Media dan Berita dalam Pandangan Paradigma Kritis

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 21:41:11 2017 / +0000 GMT

Media dan Berita dalam Pandangan Paradigma Kritis
LINK DOWNLOAD [32.89 KB]
Bila paradigma pluralis melihat media dan pekerja didalamnya adalah otonom dan berita yang dihasilkan selalu menggambarkan
realitas yang terjadi dilapangan. Paradigm kritis sebaliknya, selalu berpandangan bahwa antara media selalu dipengaruhi struktur
sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Posisi media seperti ini, tentunya mempengaruhi realitas sosial yang
disajikan oleh media. Mesia bukan cermin seadanya dari sebuah realitas itu.
Fakta, dalam konsep pluralis, diandaikan sebagai realitas yang bersifat eksternal, yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya.
Sehingga sifat fakta itu objektif dan harus diliput wartawan apa adanya . kaum kritis melihat realitas sebagai kenyataan semu yang
terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Sehingga kekuatan itu selalu ada dibalik sebuah peristiwa.
Berita, menurut kaum pluralis, merupakan mirror of relality, yang merupakan pencerminan dan refleksi dari realitas. Olehnya itu,
media harus memberitakan apa adanya. Sedangkan kaum kritis, menolak anggapan berita adalah cerminan realitas. Menurut kaum
kritis berita adalah hasil pertarungan wacana ( social strungle ) antara berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat. Maka,
pandangan dan ideologi wartawan atau media selalu dilibatkan. Sehingga realitas yang tampak sangat dipengaruhi oleh siapa saja
yang memenangkan pertarungan yang pada umumnya dimenangkan oleh kelompok dominan.
Realitas, tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai suatu set fakta, akan tetapi hasil ideologi dari pandangan tertentu.
Implikasinya, peristiwa ( realitas sosial ) tidak berdiri sendiri dan maknah yang muncul ditransformasikan melalui bahasa. Makna
dalam konteks kritis adalah sebuah produksi sosial, hsil dari sebuah peraktek. Maka, tidak mengherankan apabila realitas yang
diliput media merupakan titik perdebatan yang paling penting diantara aliran pluralis dan kritis.

Pada pandangan realis atau pluralis, apa yang terjadi dan apa yang dilihat oleh wartawan adalah fakta yang sebenarnya. Tentunya hal
ini disanggah oleh para penganut aliran kritis, mereka menganggap bahwa yang hadir didepan wartawan adalah realitas yang
terdistorsi. Realitas tersebut telah disaring oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat. Mereka percaya realitas pada dasarnya
adalah pertarungan dari berbagai kelompok untuk menonjolkan penafsiran mereka, tentunya realitas yang hadir tidak secara alamiah
melainkan telah mengalami pemaknaan.
Posisi media, kaum pluralism melihat media sebagai saluran yang netral dan bebas nilai. Artinya semua pihak dan kepentingan dapat
menyampaikan pandangannya secara bebas. Pandangan ini bertolk belakang dengan pandangan kritis, mereka meyakini media tidak
hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga alat untuk memproduksi ideologi kelas dominan. Media bukan sekedar saluran yang
bebas, ia adalah subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Stuart Hall, melihat posisi media pada dasarnya tidak memproduksi realitas, melainkan menentukan (to define) realitas melalui
pemakain kata-kata yang terpilih. Implikasi makna sebgai alat pertentangan antar kelompok, menjadikan media sebagai medan
perang pertarungan wacana. Media memposisikan diri sebagai wahana diskusi publik dimana masing-masing kelompok saling
menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap realitas.
Hall menggambarkan, seringkali pertarungan pemaknaan itu sering kali terjadi secara tidak seimbang. Satu pihak, sering kali
mempunyai akses yang lebih besar ke dalam media, dibandingkan kelompok lain.
Posisi wartawan, pendekatan pluralis menekankan agar nilai, etika, dan hal-hal lain diluar objek dihilangkan dalam proses
pembuatan berita. Pertimbangan moral dan etika, memegang andil dalam mengurangi objektivitas pemberitaan, realitas haruslah
ditempatkan dalam fungsinya sebagai realitas faktual ?yang tidak boleh dikotori oleh pertimbangan subjektif.
Wartawan dalam hal ini difungsikan sebagai pelapor. Ia hanya bertugas memberikan fakta, dan sedapat mungkin menjauhkan diri
dari pertimbangan etika, moral atau nilai tertentu. Wartawan menulis berita hanya berfungsi sebagai penjelas (eksplanation) dalam

menjelaskan sebuah realitas. Paradigma kritis melihat wartawan tidak pernah lepas dari pertimbangan etika dan moral. Sehingga
wartawan rentan berpihak pada suatu kelompok atau nilai tertentu.wartawan secara aktif-tidak hanya melaporkan ?membentuk dan
mengkonstruksi suatu realitas. Karena fungsinya tersebut disadari atau tidak wartwan membentuk realitas sesuai dengan kepentingan
kelompoknya.
Bahkan pandangan kritis menilai wartawan pada dasarnya partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan adalah
bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat,karenanya sukar menhindari sikapnya sebagai salah satu anggota
kelompok.
Salah satu perbedaan mendasar dari dua pandangan ini adalah bagaimana kerja profesional wartawan dilihat. Mark Schulman
berpendapat, media dalam paradigma pluralis adalah suatu sistem pembagian kerja yang rasional.oleh karena itu, diatur dalam
serangkaian kerja profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan wartawan. Sebaliknya pandangan kritis melihat wartawan dan
kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak lepas dari sistem kelas. Berarti dia tergolong dalam dua kelas yang selalu berpisah dan

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 21:41:11 2017 / +0000 GMT

terus bertentangan , kelas elit dan kelas tidak dominan. Karenanya kerja jurnalistik tidak bisa dipahami semata sebagai kerja

profesional, dimana wartawan dan mereka yang bekerja diatur dengan hokum-hukum profesional, tetapi dipandang sebagai bagian
dari praktek kelas. Wartawan adalah kelas tersendiri dan hubungannya dengan redaktur, pemilik modal dan pemasaran adalah relasi
antar kelas yang berbeda, bukan hubungan sosial.
Pertama,paradigma pluralis, melihat wartawan berada dalam sistem yang otonom dan bekerja menurut sistem yang ada. Wartawan
adalah bagian dari sistem tersebut dan menjalankan kerja sesuai fungsinya dalam struktur dan sistem dan pembagian kerja. Hasil
kerja wartawan, bukan hasil kerja sendiri dan selalu melalui proses struktur (gatekeeping). Sistem pembagian kerja yang jelas
wartawan, tugasnya tersendiri, redaktur/editor mempunyai tugas sendiri, dan pemasaran mempunyai peranan tersendiri, merupakan
pembagian sedemikian rupa sehingga seseorang tinggal melaksanakannya. Pandangan pluralis sangat meyakini konsep seperti ini.
Pandangan kritis sangat berbeda, wartawan bekerja dan hasil kerjanya bukan melalui gatekeeping, tetapi bekerja atas control dan
sensor diri, akibatnya bisa diperhatikan, mengapa wartawan menulis demikian tidak seperti misalnya. Pihak elit dalam media
sengaja mengontrol wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak mengikuti prose situ,
dan imbalan bagi yang mengikuti proses. Kerja wartawan karenanya bukanlah diatur dalam proses dan pembagian keja, tetapi dari
control kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.
Kedua, berkaitan dengan landasan yang dipakai wartawan dalam meliput dan meliput berita, pandangan pluris melihat;fakta apa
yang ditulis , bagian mana yang ditonjolkan, bagian mana yang seharusnya tidak ditulis, dan seluruh proses kerja jurnalistik pada
dasarnya diatur dengan pertimbangan etis dan profesional. Landasan profesional itu seringkali ditandakan dengan tema; layak berita,
nilai berita, dan sebagainya, sebaliknya pandangan kritis, segala proses jurnalistik tidak didasari Pada landasan etis dan profesional,
tetapi lebih berlandaskan pada ideologis.
Ketiga, mengenai profesionalisme, pandangan pluralis memandang profesionalisme sebagai keuntungan. Dengan profesionalisme
inilah proses produksi dapat berjalan. Sedangkan paradigm kritis berpendapat bahwa, profesionalisme adalah bentuk kontrol/praktek

pendisiplinan tersebut. Selain itu terdapat rambu-rambu yang mengarahkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh
wartawan. Kebebasan wartawan yang dibatasi dengan kontrol dan konsep yang membuat ia hanya sebuah sekrup dari sistem, yang
mau tidak mau ia harus terkurung dalam ideoloi media tersebut.
Keempat, pandangan pluralis melihat hubungan antara wartawan dan pihak lain dalam media,merupakan bagian dari sebuah tim
yang tujuan akhirnya adalah menciptakan berita yang baik pada khalayak. Pandangan kritis melihat wartawan bukanlah anggota dari
sebuah tim, tetapi sebagai pemain dari seraangkaian pihak-pihak yang mempunyai posisi yang berbeda-beda. Masing-masing pihak
dan posisi saling bertarung dan tujuan akhirnya mengontrol, agar pandangannya lebih diterima dan mewarnai pemberitaan.
Karenanya,keseimbangan (ekualibrium) dalam arti kebenaran tidak mungkin dicapai karena kebenaran yang tercipta bukanlah hasil
dari keseimbangan lalu lintas informasi dari masing-masing orang dalam media, tetapi lebih sebagai sikap elit media yang lebih
mempunyai posisi, peluang dan kesempatan untuk memaknai peristiwa dan mewujudkannya dalam berita.
Hasil liputan. Perbedaan kedua paradigm ini adalah memahami berita mengakibatkan pula, perbedaan dalam hal hasil kerja
wartawan. Paradigm pluralis, diandaikan terdapat standar baku dalam kerja jurnalistik. Standar bakutersebut biasa disebut
sebagai;peliputan berimbang,dari dua sisi, netral dan objektif. Peliputan berimbang artinya menampilkan pandangan yang setara
antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip yang agak mirip adalah peliputan dari dua sisi, dimana ada kesempatan yang sama bagi
semua pihak untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya atau suatu masalah. Prinsip netral, berarti dalam menulis maupun
mencari bahan, wartawan tidak boleh berpihak pada satu kelompok yang membuat laporan berita tidak seimbang. Prinsip ini
umumnya juga dilengkapi dengan prinsip objektif, dimana wartawan menhindari masuknya opini pribadi kedalam pemberitaan. Apa
yang harus diliput dan ditulis adalh apa yang terjadi, tidak dikecilkan atau dibesar-besarkan.
Pandangan ini ditolak oleh paradigm kritis. Persoalannya adalah bukan pada bagaimana laporan yang baik dan buruk, apakah
laporan mengandung bias atau tidak akan tetapi demikianlah kenyataanya. Artinya kalau ada seorang wartawan yang menulis dari

suatu sisi, menghimpun berita dari suatu sumber, memasukkan banyak opininya kedalam berita, tidak dinilai sebagai sesuatu yang
salah atau benar. Akan tetapi wartawan melakukannya dalam rangka suatu ideologi tertentu. Perlu disadari dalam pandangan kritis
wartawan adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. Karena itu titik
perhatian penelitian harus diarahkan untuk mencari ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi tersebut dipraktekkan untuk
memarginalkan kelompok lain melalui berita.
Dalam konsep pluralis, wartawan hendaklah menhindari subjektifitas. Hal ini dilakukan dengan jalan menarik garis yang tegas
antara opini dan fakta. Berarti wartawan hanya mengambil fakta antara apa yang terjadi. Hal ini mendapat kritikan dari kaum kritis,
karena menurut mereka wartawan adalah bagian kecil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Pengaruh
kepemilikan modal dan politik kelas sangat mempengaruhi fakta apa yang harus diambil dan bagaimana berita itu dibahasakan.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 21:41:11 2017 / +0000 GMT

Persoalannya, berarti bukan wartawan yang tidak objektif, tetapi struktur di luar diri wartawan tersebut yang mempropagandakan
nilai-nilai tertentu.
Struktur secara umum yang menindas tersebut yang berpengaruh pada pemberitaan.

Dalam pandangan pluralis, bahasa jurnalistik seharusnya bahasa yang dipakai adalah straight atau langsung, tanpa opini dan
penafsiran dari wartawan. Sehingga fungsi bahasa sebagai pengantar realitas itu terwujud. Bahasa dalam jurnalistik dapat
menyampaikan realitas apa adanya kepada pembaca. Sebaliknya kaum kritis menentang bahasa sebagai alat untuk menyampaikan
realitas kepada pembaca. Pertanyaanya yang muncul adalah, apakah mungkin bahasa bersifat objektif? Karena pada kenyataannya
bahasa tidak pernah lepas dari ideologi dan politik pemakainnya karena itu mengandaikan bahasa sebagai representasi dari realitas
sosial adalah hal yang mustahil. Menurut Hacket, bahasa tidaklah mungkin bebas nilai, karena realitas bahasa tidak merefleksikan
realitas, karena selalu ada jarak antara realitas sesungguhnya dengan realitas yang direpresentasikan lewat bahasa.
Melalui bahasa , kelompok-kelompok yang tidak seimbang dalam masyarakat direpresentasikan lewat bahasa. Menurut pandangan
kritis bahasa selalu memapankan kelompok dominan dan menggusur kelompok yang tidak dominan. Bahasa adalah instrument
utama untuk memarginalkan kelompok lain dan mengeluarkan mereka dari pembicaraan. Bahasa harus dilihat sebagai medium
dimana makna ? makna spesifik diproduksi. Karena makna tidak begitu saja muncul dan merupakan hasil produksi, dapat dikatakan
bahwa makna ? makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama. Olehhnya itu, agar dapat diproduksi terus, sebuah
makna harus mendapat kredibilitas, legitimasi, dan karakter taken for garanted. Dalam proses inilah terjadi marginalisasi,
perendahan, atu delegitimasi terhadap konstruksi ? konstruksi alternatif.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/3 |