menjaga kemerdekaan pers

Briefing Paper 3/2012

Menjaga Kemerdekaan Pers,
Mendorong Masyarakat Demokratis

Penulis:
Anggara
Lisensi Hak Cipta

Kecuali disebutkan sebaliknya,
aliknya, seluruh isi laporan ini berada dibawah
awah lisensi
lis
CC BY-NCSA 3.0
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice
stice Reform
Re
Jl. Cempaka No 4, Pasar Minggu,
Minggu Jakarta Selatan 12530
http://icjr.or.id | http://twitter.c

twitter.com/icjrid | http://reformasidefamasi.net
Phone/Fax (62-21) 7810265
Email : infoicjr@icjr.or.id

2

Daftar Isi

Kata Pengantar ..................................................................................................... 4
Pendahuluan......................................................................................................... 6
Pers dan Etika....................................................................................................... 7
Sengketa pers dari masa ke masa ........................................................................... 8
Berpegang pada Etika, Meneguhkan Kemerdekaan Pers ........................................... 10
Penutup ............................................................................................................. 12

3

Kata Pengantar
Tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi kebebasan dan kemerdekaan berbagai
bidang di Indonesia. Bidang yang turut mencicipi kebebasan dan kemerdekaan setelah

tumbangnya rezim orde lama di tahun 1998 tersebut adalah pers. Pers sempat
mengenyam kebebasan dan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masayarakat yang
mendamba iklim keterbukaan dan keluar dari keterkungkungan. Setahun kemudian,
menteri Sekretaris Negara mengundangkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers yang disahkan oleh presiden RI waktu itu, BJ Habibie, pada bulan
September 1999 yang di dalamnya memuat pasal perlindungan terhadap pers nasional
atas penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Dengan kata lain sejak
disahkan dan diundangkannya UU Pers tersebut, tak diperkenankan lagi bredel terhadap
media.
Industri mediapun tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. Seiring perkembangan
kebebasan dan kemerdekaan pers, tak hanya media cetak saja yang hadir sebagai ruang
publik dan pemenuh informasi bagi publik, media elektronik dan media online juga turut
mewarnai dan menandai kesuburan kebebasan dan kemerdekaan pers itu. Akses publik
untuk mendapatkan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Wadah untuk
berekspresi, menyalurkan pendapat secara lisan dan tulisan semakin bervariasi. Jurnalis
dalam menjalankan profesinya untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan
informasi juga menjadi leluasa karena dalam menjalankan profesinya tersebut
mendapatkan perlindungan hukum. Begitu juga dengan kerja-kerja investigatif jurnalis
dalam mengungkap fakta dan kebenaran. Beberapa skandal dan kasus dapat terbongkar
melalui jurnalisme investigasi. Sehingga hak publik atas informasi terpenuhi, publik

dapat mengontrol proses penyelenggaran pemerintahan/ kekuasaan yang notabene
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu, pemerintah adalah menjalankan
mandat publik, maka pemerintah juga harus dapat memepertanggungjawabkannya
kepada publik secara terbuka dan transparan.
Namun dalam perjalanannya, dunia pers kembali menghadapi masa suram. Kondisi itu
ditandai dengan banyaknya gugatan, dan laporan delik pers yang dilayangkan kepada
pers dan jurnalis. UU No 40 Tahun 1999 seringkali diabaikan oleh para penegak hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim) yang memproses kasus pers pada level peradilan terhadap pers
atau jurnalis yang karya jurnalistiknya dianggap melanggar hukum.
Profesi jurnalis yang hampir setiap waktu berurusan dengan akses informasi ke badanbadan publik dan perorangan dalam rangka memberikan informasi bagi publik secara
cepat, akurat, akuntabel, dan cover bothside, memang menuntut aktifitas kerja yang
cepat dengan jaminan terhadap hak-hak mereka dalam menjalankan profesi
jurnalistiknya. Ketika jurnalis dapat menunaikan tugasnya dengan baik, maka kebutuhan
masyarakat akan informasi dapat terpenuhi dengan baik pula. Keduanya seperti dua sisi
mata uang.
Menjadi penting, bagi tiap-tiap jurnalis untuk memahami dan memegang teguh Kode
Etik Jurnalistik dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Kode Etik tersebut menjadi
semacam pedoman atau panduan kerja.
Secara filosofi, pers tanpa kode etik bagaikan berilmu tapi tidak dituntun oleh hati, atau
ilmu tanpa moral. Sedangkan dari sisi hukum, kode etik jurnalistik bagaikan samurai

atau alat, yang bisa menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk menjelaskan
bahwa karya jurnalistik yang dihasilkan bukanlah karya jurnalistik yang melanggar
hukum. Hal tersebut akan diurakan lebih mendalam dalam tulisan ini.
Untuk itu, ICJR mengapresiasi dan menyambut baik kegiatan yang diselenggarakan oleh
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Banda Aceh, di Kampus Muharram Journalism
4

College (MJC), Beurawe, Banda Aceh, pada Sabtu, 16 Juni 2012. Karena, kadang
diperlukan sebuah forum atau wadah untuk saling bertukar pikiran, untuk memahami
bersama-sama sebuah hal, dalam hal ini posisi kode etik jurnalistik sebagai instrumen
hukum atau pedoman. Disamping itu, kode etik tersebut meski diperkenalkan sejak dini,
kepada jurnalis-jurnalis mula, atau calon jurnalis. Dengan senang hati, pada kesempatan
ini ICJR memenuhi undangan AJI kota Banda Aceh. dengan menghadirkan Anggara, SH,
Ketua Badan Pengurus ICJR, sebagai perwakilan dari ICJR, untuk menjadi narasumber
dalam kegiatan tersebut. Atas kepercayaan dan kerjasamanya, kami mengucapkan
terima kasih.
Jakarta, Juni 2012
Institute for Criminal Justice Reform
Badan Pelaksana


Adiani Viviana, SH.
Sekretaris Eksekutif

5

Pendahuluan
Pers adalah salah satu jembatan informasi yang penting, tugas pers terpenting adalah
memberikan informasi seluas – luasnya kepada masyarakat tentang suatu keadaan di
dalam masyarakat. Pers yang bebas adalah sebuah keniscayaan yang diperlukan dalam
suatu negara yang mengklaim dirinya adalah negara demokratis dan berdasarkan
hukum. Tanpa adanya pers yang bebas maka kontrol dari masyarakat terhadap jalannya
penyelenggaraan negara semakin kecil, dan tanpa ada kontrol maka kesewenang –
wenangan niscaya akan terjadi
Pers Indonesia sejak awal, tidak pernah dimaksudkan sebagai pers yang semata – mata
berorientasi pada pengumpulan modal. Seperti halnya kelompok profesi advokat, pers
Indonesia sejak awal telah memposisikan diri sebagai pers perjuangan. Pada masa
kemerdekaan banyak diantara para pejuang kemerdekaan Indonesia telah memandang
bahwa pers menjadi alat yang penting untuk memperjuangkan kemerdekaan. Demikian
pula partai – partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga
memandang penting peran dari pers sebagai salah satu alat untuk mencerdaskan

kehidupan masyarakat dan sekaligus juga menentang hadirnya kolonialisme di bumi
Indonesia. Pers pada saat itu juga menjadi sarana berdiskusi antar para tokoh – tokoh
politik pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya berdiskusi mengenai
cara dan strategi politik tapi juga mengenai kondisi umum masyarakat Indonesia.
Permikiran dan perdebatan panas antara para tokoh – tokoh politik tersebut disalurkan
melalui kolom – kolom yang tersedia di pers.
Sejarah pers di Indonesia tentu dimulai di Batavia pada 1676 pada saat terbitnya koran
yang bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Setelah itu terbit pula
Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780,
sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang
terbit di Batavia tahun 1810. Dari saat itu hingga terbitnya Medan Prijaji pada 1903,
seluruh pers yang ada di Batavia menggunakan bahasa Belanda dan berita – beritanya
terasa kering.
Namun, jauh sebelum munculnya Medan Prijaji, kalangan pers di Indonesia telah
merasakan dampak dari pengekangan kebebasan pers dengan munculnya Reglement op
de Drukwerken in Nederlandsch-Indie pada 1856. Kemunculan peraturan tersebut
mengindikasikan bahwa meskipun dalam situasi yang tidak benar – benar bebas, pers
yang terbit pada saat itu dan dikelola oleh orang – orang Belanda, telah membuat
kuping pemerintah Hindia Belanda memerah.
Kemunculan “Medan Prijaji” pada tahun 1903, merupakan masa permulaan bangsa

Indonesia benar – benar terjun dalam dunia pers. Pemimpin redaksi Medan Prijaji R. M.
Tirtoadisuryo telah menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat. Hal ini terbukti dari keberaniannya menulis kalimat
yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di
Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah
membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah.
Tak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian
Oetoesan Hindia. Nama Semaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya
cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat A.K.A. Ki Hajar
Dewantoro juga telah mengeluarkan koran yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak.
Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka
dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan
pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926.
Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Gerakan politik pro kemerdekaan yang dikumandangkan melalui pers inilah yang
6

membuat pada 7 September 1931 pemerintah Hindia Belanda melahirkan peraturan
yang dikenal sebagai Presbreidel Ordonantie. Melihat situasi demikian beberapa tokoh
pers Indonesia pada masa Hindia Belanda berkumpul dan mendirikan

Persatuan
Djurnalis Indonesia (PERDI) pada Desember 1933 dan sikap dasar organisasi tersebut
menyatakan dengan tegas bahwa kedudukan pers Indonesia sebagai terompet
perjuangan bangsa.
Melihat kondisi yang makin “memanas” dalam dunia pers Indonesia, maka tidak hanya
puas dengan membekukan dan menutup pers, pemerintah Hindia Belanda bahkan juga
memberlakukan, dalam bentuk yang lunak - peraturan hukum pidana yang keras
terhadap para Pemimpin Redaksi dari pers Indonesia saat itu1. Tindakan dari pemerintah
Hindia Belanda tersebut dapat dimengerti dalam konteks bahwa karena pada dasarnya
para pemimpin redaksi dari pers saat itu sekaligus juga para penganjur yang gigih dari
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pengalaman – pengalam keras dibawah pemerintah Hindia Belanda ini pulalah yang
agaknya membuat para pemimpin Indonesia pada saat hendak mendirikan negara
Indonesia, meski berdebat dan bertentangan keras dalam soal – soal Hak Asasi Manusia
tapi mampu berkompromi dalam soal kebebasan berkumpul dan berpendapat2. Tak
heran jika Wakil Presiden RI, Bung Hatta pada saat 1954 menyatakan “yang bersuara
setiap hari adalah surat kabar. Sebab surat kabarlah yang mendekati sifat apa yang
disebut orang anggota perasaan umum. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat
kabar apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap – tiap orang untuk menyampaikan
pendapatnya secara obyektif, yang benar – benar mencerminkan perasaan rakyat yang

terpendam”
Pers dan Etika
Sejarah perkenalan dunia pers Indonesia dengan etika jurnalistik dapat ditelusuri sejak
masa paska kemerdekaan, salah satu tokoh pers Indonesia yaitu Mr. Sumanang pada
1946 telah menyusun suatu konsep konvensi dari etika jurnalis Indonesia yaitu “tiap
wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa,
dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan negara”. Namun
hingga munculnya kasus Asa Bafagih, dunia pers Indonesia tidak mengenal secara
formal apa yang kini dinamakan Kode Etik Jurnalistik.
Pers Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah dikenal dengan menjaga keras prinsip
independensi dari pers terutama dalam hal hubungan pers dengan pemerintah . Dalam
hal demikian Mr. Sumanang saat itu menggariskan sikapnya “Tentang perhubungan
dengan pemerintah, Janganlah kita terlampau gampang meminta, meskipun kepada
pemerintah kita sendiri. Kita harus merasa puas dengan usaha kita sendiri, yang kita
atur sendiri pula. Selama kita masih bertenaga dan bernafas, janganlah pula minta
pertolongan siapapun, supaya kita tetap bebas dalam menjalankan tugas kita.”
Bahkan terkait dengan regulasi dalam bentuk UU Pers yang sedang digodok oleh BP
KNIP, kalangan pers Indonesia telah menolak keras pengaturan apapun yang digodok
melalui tangan negara. Salah satu pernyataan yang sangat terkenal adalah “kita lawan
adanya sensor, kita tidak menyukai hukuman administrative, kita tidak senang dengan

adanya pemberangusan. Dalam pada itu kita harus sanggup mengadakan pembatasan
sendiri”.

1
Dalam bentuk lunak, maksudnya karena pada saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki hak
istimewa untuk membuang orang – orang Indonesia yang dianggap menganggu ketertiban umum kemanapun
tanpa proses hukum
2
Lihat Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli, sebagaimana diketahui, UUD Indonesia
yang asli tidak begitu memuat banyak jaminan hak asasi manusia karena pada saat itu dipandang bahwa
perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu ciri negara yang kapitalistik dan individualistik

7

Kasus Asa Bafagih, kasus yang melibatkan Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan itu
menjadi titik tolak dimana kalangan pers Indonesia merasa perlu adanya Kode Etik yang
mengatur etika profesi pers. Saat itu Harian Pemandangan membuat berita “Rencana
Gaji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp. 135 dan maksimum Rp. 2700.” Berita itu
telah membuat Asa Bafagih berurusan dengan Kejaksaan Agung dan Harian
Pemandangan menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber berita yang meminta

identitasnya dirahasiakan3. Tak hanya sekali itu Asa Bafagih berurusan dengan
Kejaksaan, di saat lain, Harian Pemandangan juga berurusan dengan Kejaksaan karena
pada 18 Maret 1953 menerbitkan berita “21 Perusahaan Industri Dimana Menurut
Rencana Modal Asing Baru Dapat Diusahakan”. Kejaksaan memeriksa Asa Bafagih
karena ada surat dari PM Wilopo yang meminta Jaksa Agung untuk memeriksa Asa
Bafagih karena berita tersebut dikualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar delik
pers. Kalangan pers Indonesia meradang dan mendesak pemerintah agar menghentikan
penuntutan terhadap Asa Bafagih karena hak tolak dijamin sepenuhnya dalam kode etik
jurnalistik4.
Sejak peristiwa itu, kalangan pers Indonesia merasa perlu adanya pengaturan diri
sendiri dalam bentuk Kode Etik Jurnalistik. Kita tidak boleh lupa peran Suardi Tasrif, SH
sebagai orang yang merumuskan untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik dan
kemudian mendapatkan pengesahan pada Kongres PWI VIII di Medan pada 31
Desember – 2 November 1955. Sejak saat itulah kalangan pers Indonesia secara formal
mengenal Kode Etik Jurnalistik.
Sengketa pers dari masa ke masa
Sejarah sengketa pers Indonesia pada masa kemerdekaan hingga masa Orde Baru usai
dipenuhi dengan maraknya pembreidelan atau penutupan pers. Setelah kemerdekaan
diproklamasikan, tercatat breidel pertama telah dilakukan terutama pada 1948 ketika
peristiwa politik di Madiun bergolak, di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya
terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak
FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya,
pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan
kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara
Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya (http://bit.ly/LKFihu).
Tindakan breidel tersebut dari sisi hukum tentu ada landasan hukumnya, karena
ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie masih terus dipakai dan secara
formal baru diganti pada 1954. Pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat,
selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956 dimana Pasal 1
peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan
serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung
kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga
berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan,
kebencian atau penghinaan. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB),
Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1
Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan
SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit
bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penetapan Presiden No.6 Tahun
1963 tentang Pembinaan Pers (http://bit.ly/LeXYHj). Namun, sayang karena
dokumentasi tidak memadai, tidak dapat diketahui apakah pada saat itu ada Pemimpin
Redaksi yang diajukan ke Pengadilan sebagai Terdakwa.
Pada masa Orde Baru, ketentuan Penetapan Presiden No.6 Tahun 1963 tentang
Pembinaan Pers dicabut dan diberlakukan UU No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan –
3
4

Saat itu Kementerian Urusan Pegawai menyatakan bahwa berita itu tersmasuk Pembocoran Rahasia Negara”
Penting diingat bahwa pada saat kasus Asa Bafagih muncul Kode Etik Jurnalistik belum lagi dirumuskan

8

Ketentuan Pokok Pers (http://bit.ly/NpFDIV) yang kemudian diamandemen melalui UU
No 4 Tahun 1967 (http://bit.ly/MuTZ7y) dan diamandemen kembali UU No 21 Tahun
1982 (http://bit.ly/KGnyRA). Pemerintah Orde Baru juga menyatakan tidak berlakuknya
Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 (http://bit.ly/MEc4wS) tentang Pengamanan
Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian,
majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala.
Namun, meski ada jaminan tidak pembreidelan dalam UU Pokok Pers saat itu, ternyata
kenyataan yang terjadi jauh dari situasi ideal yang diharapkan oleh UU Pokok Pers
tersebut5. Kasus pertama kali sejak munculnya UU No 11 Tahun 1966 adalah Kasus
yang menyeret HB Jassin, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra yang menerbitkan Cerpen
berjudul “Langit Makin Mendung” pada Agustus 1968. Kasus ini mencuat karena
munculnya protes dari kalangan Islam dan dianggap sebagai penodaan terhadap agama
Islam. HB Jassin sendiri karena menolak mengungkap identitas sebenarnya dari Ki
Pandji Kusmin akhirnya dihadapkan di Pengadilan karena didakwa melanggar Pasal 156a
KUHP dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun (Lihat
http://bit.ly/KM9ap4 ; Lihat http://bit.ly/LKGiSx)6.
Pada 1972, majah Sendi terjerat delik pers karena dianggap menghina Kepala Negara
dan keluarganya. Ijinnya dicabut dan Pemimpin Redaksinya dituntut ke Pengadilan. Pada
1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia
negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di
parlemen. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers
dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke
arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah,
pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan
nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan
negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada
perbuatan makar”. Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan
dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden.
Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara
waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto). Pada 1982 Majalah
Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye
pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh
Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia
yang merupakan informasi off the record. Pada 1984 majalah Expo setelah memuat
serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah
“melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur
manajemen penerbitan pers”. Pada 14 Februari 1984 majalah Topik akibat menulis
editorial Mencari Golongan Miskin dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden
Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung
beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan
kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan
bertanggungjawab.” Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya
setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan
pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah
Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan Detik. (http://bit.ly/LKFihu)
5

Meski UU No 11 Tahun 1966 dan perubahannya dalam UU No 4 Tahun 1967 tidak lagi mengenal perijinan,
namun perijinan pers masih diberlakukan dalam konteks transisi sambil dicabutnya ketentuan perijinan
tersebut. Namun melalui UU No 21 Tahun 1982 Pemerintah dan DPR memperkenalkan instrumen SIUPP
6
Lihat Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, Rumadi, Makalah, tanpa tahun
9

Berpegang pada Etika, Meneguhkan Kemerdekaan Pers
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menentukan secara khusus apa yang
dimaksud dengan pers dan produk pers. Ketentuan yang mengatur secara khusus ini
yang menjadi garis batas (firewall) yang membedakan antara pers dan produk pers
dengan pamflet atau cetakan atau selebaran gelap yang kerap beredar di tengah
masyarakat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka yang
dapat dikategorikan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia
Secara khusus sebuah lembaga sosial dan wahama komunikasi massa di Indonesia
untuk dapat masuk dalam kategori pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers maka kegiatan jurnalistik tersebut harus
diselenggarakan oleh sebuah Perusahaan Pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 2 jo Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selain itu, secara implisit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan pentingnya
kegiatan jurnalistik yang diselenggarakan oleh Perusahaan Pers mematuhi Kode Etik
Jurnalistik sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 4 jo Pasal 7 ayat (2) UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers dan juga dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
UU No. 40 Tahun 1999 yang pada pokoknya menyatakan, “Kemerdekaan pers adalah
kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum
yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan
setidaknya 6 fungsi pers yaitu: (1) media informasi (2) media pendidikan, (3) media
hiburan, (5) kontrol sosial dan (6) lembaga ekonomi.
Pers yang profesional bukanlah pers yang tidak salah, akan tetapi pers yang mau
mengakui kesalahan terhadap karya jurnalistik yang dihasilkannya. Kemerdekaan pers
harus ditanamkan sebagai bukan milik dari jurnalis, perusahaan pers, organisasi
perusahaan pers, apalagi organisasi jurnalis, akan tetapi kemerdekaan pers
sesungguhnya adalah milik pembaca, penonton, dan pendengar. Kemerdekaan pers
bukan untuk menjamin jurnalis dan perusahaan pers tidak dipenjara atau digugat tapi
untuk semata – mata untuk menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Untuk itu, penting bagi setiap insan pers untuk memegang teguh Kode Etik Jurnalistik
dan juga pelayanan terhadap Hak Jawab untuk dapat dinyatakan sebagai pers yang
profesional. Selain itu penting juga memahami dengan baik Kode Etik Jurnalistik dan
juga Hak Jawab sebagai “alasan pembenar” dalam menyelesaikan sengketa di
Pengadilan.
Dalam perkara perdata tercatat kasus Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto
Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif merupakan landmark decision dalam
sejarah sengketa pers di Indonesia yang diselesaikan melalui Pengadilan
(http://bit.ly/LQwbwv). Dalam kasus tersebut Mahkamah Agung berpendapat dalam
putusan sebagaimana yang tersebut di atas bahwa pers adalah lembaga masyarakat dan
sekaligus alat perjuangan nasional yang membawa dan menyampaikan pesan-pesan,
baik berbentuk pemberitaan, ulasan, maupun pandangan-pandangan yang bersifat idiil
yang komitmen dan terikat pada asipirasi, cita-cita memperjuangkan kebenaran dan
10

keadilan serta hati nurani masyrakat dan bangsa. Selain Mahkamah Agung menyatakan
dengan tegas bahwa fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi,
dihubungkan dengan tanggung jawab pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers
mka kepada masyarakat diberikan hak jawab. Dimana tujuan pemberian hak jawab
adalah agar kebebasan pers disatunafaskan dengan tanggung jawab pers.
Mengenai kebenaran atas suatu peristiwa Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa
kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang
berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan
sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara
satu kelompok dengan kelompok lain. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak
mesti merupakan kebenaran absolut
Dalam penggunaan hak jawab, Mahkamah agung berpendapat bahwa apabila
penggunaan hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan
oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena
sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari,
menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi
pemberitaan yang konfirmatif.
Pendapat – pendapat ini, yang menekankan pentingnya kepatuhan terhadap Kode Etik
Jurnalistik, Hak Jawab dan peran sentral dari Dewan Pers kemudian diikuti secara
konsisten oleh MA dalam perkara – perkara perdata melalui Putusan No 903 K/
PDT/2005
(http://bit.ly/LQwbwv),
Putusan
PN
Jakarta
Pusat
No
408/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST (http://bit.ly/KriaoC), Putusan MA No 273 PK/PDT/2008
(http://bit.ly/LQwYhb), Putusan PN Jakarta Pusat No 253/PDT.G/2007/PN.JKT.PST
(http://bit.ly/KMacRZ), Putusan PN Palu No 32/Pdt.G/2008/PN.PL jo Putusan MA No
No.1171 K/Pdt/2011 (http://bit.ly/KMaokb), dan Putusan MA No 819 K/PDT/2006
(http://bit.ly/KGoBRB).
Sementara itu dalam perkara perdata pula, ketika pers tidak lagi memegang teguh Kode
Etik Jurnalistik dan tidak mau melayani hak jawab, maka Pengadilan memandang telah
terjadi perbuatan melawan hukum. Pandangan ini dianut setidaknya dalam perkara
Irawan Santoso Vs. PT Forum Adil Mandiri dkk (http://bit.ly/MEdqHX). Mahkamah Agung
berpendapat bahwa “Bahwa alasan- alasan kasasi I dan II tidak dapat dibenarkan, Judex
Facti tidak salah menerapkan hukum, oleh karena Tergugat tidak melayani hak jawab
dan tidak mengindahkan rekomendasi Dewan Pers, karena itu Tergugat telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum”
Begitu juga dalam perkara pidana, Kasus Bambang Harymurti Vs. Negara Republik
Indonesia (http://bit.ly/LQwbwv) dapat dipandang menjadi landmark decision dalam
perkara pidana yang dihadapi oleh Pers, karena untuk pertama kalinya Mahkamah
Agung membahas secara luas keterkaitan antara Kode Etik Jurnalistik dan HaK Jawab
dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Mahkamah Agung berpendapat bahwa
perkara ini tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP sementara
tindakan yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan berdasarkan UU Pers.
Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa pemberitaan yang dibuat oleh wartawan
berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 dilindungi sebagai kemerdekaan pers yang dijamin
sebagai hak asasi warga negara. Pemuatan berita oleh terdakwa juga dinilai oleh
Mahkamah Agung telah berimbang dan cover both side, mematuhi dan memenuhi
kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik wartawan dan bantahan dari Tomy Winata juga
telah dimuat, maka pemberitaan tersebut, menurut Mahkamah Agung tidak dapat
dikategorikan sebagai berita bohong. Selanjutnya Mahkamah Agung juga berpendapat
bahwa harus ada pembuktian tentang hubungan kasualitas antara adanya ancaman atau
serangan terhadap Tomy Winata atau terhadap hak miliknya dengan pemberitaan yang
dilakukan Majalah Tempo.
11

Mahkamah Agung juga menilai filosofi yang dianut dalam UU Pers telah menempatkan
posisi pers nasional sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi, meskipun demikian
Mahkamah Agung juga menyatakan keharusan adanya improvisasi dalam menciptakan
yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga
menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah
Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan
pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam
UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP. Mahkamah Agung juga menekankan
pentingnya instrumen hukum dan kode etik pers untuk memastikan kehadiran pers
bebas dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.
Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk
pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan
pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan
daripada ketentuan hukum yang lain. Dalam kasus ini pula Mahkamah Agung
meneguhkan kembali tentang upaya penggunaan hak jawab dan pemeriksaan melalui
Dewan Pers sebagai upaya yang harus didahulukan dibandingkan melalui proses hukum
karena cara ini dipandang oleh Mahkamah Agung sebagai sendi penyelesaian sengketa
pers dalam hal pemulihan cedera akibat adanya pemberitaan yang keliru. Mengenai
unsur melawan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hukum
dalam pemberitaan pers tidak dapat digunakan ukuran unsur melawan hukum
sebagaimana yang terdapat dalam KUHP semata karena berkaitan dengan UU Pers.
Dalam perkara pidana yang lain menarik untuk melihat bagaimana MA memandang
peran penting antara keterkaitan Kode Etik Jurnalistik dan Hak Jawab. Dalam perkara
Joppie H.E. Worek Vs. Negara Republik Indonesia (http://bit.ly/Lf4vlu), MA
berpandangan “Terdakwa sebagai Pemimpin Redaksi Harian Telegraf memikul tanggung
jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para wartawan yang meliput pemberitaan; Saksi
Bupati Minahasa telah menggunakan hak jawab yang disampaikan oleh Sekretaris
Daerah tanggal 26 Januari 2001 dan telah dimuat di dalam harian yang sama pada
tanggal 29 Januari 2001; Bahwa Terdakwa selaku Pemimpin Redaksi Harian Telegraf
setelah tanggal 29 Januari 2001, masih memuat pemberitaan tersebut yang terakhir
pada tanggal 31 Januari 2001 tanpa pernah melakukan ” koreksi ” terhadap apa yang
telah dikemukakan di dalam hak jawab, karena itu perbuatan Terdakwa telah selesai;
Dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Terdakwa atau wartawan lainnya tidak
melakukan ” both Side Cover ” di dalam investigasi dan pengumpulan berita, karena itu
Terdakwa dapat dipandang sebagai telah melakukan pelanggaran kode etik pers”
Penutup
Dari keseluruhan pemaparan diatas terlihat bagaimana peran penting dari Kode Etik
Jurnalistik, pelayanan terhadap hak jawab dan juga peran sentral dari Dewan Pers.
Begitu pentingnya peran Dewan Pers maka Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan
SEMA No 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (http://bit.ly/K798Zc).
Melalui SEMA No 13 Tahun 2008 ini, Mahkamah Agung berharap agar dalam
penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya
majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah
yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Terkait dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan melihat kembali keberadaan
SEMA No 13 Tahun 2008, maka setiap jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya harus
berpegang teguh pada ketentuan Kode Etik Jurnalistik. Karena hanya itulah instrumen
yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa karya jurnalistik yang dihasilkan
bukanlah karya jurnalistik yang melanggar hukum.

12