikan di zaman sekarang.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya penulis dengan beberapa harapan:

1) Secara teoritis, tulisan ini dapat memberikan sumbangsih wacana keilmuan yang berorientasi pada dunia pendidikan islam pesantren dalam ruang lingkup akademik ilmiah.

2) Secara praktis, pembaca dapat merespon secara kritis, konstruktif, sebagai problem solver terhadap problematika pendidikan islam di Indonesia di era global, khususnya berkaitan dengan wacana pendidikan pesantren

3) Karya ini bagi penulis merupakan langkah awal dalam proses dan dinamika keilmuan, proses pencarian dan pematangan karakter yang tak terhenti oleh ikatan ruang dan waktu, dan menjadi salah satu prasyarat menyelesaikan studi di UIN Sunan Ampel

E.Definisi Operasional

Judul skripsi ini tentang “Konsep Pengembangan Kurikulum


(22)

14

dari alur dan substansinya, maka penulis akan mendefinisikan beberapa istilah dalam judul tersebut, antara lain:

1) Konsep : Kata konsep berasal dari bahasa Inggris,

“Conceptual” yang berarti gambaran.26

Sedangkan bahasa latinnya adalah conceptus. Dari segi obyektif adalah sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek itu. Hasil dari tangkapan manusia itu disebut konsep.27 Konsep bisa diartikan sebagai pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran, konsep biasanya hanya ada dalam alam pikiran, atau kadang-kadang tertulis secara singkat. Jika ditinjau dari segi filsafat, konsep adalah suatu bentuk konkretisasi dunia luar ke alam pikiran, sehingga dengan demikian manusia dapat mengenal hakekat sebagai gejala dan proses, untuk dapat melakukan generalisasi segi-segi dan sifat-sifat konsep yang hakiki.28

Konsep dapat juga berarti ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, dan rencana dasar. Dari batasan istilah diatas, penulis mengambil salah satu pengertian tersebut sehingga konsep dalam skripsi ini adalah ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan dan

rencana dasar.

26

John M. Elchols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.185

27

Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi dan Tesis, (Bandung : Angkasa, 1993), h.54 28


(23)

15

2) Pengembangan : Proses, cara,perbuatan pengembangan.

3) Kurikulum : secara etimologis, adalah tempat berlari

dengan kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere yang artinya tempat berlari. Selain itu juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Maka pada waktu iti pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh untuk memperoleh ijazah.29 Adapun pengertian kurikulum sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 butir 19 UU No. 20 tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.”30

4) Pendidikan : Secara leksikal, pendidikan diartikan sebagai

proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran dan pelatihan.31 Menurut Indrakusuma Pendidikan

adalah: “Suatu usaha yang sadar, yang teratur dan sistematis, yang

dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk

29

Oemar Hamalik, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Bandung : Bumi Aksara,1994), h.16 30

Imas Kurinasih dan Berlin Sani, Implementasi kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan, (Surabaya : Kata Pena 2014) Cet.II, h. 3.

31

Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Kedua, Jakarta, balai Pustaka, 1999, h.232.


(24)

16

mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabi’at sesuai dengan cita-cita pendidikan.”32

5) Pesantren : pesantren dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santrinya tinggal di asrama tersebut.33

6) Prof. Dr. Nurcholish Madjid : Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur 17 maret 1939/ 26 Muharram 1358 H. Ayahnya K.H Abdul Madjid, seorang Kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang. Ibunya Hj. Mardiyah Fathonah Madjid adalah putri Kyai Abdullah Sadjad teman baik Kyai Hasyim Asy'ari. Sketsa ini menggambarkan bahwa Nurcholish Madjid lahir dari subkultur pesantren. Nurcholish Madjid adalah anak sulung dari lima bersaudara.25 Pendidikannya dimulai dari pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang selama 2 tahun. Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke KMI (Kulliyatul Muallimin al- Islamiyyah) di pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sampai tamat pada tahun 1960. setelah tamat dari Gontor beliau dipersiapkan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar,

32

Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pedidikan Islam, (Bandung, Al-Ma’arif, 1975), 27.

33


(25)

17

Kairo. Disebabkan beberapa faktor lain sehingga beliau melanjutkan studinya di fakultas sastra dan kebudyaan Islam di IAIN Hidayatullah Syarif Jakarta dan tamat Pada tahun 1968. Sejak tahun 1978 hingga 1984 melanjutkan Pendidikan doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa; Problem of reason and relevation in Islam (1984) atas beasiswa dari Ford Foundation. Selama kuliah beliau aktif diberbagai kegiatan mahasiswa dan terpilih menjadi ketua umum pengurus besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971). Jabatan lain : Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1967-1969) dan wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation Student Organization), direktur LKIS (Lembaga Kajian Islam Samanhudi), Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta 1984–2005, dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta, pendiri sekaligus ketua yayasan Paramadina, rektor universitas Paramadina Mulya (1998-2005).34

Pemikiran Nurcholish Madjid dalam bidang keilmuan sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh di antara dua kutub dunia, Barat dan Islam. Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah, sedang tokoh Barat seperti Robert N. Bellah, Marshall G.S Hodgson, Ernest Gellner, dan Erich Fromm. Sehingga tidak

34

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003, h. 224


(26)

18

heran apabila buah pemikirannya adalah hasil sintesa atau jalan tengah dari berbagai peradaban. Ia juga dijuluki oleh para ilmuwan lain sebagai tipologi ilmuwan substantifistik dalam kelompok neo-modernis.

Konsep pengembangan kurikulum pendidikan pesantren menurut nurcholis madjid adalah suatu Pandangan Nurcholish Madjid tentang pendidikan pesantren yang secara khas memiliki ciri-ciri kurikulum pesantren yang berbeda dengan konsep kurikulum pesantren yang lain, dimana pesantren diharapkan mampu menumbuhkan nilai intelektualitas dan spiritual yang memiliki komitmen keislaman, keilmuan danm kebangsaan. Dimana ide-ide umum atau pemikirannya yang berbentuk rancangan dan rencana dasar dalam pengembangan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama yang dikemas dalam sistem pondok pesantren. Sehingga dari rancangan dasar yang ia gagas ini mampu mencapai satu tujuan dari pendidikan pesantren menurutnya, yakni pendidikan yang mampu membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Dan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap perkembangan zaman, tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada.

F. Metode Penelitian


(27)

19

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (Library

Research). Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data

kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empiric. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks yang seluruh substansinya diolah secara filosofis dan teoritis.35

Karena penelitian ini seluruhnya berdasarkan atas kajian pustaka atau literature, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (

Library Research ), maka penelitian ini secara khusus bertujuan untuk

mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat dalam ruang perpustakaan, artikel, Koran, dan berbagai catatan yang ada di berbagai media elektrinik maupun cetak36

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diambil dari karya asli pada tokoh yang dibahas dalam penulisan skripsi. Disini penulis menggunakan beberapa sumber, yaitu:

1) Prof. Dr, Nurcholish Madjid. Islam Universal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajr, 2007)

35

Neong Muhadjir, Metode Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Saranin, 1996), h. 158-159 36

Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.28.


(28)

20

2) Prof. Dr, Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, ( Bandung : Mizan, 1993 )

3) Prof. Dr, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya

Dalam Pembangunan Indonesia, (Jakarta: paramadina, 1997)

4) Prof. Dr, Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, sebuah potret perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1992)

5) Prof. Dr, Nurcholish Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan

Pendidikan, ( Jakarta : P3M, 1985 )

6) Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap

Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press 2002)

b. Sumber Data Sekunder

1) Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

2) Dr. H.M. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam

Perspektif Global, (Yogyakarta : LaksBang PRESSindo, 2006)

3) Abd. A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006)

4) Mustofa Harun, Khazah Intelektual Pesantren, (Jakarta : Maloho Jya Abadi, 2009)


(29)

21

c. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif inimenggunakan metode documenter.37 Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, catatan agenda dan sebagainya.38

Metode documenter merupakan metode paling tepat dalam memperoleh data yang bersumber dari buku-buku sebagai sumber dan bahan utama dalam penulisan penelitian ini.39

d. Analisis Data

Data-data yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:

1) Metode analisa content atau isi. Analisis isi merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.40 Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi (proses penarikan kesimpulan berdasarkan pertimbangan yang dibuat sebelumnya atau pertimbangan umum; simpulan) yang dapat ditiru (replicable), dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya.41

37

Burhan Bungun, Analisi Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003 ), h. 68

38

Sanapiah Faisal, Metode Penelitian Pendidikan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1993),h. 133 39

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h.234 40

Noeng Muhadjir, Metode Kualitatif, h.159 41


(30)

22

2) Metode Analisis Historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk menggambarkan biografi Nurcholish Madjid , baik yang berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialami, demikian juga hal-hal yang meliputi riwayat pendidikan, latar belakang pemikiran, serta karya-karyanya.42

3) Metode analisa deskriptif, yaitu suatu metode yamg menguraikan secara teratur seluruh konsepsi dari tokoh-tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat.43

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran tentang skripsi ini maka skripsi disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB Pertama adalah pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

BAB Kedua membahas tentang pengertian umum kurikulum pendidikan pesantren dan system pendidikan pesantren yang meliputi Kondisi Pendidikan di pesantren, sejarah pesantren, tujuan pendidikan pesantren, Sistem kurikulum dan metode pendidikan Islam pesantren, meliputi pengertian kurikulum pendidikan pesantren dan metode pembelajaran pesantren.

42

Anton Bakker, Drs. Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h.70

43


(31)

23

BAB Ketiga membahas tentang Biografi nur cholis majid yang meliputi riwayat hidup, latar belakang pendidikan , karir nur cholis majid, karya-karya nur cholis majid, siklus social nur cholis majid dan pemikirannya. Adapun dalam pembahasan berikutnya akan diuraikan pemikiran Nurcholish Madjid tentang kurikulum pendidikan pesantren.

BAB keempat, tentang analisis data tentang pemikiran Nurcholish Madjid terkait kurikulum pendidikan pesantren

BAB k elima, adalah penutup. Berisi kesimpulan, saran dan penutup yang merupakan bab terakhir dalam skripsi ini.


(32)

25 25

BAB II

PENGERTIAN UMUM PENDIDIKAN PESANTREN DAN SISTEM KURIKULUM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

A. Pesantren dan Pendidikan Islam

Ketika kita membicarakan tentang pesantren adalah sangat erat kaitannya dengan pengajaran syariat Islam di dalamnya. Pesantren, jikan disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indoseia yang

indigenous.

Pengertian secara terminology kata pesantren sendiri yaitu berasal dari

kata „santri, dengan awalan pe didepan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Kata santri sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa yaitu

cantrik”,berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini menetap.1 sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qamar, mendefenisikan pesantren

sebagai “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran

-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya”.2

Dalam penelitian ini, Mujamil Qamar memberikan defenisi pesantren yang lebih

singkat, yaitu “suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan

pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang

bersifat permanent” dalam hal ini dapat dipahami bahwa pesantren adalah suatu

1

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.61

2

Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2005), hal. 2


(33)

26 25

lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Ada banyak hal ketika mengaitkan pesantren dengan pendidikan Islam di Indonesia, seperti contoh kurikulum pengajaran yang ada di dalamnya. Pesantren sangat berperan penting dalam system pendidikan Islam. Pendidikan di pesantren umumnya dipegang oleh kiai sebagai figuran tokoh informalnya yang memiliki posisi dan peran yang sangat menentukan. Akan tetapi seiring bertambahnya lembaga pendidikan modern yang muncul , banyak hal yang menawarkan keunggulan sistem pendidikan, kurikulum yang terprogram secara sistematis, SDM tenaga pengajar yang handal, dan pengelolaaan yang professional, semakin memacu pesantren terus memperbaiki system dan tradisi yang sudah ada.


(34)

27 25

Pendidikan pesantren semula merupakan pendidikan agama islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.

Lembaga psantren juga terus berkembang meskipun ada kebijakan politik etis pada zaman kolonial Belanda dengan menunjukkan sikap non-kooperatifnya

para ulama’ yang saat itu terjadi pada akhir abad 19. Salah satu sikap

non-kooperatif tersebut ditunjukkan oleh p[ara ulama’ dengan mendirikan di daerah -daerah jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan .

Perkembangan pesantren yang begitu pesat junga ditengarai berkat dibukanya terusan suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.

Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap


(35)

28 25

jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: 3

a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.

b) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.

c) Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.

d) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum

3

SulthonMasyhud dan Moh. Khusnurdhilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), hal.3 .


(36)

29 25

meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.

Berkembangnya sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren sangat memainkan kiprah dan menunjukkan keberadaan pesantren dalam dunia pendidikan. Dalam masa pemerintahan orde baru sistem pendidikan pesantren tereduksi akibat semakin tinggi tingkat campur tangan pemerintah dalam menggarap sektor pembangunan dalam berbagai aspek. Sistem pemerintahan sentralistik yang pada saat itu menekankan pemantapan stabilitas politik, pendekatan keamana yang ketat, dan prioritas pada pembangunan pada sektor ekonomi, belum lagi munculnya percepatan kemajuan di bidang sains dan teknologi, berkembangnya pasar bebas dan berbagai institusi non-pemerintah (LSM).

Lemba institusi non-pemerintah selain pesantren yang aktif menggarap persoalan-persoalan social-kemasyarakatan, keberadaan elemen-elemen di atas menjelma menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan social kontemporer. Keberadaan institusi informal yang cukup heterogen semacam ini telah menjadi pilar yang cukup fungsional bagi pemberdayaan masyarakat secara umum, dan proses transformasi sosial. Biasanya institusi informal tersebut memiliki kepedulian yang cukup besar untuk turut


(37)

30 25

melakukan penguatan masyarakat sipil (civil society) terutama melakukan pemberdayaan di bidang pendidikan. 4

Pesantren sebagai satu potret LSM terkenal mampu memainkan berbagai macam peranan dalam proses pembangunan. Menurut Noeleen Heyzer, sebagaiman dikutip affan ghaffar, terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai LSM secara umum, termasuk dalam hal ini pesantren, yaitu:5

1) Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroot” yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan;

2) Meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerja sama, baik dalam suatu Negara maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya;

3) Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pengembangan

Berbeda dengan era otonomi daerah sekarang ini, pesantren kembali menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial. Keberadaan pesantren menjadi patner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi

4

Ibid, 12 . 5


(38)

31 25

pelaksanaan transformasi social melaui penyediaan sumberdaya manusia yang

qualified dan berakhlaqul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era

otonomi mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi local dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan.

Oleh karena itu pesantren harus dapat terus meningkatkan mutu sekaligus memperbaharui segala aspek yang dibutuhkan dalam masyarakat yaitu dalam hal penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan juga model pendidikannya untuk memaikan peran edukatifnya. Sebab, model pendidikan pesantren yang mendasar diri pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi integrative baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum, dan kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen ini merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks perubahan sosial akibat modernisasi.

2. Tujuan pendidikan pesantren

Sebagai institusi pendidikan, pondok pesantren di Indonesia harus memiliki landasan yang jelas secara yuridis. Hal ini memiliki implikasi terhadap akreditas sebuah lembaga tersebut, akreditasi tersebut terkait dengan pengakuan alumni pondok pesantren itu sendiri. Pada awal-awal tumbuh dan berkembangnya pondok pesantren, akreditas sudah cukup bila kyai memberikan “ijazah” terhadap santri. Tuntutan zaman menghendaki perubahan dan akreditas dalam bentuk lain, oleh sebab itu pondok pesantren harus mempunyai legalitas.


(39)

32 25

a. Dasar Konstitusional

Keberadaan sebuah institusi di Indonesia harus memiliki dasar hukum yang jelas, dan tidak keluar dari perundang-undangan yang berlaku. Seperti institusi lain, pondok pesantren (lembaga pendidikan) memiliki landasan yuridis formal yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, khususnya bab II pasal 2 dan 3 : “Pendidikan Nasional berdasarkan pancasila dan Undang

-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, “Pendidikan Nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”.6

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan dipesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak yang mulia. Landasan yang disebutkan di atas memuat prinsip-prinsip umum pendidikan dan hak setiap warga negara dalam memperoleh dan memajukan pendidikan. Memperoleh pendidikan bisa didapati melalui lembaga pendidikan yang disediakan oleh

6

Menteri Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 5-6


(40)

33 25

pemerintah dan swasta. Sedangkan memajukan pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk menyediakan institusi pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta.

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh perseorangan (kyai) sebagai figur central yang berdaulat menetapkan tujuan pendidikan pondoknya adalah mempunyai tujuan tidak tertulis yang berbeda-beda. Sikap filosofis para kyai secara individual tidak sama, ada yang luas ada yang sempit. Tujuan tersebut dapat diasumsikan sebagai berikut: 7

1. Tujuan khusus : “mempersiapkan para santri untuk menjadi orang

yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang

bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat”.

2. Tujuan umum : “membimbing anak didik untuk menjadi manusia

yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat melalui ilmu dan

amalnya”.

B. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Pendidikan Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sistemik. Di dalamnya memuat tujuan, nilai dan berbagai unsur yang bekerja secara terpadu satu sama lain dan

tidak terpisahkan. Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur

7

M. Arifin, Kafita Selekta Pendidikan islam (Islam dan Umum), (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), h. 248


(41)

34 25

dan merupakan suatu keseluruhan. Dengan demikian sistem pendidikan adalah totalitas interaksi seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

1. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Dalam pesantren Untuk memenuhi kebutuhan santri dan masyarakat, perlu dilakukan perumusan sebuah kurikulum. Sebelum berbicara jauh tentang kurikulum pendidikan pesantren ada baiknya membahas tentang pengertian kurikulum terlebih dahulu. Secara estimologis kurikulum bahwa Kata

“kurikulum” berasal dari bahasa Yunani, “currere” yang berarti “jarak tempuh lari” mulai dari start sampai pada garis finish, sedangkan pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan maupun lembaga pendidikan lainnya. Sedangkan dalam konteks pendidikan Islam, istilah kurikulum lebih dikenal dengan “manhaj” yang berarti sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap.8

Dalam pendidikan dan pelatihan, kurikulum adalah komponen yang sangat penting. Sebab kurikulum merupakan pedoman bagi kegiatan belajar mengajar dalam rangka mengembangkan kemampuan SDM atau sasaran pendidikan dan pelatihan. Dalam arti luas, kurikulum dapat diartikan segala upaya dan kegiatan yang mempengaruhi proses belajar. Dengan demikian setiap kegiatan yang

8


(42)

35 25

mempengaruhi proses pendidikan, baik langsung atau tidak langsung merupakan bagian dari kurikulum. Dari beberapa definisi kurikulum di atas, dapat kita ambil titik tengahnya. Pada dasarnya kurikulum dapat diklafisikasikan menjadi dua,

pertama kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan di

sekolah. Kedua, kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan secara nyata di kelas. Perencanaan dan pelaksanaannya tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kurikulum berkedudukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka kurikulum dalam kedudukannya memiliki anticipatory(dapat meramalkan kejadian dimasa depan) bukan hanya sekedar reportorial (melaporkan informasi hasil belajar peserta didik).

Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap guru selalu bermula dari dan bermuara pada komponen-komponen pembelajaran yang tersurat dalam kurikulum. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap guru merupakan bagian utama dari pendidikan formal yang syarat mutlaknya dalah adanya kurikulum sebagai pedoman. Dengan demikian, guru dalam merancang program pembelajaran akan selalu berpedoman pada kurikulum. 9

Pada lembaga pendidikan formal kurikulum adalah salah satu bagian utama yang digunakan sebagai barometer menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta tolak ukur keberhasilan dan

9

Abdul Choliq MT,Manajemen Pendidikan Islam, Semarang:Rafi Sarana Perkasa, hlm. 88


(43)

36 25

kualitas hasil pendidikan. Oleh karena itu keberadaan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting. Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok.10

Kendati beberapa pakar berbeda dalam merumuskan pengertian kurikulum, tetapi mereka tidak berbeda mengenai fungsi kurikulum, yakni : sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagai pelestari nilai nilai budaya dan sebagai pedoman tentang jenis, lingkup dan hirarki urutan isi dan proses pendidikan. Kurikulum, bagi pendidik berfungsi sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar peserta didik, bagi tenaga kependidikan berfungsi sebagai pedoman dalam mengadakan supervisi, bagi wali murid berfungsi untuk memberikan informasi sekaligus dorongan agar membantu menggiatkan belajar yang relevan di rumah, dan bagi perserta didik sendiri berfungsi sebagai informasi tentang jenis pengetahuan, nilai nilai dan keterampilan yang telah diperolehnya sebagai entri behaviornya

Kurikulum Pendidikan pesantren, menurut Hasan paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa

10

Sulthon, Khusnurdhilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka), 2006, hal. 159-160.


(44)

37 25

tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.

Komponen evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat menyeluruh terhadap bahan atau program pengajaran yang dimaksudkan sebagai feedback terhadap tujuan, materi, metode, sarana, dalam rangka membina dan mengembangkan kurikulum lebih lanjut

Menurut Imam Bawani adalah berbeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. Bila disebut pendidikan Islam, maka orientasinya adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang teori-teorinya disusun

berdasarkan alqur’an hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah nama

kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam.

Dengan kata lain pendidikan agama Islam adalah sejajar dengan mata pelajaran lain di sekolah seperti pendidikan matematika, ataupun pendidikan


(45)

38 25

biologi. Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam mempersiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.

Jadi kurikulum Pendidikan pesasntren adalah bahan-bahan pendidikan agama Islam di pesantren berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada santri dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan pesasntren merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Adapun lingkup materi pendidikan pesasntren adalah : Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh/ibadah dan sejarah, dengan kata lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.

2. Asas-asas Kurikulum

Konsep-konsep kurikulum sebagaimana dijelaskan di atas semuanya mempunyai landasan pemikiran yang kuat dan bersifat asasi bagi kegiatan pengembangan kurikulum, asas-asas kurikulum tersebut ialah :

a. Asas Filosofis

Asas ini berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan ilsafat suatu negara yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga


(46)

39 25

negaranya.11 Tentunya akan berbeda corak pendidikan di suatu negara yang demokratis dengan negara teokratis, begitu pula suatu negara dengan negara yang lain. Filsafat itulah yang harus dijadikan sebagai sebuah tujuan pendidikan, nilai-nilai, ide-ide, dan cita-cita kebangsaan harus dijadikan suatu acuan tingkah laku belajar para peserta didik. Nilai-nilai tersebut harus dilestarikan dan diwariskan kepada para peserta didik dan para generasi muda.12 Maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat bangsa dan negara terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang haru dicapai melalui suatu proses pendidikan

b. Asas Psikologis

Asas ini dimaksudakan untuk memberikan pijakan bagaimana mengembangkan suatu kurikulum atas dasar psikologi anak dan psikologi perkembangan.9 Sehingga kurikulum yang diharapkan adalah kurikulum yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan kejiwaan anak. 13

Menurut JJ. Roussean, JH Destalozzi, F. Kroebel, Maria Montessori, John Dewey dan Ki Hajar Dewantoro sebagaimana dikutip oleh S. Nasution, apabila selama ini anak harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ditentukan oleh orang dewasa, maka sekarang kurikulumlah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan minat, dan taraf

11

S. Nasution, MA, Asas-asas Kurikulum, hal. 1. 12

H. Isfandi Muchtar, Kurikulum sebagai Acuan Tingkah Laku Belajar, (Semarang : Fakultas

Tarbiyah IAIN Walisongo, 1995), hal. 1. 13


(47)

40 25

perkembangan anak. Asas psikologis ini dijadikan acuan utama dalam pengembangan kurikulum humanistik.14

c. Asas Sosiologis

Asas ini memberikan pijakan kepada kurikulum, kurikulum harus senantiasa memperhatikan apa yang dibutuhkan masyarakat, karena setiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan, nilai-nilai yang dianutnya, setiap masyarakat akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan dan keanekaragaman ini harus menjadi pertimbangan dalam kurikulum, juga perubahan masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka peserta didik harus mengetahui nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Anak harus mempersiapkan diri di sekolah untuk menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik. Kurikulum rekonstruksi sosial merupakan kurikulum yang menjadikan asas sosiologi sebagai pijakan utamanya.15

d. Asas Organisatoris

Asas ini menyangkut struktur organisasi kurikulum. Bagaimana menyusun materi pelajaran yang sebaik-baiknya. Dan asas ini diwarnai oleh konsep-konsep teoritis acuan kurikulum dan cenderung memilih organisasi kurikulum tersendiri dari bidang-bidang studi keilmuan.16

3. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum

14

S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, hlm. 95. 15

H. Isfandi Muhtar, hlm. 10. 16


(48)

41 25

Pengembangan kurikulum hendaknya didasarkan pada prinsip-prinip pengembangan kurikulum yang berlaku agar hasil pengembangan kurikulum tersebut relevan dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik, lingkungan (masyarakat), sehingga dapat memperlancar pelaksanaan proses pendidikan dalam rangka perwujudan atau pencapaian tujuan pendidikan nasional. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum terbagi menjadi dua, prinsipprinsip umum dan prinsip-prinsip khusus.17

a. Prinsip-prinsip umum, meliputi : a) relevansi

Pendiidkan dapat dipandang sebagai invested of man power resaurcies. Oleh karena itu, lulusan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntunan dan kebutuhan masyarakat (sekarang dan yang akan datang), dunia kerja serta dengan perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi.18

Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki oleh sebuah kurikulum, relevansi keluar dan relevansi didalam. Relevansi keluar meliputi tujuan, isi, dan proses belajar hendaknya relevan dengan tuntunan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Adapun relevansi didalam yaitu ada kesesuaian antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penialian, relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.

b) Efektifitas

17

Subandiyah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),cet 5, hal. 48-50.

18


(49)

42 25

Suatu kurikulum harus mempunyai prinsip efektifitas agar semua hal yang telah direncanakan terlaksana atau tercapai dalam kurikulum, efektifitas ini dapat dari dua segi yaitu efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. c) Efisiensi

Dalam pengembangan kurikulum, prinsip efisiensi penting untuk diperhatikan, baik efisiensi dalam segi waktu, tenaga, penggunaan media, yang tentunya akan menghasilkan efisiensi dari berbagai segi dengan hasil yang optimal.

d) Kesinambungan

Kurikulum sebagai wahana belajar yang dinamis perlu dikembangkan terus menerus dan berkesinambungan antar tingkat (cawu, kelas, dan jenjang pendidikan), sehingga tidak akan terjadi diskontinuitas antara satu bahasan dengan bahasan berikutnya dan akan memberikan pemahaman yang integral pada setiap peserta didik. e) Fleksibilitas

Kurikulum hendaknya bersifat lentur atau fleksibel (tidak kaku). Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan program pendidikan harus diperhatikan kondisi perbedaan yang ada pada diri peserta didik. Oleh karena itu peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, kebutuhan dan lingkungannya. Disamping itu juga harus diberikan kebebasan dalam mengembangkan program pengajaran.


(50)

43 25

b. Prinsip khusus

Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

a. Prinsip yang berkenaan dengan tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum (jangka panjang), jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus), dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu ketentuan dan kebijakan pemerintah, kebutuhan masyarakat, pengalaman negara-negara lain maupun temuan-temuan baru.

b. Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi.

Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang kelas ditentukan para perencana kurikulum dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu perlu penjabaran tujuan pendidikan /pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana, isi bahan pelajaran harus meliputi segi kognitif, apetitif dan psikomotorik, serta unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.

c. Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar Pemilihan proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhitungkan berbagai hal tentang metode pengajaran yang efektif dan praktis dengan didukung suasana yang kondusif dalam suatu proses belajar mengajar. Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan


(51)

44 25

media pengajaran Proses belajar mengajar yang baik harus didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu yang tepat, agar tujuan dapat dicapai sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.

d. Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian

Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran, maka untuk mengetahui hasil proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan diperlukan sebuah penilaian (evaluasi) dengan mempertimbangkan penyusunan alat penilaian (test), perencanaan suatu penilaian dan pengolahan suatu hasil penilaian

Menurut Abdurrahman Wahid, kurikulum yang berkembang dipesantren memperlihat pola yang tetap, pola tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 19

1) Kurikulum itu ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari

2) Struktur kurikulum itu berupa pengajaran ilmu pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikannya dalam bentuk bimbingan kepada santri secara lansung dari kyai/gurunya

3) Secara universal, bahwa kurikulum pendidikan pesantren bersifat fleksibel, dalam artian setiap santri mempunyai kesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sesuai dengan kebutuhannya, bahkan dalam pesantren memilki sistem pendidikan yang berbentuk sekolah.

19

Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Lapangan Kerja “Dalam


(52)

45 25

Standar pokok yang menjadi tolok ukur dalam mempolakan suatu kurikulum adalah materi pelajaran yang bersifat intrakurikuler dan metode yang disampaikan, dalam dunia pesantren. Adapun pola pendidikan pesantren dari segi kurikulumnya, menurut Haidar ada lima pola .20

Pola I, materi pelajaran yang diberikan di pesantren adalah mata pelajran yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Adapun metode penyampaiannya dengan wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal. Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka baca, mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan ijazah, tetapi yang paling penting adalah pengalaman ilmu-ilmu agama yang mereka harapakan dari kajian melalui kitab-kitab klasik tersebut.

Pola II, dalam proses belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal, dimana diberikan materi keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada tingkat tertentu santri diberi tambahan ilmu pengetahuan. Santri di bagi beberapa

jenjangpendidikannya mulaidari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah,„aliyah. Adapun

metode yang digunakan adalah sorogan, wetonan, hafalan dan musyawarah (batsumasa’il).

Pola III, dalam pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan pelajaran umum dan ditambah aneka macam pendidikan, seperti; keterampilan, olahraga, kesenian dan pendidikan berorganisasi.

20

Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren, Sekolah dan Madrasah,


(53)

46 25

Pola IV, pola ini lebih menitik beratkan pada pelajaran keterampilan selain pelajaran agama. Dimana keterampilan diberikan dengan tujuan sebagai bekal dikehidupan santri setelah santri lulus dari pesantren.

Pola V, pada pola ini materi yang diajarkan di pesantren adalah sebagai berikut: a) Pengajaran kitab-kitab klasik Madrasah, b) dalam pesantren diadakan pendidikan madrasah, yang biasanya dilaksanakan dimalam hari, tetapi ada juga yang dilaksanakan pada pagi hari. Selain menagajarkan pelajaran agama juga mengajarkan pelajaran umum. Dimana kurikulum pondok pesantren ini ada dua bagian. Pertama, kurikulum yang dibuat oleh pesantren itu sendiri. Kedua, kurikulum dari pemerintah dengan memodifikasi materi pelajaran agama.c) Keterampilan dan kesenian juga diajarkan dalam berbagai kegiatan-kegiatan, seperti; merangkai bunga, membuat kaligrafi, tilawah, hadrohdan lain-lain sebagainya.d) Sekolah umum, di pesantren juga dilengkapi sekolah-sekolah umum. Adapun materi pelajaran umum pada sekolah umum yang ada di pesantren, secara keseluruhan tidak lepas dari kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk materi pelajaran agama disusun oleh pondok pesantren itu sendiri. e) Perguruan tinggi, pada beberapa pesantren yang tergolong besar, telah memiliki sebuah universitas atau perguruan tinggi yang masih satu yayasan dengan pondok pesantren tersebut. Sebagai contoh, Pondok Pesantren


(54)

47 25

telah memilki sebuah perguruan tinggi, bahkan sudah ada program pascasarjana yaitu Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ).21

Kapasitas dan kecenderungan kyai merupakan faktor yang menentukan dalam pengembangan kurikulum. Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren ialah ilmu-ilmu yang telah di kuasai oleh seorang kyai, seperti ilmu tasawuf, dimana harus seimbang ditataran amalan maupun keabsahan keilmuannya. Cukup dapat dipahami bahwa kondisi pendidikan pesantren diorientasikan pada ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang mendukungnya.

Pada abad 19 M, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di pesantren. Hingga kurikulum pesantren menjadi bertambah luas dengan adanya penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang sudah diajarkan, seperti Al-qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dan ushulfiqh serta qawa’id al-fiqh, hadits dengan musthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti; nahwusharaf, bayan, ma’ani, dan „urudh,

tarikh, mantiq, tasawuf akhlak dan falak. Tidak semua pesantren mengajarkan

ilmu tersebut secra ketat, karena beberapa pesantren lainnya dalam menerapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda, karena belum ada standardisasi kurikulum.22

Dengan adanya standardisasi kurikulum, justru akan menimbulkan bumerang, karena kita ketahui bahwa lembaga pendidikan pesantren cenderung sentralistik yang berpusat pada kyai, sebagai pengasuh sekaligus perancang

21

Ibid, 35.

22

MujamilQomar, Pesantren : Dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal.110-112


(55)

48 25

kurikulum bahkan sebagai pengajar juga, selain dibantu oleh ustad/ustdzh yang telah diberi amanah oleh sang kyai. Dan selama ini belum ada kurikulum yang cocok untuk standardisasi pendidikan pesantren.

Adapun kritikan Mulkhan yang dikutip oleh Binti Maunah, bahwa pesantren sebaiknya harus menerapkan fiqh lintas madzhab(muqaranah

al-madzahib), pesantren juga harus mengadakan re-evaluasi dan rekonstruksi dalam

kitab kuning, inilah salah satu kelemahan pesantren, dimana pengetahuan umum hanya dilaksanakan setengah-setengah, sehingga kemampuan santri sebagian terbatas dan kurang mendapatkan pengakuan umum dari masyarakat. Seharusnya pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang kompatibel dan sebagai pembentuk produk ulama yang profesional, yang menggunakan penguatan pendidikan dasar (basic education) sesuai dengan perkembangan zaman dan mampu mengadaptasikan dirinya dengan wawasan global.23

Studi-studi tentang pesantren tidak menyebut kurikulum yang baku, dapat dipahami karena pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bebas dan otonom, dari segi kurikulum pesantren diberi kebebasan untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan secara bebas tanpa adanya pemaksaan. Secara umum kurikulum pendidikan pesantren meliputi, materi (bidang studi), kitab-kitab yang diajadikanrefrensi, metode pembelajaran dan sistem evaluasi.

23


(56)

49 25

Pada umumnya pembagian keahlian di lingkungan pesantren telah melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar pada pada bidang-bidang; nahwu-sharf, fiqh, „aqa’id, tasawuf, hadits, bahasa Arab, dan lain-lain. 24

a) Bahasa Arab (Nahwu-Sharf)

Mata pelajaran ini mendapatkan posisi yang cukup penting sehingga

selaluada di setiap pondok pesantren ialah “ilmu alat”. Karena hampir semua mata

pelajaran yang ada di pondok pesantren menggunakan kitab yang berbahasa Arab. Di dalam pondok pesantren, penguasaan nahwu, sharaf dan balaghah merupakan syarat kunci untuk memahami teks-teks al-Qur’an, al-Hadist maupun kitab-kitab lain yang berbahasa Arab.25

Istilah Nahwu-sharf ini mungkin bisa diartikan sebagai gramatika bahasa Arab. Keahlian seseorang dalam gramatika bahasa Arab ini telah dapat merubah status sosial keagamaannya, padahal bentuk kongkrit keahlian itu biasanya sangat sederhana sekali yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab

nahwu-sharf tertentu, seperti al-jurmiyah, imrithi, alfiyah, atau untuk tingkat yang lebih

tingginya lagi, dari karya Ibnu „Aqil.

Kitab yang biasanya diajarkan untuk tingkat awal, ialah : Awamil, Jurumiyah, Fathnabb al-Barriyah, Sarh Jurumiyyah, Kaylani, al-Bina wa al-asas,

Qawaid al-I’lal, Asymani, Tasrif, Muttamimah, Qawaid al-Nassar. Sedangkan

untuk tingkat menengah ialah : Al-Qawaid Al-Sorfiyyah, Nazam Maqsud, Imriti

24

Nurcholish Mdjid, Bilik-bilik., 7-13. 25


(57)

50 25

dan Alfiah Ibnu malik. Adapun untuk tingkat tinggi adalah Al-Jauhar Al-Maknun,

Sullam al-Munawwaraq, Uqud al-Juman.26

b) Fiqh

Fiqh merupakan sekumpulan hukum amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam, atau pengetahuan tentang hukum agama. Menurut Nurcholish Madjid keahlian dalam fiqh merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan Islam, sebab hubungan yang erat dengan kekuasaan. Maka pengetahuan hukum- hukum agama merupakan tangga naik yang paling cepat menuju pada status social-politik yang lebih tinggi. Faktor ini menyebabkan meningkatkan arus orang yang berminat mendalami keahlian dalam bidang fiqh.27

seseorang harus mengetahui (menguasai) dan tentu saja melaksanakan hukum-hukum Islam secara benar dan konsekuen. Disinilah makna eksistensi dan

urgensitas fiqih. Materi syari’at Islam atau fiqih biasanya dibagi menjadi :

a. Ibadah (ibadah dalam arti sempit/makdhah).

b. Mu’amalat (tentang kerja sama antar sesama manusia).

c. Munakahat (tentang pernikahan).

d. Jinayah (tentang pelanggaran dan pembunuhan).

Beberapa kitab yang biasanya diajarkan ditingkat awal ialah : Sulam munajat, Safinah al-najah, Sullam al-Taufiq, Fath al-Qarib, Safinah al-salih,

26

Ibid, hal. 52. 27


(58)

51 25

Minhaj al-Qawim, Bahjah al-Wasa’il, Umdah al-salik, sedangkan untuk tingkat

menengah, ialah : Tausyih ala Ibnu Qasim, Fath al-muin, I’anat al-talibin,

Kifayah al-Ahyar, fath al-Wahhab, dan aI-iqna’, dan adapun untuk tingkattinggi,

adalah Al-Mahalli, Bidayah al-Mujtahid, al-Mizan al-Kubra, Fiqh ala Madzahib al-arba’ah, al-Umm, al-Muhazzab, Fiqh al-Abu Imam Syafi’i. 28

c) Ushul Fiqh

Selain fiqh, pondok pesantren juga perlu memberikan mata pelajaran ushul fiqh. Ilmu ini berkaitan dengan dasar-dasar dan metodologi untuk meraih sebuah hukum (istinbath). Fiqh pada takaran tertentu adalah produk, prosesnya dicakup dalam ushul fiqh. Kitab yang biasanya diajarkan ditingkat awal, ialah : Mabadi’u

al-fiqhiyyah, sedangkan untuk tingkat menengah, ialah : Waraqah al-Dimyati, ala

Syarh alwaraqah, Gayah al-wasul, Faraid al-Bahiyyah. Sedangkan untuk tingkat

atas, adalah Tashil al-Thuruqah, Jami’u al-jawami’, Lataif al-Isyarah.29

d) „Aqaid

Bentuk plural dari „aqidah dalam bahasa populernya “keyakinan atau kepercayaan”. „Aqaid meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim, atau ushuluddin (merupakan bidang pokok-pokok agama), sedangkan fiqh disebut furu’ (cabang-cabang), namun kenyataannya

bidang „aqaid ini kalah besar dan antusias dibanding pada bidang fiqh yang hanya merupakan cabang (furu’).

28

Ditpekapontren Ditjen kelembagaan islam, Pola Pembelajaran di Pesantren, Depag RI, Jakarta. Cet I 2003 hlm 54.

29


(1)


(2)

111

DAFTAR PUSTAKA

Madjid, Nurcholis. 1992. Bilik- Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:Paramadina.

Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nurwahid, Hidayat. 2006. Sekolah Islam Terpadu: Konsep dan Aplikasinya.

Jakarta:Syaami Cipta Media.

Nasution. 1995. Kurikulum dan Pengajaran . Jakarta: Bumi Aksara.

Wahyoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Dhofier, Zamaksyari.1999. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES.

Yasmadi. 2002. Modernisasi pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.

Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

Madjid, Nurcholis. 1992. Islam, doktrin dan peradaban . Jakarta: Paramadina.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Madjid, Nurcholis. 1993. Islam kerakyatan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1993.

M. Elchols , John dan Shadily, Hasan. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Partanto, A. Pius. 1994. Kamus Ilmiah Popular. Surabaya; Arkola.

Hamalik, Oemar. 1994. Kurikulum Dan Pembelajaran. Bandung : Bumi Aksara.


(3)

112

Kurinasih , Imas dan Sani, Berlin. 2014. Implementasi kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan. Surabaya : Kata Pena.

Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud.1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Kedua, Jakarta, balai Pustaka.

Indrakusuma, Amir Daien.1975. Pengantar Ilmu Pedidikan Islam. Bandung:

Al-Ma’arif.

Prasodjo, Sudjono. 1982. Profil Pesantren. Jakarta : LP3S.

Madjid, Nurcholish. 2003. Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi

Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Muhadjir, Neong. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta : Rake Saranin.

Mardialis.1995. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Bungun, Burhan. 2003. Analisi Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Faisal, Sanapiah.1993. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Arikunto, Suharsimi.1996. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Bakker, Anton dan Charis Zubair Ahmad.1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius

Sudarto. 1997. Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Prasada.

Masyhud, Sulthon dan Khusnurdhilo.2004. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Menteri Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003. tentang SISDIKNAS. Jakarta : Sinar Grafika.


(4)

113

Arifin. 1995. Kafita Selekta Pendidikan islam (Islam dan Umum). Jakarta : Bumi Aksara.

Nata, Abuddin. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos wacana Ilmu.

Sulthon, Khusnurdhilo. 2006. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka. Muchtar, H. Isfandi. 1995. Kurikulum sebagai Acuan Tingkah Laku Belajar.

Semarang Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.

Subandiyah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Wahid, Abdurrahman. 2009. Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Lapangan Kerja

“Dalam Bunga Rampai Pesantren”. Jakarta: CV Dharma Bhakti, tt)

Maunah, Binti . 2009. Tradisi Intelektual Santri. Yoyakarta: Teras.

Ditpekapontren Ditjen kelembagaan islam. 2003. Pola Pembelajaran di Pesantren. Jakarta: Depag RI

Madjid , Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan peradaban,Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan, Kemanusian Dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam. 2003. Pola Pengembangan

Pondok Pesantren. Jakarta: Depag RI,.

Depag RI. 1999. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : PT. Toha Putra.

Mundhier Suparta dan Amin Haidar. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta : Diva Pustaka.

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Azizi, Qodri A.2000. Islam dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: LKIS.


(5)

114

Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Saiman, Iqbal Abdurrauf. 1988. Polemik Reaktulisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Sufyanto. 2001. Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani

Nurcholish Madjid. Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset.

Madjid, Nurcholish. 2004. Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem. Jakarta: Djambatan.

Madjid, Nurcholish. 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren

dalam DawamRahardjo(ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari

Bawah. Jakarta: P3M.

Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren,Perhelatan Agama dan Tradisi.

Jakarta: LKiS.

Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi. 1988. Dasar-dasar Pengembangan

Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.

Azra, Azyumardi. 2011. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Kalimah.

Azra, Azyumardi. 1999. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Madjid, Nurcholis. 1995. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.

Sukandi dalam buku Nurcholis Majjid. 2003. Nurcholis Madjid : Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

115

Madjid, Nurcholish. 2008. Tradisi Islam Peran dan Fungsi dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusian: Membangun Tradisi dan Visi

Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.