PARADIGMA KRITIS DALAM PEMBELAJARAN BAHA

PARADIGMA KRITIS
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA1
Mulyadi Eko Purnomo2
FKIP Universitas Sriwijaya
Pos Elektronik: mulyadiekopurnomo@yahoo.com
Abstrak: Paradigma kritis merupakan perspektif kritis dalam memikirkan sesuatu.
Paradigma kritis dalam bidang pendidikan/ pedagogi, terdapat pedagogi kritis yang
memandang bahwa pendidikan adalah proses pemberdayaan. Oleh karena itu, siswa
dipandang sebagai subjek yang memiliki kemandirian dan kebebasan dalam taraf
tertentu terhadap apa yang ingin dicapainya dan bagaimana cara mencapainya.
Hubungan guru-siswa bersifat dialogis dan saling menghargai. Dalam bidang
linguistik, paradigma kritis terwujud dalam analisis wacana kritis yang merupakan
epistemologi kewacanaan untuk menemukan ideologi yang tersembunyi dari suatu
praktik wacana. Dalam pembelajaran bahasa, pedagogi kritis dan analisis wacana
kritis dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa.
Caranya adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip paradigma kritis itu dalam
praktik pembelajaran di kelas.
Kata-kata kunci: paradigma kritis, pedagogi kritis, analisis wacana kritis,
pembelajaran bahasa

Pendahuluan

Paradigma kritis merupakan pandangan atau wawasan atau perpektif yang
bersifat kritis. Pandangan terhadap apa yang dilakukan atau dipikirkan secara
kritis? Apa arti pandangan secara kritis itu? Dalam literatur pendidikan terhadap
pandangan yang bersifat kritis terhadap konsep pedagogi (pedagogy) sehingga
muncul istilah pedagogi kritis (critical pedagogy). Sementara itu, dalam literatur
linguistik terdapat konsep linguistik kritis (critical linguistics), kemudian lebih
spesifik menjadi analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA), juga
pragmatik kritis (critical pragmatics).
Pedagogi kritis (PK) muncul ketika Paulo Freire menerbitkan karyanya
yang berjudul Pedagogy of the Oppressed tahun 1970-an, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1985 dan ditrbitkan oleh LP3ES,
Pendidikan Kaum Tertindas. Dalam buku itu, Freire mengkritik praktik
1

Makalah Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa Indonesia, Program
Pascasarjana FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang, 5 November 2016.
2
Guru Besar pada FKIP Universitas Sriwijaya.

1


pendidikan yang selama ini terjadi, terutama, di negara-negara berkembang.
Beberapa kritik itu antara lain bahwa praktik pendidikan (pembelajaran) hanyalah
seperti praktik bank, yaitu guru hanya mengisi buku tabungan dengan berbagai
pengetahuan dan keterampilan kemudian pada saatnya diambil kembali oleh
pemilik buku tabungan itu dalam bentuk ujian. Dalam praktik seperti ini, siswa
tidak diberi kesempatan untuk menyadari, mengolah, dan mengkritik apa yang
terjadi pada dirinya dan pada proses pembelajaran itu.
Bertolak dari kritiknya terhadap praktik pendidikan yang seperti itu, Freire
mengajukan gagasannya agar dilakukan perubahan “besar-besaran” terhadap
pendidikan. Perubahan itu mencakup tataran filosofis, sistem, dan juga praksis.
Pada tataran filosofis diajukanlah konsep-konsep pemberdayaan, kesetaraan,
kesadaran kritis, yang berdasar pada ideologi pasca-modernisme, pascakolonialisme, dan feminisme.
Sementara itu, analisis wacana kritis (AWK) muncul ketika N. Fairclough
(1989) menerbitkan karyanya Language and Power) dan beberapa karya lain,
kemudian pada 1995 menerbitkan Critical Discourse Analysis). Masih ada
beberapa karya Fairclough yang lain sampai 2006 menerbitkan buku Language
and Globalisation. Selain itu, T.A. van Dijk juga merupakan tokoh dalam AWK.
Bukunya yang terkenal dalam AWK adalah Discourse and Power (2008),
Discourse and Society (2009) dan lain-lain yang ditulis pada tahun-tahun

sebelumnya.
Bertolak dari AWK itu, beberapa orang telah memanfaatkannya dalam
pembelajaran bahasa, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai
bahasa

asing

(TESL/TEFL).

Martinez

(2012),

misalnya,

mengusulkan

pemenfaatan AWK dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua/asing
dalam kegiatan menulis dan membaca untuk membina kemampuan berpikir kritis.
Sementara itu, Amari (2015) memanfaatkan konsep AWK Fairclough yang

diintegrasikan

dengan

Systemic

Functional

Grammar

Halliday

untuk

pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua/asing di Algeria. Di samping
itu, Jupriono (2011) memanfaatkan AWK dalam pembelajaran linguistik
(sintaksis dan wacana BI) bagi mahasiswa.

2


Makalah ini berusaha membahas beberapa topik seperti: konsep PK, isueisue dalam PK, konsep AWK, unit analisis dalam AWK, dan implikasi PK dalam
pembelajaran bahasa, serta pemanfaatan AWK dalam pembelajaran bahasa.
Pedagogi Kritis3
Buku Pedogogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas)
merupakan karya Freire yang sangat berpengaruh dalam menggerakkan
masyarakat di berbagai negara “terbelakang”, yang terutama negara yang
penduduknya masih banyak yang buta aksara. Konsep pedagogi kritis yang
diketengahkan oleh Freire merupakan konsep yang membuka kesadaran akan
perlunya perubahan tentang hubungan guru-murid dan tentang praktik
pembelajaran dan/atau pendidikan (Freire, 1984)
Menganai hubungan guru-murid, yang terjadi selama ini adalah hubungan
yang tidak seimbang. Guru lebih merupakan pihak yang “menindas”, sedangkan
siswa adalah pihak yang “ditindas”. Guru adalah pihak yang mendominasi, yang
memegang kendali, dan yang mengatur siswa, sedangkan siswa adalah pihak yang
didominasi, dikendalikan, dan diatur oleh guru. Tingginya dominasi ini sampaisampai murid kehilangan kesadaran akan peranannya dan posisinya yang
mestinya dialah yang menentukan berhasil-tidaknya pendidikan yang dialaminya.
Menghadapi situasi ini, Freire berpandangan bahwa sudah saatnya
hubungan guru-murid diubah sehingga kesadaran akan peran dan posisi murid
dalam pendidikan ditimbulkan, bahkan dikuatkan. Oleh karena itu, dia kemudian
mengajukan konsep hubungan yang setara antara guru dan murid. Dengan

kesetaraan hubungan ini, yang terjadi adalah dialog bukan pemaksaan; kesamaan
posisi, bukan dominasi; dan pemberdayaan, bukan penguasaan. Maka, dengan
konsep ini yang terjadi adalah pendidikan sebagai pembebasan; pembebasan dari
ketertindasan, pembebasan dari dominasi.
Tentang praktik pendidikan, Freire menganggap bahwa yan terjadi selama
ini adalah pendidikan model bank (banking model). Yang dimaksud adalah
3

Uraian mengenai PK dan issue-isue dalam PK telah pernah dipaparkan dalam
seminar Linguakustik Program Pascasarjana Universitas Sriwjaya, Palembang,
2011; baca Purnomo (2011b).

3

praktik pendidikan yang hanya mengisi tabungan (atau lebih tepat celengan)
dengan pengetahuan yang nanti akan diambil kembali dalam bentuk ujian. Dengan
cara ini, siswa dianggap sebagai celengan kosong yang harus diisi oleh guru
sampai penuh, tanpa mempertanyakan apakah celengan itu mau atau mampu
menampung apa yang diisikan oleh guru.
Maka, Freire kemudian mengajukan konsep proses bersama atau proses

saling (mutual concept) pada proses pendidikan. Dengan konsep ini, yang
diusahakan adalah membangkitkan kesadaran siswa sebagai manusia yang belum
sempurna, dan bersama guru mengusahakan agar siswa menjadi manusia utuh
(sepenuhnya manusia) (Frire, 1984).
Isu-isu dalam Pedagogi Kritis
Dalam pedagogi kritis terdapat isu-isu penting yang kemudian menjadi
karakteristiknya. Isu-isu penting itu adalah pendidikan sebagai praktik
pembebasan, kesetaraan dalam pendidikan, dan pendidikan multikulralisme.
Isu pertama dalam pedagogi kritis adalah pendidikan sebagai pembebasan.
Pendidikan sebagai pembebasan merupakan isu penting dalam pedagogi kritis.
Dapat dikatakan juga bahwa pendidikan sebagai praktik pembebasan ini
merupakan konsep yang paling penting dalam pandangan Paulo Freire.
Pertanyaannya adalah bebas dalam hal apa atau bebas untuk apa. Jawabannya
adalah bebas untuk memilih jalan hidupnya, bebas dari budaya otoriter yang
menindas, dan bebas dari budaya verbal yang naif (Umiarso dan Zamroni, 2011).
Pertama adalah bebas untuk memilih jalan hidupnya. Pendidikan harus
dapat membebaskan manusia (peserta didik) untuk memilih jalan hidupnya.
Artinya adalah bahwa pendidikan harus memungkinkan peserta didik memiliki
kebebasan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hal ini bertolak dari
pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang unggul dibandingkan dengan

makhluk lainnya. Manusia memiliki potensi untuk memimpin dirinya sendiri
dalam mengelola kehidupannya sendiri.
Kemampuan yang penting dimiliki oleh manusia dalam menentukan jalan
hidupnya ini didukung oleh kemampuan berdialektika dengan realitas dunia.

4

Dengan dialektika ini, manusia terus-menerus menyempurnakan dirinya; manusia
tidak lahir dalam keadaan sempurna, tetapi lahir dalam keadaan tidak sempurna.
Kemudian, dengan kemampuan berdialektika dengan dunianya inilah manusia
terus-menerus menyempurnakan dirinya sebagai manusia “sempurna”.
Dengan pandangan seperti itu, pendidikan harus memberikan kesadaran
untuk mandiri dalam menentukan hidup manusia itu sendiri. Pendidikan dapat
dipandang sebagai usaha memanusiakan manusia dengan segala potensi dan
kemampuannya; ini disebut dengan humanisasi. Dengan humanisasi, pendidikan
berperan sebagai penyemangat untuk mengembangkan kesadaran manusia akan
potensi dan potensinya. Dengan kesadaran akan potensi dan kemampuannya itu,
manusia akan memiliki kemandirian dalam memilih dan menentukan jalan
hidupnya.


Kesadaran seperti itu harus dibina dan ditingkatkan melalui

pendidikan.
Kedua adalah bebas dari budaya otoriter. Yang dimaksud adalah budaya
otoriter dari lingkungannya, terutama dari guru atau pendidik. Artinya, manusia
harus bebas dari kesewenang-wenangan yang “dibenarkan” oleh budaya
masyarakat; kesewenang-wenangan itu bisa berasal dari orang tua, guru, atau
teman-teman sepermainan. Yang kesewenang-wenangan itu pada umumnya
bersifat menindas atau, sekurang-kurangnya, memaksa manusia untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkannya.
Oleh karena itu, pendidikan harus membebaskan manusia dari budaya
otoriter yang menindas itu. Caranya adalah dengan menghindarkan peserta didik
dari kesewenangan yang menindas itu. Dalam pendidikan, penindasan itu dapat
bersumber dari kebijakan yang tidak memihak kepada peserta didik, dapat pula
bersumber dari sifat hubungan atau interaksi antara pendidik dan peserta didik.
Yang masih dirasakan sampai sekarang adalah penindasan yang bersumber
dari interaksi antara pendidik dan peserta didik. Dalam hal ini, yang terjadi adalah
subordinasi terhadap peserta didik atau dominasi pendidik atas peserta didik.
Dalam banyak situasi, guru masih menganggap dirinya lebih “berkuasa” daripada
murid, sehingga guru “bebas” menentukan apa saja terhadap muridnya;


5

sebaliknya, murid berada pada pihak yang didominasi, yang harus tunduk dan
mengikuti apa yang diperbuat oleh guru terhadapnya.
Apabila pendidikan bermaksud membebaskan peserta didik dari
“penindasan” pendidik, dominasi itu harus segera diakhiri. Yang diperlukan
adalah interaksi guru-murid yang bersifat dialogis. Dengan interaksi dialogis ini,
guru dan murid adalah sama-sama subjek yang bersama-sama berusaha
menyempurnakan diri masing-masing, juga bersama-sama saling memanusikan
untuk mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.
Ketiga, bebas dari budaya verbal yang miskin-makna. Pendidikan haruslah
membebaskan peserta didik dari budaya verbal atau verbalisme yang kurang
memberikan kesempatan untuk menggali makna otentik bagi peserta didik. Ini
adalah kritik Freire terhadap metode pengajaran yang dilakukan oleh sebagian
guru di Brazil pada masa itu. Verbalisme merupakan kegiatan mengajar yang
sebagian besar berupa informasi verbal yang harus “dihafal” dan diungkapkan
kembali pada saat ujian. Dengan verbalisme, peserta didik kurang mendapat
kesempatan menggali, mengembangkan, dan mengekspresikan pengetahuan dan
sikapnya secara otentik. Yang dilakukan peserta didik hanyalah mengemukakan

kembali secara hampir persis informasi yang telah diberikan oleh guru kepadanya.
Isu kedua dalam pedagogi kritis adalah isu tentang kesetaraan. Yang
dimaksud adalah kesetaraan antara pendidik dan peserta didik. Hal ini sebenarnya
merupakan konsekuensi logis dari pendidikan sebagai pembebasan seperti
dipaparkan sebelumnya. Kesetaraan antara pendidik dan peserta didik merupakan
keniscayaan dalam pendidikan agar pendidikan itu dapat memandirikan dan
memanusiakan manusia.
Dengan kesetaraan antara pendidik-peserta didik, tidak ada lagi dominasi
atau hegemoni satu pihak terhadap pihak lainnya. Yang ada adalah dua pihak yang
setara atau sederajat yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama.
Kepentingan guru adalah berusaha agar muridnya dapat mencapai tujuannya
menjadi manusia sepenuhnya, sedangkan kepentingan murid adalah berusaha
bersama guru untuk menjadi manusia sepenuhnya.

6

Interaksi yang terjadi pada relasi setara adalah interaksi yang bersifat
dialogis. Guru mendialogkan apa yang akan dilakukannya untuk kepentingan
murid dengan murid yang sekaligus juga merupakan subjek yang bertangung
jawab. Demikian juga sebaliknya, murid mendialogkan keinginan dan usahanya
serta apa yang telah dicapainya selama ini kepada gurunya sebagai partner dalam
mencapai tujuan bersama.
Isu

ketiga

dalam

pedagogi

kritis

adalah

multikulturalisme.

Multikulturalisme merupakan gagasan tentang diakuinya dan dihargainya fakta
bahwa dunia ini berisi entitas yang tidak tunggal, tetapi majemuk atau beragam.
Demikian juga dengan masyarakat di suatu kawasan atau wilayah, masyarakat itu
juga memiliki karakteristik atau ciri yang majemuk dilihat dari berbagai segi.
Dalam pendidikan, multikulturalisme dipahami sebagai suatu gagasan
bahwa subjek yang terlibat dalam proses pendidikan itu adalah majemuk dalam
berbagai segi. Maka, pendidikan harus mengakui dan menghargai kemajemukan
atau keragaman budaya, sosial, dan kebiasaan, dan sebagainya pada peserta didik.
Dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman karakter budaya-sosial
peserta didik ini, pendidikan tidak berusaha mengarahkannya menjadi karakter
budaya-sosial tunggal yang seragam, tetapi tetap mengarahkannya pada karakter
budaya-sosial masing-masing; demikian juga peserta didik yang berbeda sosialbudayanya mengakui dan menghargai sosial-budaya peserta didik lainnya
(Umiaso dan Zamroni, 2011; Freire, 2007).
Analisis Wacana Kritis4
AWK merupakan perspektif interdisipliner dalam analisis wacana. Hal ini
didasarkan pada pandangan van Dijk (1993) bahwa AWK adalah studi tentang
hubungan antara wacana, kekuasaan, dominansi, ketidakadilan, dan kedudukan
penganalisis wacana dalam relasi sosial yang demikian sehingga lebih mengarah
ke analisis wacana sosiopolitis. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk ini
adalah berfokus pada peran wacana dalam memproduksi atau mereproduksi dan
4

Beberapa gagasan pada bagian ini telah pernah disampaikan dalam pidato
pengukuhan guru besar saya 2011; baca Purnomo 2011a.

7

menentang dominansi; sedangkan dominansi didefinisikan sebagai unjuk
kekuasaan kelompok elit, institusi atau kelompok yang mengakibatkan
ketidakadilan social yang mencakup keitidakadilan politik, budaya, etnik, dan
gender. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara khusus AWK berusaha mengetahui
bagaimana struktur, strategi atau ciri lain dari teks, pembicaraan, interaksi verbal
atau peristiwa komunikatif memainkan peran dalam berbagai moda reproduksi.
Pada bagian lain dikatakan bahwa tujuan AWK adalah untuk menemukan
“idologi” yang tersembunyi di balik suatu wacana, teks, atau pemakaian bahasa
secara publik (van Dijk, 1993; Darma, 2009).
Ideologi merupakan topik penting dalam AWK karena menurut AWK,
ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Tidak ada wacana yang benar-benar
netral atau “objektif” atau steril dari ideologi penutur atau pembuatnya. Apakah
itu

wacana ilmiah, jurnalistik, atau sastra, apakah itu wacana ekspositori,

prosedural, naratif, atau hortatori, selalu mencerminkan atau sekurang-kurangnya
“mengandungi” ideologi pembuatnya.
Apakah ideologi itu? Dalam suatu artikelnya van Dijk mengemukakan bahwa
ada beberapa pendekatan tentang ideologi. Pendekatan yang lebih tradisional
menyatakan bahwa ideologi didefinisikan secara negatif sebagai kepercayaan
yang menyesatkan (misguided belief), atau kesadaran yang salah (false
consciousness). Lebih lanjut dikatakan, dalam karya yang lebih mutakhir, seperti
dalam ilmu politik dan prikologi sosial, ideologi didefinisikan hanya sebagai
sistem kepercayaan (belief systems) Dengan mengintegrasikan pendekatanpendekatan itu, van Dijk mengembangkan teori tentang ideologi yang baru dan
bersifat multidisiplin, yang didefinisikan sebagai fondasi perwujudan sosial
bersama dari suatu kelompok sosial (van Dijk (2004; Purnomo 2007).
Lebih lanjut dikatakan, ideologi itu tidak secara arbitrer merupakan
kepercayaan kolektif masyarakat, melainkan merupakan skemata kelompok yang
khas, yang tersusun dari berbagai kategori yang mencerminkan identitas, struktur
sosial, dan posisi kelompok itu. Walaupun demikian, beberapa pertanyaan masih
belum bisa terpecahkan dari kerangka teori yang dikembangkan itu, seperti
bagaimana hubungan antara struktur kelompok sosial dan organisasi mental
8

ideologi. Masalah utamanya adalah hubungan antara ideologi dan perwujudan
sosial lain yang dimiliki bersama oleh kelompok itu dan anggotanya. Simpulan
yang dikemukakan olah van Dijk adalah bahwa ideologi adalah basis sikap sosial
(the basis of social attitudes). Oleh karena itu, ideologi terkait dengan
pengetahuan sosial suatu masyarakat, yang oleh van Dijk disebut sebagai
sosiokognitif (van Dijk, 2015).
STRUKTUR
WACANA
Struktur Makro
Superstruktur
Struktur Mikro

HAL YANG DIAMATI
Tematik:
Tema/topik yang dikepedapankan
dalam berita
Skematik: bagimana bagian dan urutan
berita diskemakan
Semantik: makna yang ditekankan
dalm teks berita
Sintaksis: bagaimana bentuk kalimat
yang digunakan
Stilistik: bagaimana pilihan kata yang
digunakan
Retorik

ELEMEN
Topik
Skema
Latar, detail, praanggapan,
nominalisasi
Bentuk kalimat, koherensi, kata
ganti
Leksikon
Grafis, metafora, ekspresi

Dalam praktik analisisnya, AWK memanfaatkan sarana analisis wacana
(biasa), tetapi dengan perspektif dan interpretasi yang lebih “dalam”. Beberapa
sarana analisis wacana yang dimanfaatkan dalam AWK adalah struktur makro,
yang meliputi antara lain skemata, latar, dan topik; dan struktur mikro yang
meliputi semantik, sintaksis, dan retorik. Beberapa topik AWK yang penting
adalah ideologi, pengetahuan, struktur, interaksi, dan makna. Untuk keperluan
analisis, Eriyanto (2001:228—229) mengemukakan tabel berikut untuk analaisis
berita media massa.

Implikasi PK dalam Pembelajaran Bahasa
Dengan memperhatikan isu-isu penting dalam pedagogi kritis, pertanyaan
yang harus dijawab adalah apa implikasinya dalam pembelajaran bahasa. Atau,
dengan kalimat lain, bagaimana seharusnya pembelajaran bahasa menurut

9

perspektif pedagogi kritis.

Pembelajaran bahasa menurut perspektif pedagogi

kritis dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran bahasa harus memberdayakan/membebaskan
peserta didik. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran bahasa, siswa hendaknya
mendapat kebebasan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan
mengapresiasi serta berekspresi dan berkreasi sastra. Mendengarkan berbagai
informasi dari berbagai sumber merupakan kebutuhan siswa disertai dengan sikap
kritis terhadap bahan yang didengar atau dipergdengarkan kepada mereka.
Membaca untuk berbagai keperluan, terutama untuk studi, mengikuti informasi,
mengisi waktu luang, dan hiburan juga merupakan kebutuhan siswa. Oleh karena
itu, peningkatan kemampuan mendengarkan dan membaca harus diarahkan agar
siswa akhirnya secara mandiri dan bebas menentukan sendiri bahan apa, untuk
tujuan apa, dan informasi apa yang dapat dipercaya dari sumber-sumber informasi
yang melimpah. Maka, sikap kritis dalam mendengarkan dan membaca harus
mendapat pembinaan yang memadai. Dalam hal berekspresi dan berkreasi dalam
berbicara dan menulis tentang gagasan, pikiran, dan sikap/perasaan dalam bentuk
karya non-sastra, yang harus mendapat perhatian adalah kemampuan berekspresi
sesuai dengan norma-norma yang berlaku sesuai dengan genre/bentuk ekspresi.
Dengan kemampuan itu, kebebasan/kemandirian dalam mengekspresikan
gagasan, pikiran, dan sikap untuk berbagai keperluan dalam berbagai
genre/bentuk ekspresi akan terwujud.
Kegiatan
hendaknya

bersastra

diarahkan

dalam

menuju

bentuk
pemberian

mengapresiasi
pengalaman

dan

berekspresi

bersastra

yang

mengasyikkan, membuka wawasan, dan menajamkan perasaan siswa. Dengan
cara ini, salah satu manfaat pembelajaran sastra sebagai penghalus budi, penajam
rasa pengembang empati, dan pencetus karya kreatif akan terwujud. Maka,
pembelajaran apresiasi dan kreasi sastra dapat “membebaskan” siswa berapresiasi
dan berkreasi sesuai dengan keperluan dan keinginan siswa.
Kedua, pembelajaran bahasa hendaknya bersifat dialogis. Ini berarti bahwa
dalam pembelajaran bahasa, guru hendaknya selalu mendialogkan “kepentingan”
guru dan “kepentingan” siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, dialog ini dapat

10

berupa pemberian kesempatan kepada siswa untuk berpendapat, memberi
komentar, dan mengumumkan karyanya dalam berbagai bentuk dan media.
Sebaliknya guru dapat juga memberi komentar, pendapat, dan penilaian objektif
dan jujur terhadap hasil kreasi siswa dan apa yang diekspresikan serta apa yang
dihasilkan dari berbagai kegiatan berbahasa dan bersastra. Apa yang penting dari
dialog ini adalah adanya pengakuan, penerimaan, dan penghargaan terhadap apa
yang dilakukan dan dihasilkan oleh kedua pihak masing-masing. Dengan cara ini,
interaksi yang setara antara kedua belah pihak, yaitu guru dan murid, dapat
terwujud.
Ketiga, pembelajaran bahasa hendaknya memperhatikan/menghargai
perbedaan atau keragaman budaya dan karakteristik siswa. Dalam sekolah, atau
bahkan kelas, terdapat siswa dengan latar belakang social-budaya dan
karakteristik yang beragam. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa,
keragaman itu harus diakui, diterima, dan dihargai. Apa yang dilakukan dan
dihasilkan siswa dalam konteks pembelajaran hendaknya mendapat penerimaan
yang wajar dari guru ataupun sesame siswa. Ciri-ciri bahasa lokal (daerah) yang
terdengar dari ucapan atau terbaca dalam tulisan siswa tidak menjadi bahan
tertawaan atau cemoohan teman-temannya yang mungkin berasal dari bahasa
local yang lain, tetapi menjadi bahan belajar bagaimana mengurangi secara
bertahap ciri-ciri local itu dalam berbahasa Indonesia baku. Dalam karya sastra
hasil kreasi siswa, ciri local itu dapat menjadi nilai tambah asalkan ditemptkan
secara wajar. Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat dan di luar konteks
pembelajaran, penggunaan bahasa daerah tidak menjadi persoalan, sepanjang
diakui dan diterima oleh masyarakat.
Termasuk menghargai perbedaan atau keragaman adalah dalam menyikapi
kesalahan atau kekurangmampuan siswa dalam berbahasa dan/atau bersastra.
Dalam menghadapi kesalahan berbahasa, misalnya, terdapat prinsip bahwa
kesalahan merupakan hal biasa dalam pembelajaran bahasa dan hal itu
menunjukkan proses maju menuju penguasaan bahasa yang diinginkan. Oleh
karena itu, koreksi terhadap kesalahan dilakukan secara selektif dan bertahap
sesuai dengan tahap penguasaan siswa.

Demikian juga dalam menghadapi

11

“kegagalan” siswa dalam berekspresi, guru hendaknya tetap menghargai apa yang
dihasilkan oleh siwa walaupun, menurut ukuran guru, masih belum seperti yang
ditargetkan. Dalam hal ini, motivasi dan dorongan guru hendaknya diberikan agar
siswa tidak patah arang dalam berkreasi selanjutnya.
Implikasi AWK dalam Pembelajaran Bahasa
Pada bagian sebelumnya sudah dinyatakan bahwa AWK dapat digunakan
untuk mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan. Dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia, dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan/membina
kemampuan sebagai berikut.
Pertama, AWK dapat digunakan untuk membina kemampuan membaca
kritis. Kemampuan membaca kritis merupakan kemampuan membaca yang di
dalamnya terdapat aspek penilaian terhadap bahan bacaan. Dalam membaca kritis
siswa dilatih untuk menilai organisasi karangan, penataan logika, dan menilai
kebenaran fakta atau argument yang dikemukakan oleh penulis. Dengan AWK,
penilaian itu dapat dilakukan dengan menelusuri keberpihakan penulis, atau netral
tidaknya penulis. Dengan menemukan kebepihakan penulis sebenarnya siswa
telah melakukan penilaian terhadap penataan logika dan kebenaran fakta dan
argumentasi.
Kedua, ini masih ada kaitannya dengan yang pertama, membedakan antara
fakta dan opini. Dengan AWK, perbedaan antara fakta dan opini dapat ditelusuri
dari sarana analisis, seperti penggunaan kata tampaknya, saya kira, menurut
pendapat saya, dapat diduga, dan diasumsikan. Dalam penggunaan latar,
misalnya, dapat diidentifikasi bahwa latar merupakan pandangan pribadi
wartawan, bukan fakta yang terjadi.
Ketiga, dalam pembinaan apresiasi sastra, AWK dapat digunakan untuk
menemukan ideologi yang tersembunyi dalam novel atau cerita pendek. Memang
karya sastra selalu berisi tema dan pesan moral tertentu yang “sengaja”
disampaikan oleh pengarang. Dengan AWK, dapat ditemukan “pesan moral” yang
tidak bisa ditemukan dengan analisis struktur sastra. Hal ini merupakan tantangan
bagi kritikus sastra, bagaimana memanfaatkan AWK dalam analisis karya sastra.

12

Penutup
Untuk mengakhiri uraian ini, dikamukakan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pedagogi kritis sebagai suatu konsep pendidikan memiliki konsekuensi
dalam praktik pendidikan, mengarahkan praktik pendidikan lebih manusiawi,
dalam arti menghargai peserta didik sebagai subjek yang harus bertanggung jawab
dalam proses pendidikan. Penghargaan itu terhadap siswa sebagai individu
ataupun sebagai anggota kelompok; menghargai cara belajar secara mandiri atau
dengan cara bekerja sama. Kedua, apabila diterjemahkan dalam kegiatan
pembelajaran bahasa, prinsip-prinsip pedagogi kritis ternyata sejalan dengan
prinsip dan metode AWK yang dalam analisisnya dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menemukan ideologi yang
tersembunyi dari suatu teks.
DATAR RUJUKAN

Amari, F.Z. 2015. The Role of Critical Discourse Analysis in EFL Teaching/
Learning. Frontiers of Language Teaching. Vol. 6 (2015), hlm. 87—93.
Darma, Y.A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Penerbit Yrama Widya.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LkiS.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analisis: The Critical Study of Language.
New York:Longman.
Freire, P. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Terjemahan Tim LP3ES. Jakarta:
LP3ES.
Freire, P. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Terjemahan Agung Prihantono dan Fuad A. Furdiyartanto. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jupriono, D. 2011. Dampak Paradigma Deskriptif dan Paradigma Kritis dalam
Pembelajaran Linguistik terhadap Karakter Mahasiswa. Diglossia, Vol. 3,
No. 1.
Martinez, D.F. 2012. Critical Learning: Critical Discourse Analysis in EFL
Teaching.
Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3, No. 2,
pp. 283-288.
Purnomo, M.E. 2007. ” Menyingkap Ideologi dari Berita Politik: Analisis
Wacana Kritis terhadap Media Massa Cetak Terbitan Palembang.”
LINGUA: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. 9, No.1, Desember 2007.

13

Purnomo, M.E. 2011a. Analisis Wacana Kritis dan Potensi Pemanfaatannya.
Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya
Purnomo, M.E. 2011b. Pedagogi Kritis dan Implikasinya dalam Pembelajaran
Bahasa. Makalah Seminar Linguakustik Program Studi Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang, 13 Desember
2011.
Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat &
Timur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
van Dijk, T.A. 1993. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and
Society. Vol. 4 (2): 249—283.
van Dijk, T.A. 2004. Discourse, Knowledge and Ideology: Reformulating Old
Questions and Proposing Some New Solutions. In Martin Pütz, JoAnne
Neff & Teun A. van Dijk (Eds.). Communicating Ideologies.
Multidisciplinary Perspectives on Language, Discourse and Social
Practice. London: Sage, (pp. 5-38).
van Dijk, T.A. 2015. Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach
(New Version). In Ruth Wodak & Michael Meyer(Eds.), Methods of
Critical Discourse Analysis. Third Edition. London: Sage, (pp. 63-85).

14