PEMBANGUNAN DALAM PARADIGMA KRITIS pdf

PEMBANGUNAN DALAM PARADIGMA KRITIS
Oleh: Tantan Hermansah dan Endriatmo Soetarto

ABSTRAK
Pembangunan adalah term yang cukup membius di abad
ini. Tidak Terkecuali dalam pengembangan kebijakan
sosial. Untuk itu, agar tidak terjebak pada ekstase
pembangunan itu sendiri, maka pendekatan yang tepat
harus dipergunakan. Salah satunya dengan pendekatan
kritis. Pendekatan kritis secara sederhana menawarkan
bahwa sejatinya pembangunan harus berdiri pada
keberpihakan yang nyata. Sehingga pembangunan bukan
tujuan, tapi alat untuk mengembangkan kesejahteraan
sosial.
Key words: Pembangunan, Kesejahteraan, Teori Kritis

I. PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan term yang paling populer dalam sistem
sebuah pemerintahan. Hal demikian terjadi karena term ini
merupakan representasi dari sebuah proses kemajuan pada
sebuah entitas, bangsa, komunitas, dan sebagainya, serta

merupakan ‗wujud nyata‘ keberperanan sebuah negara dalam
menyejahterakan masyarakatnya. Oleh karena melibatkan publik
dan pemerintahan, term ini tentu mengandung bias politik.
Sehingga pembangunan akan berkaitan erat dengan kebijakan di
tingkat elit politik. Bahkan tidak jarang pembangunan merupakan
‗ideologi‘ sebuah proyek dan gagasan kemajuan.
Dalam konteks Indonesia setidaknya wacana pembangunan
mengkristal dalam proyek politik Orde Baru dalam slogannya yang
terkenal: ‗Politik no; ekonomi, yes!’. Sehingga Presiden Soeharto
disebut sebagai ‗Bapak Pembangunan‘ karena keberhasilannya

dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meskipun ideologi
pembangunanisme itu ‗pernah‘ bersejarah, namun ternyata
pembangunan yang hanya mengandalkan tampakan fisik semata
tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Orde Baru, seperti kita
saksikan sendiri, kemudian ambruk berkeping-keping.
Masuklah Orde Reformasi dengan segala program dan proyeknya.
Bagaimana arah pembangunan dari orde ini, belum bisa nampak
dengan jelas (meskipun dalam semua target dan rumusan
pembangunan disebutkan dalam Propenas). Gonjang-ganjing

politik, kepemimpinan, persoalan sosial seperti konflik horizontal
di berbagai wilayah, serta ancaman disintegrasi terlalu menyita
banyak waktu pemerintahan kita, sehingga meraka terlihat abai
dalam merumuskan arah pembangunan Indonesia ke depan.
Dengan berbagai realitas tersebut, tulisan ini ingin melihat sisi
lain dari program pembangunan, yakni mengajukan analisis
pembangunan dengan perspektif kritis.
II. PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN SOSIAL
1. Hakekat Kebijakan Sosial
Satu masalah krusial dalam proses transformasi sosial dewasa ini
adalah krisis kebijakan sosial (social policy) yang sering
menimbulkan konflik antara pihak pembuat kebijakan dengan
masyarakat. Kebijakan sosial yang sejatinya menjadi instrumen
sosial dalam mengatur sumber daya ekonomi dan politik demi
kesejahteraan masyarakat banyak sering disalahartikan dan
disalahgunakan terutama oleh praktek teknokrasi yang kuat
(strong technocracy) dengan proses pembuatan kebijakan sosial
yang cenderung elitis.
Kebijakan sosial merupakan suatu raison d’etre bagi tata sosialpolitik modern yang disebut republik. Republik (res publica),
sesuai dengan artinya, adalah urusan atau kepentingan publik. Di

dalam sebuah res publica semua masyarakat satu suara terutama
dalam menginginkan adanya ‗hidup bersama‘ (shared life) dalam
sebuah tatanan kebangsaan.Tatanan kebangsaan tersebut
dikonstruk oleh spirit ingin membangun dan meningkatkan
kualitas hidup secara bersama-sama, yang puncaknya adalah

penghargaan atas setiap tindakan atau eksistensi seseorang.
Dengan kata lain, sebuah res publica memberikan kemungkinan
yang besar kepada masyarakat untuk hidup lebih sejahtera
sekaligus beradab. Di sini bangsa dan negara Indonesia adalah
cita-cita mengenai sebuah tatanan res publica (urusan bersama).
Dalam pergulatan sosial dan kebangsaan menuju res publica
sejati, maka setiap elemen kebangsaan: negara, masyarakat dan
pasar (sektor bisnis) harus bersatu untuk menciptakannya.
Termasuk di dalamnya adalah setiap produk perundangan yang
dikeluarkan untuk menciptakan asas legalitas harus tetap
disandarkan kepada prinsip res publica. Dengan sendirinya setiap
kebijakan yang tidak mencerminkan kepentingan res publica, atau
hanya untuk memenuhi kepentingan sekelompok tertentu harus
ditentang kemunculannya. Dengan demikian, kebijakan sosial

bersifat publik bukan karena ia menjadi urusan pemerintah saja,
melainkan karena perkaranya menyangkut urusan kesejahteraan
bersama (common welfare).
Sebagai contoh yang baik adalah kebijakan politik yang
dikeluarkan oleh Pemerintah AS di masa F.D. Roosevelt1 dan Bill
Clinton2. Di dua masa yang berbeda tersebut, kondisi
perekenomian AS sedang berada pada masa kritis—meskipun
dengan tensi yang berbeda-beda.
Di masa FD. Roosevelt AS tengah mengalami apa yang dikenal
sebagai ‗the great depression’. ‘The great depression’ adalah satu
keadaan sosial-ekonomi masyarakat AS sedang ada dalam kondisi
krisi yang sangat parah. Bank-bank berhenti karena tidak ada
dana yang bisa digulirkan; pabrik-pabrik tutup karena tidak
modal; pelayanan publik seperti kesehatan dan sanitasi,

1
Beberapa bahan untuk menjelaskan tentang F.D. Roosevelt diambil dari William
D. Pederson and Frank J. Williams (ed.) Franklin D. Roosevelt an Abraham Lincoln: Competing
Perspectives Two Great Presidencies, M.E. Sharpe: England. 2003; dan Microsoft ® Encarta ®
Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

2

Semua bahan rujukan untuk pendapat dan tentang Bill Clinton diringkaskan dari
Bill Clinton, Between Hope and History: Meeting America’s Chalengging for The 21st century,
Random Houses-United States: New York, 1996; dan Microsoft ® Encarta ® Reference Library
2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

perumahan layak dan sebagainya sangat buruk; pengangguran
meningkat dan sebagainya. Sehingga keadaaan seperti itu jika
dibiarkan begitu saja akan berdampak kepada situasi sosial politik
dan sistem demokrasi yang jadi acuan politik bangsa itu, terutama
karena berkembangnya paham komunis.
Namun demikian, FD. Roosevelt justru menyerukan kepada
rakyatnya agar menghadapi krisis bersama-sama. Seruan yang
kemudian diwujudkan dalam penyaluran dana ke bank-bank,
perlindungan pekerja, peningkatan pelayanan publik dengan
menggunakan dana pemerintahan federal dan sebagainya,
akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan rakyat AS kepada
pemerintahannya.
Hampir serupa dengan FD. Roosevelt, Clinton juga melakukan

program peningkatan kesejahteraan dengan slogannya reformasi
kesejahteraan. Dengan reformasi yang dilakukanya, Clinton bukan
saja berhasil menahan laju defisit anggaran yang terjadi selama
pemerintahan sebelumnya, Bush, malah lebih dari itu ia mampu
meningkatkan dana devisa pemerintahan berlipat-lipat.
Inti dari keberhasilan kedua pemimpin tersebut karena dalam
melaksanakan kebijakannya selalu berpihak kepada publik.
Sehingga di sinilah kita bisa melihat manifestasi res publica dalam
kebijakan politik. Kedua pemimpin tersebut hanya satu contoh
dari sekian contoh yang banyak. Namun intinya, setiap kebijakan
yang berpihak kepada publik—rakyat banyak--, selalu berujung
kepada meningkatkatnya kesejahteraan rakyat dan kemakmuran
negaranya.
Dalam tatanan demokrasi, setiap kebijakan merupakan bentuk
dari kontrak politik yang berjenjang; sehingga tiap urusan
kenegaraan dalam lembaga, bentuk dan detailnya merupakan
urusan publik, urusan segenap warga negara3. Sehingga prisip
‗hidup bersama‘ (shared life) yang kita sebut sebagai ‗Indonesia‘
merupakan bentuk wujud akhir dan orientasi dari sebuah


3
Pabotinggi, 2003. “Negara Tanpa Nasion, Nasion Tanpa Karakter”. Diakses dari “
Indonesian Institute for Civil Society " http://www.incis.or.id/ar_16.htm (07/02/03 10:41:26)

kebijakan yang disusun sebagai cita-cita sebuah tatanan res
publica (urusan bersama).
Dalam konteks seperti ini kita bisa melacak bagaimana spirit res
publica sangat bersambungan erat dengan krisis nasional yang
tengah terjadi. Sebab ketika spirit untuk mendukung terciptanya
res publica tidak ada, hampir bisa dipastikan bahwa kita tengah
berada di gerbang krisis. Di titik soal ini pula, sekali lagi, mungkin
kita sepaham bahwa apabila terasa ada ancaman yang beresiko
tinggi terhadap tatanan sosial-politik yang mendasari
kelangsungan hidup bersama kita, maka itulah ‗krisis nasional‘.
Alasan latar belakang bahwa kita ini adalah bagian dari suatu
‗bangsa‘ yang harus memelihara persatuan dan kesatuan tidaklah
sukar untuk direka-reka, baik itu lewat pengalaman ‗sejarah
politik‘ maupun dari ‗identitas sosial-kultural‘-nya yang telah
ditanamkan sejak berabad-abad lalu oleh nenek moyang dan
orang-orang tua kita. Dikatakan ‗direka-reka‘ karena kelahiran

‗bangsa‘ (nation) memang tidak pernah terindentifikasi secara
gamblang, apalagi bersifat given. Dalam bahasa Anderson,
kelahiran ‗bangsa‘ tak lain karena ia memang dialasi sebuah
imagined community4. Suatu proses yang melahirkan embrio sense
of nation namun tak bisa dibidik secara akurat oleh kita kapan
sesungguhnya momen kelahiran itu tumbuh.
Menarik sorotan Herry-Priyono (2003) yang mengkonstatir bahwa
heboh kita tentang ‗pemimpin dan kepemimpinan‘ bisa jadi
hanyalah kegaduhan kita mengenai ketidakberdayaan dan
mungkin juga kemalasan diri kita untuk mengkoordinir cita-cita
hidup bersama dalam wadah sebuah bangsa itu menjadi sebuah
realitas. Di sisi lain, bangsa ini juga tengah mengalami kesanksian
kepada tegaknya supremasi hukum dalam kehidupan mereka.
4
Definisi antropologisnya Benedict Anderson menunjukkan, bangsa atau nasion,
pertama-tama adalah sebuah imagined community, karena tidak semua anggotanya pernah
(akan) saling kenal, bertemu, atau mendengar, meski dalam benak mereka selalu tumbuh
kesadaran, mereka merupakan suatu persekutuan. Kedua, betapa pun besar komunitas yang
terimajinasi, selalu ada batas teritori (limited) yang memisahkan nasion itu dengan nasionnasion lain. Ketiga, komunitas terimajinasi itu kemudian berdaulat (sovereign ), karena konsep
itu lahir dalam konteks sekularisasi. Keempat, nasion selalu terimajinasi sebagai sebuah

komunitas (community), sebab meski dalam realitas komunitas itu ditandai oleh aneka
perbedaan atau kesenjangan besar, nasion selalu dipahami sebagai persaudaran yang
mendalam. Selengkapnya lihat: B. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism, Revised Edition ed. London and New York: Verso, 1991.

Memang ketaatan kepada hukum dan aturan dibenarkan hanya
jika hukum dan aturan itu mengacu kepada kemaslahatan umum
dan kebaikan bersama (general welfare and publlic good). Namun
demikian, apapun keadaannya, bagaimanapun produk hukumnya,
bangsa ini yang jelas tengah mengalami ketidakpercayaan yang
sangat besar5.
Sehingga untuk menegakkannya, prinsip persamaan antar
manusia (egalitarianisme) menjadi kunci penting. Pandangan
persamaan ini menghasilkan pola partisipasi umum dari seluruh
warga negara, yang sekali lagi tanpa diskriminasi. Oleh karena itu
dalam kehidupan masyarakat dengan sendirinya harus
berkembang faham kemajemukan (pluralisme). Di sini warga dapat
bergaul dengan tulus dengan perbedaan-perbedaan yang tetap
dapat dibingkai oleh keadaban (pluralism is genuine engagement of
diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan

adanya pandangan mantap untuk menerima perbedaan sematamata tidak sebagai kenyataan belaka, melainkan sebagai
kelebihan (asset). Sebab, perbedaan ini dapat memperkaya dan
memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang (cross
breeding) seperti yang dikenal dalam bidang biologi, atau
pertukaran silang budaya dalam istilah Lombard6.
2. Kebijakan Sosial yang Bukan-Publik
Dengan melihat berbagai gejala sosial yang terjadi, terutama yang
berkaitan dengan permasalahan kebijakan sosial, ternyata belum
sepenuhnya mencerminkan sebuah kebijakan yang memihak
kepada publik. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebijakan sosial
yang terjadi selama ini sebagai ‗kebijakan bukan publik‘.
‗Kebijakan bukan-publik‘ muncul dari persepsi yang dibangun
‗hanya‘ oleh penguasa saja. Kebijakan ini lahir sebagai bentuk
perwujudan ‗keberkuasaan‘ negara dalam menentukan berbagai
hal—terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Salah satu bentuk ‗kebijakan bukan publik‘ adalah ideologi
5

Herry-Priyono, 2003. Kepemimpinan Republik Kita. Makalah. Tulisan ini juga
kemudian diterbitkan oleh Kompas. Selengkapnya lihat: www.kompas.com/kompascetak/0310/01/Bentara/580407.htm - 58k

6

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1996.

pembangunan Orba yang lebih mengandalkan pertumbuhan
(dengan konsepsinya sendiri).
Berdasarkan kepada logika bahwa masyarakat Indonesia saat itu
lebih memerlukan kesejahteraan ekonomi—ketimbang politik,
langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soeharto adalah
melakukan pembaruan ekonomi. Dengan suatu ketetapan MPRS
tentang pembaruan ekonomi yang bisa dijadikan acuan bagi
langkah-langkahnya ke depan, atas dukungan para ekonom UI
yang menjadi penasehat ekonominya, keluar lah TAP MPR No.
XXIII, tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembaruan Kebijakan Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan.
TAP MPRS yang isinya digodok oleh tim ekonomi Soeharto
dibawah pimpinan Dr. Widjojonitisastro ini, dikemudian hari
dikenal sebagai tonggak dari pembentukan idiologi, arah dan
strategi pembangunan di masa Orde Baru (Visi Pembangunan
Orde Baru). Isi ketetapan MPRS tersebut merinci tiga tahap
program pembangunan7. Pertama, tahap penyelamatan, yaitu
mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk
lagi; kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi lewat
pengendalian inflasi dan memperbaiki struktur ekonomi; ketiga,
tahap pembangunan ekonomi.
Dalam rangka pelaksanaan TAP tersebut, maka tanggal 25 Juli
1966 atas inisiatif Soeharto dibentuk kabinet baru yang
diberinama Kabinet Ampera. Sedangkan untuk menangani
masalah-masalah ekonomi secara efektif, ia membentuk badan
khusus yang diketuainya, yaitu Dewan Stabilisasi Ekonomi. Tugas
dari Dewan ini adalah merumuskan dan menerapkan peraturan
pemerintah mengenai stabilisasi ekonomi dan mengamati
perkembangan pasar sehari-hari.
Selanjutnya para ekonom yang selama ini bekerja dibelakang
kepemimpinannya diangkat secara resmi menjadi penasehat
Presiden. Mereka adalah Dr. Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli,
Dr. Emil Salim, Dr. Ali Wardhana, dan Dr. Subroto; yang
7

LP3ES.

Mas’oed, Mohtar, 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:

kesemuanya kelak masing-masing pernah menduduki jabatan
sebagai Menteri di bidang perekonomian. Di kemudian hari,
sejarah kepemimpinan Soeharto tidak bisa dipisahkan dari
peranan para ekonom tersebut; dan merekalah yang kemudian
menjadi kelompok teknokrat yang merancang dan mengendalikan
roda kebijakan ekonomi selama pemerintahan Presiden Soeharto.
Di bawah kepemimpinan sera bayang-bayang para teknokrat ini,
maka arah dan strategi pembangunan bergerak dari pendulum
politik (menitik beratkan pada pembangunan politik) ke pendulum
ekonomi (menitik beratkan pembangunan ekonomi). Sehingga
kalau pada masa demokrasi terpimpin sering muncul kata-kata
‗politik adalah panglima‘ maka selama kepemimpinan Presiden
Soeharto semboyannya adalah ‗politik no, ekonomi yes‘.
Kepemimpinan yang menempatkan pembangunan ekonomi
sebagai haluan utama sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi
Soeharto. Sejak sebagai Panglima TT-IV/Diponegoro ia memang
sangat menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan pokok
(ekonomi) para anak buahnya. ‗…masalah mereka yang
sebenarnya berputar soal kebutuhan pokok, soal atap tempat
berlindung, soal menyekolahkan anak, soal kesehatan. Saya tahu
bukan senjata saja yang dapat memenangkan peperangan, tetapi
juga yang berada dibelakang senjata itu. …maka saya
berkesimpulan, perlu dibangun kegiatan koperasi di seluruh
kesatuan TT-IV/Diponegoro..‘, demikian tutur Soeharto dalam
otobiografinya.
Dalam perkembangannya kemudian, gagasannya ini menjadi titik
awal dari munculnya era bisnis militer dengan menggunakan
Yayasan atau Koperasi; yang dalam berbagai kegiatannya antara
lain memanfaatkan kemampuan bisnis para pengusaha,
khususnya keturunan China, seperti Liem Sioe Liong, Bob Hasan,
dan lain sebagainya. Oleh para pengkritiknya, pola kegiatan
ekonomi bisnis seperti ini dianggap menjadi sumber dari praktek
KKN, yang sejak dekade 1990-an semakin merusak kredibilitas
kepemimpinannya.
Dari sini, sesungguhnya kebijakan pembangunan ekonomi
mencerminkan model ‗kebijakan bukan publik‘, sebab orientasi

dari kebijakan yang diambilnya hanya berujung kepada
kesejahteraan sebagian kalangan yang menjadi kolega penguasa
saja. Dengan gagasan ‗trickle down effect‘nya, pemerintahan Orde
Baru mengandaikan bahwa dengan ‗mengkatrol‘ sebagian orang
untuk menjadi pebisnis (konglomerat), secara otomatis kalangan
bawah akan merasakan kesejahteraan karena ada tetesannya.
Orde Baru melupakan pembangunan politik, sehingga di era ini
relasi bisnis dengan politik yang terjadi selalu tidak sehat;
keduanya berdiri tidak dalam konpetisi untuk menesejaterakan
rakyat, namun individu-individu. Di sini pula ketimpangan sosial
bermula.
Sehingga secara ringkas kebijakan bukan publik muncul karena
beberapa anggapan yang didasarkan pada kenyataan berikut:
1.
Kebijakan sosial seringkali lebih berpihak pada
kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi daripada sebagai
aktualisasi kedaulatan masyarakat yang seharusnya tercermin
dalam produk kebijakan itu sendiri.
2.
Kebijakan sosial yang semestinya untuk memenuhi
kepentingan publik juga kurang sigap di dalam menanggapi
perubahan dan dinamika masyarakat yang sangat kompleks,
bahkan terlihat kaku dan dipaksakan.
3.
Keterlibatan masyarakat secara substantif dalam
proses kebijakan sosial (baik pada tahap formulasi, implementasi
maupun evaluasi) juga sangat minim--untuk tidak mengatakan
absen sama sekali. Publik hanya menjadi sasaran dan obyek dari
kebijakan (yang belum tentu tepat), dan bukan sebagai pihak yang
turut menentukan, mengawasi dan mengkritik proses kebijakan
sosial tersebut.
Dalam hal ini, kebijakan sosial yang dikeluarkan selalu
mempertimbangkan rekan-rekan para penguasa dan pebisnis yang
dekat dengan kekuasaan. Asas ini dibangun dalam sebuah kultur
paternalisme yang kental, sehingga bentuk relasi yang terjadi

sangat parasitik8. Padahal demokrasi membuka kesempatan
untuk melakukan koreksi, perbaikan, dan pergantian kekuasaan
lewat pemilihan umum. Pemilu membuka peluang bagi
terselenggaranya persaingan politik secara terbuka dan fair. Agar
pemilu demokratis, harus berlaku pula faham liberal yang
menjamin kebebasan, hak asasi, dan persamaan martabat
manusia.
Patronase birokrasi atas partai-partai tak hanya berdampak pada
munculnya diskriminasi, pemihakan, dan subyektivitas dalam
‗pembinaan politik‘, tapi juga makin hilangnya moralitas politik di
antara para pelaku politik sendiri. Pencopotan Megawati
Soekarnoputri dan penobatan kembali Soerjadi dalam PDI
merupakan contoh paling jelas dari kecenderungan tersebut. Di
sisi lain, ukuran keberhasilan perjuangan politik pun lebih
ditafsirkan sebagai kemampuan merebut kursi ketimbang sebagai
upaya terus-menerus memperkokoh tradisi berdemokrasi9.
Dalam konteks seperti ini pula pemerintah demokrasi yang
bersendi pada kedaulatan rakyat, lebih-lebih lagi terpanggil bahwa
tugas dan komitmennya adalah mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Memberantas kemiskinan dengan menciptakan lapangan
kerja. Mewujudkan keadilan dengan menempuh kebijakan sosial
ekonomi yang berdimensi pemerataan dan keadilan serta tegaknya
hukum yang adil dan pasti. (kompas, Kamis, 17 Juli 2003).
Namun demikian, di aras kekuasaan sendiri terjadi berbagai ironi.
Sebagai contoh adalah terbitnya beberapa kepres yang
mengandung bias kekuasaan: 11 Keppres yang mangandung
materi muatan UU atau PP, 32 Keppres yang mangandung materi
muatan terlalu teknis, 2 Keppres yang mengandung materi
muatan Perda, dan 1 Keppres yang materi muatannya telah
melangkahi kewenangan yudikatif. Bahkan ada 8 Keppres yang

8
Masalah paternalisme dan parasitik ini diulas cukup tegas oleh Soesilo Bambang
Yudhoyono,. Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik dan Good Governance. Bogor:
Brighten Press, 2003
9
Kusumah, Mulyana W. 2000. “Kepemimpinan Nasional Abdurrahman Wahid dan
Konsolidasi Demokrasi,” Kompas, Kamis, 13 Juli

legalitasnya dipertanyakan, berbau kepentingan keluarga/kolega
dekat penguasa dan sebagainya (MTI, 1998).
Kelemahan-kelemahan seperti disinggung di atas sesungguhnya
tidak terlepas dari hakekat Kebijakan Sosial Tradisional itu
sendiri. Secara ringkas, model kebijakan sosial tradisional adalah
sebagai berikut:
Hakekat Kebijakan Sosial Tradisional

Desain

Didesain sebagai kebijakan teknokratis
untuk memenuhi ‗kebutuhan-kebutuhan‘
dari penerima pasif atas berbagai transfer
dan layanan

Metodologi

Bersandar pada basis epistemologi
positivistik dengan model kuantitatif dan
obyektivistik

Proses

Kebijakan disusun dan dilaksanakan
sebagai tahapan yang berbeda dan
berturutan yang dipisahkan secara tegar
(rigid), yaitu antara tahap formulasi,
implementasi, dan evaluasi

Cakupan

Kebijakan sosial mencakup kebutuhankebutuhan (needs) yang dianggap berlaku
umum dengan mengabaikan dimensi
pemaknaan subyektif atas problem dari
pihak penerima kebijakan yang sangat
beragam

Tujuan

Tujuan utama kebijakan sosial ditekankan
pada upaya untuk meningkatkan tingkat
kesejahteraan rumah tangga

Pelaku

Negara-bangsa sebagai aktor utama dalam
penyelenggaraan kebijakan sosial—delivery
melalui jalur kementerian menurut sektorsektor tertentu

Partisipasi
Publik

Kebijakan disusun secara top-down dan
satu arah. Partisipasi publik sangat lemah
dan kalaupun dilibatkan hanya pada tahap
persiapan penyusunan (formulasi)
kebijakan, tanpa ada akses atas
pengawasan, kontrol dan input balik
terhadap proses pelaksanaan kebijakan itu
sendiri

Sumber: Moh. Shohibuddin, 2003
Berangkat dari konstruk positivisme, praktek teknokrasi adalah
suatu bentuk penggunaan pengetahuan yang rigid oleh para
pembuat kebijakan dalam menganalisis masalah sosial dan
menyusun kebijakan publik. Muatan positivisme dapat dilihat dari
paradigma para teknokrat (pelaku teknokrasi) yang memodelkan
permasalahan sosial seakan-akan dia merupakan sebuah entitas
yang bersifat rasional. Selanjutnya dalam menyusun kebijakan
publik, teknokrat positivisme menggunakan pendekatan
sistematis, metodis, terukur, dan bersifat teknis.
Jargon positivisme yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu
yang universal dan bebas nilai pada akhirnya memberi cacat
dalam praktek teknokrasi karena muatan positivisme membuat
para teknokrat menafikan realitas-realitas sosial yang tidak dapat
terdeteksi oleh alat-alat analisis mereka. Salah satu bentuk kritik
terhadap praktek teknokrasi positivisme adalah bahwa dunia
sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai obyek fisikal
yang dapat terukur, melainkan dikonstruksi oleh sekumpulan
makna-makna yang terorganisir dalam sistem sosial. Maknamakna tersebut membentuk cara masyarakat berperilaku dan
menginterpretasi dunia di mana mereka berada. Realitas seperti

inilah yang tidak masuk dalam kamus para teknoktrat positivisme
ketika menyusun kebijakan publik sehingga kebijakan yang
dihasilkan dengan mengandalkan asumsi yang rigid dan tuna
makna tidak jarang justru menghasilkan masalah.
Dari tabel di atas terlihat bahwa kebijakan sosial tradisional
ditandai oleh sekurangnya empat keterbatasan mendasar berikut
ini.
1.
Reduksionistis; didasarkan pada paradigma positivistik
yang membatasi problem pada sesuatu yang ‘riil’ dan ‘obyektif’
serta dalam rangka kepentingan teknis (cq. rasionalitas
instrumental) (gambaran singkat bisa dilihat di atas).
2.
Statis; identifikasi masalah dianggap dapat dicapai melalui
telaah secara obyektif dan netral, berlaku umum, dengan
mengabaikan sifat dinamis, konstitutif dan interaktif dari
kenyataan sosial; singkatnya, bercorak absolutis.
Dalam hal ini kita banyak menemukan betapa segala kebijakan
pembangunan merupakan perpanjangan tangan dari proyek
pemerintah pusat, yang telah melalui serangkaian telaahan
mereka. Sehingga ekspresi-ekspresi multi-kultural yang berbeda di
berbagai wilayah dan daerah tidak diperhatikan. Bahkan di
beberapa kasus, ekspresi budaya lokal tersebut dipamerkan di
musem provinsi, yang dilihat hanya sebagai ‗tontonan‘ yang hanya
dilihat sebagai kesatuan Indonesia10.
Di era reformasi, ketika segala keterbukaan yang dipelopori
Habibie terjadi, ekspresi ini kemudian diakomodir lewat Undangundang tentang Otonomi Daerah, yakni UU No. 22/1999 yang
kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 yang dengan
adanya UU ini, secara otomatis segala ekspresi keragaman
kultural dituntut untuk maju sendiri (namun tetap dalam
kerangkan kesatuan dan kebangsaan Indonesia), dengan
mengurangi banyak peranan pemerintahan pusat.

10
Sakai, Minako, 2002. “Konflik Sekitar Devolusi Kekuasaan Ekonomi dan Politik:
Suatu Pengantar”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi 68 tahun 2003

3.
Sentralistik-korporatis; semua tahapan proses kebijakan
adalah monopoli dari para expert dan badan-badan publik negara
yang dilakukan secara top-down sebagai sebuah keputusan
teknokratis; dengan hanya melibatkan tingkat minimal partisi- pasi
publik. Sifat sentralistis ini pada rezim Orde Baru bahkan
berkembang lebih jauh dalam wujud praktek korporatisme. Dalam
praktek ini penyelenggaraan kebijakan sosial disalurkan dengan
mengandalkan pada institusi-institusi kemasyarakatan yang
diciptakan negara itu sendiri. Akibatnya, institusi-institusi
kemasyarakatan tersebut lebih berfungsi sebagai representasi
kepentingan supra-struktur daripada sebagai aktualisasi gerakan
masyarakat.
Korporatisme Negara yang pernah dilakukan oleh Orde Baru di
antaranya membuat/mendorong berdirinya lembaga-lembaga
masyarakat warga (civil society) yang disponsori oleh negara dan
menjadikannya satu-satunya lembaga masyarakat yang mewadahi
satu ekspresi sosial-agama-kultural. Sebagai contoh, tahun 1975,
pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI)yang
bertugas: Pertama, memberikan fatwa atas berbagai persoalan
keagamaan. Kedua, mempererat tali persaudaraan Islam. Ketiga,
mewakili umat Islam dalam komunikasi dengan kelompok agama
lain. Keempat, menjadi mediator antara pemerintah dengan
ulama. Dan kelima, menerjemahkan kebijakan pemerintah
mengenai pembangunan agar mudah dipahami masyarakat
umum. MUI merupakan sampel dari salah satu strategi politik
utama Orde Baru yakni ‗korporatisme negara‘ di mana berbagai
organisasi agama, profesi, dan semacamnya disatukan dalam satu
wadah tunggal untuk mempermudah kendali negara. Bahkan,
pemerintah Orde Baru pada tanggal 17 Juni 1985, dengan
persetujuan DPR, mengeluarkan UU No 8/1985 tentang
Organisasi Masyarakat (ormas), di mana seluruh organisasi sosial
yang ada harus mencantumkan Pancasila sebagai asas
organisasinya. Rupa-rupanya Orde Baru hendak pula
mengendalikan ‗jiwa‘ atau ‗roh‘ ormas dengan penerapan ‗asas
tunggal‘11. Selain MUI tentu masih banyak lagi bentuk
11
Pratikno, “Kelembagaan Politik Desa”.Makalah Disampaikan pada Pertemuan
Forum FPPM ke 4 “Demokratisasi Masyarakat Desa”, Tenggarong 19-22 Juni 2001

korporatisme negara yang terwujud dalam kehidupan sosialpolitik.
Apa yang dipertontonkan rejim Orde Baru tersebut selain
merupakan bentuk korporatisme negara juga merupakan bentuk
sentralisasi kekuasaan. Dalam hal ini publik hampir tidak
memiliki kekuasaan, karena segalanya merupakan relaitas dari
politik serba-negara (etatism). Sehingga dalam konteks seperti ini,
negara menjadi satu-satunya wadah tempat terjadinya proses
sosial yang terjadi pada warganya.
4.
Ekonomistis; kebijakan sosial adalah produk dari
identifikasi kebutuhan sebagai sesuatu yang bersifat ekonomistis
semata dan dengan unit sasaran yang terpaku pada ekonomi
rumah tangga. Hal ini mengesampingkan hal-hal lain, misalnya
menyangkut isu-isu khas dalam masyarakat pluralistik, seperti soal
identitas, sistem nilai dan sosial yang beragam, distribusi aspirasi
dan pengetahuan, dan sebagainya.
Dalam beberapa hal, ekonomisme merupakan bentuk lain dari
pembangunanisme. Namun demikian, term ini memiliki
kerawanan arti karena bisa diartikan sebagai spirit untuk ‗hanya‘
mengambil keuntungan ekonomi saja dalam berbagai investasi,
baik itu politik, sosial, maupun budaya.

III. Arah Baru
Menyadari keterbatasan di atas, maka perlu arah baru bagi
kebijakan sosial yang lebih dinamis dan responsif serta bisa
mendekatkan pada definisi dasarnya sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Arah baru ini sebenarnya telah
tercermin dalam perkembangan wacana kebijakan mutakhir yang
mulai bergeser pada penekanan atas karakter perubahan dari
setiap kebijakan; yakni melalui wacana perubahan kebijakan
(policy change), bukan lagi pembuatan kebijakan (policy making).
Dalam wacana ini, kebijakan tidak dibayangkan lagi sebagai suatu
produk yang final dan ditetapkan secara searah. Namun,
kebijakan selalu dilihat dinamis karena ia terbuka pada interaksi

timbal-balik di antara berbagai pihak yang berkepentingan
atasnya. Dengan kata lain, wacana ini memandang kebijakan
sosial sebagai ‗a matter of public negotiation‘ yang memungkin
terus berubah dan diperbaikinya setiap tahapan proses kebijakan
sosial, baik pada fase formulasi, implementasi maupun evaluasi.
Dengan adanya wacana perubahan kebijakan ini, yang diikuti
dengan inovasi kebijakan, maka kebijakan sosial lalu menjadi
sesuatu yang lentur dan tidak bisa dianggap sebagai hal yang
kaku atau apalagi final oleh pihak yang merasa memiliki otoritas
atasnya. Hal itu dengan sendirinya akan membuka ruang bagi
‗debat publik‘; suatu tuntutan yang kian tak terelakkan ketika
peran-peran politik dari masyarakat semakin kuat sejalan dengan
berlangsungnya proses demokratisasi (Ruang Sosial SemiOtonom).
Contoh Jalinan Politik dan Ekonomi
Dari rangkaian fakta dan berita di media massa, terutama
sedikitnya dari berbagai fakta deskriptif di atas tadi, hal tersebut
memperlihatkan bahwa ekonomi dan politik saling mempengaruhi,
terutama jika bidang ekonomi politik dan politik ekonomi ini
masuk dalam konteks negara yang sedang membangun – seperti
Indonesia. Kesalingterpengaruhan antara politik dan ekonomi
sebenarnya bukan diskursus yang baru. Dari sejarah, pemikiran
politik dan ekonomi terlihat bahwa politik dan ekonomi memang
saling mengandaikan. Dalam diskursus klasik, politik selalu
diartikan sebagai persoalan kekuasaan atau lebih tepat dikata
politik berbicara bagaimana mengelola dan mempertahankan
kekuasaan. Sementara itu, ekonomi didefinisikan sebagai
persoalan hajat hidup manusia. Lebih banyak ekonomi dikatakan
sebagai bagaimana mengusahakan, mengelola dan
mendistribusikan secara lebih baik sumber daya yang pada
kenyataannya mempunyai keterbatasan atau langka.
Dari margin pembatasan istilah di atas maka sebetulnya ekonomi
dan politik sekaligus sebaliknya memuat sebuah sinergi pengaruh.
Sinergi dua bidang itu adalah ketika ekonomi melingkupi,
mengelola dan mengorganisasikan sumber daya (barang dan jasa)
yang langka mau tidak mau hal tersebut selalu harus melibatkan

aspek kekuasaan. Kekuasaan yang mempunyai kemampuan
memberikan proses jaminan dan kepastian cara bermain dan
berbagi hasil dalam konteks manajemen sumber daya yang
langka. Dan itu soal politik.
Sebaliknya ketika sebuah struktur kekuasaan politis menjadi
tujuan tetap saja harus didukung dengan kemauan dan
kemampuan pengaturan, pengelolaan hajat hidup yang layak bagi
para warganya. Kekuasaan politis yang legitim bukan sematamata harus mempunyai legitimasi sosial tapi juga harus
mempunyai legitimasi ekonomis yang terwujud dalam sistem
manajemen kehidupan ekonomis yang layak atau setidaknya adil.
Kekuasaan politis akan mengalami ‗delegitimasi‘apabila politik
tidak memberikan jaminan kehidupan ekonomi yang adil, jaminan
kepastian hukum dan jaminan solidaritas warga negara yang
plural.12
Menuju Paradigma Kritis dalam Kebijakan Sosial
Sebelum menjelaskan bagaimana model paradigma kritis dalam
kebijakan sosial, ada baiknya kita melihat cermin untuk arah baru
ini, yakni reformasi kebijakan sosial yang termuat dalam gerakan
‗jalan ketiga‘. Tujuh tesis kebijakan sosial yang dikemukakan oleh
Giddens (1999) dalam ‗the third way’ adalah: Pertama, perlu ada
kesadaran bahwa ekonomi dan politik lebih merupakan seni.
Sampai titik tertentu, banyak ekonom dan ahli politik menyatakan
bahwa mereka sering membuat kebijakan yang tidak selalu dapat
memecahkan seluruh persoalan. Kedua, perlu ada kesadaran
bahwa energi kebijakan ekonomi dan politik masih banyak
berhitung dengan fakta sosial yang tumbuh dalam masyarakat,
yaitu pertumbuhan real ekonomi rakyat, fluktuasi masalah
ekonomi dan sosial, kemiskinan, soal pengangguran dan
pemerataan hasil ekonomi yang cepat berubah dalam hitungan
detik dan menit.
Ketiga, perlu ada kesadaran bahwa negara harus memperhatikan
meritokrasi terbatas dan kebijakan negara investasi sosial. Dalam
12
Wuryanta, AG. Eka Wenats. "Politisasi, Ekonomisasi Dan Dunia Yang Sedang
Berubah."dalam http://:www.sosialista.org/071401(08/04/03 13:30:30)

meritokrasi terbatas, kebijakan sosial dan ekonomi berpusat pada
kesempatan yang sama dan ‗fair‘. Kesempatan untuk
memdapatkan sumber barang dan jasa yang langka tetap harus
dibuka meski kemampuan untuk mencapainya tidak sama.
Negara berinvestasi secara sosial dengan tetap memperhatikan
jaminan dan perlindungan sosial tapi tidak serta merta bahwa
negara menciptakan ‗generasi malas‘ atau masalah ketidakadilan
dalam prinsip pemberian jaminan sosial.
Keempat, masalah welfare-state (negara sejahtera) bukan sematamata soal ekonomi. Tapi negara sejahtera mempunyai akar
historis dan ideologis, di mana negara wajib menyelenggarakan
dan menjamin kesejahteraan warganya. Dan ini adalah soal
politik. Kelima, skema kapitalisme yang berhati nurani
(compassionate capitalism) adalah preseden politik dalam skema
ekonomi politik yang berkembang sampai sekarang. Politik dan
ekonomi tidak lagi selalu berada dalam ranah ideologi yang
berbeda. Kenyataan sekarang banyak negara yang menganut
sistem mixed economy dan mengambil ‗jalan ketiga‘ daripada
sekedar soal negara kapitalistis (dengan dasar ekonomi liberalisme
klasik dan Keynesianisme) atau negara sosialis. Hal ini dibuktikan
dengan kemunculan partai jalan tengah yang merangkul
kapitalisme dan memeluk sistem sosial seperti Inggris dengan
kebijakan Tony Blair, Italia dengan ekonomi mixed-nya Romano
Prodi, Jerma dengan sosial demokratnya Gerard Schoeder,
ekonomi Amerika yang gilang gemilangnya Clintonomics.
Keenam, modifikasi mixed-economy ini mengakibatkan timbulnya
gejala dan agenda ekonomi politik global dan multilateral. Dan ini
melibatkan perusahaan multinasional. IMF, World Bank, WTO, EU
justru menjadi multinational enterprises yang mempunyai
kekuatan hegemoni bagi sistem politik dan ekonomi lokal.
Terakhir, kesadaran bahwa politik-ekonomi selalu menempatkan
ide bersiasat dengan pasar. Negara dan masyarakat takkan
mampu melawan pasar, tapi menyiasati pasar adalah keharusan
dan selalu dimungkinkan. Siasat kepada pasar membutuhkan

institusi sosial yang sah, yaitu negara. Sehingga negara masih
penting. 13
Dari tujuh tesis yang digambarkan oleh Giddens di atas, kita bisa
memetik pelajaran berharga tentang upaya yang menyeluruh dan
terpadu dari suatu kebijakan yang memihak kepada publik.
Dengan pulus-minusnya, ‗third way’ merupakan bentuk dari
kebijakan yang sedapat mungkin diarahkan kepada pemihakan
publik lebih besar ketimbang kelompok tertentu.
Arah baru seperti dikemukakan di atas sudah sepatutnya apabila
diarahkan untuk dapat mewujudkan suatu paradigmatic shift
dalam kebijakan sosial. Dalam kaitan ini, Teori Kritis dalam
khazanah ilmu sosial dapat dijadikan sebagai alternatif
paradigmatik untuk pergeseran dimaksud.
Praksis sebagai tindakan komunikatif, sebaliknya, merupakan
tindakan yang dicirikan oleh interaksi yang bersifat inter-subyektif
dengan bahasa sehari-hari. Praksis ini tidak didasarkan pada
orientasi penaklukan, seperti halnya dalam ‗paradigma kerja‘,
melainkan lebih dimaksudkan untuk mencapai konsensus kolektif
yang bebas dominasi. Dan konsensus semacam itu hanya bisa
dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif yang berhasil
melakukan interaksi komunikatif yang memuaskan.
Dengan demikian, ‗kritik‘ dalam tindakan komunikatif mencakup
pengertian sebagai berikut
1.
Ia adalah kritik karena membantu masyarakat untuk
mencapai otonomi dan kedewasaan dengan memberi perangkat
pada semua pihak untuk membebaskan diri dari selubung ideologi
dan kesadaran palsu yang ada pada masing-masing pihak.
2.
Namun demikian, kritik itu bukanlah lewat revolusi dengan
kekerasan, melainkan lewat cara argumentasi. Revolusi adalah
kritik dalam kerangka hubungan kerja di mana kritik berarti
perjuangan kelas revolusioner; penaklukan kelas oleh kelas.

13

Jakarta, 1999.

Lihat Anthony Giddens, The Third Way: Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia:

3.
Kritik dalam tindakan komunikatif didasarkan pada
sentralitas argumentasi: partisipan berusaha membuat lawan
bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa
yang disebut ‗klaim-klaim kesahihan‘. Klaim-klaim inilah yang
dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai
hasil konsensus.
Kebijakan Sosial Berparadigma Kritis
Sebuah kebijakan sosial, dengan begitu, dapat disebut
berparadigma kritis apabila ia didasarkan pada tindakan
komunikatif dengan mencerminkan dua pengertian kritik yang
disebutkan di atas, baik pada tataran substansi, prosedur
maupun proses.
Sementara, tujuan kebijakan bukan lagi untuk menghasilkan
suatu desain yang bercorak teknokratis. Melainkan untuk
mempertinggi kapasitas semua pihak dalam rangka negosiasi
kepentingan dan pandangan menuju sebuah konsensus yang
bebas dan setara tanpa ada dominasi.
Prasyarat-prasyarat
Menggeser paradigma kebijakan sosial yang sudah mapan menuju
ke paradigma kritis tentu bukan soal yang mudah. Ada beberapa
hal yang harus dibenahi dan bahkan dibentuk kembali guna
mewujudkan idealitas tersebut.
1. Rasionalisasi Kekuasaan
Kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan, melainkan
juga harus otentik dan rasional. Dalam arti, kekuasaan harus
dicerahi dengan otentisitas dan diskusi rasional yang bersifat
publik agar para anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif
dalam menentu-kan arah perkembangan politis, termasuk pula
meng-arahkan kemajuan teknis dan ekonomis masyarakat.
Rasionalisasi kekuasaan ini tentu tidak dipahami dalam dimensi
kerja, melainkan dalam dimensi komunikasi. Legitimasi negara
akan mengalami defisit atau bahkan mengalami krisis legitimasi
sama sekali apabila unsur-unsur komunikatif ini tidak

diindahkan. Melalui rasionalisasi kekuasaan inilah terbuka ruang
bagi dialog kritis antara pemerintah dengan publik luas. Dengan
dialog kritis ini maka setiap kebijakan sosial yang dibuat dapat
mencerminkan secara mendasar perhimpitan yang erat antara
social control dari pihak masyarakat dengan social engineering dari
pihak negara.
Dengan sendirinya, dialog kritis ini mengandaikan adanya
rasionalitas politik dari semua pihak. Dan hal ini sejalan dengan
hakekat hubungan komunikatif itu sendiri yang menempatkan
proses argumentasi pada posisi sentral. Dengan demikian,
pencabutan kebijakan mengurangi subsidi BBM misalnya,
seharusnya didasarkan atas pertimbangan rasional melalui
sebuah diskursus terbuka. Dan bukannya sekedar atas dasar
kalkulasi politik sesaat.
Sehingga dengan model dialog kritis tersebut, paham naturalisme
dalam politik yang sangat bertentangan dengan sistem negarabangsa yang didasarkan atas gagasan kewargaan, demokrasi, dan
nilai-nilai keadaban (sivilitas), sedikit banyak bisa dihancurkan.
Seperti diketahui, sistem negara-bangsa merupakan unit sosialpolitik yang dibangun atas asas keterlibatan dan keputusan aktif
dari ‗warga negara‘ (bukan ‗kawula‘) menurut prinsip ‗perjanjian
sosial‘ (social contract). Keterlibatan dan keputusan aktif ini
diwujudkan melalui pemilu dan saluran-saluran partisipasi lain
yang mengejawentahkan suatu mandat publik yang harus
dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh para pemimpin
lembaga publik. Dalam sistem politik demikian, kepemimpinan
bersifat kontraktual dan bukannya given. Lagi pula, ia hanyalah
satu komponen belaka dalam proses penyelenggaran kehidupan
bersama dalam wadah negara-bangsa. Sebab, selain pemimpin ini,
warga negara sebagai subyek politik yang otonom juga merupakan
komponen yang tak bisa diabaikan dalam kehidupan dan proses
politik sistem negara-bangsa modern.
Seperti dimaklumi, proses politik merupakan ajang di mana
diagregasikan berbagai kepentingan individu dan kelompok sosial
yang memiliki hak, agenda, aspirasi dan keinginan yang berbeda
satu sama lain dihimpun (agregasi). Meskipun mereka semua

saling berjuang untuk membela kepentingannya, namun individu
dan kelompok ini adalah bagian dari sebuah entitas sosial yang
sama dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan demikian, apabila
entitas ini tidak diinginkan terpuruk dalam situasi ‗homo homini
lupus‘, maka proses politik yang harus dibangun adalah yang
dapat memelihara dan membangun kolektivitas sosial ini; yang
tumpuan utamanya tak lain terletak pada kekuatan tindakan
komunikatif14.
Dalam pengertian itu, maka proses politik dan penyelenggaraan
kekuasaan di negara kita tidak bisa lagi dijalankan hanya berkisar
pada lingkaran elit yang terbatas, seperti dilakukan dalam model
pembangunan kita di masa lampau yang serba teknokratis dan
bercorak top-down. Namun, ia harus diceburkan ke tengah-tengah
masyarakat, yakni ke dalam sebuah proses komunikatif yang
kritis dan terbuka. Dengan begitu, masyarakat dapat terlibat
secara aktif dalam debat publik untuk menentukan arah
perkembangan politis yang hendak dibuat, termasuk pula
mengarahkan kemajuan teknis dan ekonomis masyarakat. Melalui
debat publik ini maka proses politik merupakan proses agregasi
kepentingan bersama yang lahir dari kerelaan dan konsensus
bersama yang otentik, dan bukannya hasil manipulasi dari
segelintir elit yang (didukung oleh kultur paternalistik) bisa
berbuat apa saja dengan mengatasnamakan kepentingan
masyarakat.
Namun demikian, tindakan komunikatif ini hanya akan otentik
apabila didasarkan pada prinsip rasionalitas politik dan
kekuasaan, mulai dari aras wacana hingga aras tindakan. Wacana
dan tindakan politik yang unpredictable; menyalahi kaidah dan
norma yang berlaku dalam masyarakat, tidak berdasar pada asasasas pemikiran logis, yang bercorak menang-kalah, ataupun yang
kian memperkeruh problem yang ada, sama sekali bukanlah
cerminan dari prinsip rasionalitas ini. Proses komunikatif pada
intinya merupakan interaksi yang bersifat intersubyektif, dan
Selengkapnya lihat Jurgen Habermas, “Reason and The Rationalization of
Society”, In “The Theory of Communicative Action”, Vol. I. Translated by Mc. Carthny. Boston:
Beacon Press, 1984, dan. “Life World and System: A Critique of Functionalist Reason”. In ”The
Theory of Communicative Action”, Vol. II. Boston: Beacon Press, 1989.
14

dalam konteks penyelenggaraan hidup bersama ia diarahkan
untuk dapat mencapai konsensus kolektif yang sejati dan bebas
dominasi. Oleh karena itu, proses komunikatif ini sangatlah
menekankan sentralitas argumentasi. Bagaimana mungkin akan
dapat terjadi proses argumentasi yang produktif dan mengantar
pada konsensus kolektif yang sejati apabila ia tidak
mengindahkan rasionalitas politik yang jernih, sehat dan
konstruktif, sebagaimana yang dituntut oleh asas penyelenggaraan
perpolitikan yang modern?
Oleh karena itu, rasionalitas politik merupakan tuntutan
utama bangsa kita apabila bangsa ini ingin mengembangkan
sistem dan kultur politik negara-bangsa yang modern. Tuntutan
ini mengimplikasikan bahwa semua komponen bangsa ini, baik
dari kalangan elit maupun komponen masyarakat sipil,
semestinya mampu mengembangkan keberadaban politik berupa
wacana dan tindakan politik yang rasional, konstruktif, inspiring,
dan mendekatkan pada upaya penyelesaian masalah15. Dalam
kaitan ini, maka tuntutan pengembangan Indonesia masa depan
meniscayakan budaya perpolitikan baru yang tidak lagi bersandar
kepada asumsi-asumsi naturalistis atas proses politik; ataupun
kepada penokohan sang pemimpin sebagai sosok ‗hero‘ yang serba
‗jago‘ dan mumpuni. Penyelenggaran kehidupan kebangsaan kita
pada masa mendatang, tampaknya, akan lebih banyak menuntut
budaya politik yang benar-benar berpijak pada landasan
‗rasionalitas emansipatoris‘ dan bukannya rasionalitas ‗akalakalan‘ (strategic rationality). Yakni rasionalitas politik yang sehat
yang mampu mengembangkan tindakan komunikatif yang seluas
mungkin dan memberi peluang bagi siapa pun untuk
berpartisipasi membangun konsensus yang jujur, seraya
menjauhkan kehendak untuk menang sendiri.16
Dengan adanya rasionalisasi politik, dengan sendirinya, beban
sosial kebijakan rasionalisasi ekonomi ditanggung bersama, tetapi
golongan yang lebih kuat menanggung beban lebih besar. Adapun
di Indonesia, rakyat sudah banyak kehilangan pekerjaan karena
Jumhur Hidayat, “Soekarno dan Soeharto”. Diakses
kompas.com/kompas-cetak/0304/23/ekonomi/273629.htm (06/30/03 13:44:29)
15

16

Hidayat, ibid.

dari

http://

krisis ekonomi, tetapi masih harus menanggung beban besar.
Sementara para pejabat dan politisi justru menerima peningkatan
pendapatan. Jelas, itu kebijakan yang tidak bersinambung. Risiko
sosialnya tinggi, tetapi manfaat ekonominya tidak ada17.
2. Partisipasi Publik
Partisipasi publik adalah pasangan yang tak terpisahkan dari
rasionalisasi kekuasaan. Jangkauan partisipasi ini tidak sekedar
bersifat prosedural, namun juga substantif. Dalam arti, konsensus
yang otentik hanya akan terjadi apabila publik memberikan
partisipasinya dalam arti seluas-luasnya. Partisipasi ini tidak
terbatas pada konteks pengambilan keputusan-keputusan
spesifik, namun juga menjangkau ‗partisipasi kognitif‘ mengenai
definisi-definisi situasi dari kehidupan mereka yang menjadi
landasan dalam mengambil keputusan-keputusan yang teknisspesifik tadi.
Bentuk partisipasi publik itu harus didorong terwujud di berbagai
aras. Namun minimal, kebijakan politik dan sosial yang
komprehensif yang meliputi kebijakan pemerintahan dan
mekanisme pasar. Dengan peluang partisipasi publik yang besar,
sangat mungkin sistem kontrol dari masyarakat dan negara terjadi
sehat, kompetitf dan seimbang.
3. Public Sphere dan Tatanan Civil Society
Namun, semua hubungan kritis-komunikatif tadi hanya mungkin
apabila ada kelembagaan yang bisa mewadahi-nya. Di sini ‗ruang
publik‘ menjadi prinsip yang sentral karena ia merupakan ‗ruang
sosial semi-otonom‘ yang memungkinkan terjadinya diskursus
rasional dan kritis mengenai isu-isu publik tanpa ada dominasi
dan paksaan dari pihak manapun. Apa yang disebut ‗ruang publik‘
itu sendiri bukanlah sesuatu yang mengawang-awang--lautan
verbal belaka. Sebaliknya, ia mestilah terjangkarkan dalam
tatanan civil society yang kuat untuk mendapatkan landasan dan
kekuatan sosialnya.
17
Umar Juoro. “Kebijakan Setengah Hati” dalam "Cides Online - Ekonomi."
http://www.cides.or.id/(08/04/03 13:36:41)

Secara ringkas karakter public sphere yang melekat pada civil
society itu harus memiliki karakter berikut:
1. Masyarakat mandiri
Dengan begitu, masyarakat-warga negara tak lain adalah
masyarakat yang mandiri, yang bisa mengurus dirinya sendiri.
Kemandirian sekarang menjadi sifat atau ciri masyarakat-warga
negara. Dalam sejarah, kemandirian adalah hasil dari perjuangan
masyarakat. Mengenai hal ini munculnya masyarakat-warga
negara biasanya dikaitkan dengan kelas menengah yang mandiri,
yang diawali dengan bourgeois society - kelas borjuis yang mandiri
secara ekonomis dan dengan begitu justru memiliki political
bargaining power yang lumayan.
Kemandirian menjadi syarat mutlak dari kemungkinan
masyarakat-warga negara. Secara konkret kemandirian dapat
dilihat dari kapasitas tawar-menawar antara masyarakat dengan
negara, dalam hal ini pemerintah. Pemerintah (baca: negara) tidak
bisa bersikap sewenang-wenang, karena bukan masyarakat yang
tergantung pada negara, sebaliknya negara yang tergantung pada
masyarakat. Dalam negara di mana sudah ada masyarakat-warga
negara yang kukuh, para politikus sangat menyadari hal ini.
2. Masyarakat Hukum
Masyarakat-warga negara mewujudkan dan mendapatkan
kemandiriannya lewat hukum. Dalam konteks kenegaraan
modern, negara tidak pernah tampil lewat orang sebagai pribadi
semata-mata, melainkan lewat hukum. Hukum tak lain adalah
perwujudan perjanjian antara para warga negara sendiri, dan
masyarakat-warga negara dengan negara. Dengan kata lain,
hukumlah wasit dan hakim bagi siapa pun dalam negara modern.
Keberlakuan hukum yang umum dan pasti menjadi salah satu ciri
dari eksistensi dan keberhasilan masyarakat-warga negara.
Seperti kita lihat di atas, persamaan menjadi aksioma dalam
hubungan antara berbagai pihak. Demikianlah bisa kita bahwa
masyarakat-warga negara tak lain adalah masyarakat hukum.

Dalam masyarakat seperti inilah setiap individu bisa
menggantungkan cita-citanya setinggi langit.
Masih ada lagi ciri civil society tersebut, sebab sebagai sebuah
diskursus, jelas konsep ini akan terus mengalami evolusi. Namun
yang pasti, dengan dasar pikiran ini, maka sebenarnya kita juga
sedang menuju pada uraian yang mengagas tentang ‗masyarakat
madani‘ (civil society) atau istilah lainnya adalah ‗masyarakat
warga‘. Dengan masyarakat madani kita menerima isyarat tentang
keharusan adanya identitas yang dipunyai bersama, sekurangkurangnya melalui persetujuan tidak langsung tentang garis-garis
besar pranata politik. Dengan kata lain, kewargaan dengan hak
dan tanggung jawabnya adalah bagian utuh dari pengertian
masyarakat madani. Kewargaan memberi landasan masyarakat
madani. Menjadi bagian dari keseluruhan adalah prasyarat bagi
keseluruhan itu untuk menjadi masyarakat. Karena itu pribadi,
dalam masyarakat madani, diakui hak-hak asasinya oleh