Kemerdekaan Pers Indonesia Dalam Perspek

Kemerdekaan Pers Indonesia Dalam Perspektif HAM
Suprihatin
Prodi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS
meetitien@gmail.com

Abstrak
Untuk melihat bagaimana kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, Dewan Pers
mengadakan survei indeks kemerdekaan pers. Survei dilakukan di 24 provinsi di Indonesia, yang
dipilih berdasarkan pertimbangan keterwakilan atau representasi daerah, atau catatan tentang
kasus pers yang pernah terjadi di daerah itu. Survei dilakukan dengan menggunakan instrumen
berupa kuisioner tertutup yang diisi oleh para informan ahli dan kemudian hasilnya divalidasi
dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus. Hasil dari survei menunjukkan bahwa indeks
kemerdekaan pers saat ini berada dalam posisi sedang. Di beberapa daerah catatan indeks
kemerdekaan pers masih rendah. Tercatat lima [5] indikator utama yang dianggap oleh para
informan berpotensi mengancam kemerdekaan pers yaitu (a) independensi media dari kelompok
kepentingan [56.14] (b) tata kelola perusahaan [57.63], (c) independensi lembaga peradilan
[59.33] (d) etika pers [60.85] dan (e) kehadiran lembaga penyiaran publik [61.25].
Kata kunci: kemerdekaan pers, survei, dewan pers.

Abstract
In mid of 2017, Dewan Pers Indonesia conducted a survey of Indonesian press freedom index.

The survey was conducted in 24 provinces in Indonesia, selected based on consideration of
representation or regional representation, or press cases that have occurred in the area. Surveys
were conducted using questionnaire instrument filled by expert and then the results validated in
two times focus group discussions. The results of the survey show that the press freedom index is
currently in a sufficient position. In some regions the index of press freedom is still low. Listed
five [5] main indicators considered by informants have the potential to threaten the freedom of
the press are: (a) media independence of interest groups [56.14] (b) internal factor: corporate
governance of the media [57.63] (c) independence of the judiciary [59.33] (d) ethics of the press
[60.85] and (e) the presence of public broadcasters [61.25] .
Keywords: freedom of press, survey, Dewan Pers.

Pendahuluan
Pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia bagi beberapa kalangan
dianggap belum cukup berhasil. Indikatornya dilihat dari persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat: korupsi, penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, bertumbuhnya sikap
anti pluralisme, menjamurnya kelompok-kelompok radikal, dan berbagai persoalan sosial
lainnya. Meski rezim pemerintahan yang otoritarian sudah berhasil ditumbangkan, namun
berbagai problem sosial belum sepenuhnya berhasil ditangani oleh pemerintah. Salah satu tolok
ukur yang dapat dijadikan indikator keberhasilan pelaksanaan demokrasi adalah kemerdekaan
pers. Semakin demokratis sebuah negara, maka kondisi kemerdekaan pers di negara tersebut

semakin baik. Sebaliknya, ketika pemerintah yang sedang berkuasa menggunakan sistem
otoritarian maka sudah pasti pers di negara tersebut semakin terbelenggu. Pers yang merdeka,
akan mampu memenuhi kebutuhan warganegara atas informasi. Pers, juga dapat memfasilitasi
masyarakat menyatakan pendapatnya (giving voice to the voiceless). Kondisi pers yang sehat,
dapat membantu warga negara mengontol pemerintah dan mengawasi pejabat pemerintah yang
bekerja dalam persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup masyarakat.
Sekian tahun sudah berlalu sejak keran kemerdekaan pers dibuka pada 1999. Apakah
kondisi pers kita saat ini sudah jauh lebih baik? Indonesia sempat mendapat penghargaan sebagai
negara dengan kemerdekaan pers terbaik di Asia. Namun apakah hal itu merepresentasi kondisi
yang ada di lapangan? Sesungguhnya belum ada indikator yang memberikan gambaran lengkap
mengenai situasi kebebasan pers dan capaian-capaian yang telah dilakukan pemerintah
Indonesia. Indikator yang kerap dijadikan rujukan adalah lebih cenderung berupa gambaran
situasi kebebasan pers antarnegara. Indikator semacam itu tidak cukup memberi gambaran
spesifik mengenai elemen-elemen dari Kemerdekaan Pers yang problematis atau yang telah
tersedia dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari ranking kemerdekaan pers Indonesia yang berada
di bawah Singapura dan Malaysia yang hingga saat ini masih menerapkan hukum drakonian.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik dan mendekati fenomena di lapangan,
Dewan Pers pada periode 2010-2013 mencoba menyusun Indeks Kemerdekaan Pers. Upaya itu
dilanjutkan oleh Dewan Pers periode 2013-2016 di bawah kepemimpinan Yoseph Adi Prasetyo,
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers saat itu. Dasar berpikir yang digunakan dalam survei tersebut


adalah bahwa Kemerdekaan Pers merupakan hak asasi manusia. Hak atas kemerdekaan pers
merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam UUD 1945 dan
sejumlah UU turunannya: Undang Undang Hak Asasi Manusia no.39/1999, Undang Undang
Pers No. 40/1999, dan Undang Undang No. 12/2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik.
Bagi Dewan Pers, urgensi penyusunan IKP berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup
manusia; dimana pemenuhan hak atas informasi menjadi salah satu tolok ukur. Akhir-akhir ini
isu Kebebasan Pers semakin dianggap penting untuk masuk dalam ukuran capaian dan
keberhasilan pembangunan seperti Sustainable Development Goals (SDG’s). Di samping itu
sebagai bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Indonesia memiliki kewajiban
untuk menyampaikan laporan atas situasi kebebasan pers, dan hambatan terhadap
akses/penyebaran informasi bersama hak-hak sipil lain melalui universal periodic review (UPR)
kepada komite HAM PBB. Dalam kaitan ini, IKP bertujuan memberi gambaran bagaimana
negara berupaya menjalankan kewajibannya, sesuai hukum HAM. Pengukuran melalui indeks ini
menjadi penting karena dapat menggambarkan fenomena yang abstrak menjadi konkret melalui
kuantifikasi atau angka tertentu. Melalui model indeks, data yang beragam diukur dan
dikompilasi ke dalam ukuran-ukuran tertentu atau angka tunggal. Indeks juga dianggap
memberikan kemudahan dalam melakukan perbandingan, baik perbandingan antar waktu
ataupun antar wilayah dan negara.

Apa tujuan dilakukannya survei? Survei Indeks Kemerdekaan Pers bertujuan memetakan
dan memonitor perkembangan (progress/regress) dari pelaksanaan hak Kemerdekaan Pers.
Kedua, hasil survei dapat menjadi sarana guna meningkatkan kesadaran publik terhadap
pentingnya kemerdekaan pers. Survei IKP juga dapat membantu pemerintah mengidentifikasi
prioritas-prioritas yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kemerdekaan pers. Selain tujuantujuan tersebut hasil survei IKP dapat memfasilitasi tersedianya bahan kajian empiris untuk
advokasi Kemerdekaan Pers berbasis HAM.

Metode Survei IKP
Untuk pelaksanaan IKP 2015 yang dilaksanakan pada tahun 2016, Dewan Pers hanya melakukan
pengumpulan data dan penyusunan Indeks di 24 provinsi di Indonesia. Pemilihan locus
penelitian ini didasari kriteria dan pertimbangan berikut:
(a) Di provinsi tersebut banyak ditemukan masalah kemerdekaan pers. Indikatornya berupa
tingginya frekuensi pengaduan dari masyarakat maupun tingginya angka kekerasan terhadap pers
(dan jurnalis);
(b) Proporsionalitas antara provinsi di pulau Jawa dan luar pulau Jawa;
(c) Proporsionalitas keterwakilan Indonesia barat, tengah, dan timur;
(d) Daerah-daerah tersebut belum menjadi sasaran sosialisasi Dewan Pers terkait IKP
sebelumnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka ditetapkan beberapa lokasi penelitian yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DKI, Banten, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Maluku
Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat.
Dengan menggunakan teknik sampling purposive, survei IKP ini menyasar para informan
ahli yang dianggap memiliki kompetensi untuk memberikan penilaian secara objektif. Untuk
menjamin sikap objektif tersebut, survei ini mensyaratkan ini mensyaratkan bahwa informan
yang dijadikan informan paling sedikit memiliki pengetahuan dan atau pemahaman baik sebagai
praktisi atau sebagai akademisi/peneliti di bidang yang bersangkutan selama 5 tahun dan
memiliki kapasitas reflektif atas persoalan dalam bidang kemerdekaan pers. Dalam hal ini
koordinator di tingkat provinsi berdiskusi dengan tim peneliti untuk menentukan siapa yang
dipilih sebagai informan. Usulan koordinator peneliti kemudian didiskusikan dengan tim peneliti
nasional di Dewan Pers.
Selain dengan metode survei, pengumpulan data juga dilakukan dengan menggunakan
metode Focus Group Discussion (FGD) yang merupakan forum untuk memvalidasi informasi

yang sudah diberikan oleh para informan ahli saat survei. FGD juga bertujuan mengumpulkan
data-data sekunder yang berkaitan dengan persoalan kemerdekaan pers yang belum muncul pada
saat survei.
Metode pengumpulan data dalam survei dilakukan melalui wawancara dan pengumpulan
data sekunder. Semua informan ahli diwawancarai secara langsung dan diminta untuk menjawab
pertanyaan yang telah disediakan dengan memberi skor dengan skala 0 – 100 pada pertanyaan

yang dijawabnya, dengan kategori: a) Buruk sekali pada angka 0-30 [tidak bebas] b) Buruk pada
angka 31-55 [kurang bebas] c) Sedang pada angka 56-69 [agak bebas] d) Baik pada angka 70-89
[cukup bebas] e) Baik sekali 90-100 [bebas].
Pada survei tahun 2016 ini wawancara dilakukan terhadap 303 orang. Sementara datadata dikumpulkan oleh peneliti provinsi maupun peneliti nasional. Informan berasal dari
beraneka ragam latar belakang pekerjaan seperti advokat/pengacara, akademisi, jurnalis,
komisioner lembaga (KPU, KPID, KIP), organisasi non-pemerintah, politisi, TNI/Polri,
wiraswasta dan karyawan swasta. Di antara informan ahli ini 81.8% adalah laki-laki dan 18.2%
adalah perempuan. Tidak semua informan yang direncanakan dapat diwawancarai – sebagian
karena pindah tugas, sebagian karena tugasnya harus sering berpergian, sebagian lagi karena
dianggap tidak memenuhi syarat sebagai informan-ahli sehingga datanya harus dicabut atau
diganti dengan informan ahli lain.
Pembahasan: Hasil Survei IKP
Kemerdekaan pers sering diidentifikasi sebagai sebuah dikotomi belaka: bebas atau
‘bablas’ (terlalu bebas). Dikotomi semacam ini tidak dapat mengukur kondisi yang ada di
lapangan dan sangat asumtif. Hasil dari survei IKP menunjukkan bahwa menurut pandangan
informan ahli di daerah, aspek-aspek yang menyangkut kebebasan berserikat, kebebasan
mendirikan dan mengoperasikan perusahaan, kebebasan dari kriminalisasi dan intimidasi dari
negara terhadap media serta jurnalisme warga dipandang baik; namun persoalan-persoalan yang
menyangkut akses kelompok rentan terhadap media dan penghargaan pemerintah terhadap
profesionalisme pers masih dianggap buruk.


Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia dari hasil survei berada dalam posisi agak bebas
[62.81] pada bidang hukum, politik, dan ekonomi. Indeks Kemerdekaan Pers kumulatif di 24
provinsi di Indonesia berada dalam posisi agak bebas. Posisi ini dipandang oleh Dewan Pers
tidak cukup aman karena ‘hanya’ dua indikator-utama yang relatif aman. Ada lima [5] indikator
utama lain yang mengancam memperburuk kemerdekaan pers yaitu (a) independensi media dari
kelompok kepentingan [56.14] (b) tata kelola perusahaan [57.63], (c) independensi lembaga
peradilan [59.33] (d) etika pers [60.85] dan (e) kehadiran lembaga penyiaran publik [61.25].
Sementara sembilan [9] indikator lain yang menyangkut (a) akses kelompok rentan pada media,
(b) penghargaan pemerintah terhadap profesionalitas media dan (c) ketergantungan perusahaan
pers pada kelompok yang kuat, dianggap buruk atau buruk sekali.
Berkaitan dengan independensi media, kemerdekaan pers dibayang-bayangi persoalanpersoalan kemandirian perusahaan dari kepentingan ekonomi yang lebih kuat. Misalnya
intervensi pemilik bisnis pers dalam rapat redaksi, persoalan yang berhubungan dengan rule of
law [independensi pengadilan, impunitas, mekanisme pemulihan], dan tata kelola perusahaan

termasuk tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah. Di sisi lain pers harus berhadapan dengan
toleransi wartawan terhadap suap [amplop] dan etika pers yang belum cukup baik; serta
pemberitaan yang mengancam profesionalisme wartawan. Afiliasi media dengan partai politik
atau calon kandidat [peserta pilkada] memberi dampak buruk terhadap profesionalisme media.
Pada tahun 2015, Dewan Pers menerima ratusan kasus soal pelanggaran etik akurasi dan

keberimbangan, di mana media digunakan untuk menyerang kandidat lain atau mendukung
kandidat tertentu.
Kemerdekaan Pers Antar Provinsi
Penelitian ini menemukan data bahwa indeks kemerdekaan pers tidak terlalu merata. Kalimantan
Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau merupakan provinsi yang dianggap oleh
informan ahli ‘cukup bebas’ [antara 70-89]. Dua provinsi yang dinilai ‘kurang bebas’ adalah
Papua Barat dan Bengkulu. Sementara 18 provinsi-provinsi lainnya seperti Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Barat, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, Riau, Maluku Utara, Sulawesi Selatan
dan Sumatera Barat dianggap ‘agak bebas’. Beberapa hal yang dinilai berpengaruh membentuk

indeks positif adalah lingkungan politik dan hukum. Misalnya di Jawa Timur tidak ada perda
yang berpotensi meng’ganggu’ kemerdekaan pers. Para informan ahli juga melihat bahwa
meningkatnya tren jurnalisme warga memberi sumber informasi alternatif yang bermanfaat bagi
publik. Berbanding terbalik dengan Bengkulu yang kurang berkembang. Pada provinsi-provinsi
yang ‘kurang bebas’, terdapat beberapa indikator yang sangat problematis. Misalnya perhatian
media dan pemerintah terhadap kelompok marginal yang sangat buruk. Pemda belum melihat
kemerdekaan pers sebagai sebuah kebutuhan yang signifikan. Tantangan lain di provinsi yang
‘kurang bebas’ adalah persoalan keragaman; terutama dalam hal kepemilikan baik karena kurang
transparan maupun karena adanya perusahaan pers yang sangat mendominasi pemberitaan dan

penyebaran informasi. Ada kebutuhan informasi pada kelompok-kelompok rentan, namun belum
ada niat baik dari pengelola media maupun dari negara.
Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum
Indeks Kemerdekaan Pers yang menunjukkan level ‘sedang’, bagi kalangan pers mengindikasi
bahwa kemerdekaan pers belum sepenuhnya dicapai. Kemerdekaan pers masih dibelenggu
terutama oleh aparat dan keberterimaan pers sebagai pilar keempat negara. Sementara dari sisi
khalayak, ada anggapan bahwa pers bukan hanya bebas, namun ‘kebablasan’. Hasil penelitian
Dewan Pers memperlihatkan bahwa di beberapa daerah, pers tidak lagi dibelenggu oleh perdaperda yang membatasi kinerja jurnalis. Ini sungguh kenyataan yang melegakan.
Berbagai pers alternatif juga bertumbuhan sebagai wujud kebebasan berekspresi sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang. Namun demikian, di sisi lain masih banyak persoalan pers
yang belum dapat diselesaikan. Soal akses peliputan misalnya. Masih ada jurnalis yang
mengalami kekerasan atau dihalang-halangi saat melakukan peliputan. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mencatat sebanyak 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi sepanjang
tahun 2015. Dari 44 kasus tersebut, 14 kasus kekerasan dilakukan oleh oknum polisi. Salah satu
insiden kekerasan itu terjadi saat peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakat (Lapas)
Banceuy, Bandung. Saat itu seorang pewarta foto dari sebuah media daring (online)
mendapatkan intimidasi dari anggota Brimob Polda Jawa Barat. Foto-foto yang diambil dihapus
oleh anggota Brimob tersebut. AJI menilai tindakan yang diterima oleh jurnalis tersebut adalah
pelanggaran atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, karena telah dianggap


menghalangi kerja jurnalis. Institusi kepolisian yang seharusnya melindungi kerja jurnalistik
justru seringkali menghambat pekerjaan jurnalis.
Selain kasus-kasus kekerasan dan sulitnya mendapat perlindungan hukum saat
melaksanakan tugas, masih banyak jurnalis yang dipaksa mencari iklan di samping mencari dan
menulis berita. Sebagian besar wartawan

harus hidup di bawah kondisi sejahtera karena

perusahaan pers tempat ia bekerja tidak mampu memberi gaji layak. Kemerdekaan pers juga
terancam oleh kepentingan politik pemilik atau pemodal media yang menjadikan perusahaan
pers yang dimilikinya sebagai alat untuk mencapai ambisi kekuasaannya. Pers terancam oleh
kekuatan modal yang bahkan bersumber dari dalam dirinya sendiri. Independensi media bukan
saja harus menghadapi kendala dari eksternal sebagaimana terjadi di era orde baru. Independensi
media kini lebih terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan internal sebagai sebuah entitas
bisnis.
Media juga mesti menghadapi ancaman dari para penegak hukum yang menolak
menggunakan UU Pers dan memilih menggunakan KUHP. Pemberitaan pers yang dinilai
merugikan para pihak (damages have been done) seyogyanya diproses melalui Dewan Pers atau
pihak ombudsman dari media terkait. Proses hukum untuk pers seharusnya juga bukan sebagai
tindak perkara kriminal, namun lebih sebagai perkara perdata dengan denda yang tidak diniatkan

untuk membuat perusahaan pers tersebut bangkrut karena tuntutan yang tidak wajar.
Kriminalisasi terhadap wartawan hendaknya dilakukan jika berita yang dianggap bermasalah
digunakan untuk memeras. Atau bersumber dari informasi hasil fabrikasi, dan atau memiliki
intense of malice.
Freedom of the press atau kemerdekaan pers yang diidam-idamkan dan terus menjadi
concern Dewan Pers tahun-tahun belakangan ini sesungguhnya adalah kebutuhan kita bersama.

Kebebasan pers memungkinkan informasi yang tersebar di masyarakat menjadi beragam,
terbuka, dan transparan. Di lain pihak kondisi ini memang membawa konsekuensi baik bagi
pemerintah sebagai penyelenggara negara, legislatif, maupun bagi masyarakat sebagai konsumen
(Syah, 2014:5-6). Dalam konteks inilah kita tidak cukup siap menghadapinya. Masyarakat
menginginkan informasi yang cepat dan akurat. Namun di saat yang sama sering berlaku anarkis
jika kepentingannya terusik.

Wibowo (2009:ix) menyebut bahwa tantangan wartawan Indonesia pada abad ke-21
bermuara pada dialektika dikotomis antara idealisme wartawan dan praktik institusionalisme
pers. Idealisme wartawan merujuk pada profesionalitas kinerja individual dan pergulatan etis
wartawan ketika mengonstruksi fakta dan realita menjadi sebuah sajian yang disebut liputan
jurnalistik. Sementara praktik institusionalisme pers menggarisbawahi peran lembaga penerbit
pers tempat wartawan bekerja.
Dikotomis antara idealisme wartawan dan praktik institusionalisme pers sebenarnya
bukan problem terakhir bagi kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers kini juga terancam oleh
perkembangan teknologi dan informasi yang memungkinkan setiap orang menjadi konsumen dan
sekaligus produsen informasi. Media massa bukan lagi satu-satunya sumber informasi yang kini
tersedia tumpah ruah, hingga terkadang tak bisa lagi dibedakan dengan sampah. Media massa
agaknya perlu terus melakukan inovasi dan perubahan, menyiapkan diri menghadapi konsumen
generasi digital yang bukan hanya menuntut hak atas informasi yang akurat dan cepat, tetapi juga
etis, berdaya guna, dan memberi nilai tambah pada penghidupan. Sungguh, pekerjaan rumah
yang tak mudah.***

Daftar Pustaka
Batubara, Sabam Leo. 2008. Menegakkan Kemerdekaan Pers. Dewan Pers: Jakarta.
Tim Peneliti. 2016. Laporan eksekutif Survei Indeks Kemerdekaan Pers. Dewan Pers: Jakarta.
http://www.voaindonesia.com/a/aji-kekerasan-terhadp-jurnalis-meningkat-2015-ada-44kasus/3319524.html
Syah, Sirikit. 2015. Journalism and Its Ethics in The 21st Century. Semesta Rakyat Merdeka:
Jakarta.
___________. 2014. Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media. Elex Media
Komputindo: Jakarta.
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika . Kompas Gramedia: Jakarta.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Siapakah "Fulanan" Dalam Surah Al-Furqan Ayat 28?

5 75 2

FK-UMM Dalam Pertemuan Occupational Health di Philippines

0 56 1

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Strategi Pemasaran;'Customer Delivered Value' Cabang Pegadaian Syariah Pondok Aren Dalam Membangun Kepuasan Kepuasan Nasabah

9 90 113