DAMPAK KRIMINALISASI PERS TERHADAP KEMERDEKAAN PERS YANG BERTANGGUNG JAWAB

(1)

DAMPAK KRIMINALISASI PERS TERHADAP KEMERDEKAAN PERS YANG BERTANGGUNG JAWAB

Oleh :

YANSE OKTALIZA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

YANG BERTANGGUNG JAWAB Oleh

YANSE OKTALIZA

Regulasi dalam bentuk undang-undang tentang pers yang membatasi ruang gerak pers sejatinya memang tidak ada, namun yang dirisaukan oleh insan pers adalah terjadinya kriminalisasi yang menjadi ancaman terhadap kebebasan pers. Pengertian kriminalisasi pers bukan dimaksudkan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, melainkan dalam arti ancaman pidana yang makin keras. Pers berpendapat cara-cara mengendalikan pers dengan ancaman pidana yang lebih berat, dipandang sebagai usaha sistematik membelenggu kembali kemerdekaan pers. Permasalahan dalam tesis ini adalah apakah dampak dari kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab dan bagaimanakah bentuk kriminalisasi pers yang dapat mengendalikan kemerdekaan pers.

Metode pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif menggunakan data primer dan sekunder, data primer berupa data yang diperoleh langsung dari hasil studi dan penelitian. Serta data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Berdasarkan hasil penelitian, dampak kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab adalah dapat mengurangi upaya pers untuk mengungkap dan memberitakan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang telah merugikan negara dan masyarakat, padahal harus diakui bahwa pers memiliki peran yang sangat penting dalam upaya membongkar praktek kejahatan dan penyimpangan di negara tertentu. Nilai-nilai demokrasi akan ternafikan dan berpotensi merampas hak informasi publik. Jika hak informasi publik sudah terampas, maka akan terjadi tirani informasi dan monopoli kebenaran. Kriminalisasi hanyalah istilah yang digunakan pers, sebenarnya kriminalisasi Pers tersebut tidak tepat digunakan karena semua perbuatan yang dilakukan pers sudah ada wadahnya yang mengatur seperti hak jawab dan hak koreksi karena dari kode etik jurnalistik sebelum berita dimuat harus berkoordinasi dengan sumber.

Saran yang dapat diberikan adalah setiap komplain yang terjadi antara pihak juranlistik dan publik harus segera ditanggapi dengan serius. Perlu ditawarkan hak jawab, hak koreksi, klarifikasi, jasa ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan Pers jika terjadi konflik antara pers dan publik. Perlunya mencantumkan dalam undang-undang pers yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis.


(3)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Persetujuan ... ii

Pengesahan ... iii

Pernyataan ... iv

Riwayat Hidup ... v

Moto ... vi

Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan ... 9

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kriminalisasi... 19

B. Pengertian Pers ... 34

C. Kriminalisasi Pers ... ... 40

D. Kemerdekaan Pers ... 42

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 49

B. Sumber dan Jenis Data ... 49

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 51


(7)

Bertanggung Jawab ... 54 B. Dampak Kriminalisasi Pers terhadap Kemerdekaan Pers yang

Bertanggung Jawab ... 71

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 92 B. Saran ... 93


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara yang lebih dulu menikmati kebebasan pers di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers dalam arti yang sesungguhnya dinikmati Indonesia setelah rezim orde baru tumbang pada tahun 1998. Kebebasan pers di Indonesia pada saat itu disebut sebagai satu-satunya buah keberhasilan nyata dari gerakan reformasi 1998.

Perkembangan pers pada era reformasi ini salah satunya adalah dengan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pencabutan Undang-Undang No. 21 tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers melalui Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers yang merupakan produk hukum legislatif yang dinilai sangat demokratis. Dalam konteks Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, hukum merupakan variabel berpengaruh, kemudian konfigurasi politik sebagai variabel terpengaruh. Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers, Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers juga memuat isi pokok sebagai berikut :

1. Pasal 2 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers : Kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsif-prinsif demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.


(9)

2. Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers : Kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka penegakan keadilan dan kebenaran serta memajukan kecerdasan bangsa.

Pencabutan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 yang pada awalnya membelenggu kemerdekaan pers orde baru itu ternyata menimbulkan euforia atau kemerdekaan pers seperti tidak terkendali. Hal itu terjadi karena setiap orang bebas mendirikan penerbitan, tanpa keharusan memiliki SIUPP, serta dijamin tidak ada sensor dan pembredelan. Dampaknya, penerbitan pers tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Hal ini memungkinkan bagi setiap warga masyarakat profesional maupun amatir dapat mendirikan penerbitan.

Pers bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati keanekaragaman, tapi dalam prakteknya pemberitaan pers terjadi penyimpangan-penyimpangan misalnya untuk kepentingan organisasi tertentu, pencitraan pemilik media, menakut-nakuti untuk memeras pejabat atau orang-orang tertentu. Kebebasan ini menimbulkan kekhawatiran, terutama tampak dengan adanya kritik-kritik dari pihak pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu. Kritikan itu sangat variatif, ada yang menyoroti kelemahan-kelemahan dalam proses pemberitaan yang dianggap kurang seimbang antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pers. Pihak pers dinilai cenderung mengutamakan konsep berita yang kurang objektif, sensasional, dan sangat partisipan, kemudian dalam level etis


(10)

kemanusiaan kebebasan pers itu dinilai telah melanggar nilai dan norma moral masyarakat dan telah meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri.1

Kebebasan pers sebagaimana diuraikan diatas akan berakibat pemunduran kepercayaan orang terhadap pers, kemudian kemunduran pers sebagai industri dan yang tidak kalah penting adalah kemunduran proses persatuan dan kesatuan bangsa. Banyak orang yang mengkhawatirkan kebebasan pers di Indonesia akan berakibat bagi pemunduran bangsa. Proses pembodohan akan terkristalisasi melalui dunia pers. Berawal dari hal tersebut muncul berbagai ancaman terhadap pers seperti isu SARA, tekanan masa, bahkan legal resentment (ancaman gugatan), business interest (kepentingan bisnis), suap dan sebagainya. Satu hal yang kini menonjol sebagai ancaman adalah kekecewaan terhadap pers bebas, yang jika dicermati bisa menjadi satu opini publik luas dimasyarakat.

Kebebasan pers berputar pada perdebatan dan kontroversi antara pola kepentingan dua arah yaitu kepentingan untuk menjaga rahasia politik, keutuhan, dan kedaulatan negara, dokumen rahasia dan pola kebijakan terhadap publik, dengan kepentingan masyarakat yang menuntut partisipasi aktif dalam menyalurkan aspirasi politik dan untuk memperoleh informasi tanpa melanggar keutuhan hak kebebasan pribadi setiap individu.2

Kebebasan pers dalam memperluas informasi kepada masyarakat tanpa adanya pembatasan baik dalam bentuk regulasi maupun dengan tindakan kekerasan. Pers nasional bebas mempunyai hak untuk mencari, memperolah dan menyebarluaskan

1

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011/11.pdf diakses tanggal 16 Agustus 2013 pukul 11.50 Wib

2 Ibid


(11)

tanpa gangguan maupun sensor baik dari pemilik media itu sendiri maupun dari pihak pemerintah dalam bentuk regulasi.

Reformasi memberikan keleluasaan kepada siapa pun untuk membuat koran, majalah, atau tabloid. Pertumbuhan pers nasional yang menggembirakan itu memberikan dampak positif bagi masyarakat, karena lebih banyak dan beragam informasi dipilih. Namun sejumlah pihak menilai, kebebasan pers nasional cenderung tidak terkendali, tetapi kuantitas yang melonjak itu belum dibarengi dengan sisi kualitas dari semua perusahaan pers. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara sempat melempar data di Indonesia saat ini ada sekira 1.008 media cetak, 150 lebih media televisi, dan 2.000 lebih radio. Dari jumlah itu, hanya 30 persen media cetak dan kurang dari 10 persen media elektronik yang sehat bisnis dari segi pendapatan iklan. Imbasnya, profesionalitas dan tingkat kesejahteraan para pekerja medianya masih memilukan.3

Wartawan yang terlibat kasus pencaloan proyek atau pemerasan dengan menyalahgunaan profesi tidak sedikit jumlahnya. Hal tersebut disebabkan wartawan tidak mendapatkan upah tetap dan layak, alias miskin. Di samping praktik media yang menyerempet keluar dari kaidah-kaidah jurnalistik, ternyata dari catatan sejumlah lembaga masih banyak wartawan yang mendapat tindakan kekerasan dan diskriminasi dalam menjalankan tugas peliputan. Belakangan ini kasus kekerasan terhadap jurnalis justru meningkat sejalan kuatnya pengaruh media terhadap pergulatan politik. Data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Pers, sepanjang tahun 2009 terdapat 55 kasus. Kasus itu terdiri dari 32 kekerasan

3

http://news.okezone.com/read/2010/05/03/337/328537/wajah-pers-nasional-masih-muram diakses tanggal 27 September 2013, pukul 12.04 Wib


(12)

fisik, perampasan, hingga pembunuhan. Sementara dalam kurun Januari hingga April 2010, tercatat 28 kasus kekerasan psikis berupa larangan meliput hingga ancaman dan intimidasi.4

Kasus yang melibatkan pekerja media cukup banyak dimejahijaukan. Namun dalam praktiknya masih terjadi perdebatan dasar hukum apa yang pantas dikenakan kepada insan pers. Apakah Undang-Undang Pers atau pasal-pasal dalam KUHP. Kalangan media dan penggiat kemerdekaan berpendapat dan berekpresi memandang pengadilan terhadap hasil kerja jurnalistik lebih pantas mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan KUHP seperti yang dipakai selama ini. Sebab, UU Pers adalah lex specialis, sedangkan KUHP adalah lex generalis. Aturan hukum mengharuskan hakim memakai prinsip hukum yang lebih khusus, mengabaikan aturan lebih umum atau

lex specialis derogat lex generalis. Dengan demikian, seharusnya dalam

pengadilan yang dipakai adalah Undang-Undang Pers, bukan KHUP.

Pandangan lain ada yang mengungkapkan bahwa mengenai pemakaian KUHP untuk mengadili sengketa pers bukanlah kekeliruan. Undang-Undang Pers bukanlah lex specialis. Alhasil, banyak jaksa dan hakim yang tak segan-segan menjerat jurnalis dengan KUHP. Mereka berpandangan Undang-Undang Pers terlalu liberal yang seakan memosisikan wartawan kebal hukum. Beda pandang hukum ini seharusnya segera diakhiri dengan sikap tegas dari pemerintah, sehingga tidak menjadi polemik berkepanjangan. Pada akhirnya, pers sebagai kekuatan keempat harus ditempatkan dengan tepat dan proporsional. Bagi insan

4


(13)

pers tentunya harus terus mempertajam profesionalitas dan kapasitas dengan memperkaya nilai-nilai kearifan lokal, sehingga menjadi bagian dari kekuatan dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran, membela si kecil dari penindasan dan kesewenang-wenangan.

Regulasi dalam bentuk undang-undang tentang pers yang membatasi ruang gerak pers sejatinya memang tidak ada, namun yang dirisaukan oleh insan pers adalah terjadinya kriminalisasi yang menjadi ancaman terhadap kebebasan pers. Meskipun undang-undang pers telah begitu lama di Indonesia dan juga di beberapa negara, serta telah diatur sebagaimana disebutkan sebelumnya, namun harus diakui bahwa kajian secara ilmiah dan menyeluruh di Indonesia menyangkut hukum pers atau undang-undang pers masih sangat sedikit dan terbatas.5

Masalah kebebasan pers di Indonesia terdapat pada pertanyaan apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Salah satu bentuk kendali untuk mengendalikan kebebasan pers yang tidak terbatas adalah dengan kriminalisasi pers. Ungkapan atau sebutan kriminalisasi pers dapat salah dipahami (misleading) karena :

1. Seolah-olah ada atau akan diadakan sistem pemidanaan atau ancaman pidana yang khusus untuk pers (pidana wartawan, pidana redaksi, pidana perusahaan pers). Pemidanaan terhadap pers, hanya akibat perbuatan pers yang dinyatakan atau termasuk perbuatan yang dapat dipidana menurut

5


(14)

kaidah pidana yang berlaku juga terhadap subyek-subyek lain seperti pidana pencemaran nama baik atau kehormatan, pidana fitnah, pidana penghasutan, dan lain-lain.

2. Seolah-olah sebutan atau ungkapan kriminalisasi pers, sesuatu yang baru dalam dunia pers termasuk pers Indonesia. Pemidanaan terhadap pers akibat perbuatan yang disebutkan diatas, ada dimana-mana dan telah ada sejak dahulu kala. Meskipun UUD Amerika Serikat dengan tegas melarang Kongres mengatur mengenai pers demi menjamin kebebasan pers (Amandemen 1, 1791), tidak berarti pers memiliki kekebalan dari gugatan atau dakwaan di pengadilan.

3. Ada beberapa undang-undang nasional (undang-undang baru) antara lain undang-undang informasi dan transaksi publik, undang-undang keterbukaan informasi publik, undang-undang pornografi memuat berbagai ancaman pidana yang lebih keras dibandingkan dengan hal serupa yang diatur dalam KUHPidana. Berbagai undang-undang tersebut seperti KUHPidana berlaku pada setiap orang bukan secara khusus terhadap pers. Tetapi dapat diperkirakan, pers karena tugasnya akan paling intens bersentukan dengan berbagai ancaman pidana yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut.6

Berdasarkan dari ketiga penjelasan di atas, sangat wajar apabila kalangan pers yang paling dicemasi dari berbagai ancaman pidana yang lebih keras

6

Manan, Bagir, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Dewan Pers, Jakarta, 2010. Hlm 102


(15)

dibandingkan dengan KUHPidana yang senantiasa disebut sebagai produk kolonial, bahkan secara spesifik disebutkan sejumlah ketentuan dalam KUHP seperti dibuat demi kepentingan kolonial. Pengertian kriminalisasi pers bukan dimaksudkan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, melainkan dalam arti ancaman pidana yang makin keras. Pers berpendapat cara-cara mengendalikan pers dengan ancaman pidana yang lebih berat, dipandang sebagai suatu usaha sistematik membelenggu kembali kemerdekaan pers. Hal ini sangat nyata bertentangan dengan upaya menumbuhkan dan mendewasakan demokrasi serta UUD yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berkomunikasi.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “ Dampak Kriminalisasi Pers

Terhadap Kemerdekaan Pers yang Bertanggung Jawab“

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Dari permasalahan tesis ini, ditarik pokok-pokok persoalan sebagai berikut : a. Bagaimanakah bentuk kriminalisasi pers yang dapat mengendalikan

kemerdekaan pers ?

b. Apakah dampak dari kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab ?


(16)

2. Ruang Lingkup

Dalam hal menjaga agar penulisan tesis ini tidak menyimpang dan sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka penulis memandang perlu adanya pembatasan permasalahan. Adapun yang menjadi ruang lingkup penulisan tesis ini adalah dampak kriminalisasi pers dan bentuk dari kriminalisasi pers dalam kaitannya terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Penelitian dilakukan penulis dengan melihat fenomena-fenomena kasus mengenai pers yang terjadi di Indonesia pada umumnnya dan Kota Bandar Lampung pada khususnya.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahannya, tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis bentuk dari kriminalisasi pers yang dapat mengendalikan kemerdekaan pers.

b. Untuk menganalisis dampak dari kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dari tesis ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum, dan pengembangan kemampuan daya pikir kritis serta memberikan sumbang pemikiran bagi khasanah ilmu hukum mengenai dampak dari kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers.


(17)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis diharapkan berguna untuk memberikan sumbang saran dan pemikiran kepada masyarakat luas mengenai kemerdekaan pers yang sehat dan bertanggung jawab serta aparat penegak hukum dalam penegakan hukum khususnya dalam kriminalisasi pers.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian. Kerangka teoritis bersumber dari undang-undang, buku atau karya tulis bidang ilmu dan laporan penelitian.7

Teori yang digunakan di dalam penulisan tesis ini adalah teori-teori pers dimana pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam ia beroperasi, terutama pers mencerminkan sistem pengawasan sosial yang mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Pada pembahasan mengenai kriminalisasi pers ini, teori kriminalisasi dipakai untuk mendukung dalam menjawab permasalahan. Ada empat teori pers, yaitu :

a. Teori Pers Otoritarian

Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap

7

Muhammad, Abdulkadir,. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.2004. Hlm 73


(18)

bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang-orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan.

Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan yang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan. Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis.

Prinsif-prinsif utama teori ini adalah :

1. Media selamanya harus tunduk pada penguasa yang ada 2. Penyensoran dapat dibenarkan

3. Kecaman tidak dapat diterima oleh penguasa atau penyimpangan dari kebijaksaan resmi


(19)

b. Teori Pers Libertarian

Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.

Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.


(20)

c. Teori Pers Tanggungjawab Sosial

Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab sosial punya asumsi utama bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa.

Fungsi pers dibawah teori tanggungjawab sosial sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :

1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.

3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.

4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,

5. Menyediakan hiburan

6. mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.


(21)

Prinsif utama teori pers tanggung jawab sosial dapat ditandai sebagai berikut : 1. Media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat

2. Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, objekvitas, keseimbangan, dan sebagainya

3. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri didalam kerangka hukum dan lembaga yang ada

4. Media seyogyanya menghindarkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan yang mengakibatkan ketidaktertiban umum atau juga penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama

d. Teori Pers Soviet Komunis

Berdasarkan teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi dan jika ia diorganisir dan diarahkan. Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir. Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.


(22)

Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media. Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai. Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai. Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi. Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan

Ciri-ciri teori ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Media berada dibawah pengendalian kelas pekerja, karena itu melayani kepentingan kelas tersebut

2. Media tidak dimiliki secara pribadi

3. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat

Membahas masalah kriminalisasi, maka akan timbul dua pertanyaan, yaitu apakah kriteria yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana tertentu dan apakah kriteria yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menetapkan ancaman pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi daripada ancaman pidana terhadap tindak pidana yang lain.8

8

Rusli Effendi dkk, “Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaruan Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia. Binacipta. Jakarta. 1986. Hlm 34-35


(23)

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk:9

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai

b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia

d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Menurut Peter W. Low, dalam melakukan kriminalisasi perlu mengukur efek-efek yang mungkin timbul dari pelaksanaan kriminalisasi. Ada tiga efek yang perlu diukur, yaitu :

1. Manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada masyarakat. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu, adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga berkaitan dengan adanya fakta bahwa kriminalisasi adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya bisa dimanipulasi karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku yang dilarang.

2. Mengukur biaya kriminalisasi yang meliputi aspek pencegahan perilaku yang bernilai sosial, pengeluaran untuk penegakan, efek pada individu, efek pada privasi, efek kriminogenik, dan tarif kejahatan. Pencegahan perilaku yang bernilai sosial melalui pelarangan pidana dapat mencegah perilaku yang sah menurut hukum agar tidak masuk ke perilaku yang dilarang hukum. Besarnya efek ini bervariasi karena tidak menentunya pelarangan dan sifat instrumental perilaku yang dilarang. Pengeluaran biaya untuk penegakan hukum berkaitan dengan anggaran untuk berbagai sumberdaya yang digunakan untuk mendeteksi dan menghukum pelanggar. Pada sejumlah kasus, sumber daya yang digunakan untuk

9

Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra AdityaBhakti, Bandung, 1996. Hlm 82


(24)

penegakan hukum bagi pelanggaran tertentu paling tepat dipandang sebagai biaya kesempatan, yaitu sumber daya yang mestinya telah atau dapat digunakan untuk menegakkan hukum pidana lain.

3. Efek kriminalisasi pada individu. Tidak semua kepedihan hukuman bisa diukur dengan skala ekonomi, atau bahkan dengan skala psikologis. Namun, kita bisa mendeskripsikan efek penahanan, penuntutan, pendakwaan, dan penghukuman pada pelanggar-pelanggar individual. Ini meliputi pengurangan produktivitas yang disebabkan oleh stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan pengungkungan, dampak buruk bagi keluarga yang di tanggung, dan kerugian psikis dan fisik yang bisa terjadi sebagai akibat pemenjaraan.10

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui.11 Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang digunakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Kriminalisasi adalah tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana1 atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.12

2. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

10

Peter W. Low, dkk., Criminal Law: Cases and Materials, The Foundation Press,. Inc., New York, 1986. Hlm.1075-1080.

11

Dirjdjosiswori, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1986

12

Soekanto, Soerjono, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1981. Hlm. 62


(25)

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluranyang tersedia.13

3. Kriminalisasi pers adalah kehadiran berbagai undang-undang baru disertai ancaman pidana yang lebih berat atau lebih keras yang dapat dikenakan kepada pers14

4. Kemerdekaan pers adalah Kebebasan pers menjalankan tugas atau aktivitas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapat berita, kebebasan menahan berita, kebebasan mengolah berita, kebebasan menyusun berita, kebebasan menyiarkan berita. 15

13

Susanto, Edy, dkk, Hukum Pers di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2010. Hlm 19

14

Manan, Bagir, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Dewan Pers, Jakarta, 2010. Hlm 115

15


(26)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Kriminalisasi

Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materiil yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.15

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).16

15

Soekanto, Soerjono, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. Hlm. 62.

16 Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi Dan

Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993. Hlm. 1


(27)

Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.17

Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.18 Pengertian kriminalisasi tersebut menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.

Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut :

1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of criminal sanction

2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc

3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual maupun potensial

4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium

17

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986. Hlm. 31

18 Rusli Effendi dkk, “Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaruan

Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1986, hlm. 64-65


(28)

5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable 6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.

7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali

8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.19

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat meliputi perubahan besar dalam susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bersama dan perubahan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitas serta jiwa.20 Perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan fungsi masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung juga perubahan nilai, sikap dan pola tingkah laku masyarakat.21 Perubahan nilai pada dasarnya adalah perubahan pedoman kelakuan dalam kehidupan masyarakat. Jenis perubahan nilai dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu:

1. Perubahan nilai-nilai budaya primordial yang ditentukan oleh kelompok kekerabatan, komunikasi desa, ke suatu sistem budaya nasional .

2. Perubahan sistem nilai tradisional kepada sistem nilai budaya modern.22

Akibat perubahan sosial tersebut, perbuatan-perbuatan tertentu yang dulu dikualifikasikan sebagai perbuatan tercela atau merugikan masyarakat, kini dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan tidak tercela. Di Indonesia misalnya, tindakan mempertunjukkan alat-alat KB (Keluarga Berencana) di muka umum,

19

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang, 1995, hlm. 256

20 Koentjaraningrat, “Pergeseran Nilai

-Nilai Budaya dalam Masa Transisi” dalam BPHN, Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, Binacipta, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 25. 21

Rusli Effendi dkk, mengutip Selo Soemardjan dalam “Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaruan Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia, Binacipta. Jakarta, 1986, hlm. 64-65. 22


(29)

gelandangan dan perang tanding masih diatur dalam KUHP. Sebaliknya ada pula perbuatan-perbuatan tertentu yang dulu dikualifikasikan sebagai perbuatan yang wajar, kini berubah sifatnya menjadi perbuatan jahat, tercela dan merugikan masyarakat. Misalnya, pencemaran lingkungan, praktek monopoli dalam ekonomi, pencucian uang, dan merugikan konsumen.

1 Asas-asas Kriminalisasi

Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Asas hukum merupakan norma etis, konsepsi falsafah negara, dan doktrin politik.23 Di samping itu, asas hukum juga merupakan pikiran-pikiran yang menuntun, pilihan terhadap kebijakan, prinsip hukum, pandangan manusia dan masyarakat, kerangka harapan masyarakat.24

Menurut Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam undang-undang. Ukuran kepatutan menurut hukum dapat dicari dalam pikiran-pikiran yang ada di belakang naskah undang-undang. Sedangkan menurut Van Hoecke, asas-asas hukum adalah opsi-opsi dasar bagi kebijakan kemasyarakatan yang aktual, dan prinsip-prinsip etik hukum.25 Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan

23

Saleh, Roeslan, “Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993, hlm. 38-39.

24

Ibid., hlm. 29

25


(30)

norma hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana. Dengan kata lain, asas hukum adalah konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Ada tiga asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya, yakni asas legalitas, asas subsidiaritas, dan asas persamaan/kesamaan.

1. Asas legalitas

Asas yang esensinya terdapat dalam ungkapan nullum delictu, nulla poena sie praevia lege poenali yang dikemukakan oleh von Feurbach. Ungkapan itu

mengandung pengertian bahwa “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum

perbuatan itu dilakukan”. Asas legalitas adalah asas yang paling penting

dalam hukum pidana, khususnya asas pokok dalam penetapan kriminalisasi. Menurut Schafmeister dan J.E. Sahetapy asas legalitas mengandung tujuh makna, yaitu:26

a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang

b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi c. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan

d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa) e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana

f. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang

26


(31)

g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Dalam doktrin hukum pidana ada enam macam fungsi asas legalitas.

1. Pada hakikatnya, asas legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah lakunya.27

2. Menurut aliran klasik, asas legalitas mempunyai fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan masyarakat.28

3. Fungsi asas legalitas adalah untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara (penguasa). Hal ini adalah tafsiran tradisional yang telah mengenyampingkan arti asas legalitas sepenuhnya seperti dimaksudkan oleh ahli-ahli hukum pidana pada abad ke XVIII (delapan belas).29

4. Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana, mengharapkan lebih banyak lagi daripada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas itu diharapkan memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus menentukan

27

Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, LkiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1990, hlm. 197

28

Antonie A.G. Peters, “Main Current in Criminal Law Theorie”, in Criminal Law in Action, Gouda Quint by, Arnhem, 1986, hal. 33, dikutip dari Kamariah, “Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNPAD, Bandung, Maret 1994, hlm 43

29

Roeslan Saleh mengutip Antonie A.G. Peter, Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hlm. 28


(32)

tingkatan dari persoalan yang ditangani oleh suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak dapat dipakai lagi.30

5. Tujuan utama asas legalitas adalah untuk membatasi kesewenang-wenangan yang mungkin timbul dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi pelaksanaan dari kekuasaan itu atau menormakan fungsi pengawasan dari hukum pidana itu. Fungsi pengawasan ini juga merupakan fungsi asas kesamaan, asas subsidiaritas, asas proporsionalitas, dan asas publisitas.31

6. Asas legalitas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang disertai dengan ancaman pidana tertentu. Dengan adanya penetapan perbuatan terlarang itu berarti ada kepastian (pedoman) dalam bertingkah laku bagi masyarakat.

Keenam fungsi asas legalitas tersebut, fungsi asas legalitas yang paling relevan dalam konteks kriminalisasi adalah fungsi kedua yang berkenaan dengan fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana, dan fungsi ketiga yang berkaitan dengan fungsi mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara. Fungsi asas legalitas untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara dan fungsi untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah merupakan dimensi politik hukum dari asas legalitas.32

Keberadaan hukum pidana harus dibatasi karena hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling keras dengan sanksi yang sangat berat, termasuk sanksi pidana

30

Ibid, hlm. 35 31

Ibid, hlm. 14 32


(33)

mati. Hukum pidana digunakan hanya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang sangat vital bagi kehidupan bersama. Perbuatan-perbuatan yang perlu dikriminalisasi adalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.

Fungsi mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara juga harus menjadi fokus perhatian hukum pidana. Hukum pidana harus dapat menjamin hak-hak dasar setiap warganegara, dan pembatasan terhadap hak-hak dasar warga negara melalui instrumen hukum pidana sematamata dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar bagi semua warga negara. Fungsi asas legalitas untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara dan fungsi untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah merupakan dimensi politik hukum dari asas legalitas.33

Praktek perundang-undangan asas legalitas ternyata tidak dapat memainkan peranan untuk melindungi posisi hukum rakyat terhadap penguasa dan untuk membatasi kesewenang wenangan pemerintah di dalam membuat hukum dan proses penegakan hukum. Asas legalitas hanya berfungsi sebagai dasar hukum bagi pemerintah untuk bertindak mengatur kehidupan masyarakat melalui penetapan tindak pidana yang tidak jarang merugikan kepentingan masyarakat, terutama pada masa Orde Baru. Dengan bertambahnya tindak pidana, bukan hanya merusak dimensi kegunaan dari asas legalitas menjadi rusak, tetapi juga asas perlindungan hukum.34

33

Ibid, hlm. 28 34


(34)

Disamping berlandaskan kepada asas legalitas, kebijakan kriminalisasi juga harus berdasarkan kepada asas subsidiaritas. Artinya, hukum pidana harus ditempatkan sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas) dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen penal, bukan sebagai primum remedium (senjata utama) untuk mengatasi masalah kriminalitas. Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi mengharuskan adanya penyelidikan tentang efektivitas penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan atau perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat.

Penggunaan asas subsidiaritas dalam praktek perundangundangan ternyata tidak berjalan seperti diharapkan. Hukum pidana tidak merupakan ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium. Penentuan pidana telah menimbulkan beban terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap para justitiable dan lembaga-lembaga hukum pidana.35 Kenyataan yang terjadi dalam praktek perundang-undangan adalah adanya keyakinan kuat di kalangan pembentuk undang-undang bahwa penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang yang disertai dengan ancaman pidana berat mempunyai pengaruh otomatis terhadap perilaku anggota masyarakat.

Dalam upaya menanggulangi kasus perjudian misalnya, pemerintah mengira, bahwa dengan perubahan sanksi pidana yang ringan menjadi sangat berat bagi bandar dan penjudi, lalu perjudian menjadi lebih tertib.36 Tapi kenyataannya, perjudian tetap merajalela sampai sekarang, begitu pula halnya dengan tindak pidana lalu lintas. Dari pengalaman-pengalaman itu kemudian muncul suatu

35

Ibid, hlm 58 36

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 45


(35)

keyakinan bahwa penghukuman yang keras tidak mengendalikan kejahatan. Oleh karenanya mereka kembali menggunakan asas subsidiaritas.37

Latar belakang semakin perlunya menggunakan asas subsidiaritas dalam penentuan perbuatan terlarang didorong oleh dua faktor. Pertama, penggunaan asas subsidiaritas akan mendorong lahirnya hukum pidana yang adil. Kedua, praktek perundang-undangan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem hukum pidana akibat adanya overcriminalisasi dan overpenalisasi sehingga hukum pidana menjadi kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat. Di samping itu, overkriminalisasi dan overpenalisasi semakin memperberat beban kerja aparatur hukum dalam proses peradilan pidana. Akibat selanjutnya, hukum pidana tidak dapat berfungsi dengan baik dan karenanya pula kehilangan wibawa.38

Selain asas legalitas dan asas subsidiaritas, ada asas lain yang juga mempunyai kedudukan penting dalam proses kriminalisasi, yaitu asas persamaan/kesamaan. Kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan. Kesederhanaan serta kejelasan itu akan menimbulkan ketertiban. Menurut Servan dan Letrossne asas kesamaan bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang hukum pidana yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih jelas dan sederhana.39 Sedangkan Lacretelle berpendapat bahwa asas kesamaan tidaklah hanya suatu dorongan bagi hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga untuk hukuman pidana yang tepat.40

37

Ibid, hlm 50 38

Roeslan Saleh, Op. Cit., Asas Hukum , hlm. 48

39

Ibid, hlm 36-37

40


(36)

Asas-asas kriminalisasi tersebut ini adalah asas-asas yang bersifat kritis normatif. Dikatakan kritis, oleh karena dia dikemukakan sebagai ukuran untuk menilai tentang sifat adilnya hukum pidana, dan normatif oleh karena dia mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam bidang hukum pidana.41

2. Kriteria Kriminalisasi

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk:

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai,

b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia,

d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.42

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini, (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu

41

Ibid, hlm 14

42

M. Cherif Bassiouni, “Substantive Criminal Law”, 1978, hlm. 82. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996


(37)

perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).43

Kriteria kriminalisasi yang dikemukakan Soedarto di atas mempunyai persamaan dengan kriteria kriminalisasi hasil rumusan (kesimpulan) Simposium Pembaruan Hukum Pidana yang menyebutkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?

b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?

c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

43


(38)

d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?44

Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang perlu diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku tertentu.

b. Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan sebagai tindak pidana seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk perlindungan atau perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial dalam kepentingannya sendiri.

c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan peradilan pidana.

d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.45

Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana.

1. Penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. 2. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah jalan

yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. 3. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang

bersangkutan, betulbetul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan.46

Menurut Peter W. Low, dalam melakukan kriminalisasi perlu mengukur efek-efek yang mungkin timbul dari pelaksanaan kriminalisasi. Ada tiga (3) efek yang perlu diukur, yaitu,

44

Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 38-40.

45

Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm.. 87.

46


(39)

1. manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada masyarakat. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu, adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga

berkaitan dengan adanya fakta bahwa „kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya bisa dimanipulasi karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku yang dilarang.

2. mengukur biaya kriminalisasi yang meliputi aspek pencegahan perilaku yang bernilai sosial, pengeluaran untuk penegakan, efek pada individu, efek pada privasi, efek kriminogenik, dan tarif kejahatan. Pencegahan perilaku yang bernilai sosial melalui pelarangan pidana dapat mencegah perilaku yang sah menurut hukum agar tidak masuk ke perilaku yang dilarang hukum. Besarnya efek ini bervariasi karena tidak menentunya pelarangan dan sifat instrumental perilaku yang dilarang Pengeluaran biaya untuk penegakan hukum berkaitan dengan anggaran untuk berbagai sumberdaya yang digunakan untuk mendeteksi dan menghukum pelanggar. Pada sejumlah kasus, sumberdaya yang digunakan untuk penegakan hukum bagi pelanggaran tertentu paling tepat dipandang

sebagai „biaya kesempatan‟, yaitu sumberdaya yang mestinya telah atau

dapat digunakan untuk menegakkan hukum pidana lain. Selain aspek pencegahan perilaku yang bernilai sosial dan pengeluaran untuk penegakan, biaya kriminalisasi yang lain adalah efek kriminalisasi pada

individu. Tidak semua „kepedihan‟ hukuman bisa diukur dengan skala

ekonomi, atau bahkan dengan skala psikologis. Namun, kita bisa mendeskripsikan efek penahanan, penuntutan, pendakwaan, dan penghukuman pada pelanggar-pelanggar individual. Ini meliputi pengurangan produktivitas yang disebabkan oleh stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan pengungkungan, dampak buruk bagi keluarga yang di tanggung, dan kerugian psikis dan fisik yang bisa terjadi sebagai akibat pemenjaraan.

Komponen biaya yang lain adalah efek yang ditimbulkan kriminalisasi pada privasi seseorang. Stephen dan Devlin mengakui bahayanya mengkriminalisasi perilaku yang terjadi dalam ranah privat yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Permasalahannya adalah bahwa penegakan hukum ini mengharuskan polisi menggunakan teknik-teknik investigasi yang “intrusive” yang melanggar privasi. Selanjutnya efek kriminogenik yang timbul akibat kriminalisasi. Sejumlah


(40)

pelarangan memiliki konsekuensi kriminogenik, yaitu, menciptakan keadaan-keadaan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya aktivitas kejahatan yang tidak akan terjadi seandainya tidak ada pelarangan dalam hal tertentu.

Menurut para teoritisi pelabelan, respon resmi terhadap suatu penyimpangan, terutama melalui proses stigmatisasi dalam hukum pidana, meningkatkan kemungkinan penyimpangan lebih lanjut oleh individuindividu lain yang belum melakukannya. Ada pula biaya yang harus diukur akibat penegakan hukum yang setengah hati. Tingkat penegakan yang sesungguhnya ditentukan berdasar alokasi sumberdaya penyelidikan dan penuntutan serta prevalensi (maraknya) perilaku yang dilarang.

Di samping itu, komponen biaya lain yang harus diukur adalah tarif kejahatan. Pelarangan terhadap aktivitas komersial seperti perjudian, seks, pornografi, dan obat-obatan terlarang jelas mengurangi pasokan barang dan jasa yang dilarang, tapi sepanjang ada pembelinya, maka muncul pasar komersial gelap. Seberapa besar pelarangan bisa mengurangi aktivitas yang tidak dikehendaki sangat tergantung pada elastisitas permintaan, yaitu respon calon konsumen terhadap peningkatan harga. Tarif kejahatan mempunyai tiga konsekuensi sosial.

1. pendapatan yang sangat besar yang dihasilkan oleh illegal trafficking atas barang-barang yang dilarang tidak terkena pajak.

2. para pengusaha pasar gelap memiliki dorongan yang kuat, dan modal yang kuat untuk mengambil langkah apa pun yang diperlukan untuk melindungi investasi mereka dan mengurangi risiko penghukuman. Korupsi oleh para penegak hukum juga akan merajalela. Selain itu, tarif kejahatan yang


(41)

tinggi untuk perdagangan obat, seks, dan perjudian membentuk kondisi ekonomi yang memungkinkan organisasi kejahatan skala-besar tumbuh subur. Akhirnya, kualitas barang dan jasa haram beragam, masyarakat mendapatkan manfaat dari regulasi: pelacur tidak perlu diperiksa dan dirawat atas penyakit-penyakit kelamin yang dideritanya; pendirian tempat judi tidak dimonitor kemungkinan terjadinya praktik kecurangan; dan obat tidak diuji kemurniannya.47

B. Pengertian Pers

Pengertian tentang pers dibatasi pada pengertian pers dalam arti luas dan pengertian pers dalam arti sempit. Pers dalam arti sempit mengandung pengertian penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan atau berita dengan jalan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti luas mengandung pengertian memasukkan di dalamnya semua media (Mass Communications) yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun kata-kata lisan.48

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pers diartikan:

1. usaha percetakan dan penerbitan

2. usaha pengumpulan dan penyiaran berita

3. penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio 4. orang yang bergerak dalam penyiaran berita

47

Peter W. Low, dkk., Criminal Law: Cases and Materials, The Foundation Press,. Inc., New York, 1986, hlm.1075-1080

48


(42)

5. meduim penyiaran berita seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.49

Sedangkan dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers mengatakan, dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pers ialah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Sosiologi Kanada, Mcluhan, menyebut pers atau media massa sebagai (The

Extension Of Man), ekstensi dari manusia. Hal ini berarti bahwa komunikasi

merupakan kebutuhan kodrati manusia. Manusia butuh menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog menyerap apa yang didengar dan apa yang dilihat. Dalam proses itu manusia menyatakan dan mengembangkan kehidupannya dalam bermasyarakat. Media massa dalm hal ini sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kemudian menjadi produk budaya, yang akan terus dikembangkan masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri, maka isi pers meliputi peristiwa fisik yang membutuhkan ruang dan waktu maupun kejadian abstrak yang mengambil tempat di otak dan hati masyarakat.50

49

Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 675.

50


(43)

Landasan Hukum Pers Indonesia adalah : a. Pasal 28 UUD 1945

b. Pasal 28 F UUD 1945

c. Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM

d. Undang-undang No.39 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1 dan 2 tentang HAM e. Undang-undang No.40 Tahun 1999 dalam Pasal 2 dan 4 ayat 1 tentang

pers

Berdasarkan norma-norma keserasian sosiologis yang berpedoman kepada pancasila, pers Indonesia dalam pola berfikir dan bekerjanya tidak akan melepaskan diri dari nilai-nilai gotong royong yang telah menjadi ciri khas dari pandangan dan sikap bangsa dan masyarakat. Ciri khas Sistem Pers Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Integrasi b. Keteraturan c. Keutuhan d. Organisasi e. Koherensi

f. Keterhubungan dan ketergantungan bagian-bagiannya

Organisasi pers adalah Organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Dari organisasi ini muncullah komponen sistem pers nasional, yang di dalamnya terdapat Dewan pers sebagai lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di indonesia dan memegang peranan utama dalam membangun institusi bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Fungsi dewan pers :


(44)

a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. b. Melakukan pengkajian untuk perkembangan pers

c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode Etik Jurnalistik

d. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah e. Mendata perusahaan pers.

1. Asas Pers

Dalam Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 pasal 2 menyatakan, Kemerdekaan Pers ialah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip

Demokrasi, Keadilan, dan Supremasi Hukum. Yang dimaksud demokrasi disini

ialah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya dan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Sedangkan Keadilan diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, sehingga keadilan merupakan sifat perbuatan atau perlakuan yang adil. Dan yang terakhir supremsi hukum memberikan pandangan bahwa dimana hukum merupakan kekuasaan tertinggi atau kekuasaan teratas. 51

2. Fungsi Pers

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers menentukan bahwa fungsi pers ialah sebagai berikut:

1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

51


(45)

2. Di samping fungsi-fungsi tersebut Ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. (Lembaga ekonomi disini sesuai dengan penjelasan Pasal 3 Ayat 2 undang-undang ini ialah perushaan pers dikelola sesua dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya).

Hikmat kusumaningrat dan purnama kusumaningrat dalam bukunya Jurnalistik

Teori dan Praktek menyebutkan delapan fungsi pers yang bertanggung jawab

ialah sebagai berikut52 :

1. Fungsi imformatif, yaitu memberikan informasi atau berita kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur.

2. Fungsi kontrol yaitu masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan.

3. Fungsi interpretatif dan direktif, yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian.

4. Fungsi menghibur, yaitu para wartawan menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik.

5. Fungsi regeneratif, yaitu menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan, dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah.

6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi.

7. Fungsi ekonomi, yaitu melayani sistem ekonomi melalui iklan. Tanpa radio, televisi, majalah dan surat kabar, maka beratlah untuk dapat mengembangkan perekonomian secara pesat.

8. Fungsi swadaya, yaitu bahwa pers mempunya kewajiban untuk memupuk kemampuannya sendiri agar ia dapat mebebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan.

52

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktek, Remaja Rosda karya, Bandung, 2005. Hlm 27-29


(46)

3. Hak Pers

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menentukan bahwa hak-hak pers ialah sebagai berikut:

1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.

3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan

mempunyai hak tolak.

Dari empat hak tersebut merupakan landasan insan pers dalam menjalankan aktivitas sehari-hari demi mendapatkan informasi yang akan disampaikan ke masyarakat luas yang membutuhkan informasi-informasi terkini.

4. Kewajiban Pers

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menentukan bahwa Kewajiban Pers ialah sebagai berikut:

1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta sas praduga tak bersalah.

2. Pers wajib melayani hak jawab. 3. Pers wajib melayani hak tolak.


(47)

5. Peranan Pers

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan Pers nasional melaksanakan peranannyan sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,

akurat dan benar.

4. Melakukan pengawasan kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

C. Kriminalisasi Pers

Ungkapan atau sebutan kriminalisasi pers dapat salah dipahami (misleading) karena :

1. Seolah-olah ada atau akan diadakan sistem pemidanaan atau ancaman pidana yang khusus untuk pers (pidana wartawan, pidana redaksi, pidana perusahaan pers). Pemidanaan terhadap pers, hanya akibat perbuatan pers yang dinyatakan atau termasuk perbuatan yang dapat dipidana menurut kaidah pidana yang berlaku juga terhadap subyek-subyek lain seperti pidana pencemaran nama baik atau kehormatan, pidana fitnah, pidana penghasutan, dan lain-lain.


(48)

2. Seolah-olah sebutan atau ungkapan kriminalisasi pers, sesuatu yang baru dalam dunia pers termasuk pers Indonesia. Pemidanaan terhadap pers akibat perbuatan yang disebutkan diatas, ada dimana-mana dan telah ada sejak dahulu kala. Meskipun UUD Amerika Serikat dengan tegas melarang Kongres mengatur mengenai pers demi menjamin kebebasan pers (Amandemen 1, 1791), tidak berarti pers memiliki kekebalan dari gugatan atau dakwaan di pengadilan.

3. Ada beberapa undang-undang nasional (undang-undang baru) antara lain undang-undang informasi dan transaksi publik, undang-undang keterbukaan informasi publik, undang-undang pornografi memuat berbagai ancaman pidana yang lebih keras dibandingkan dengan hal serupa yang diatur dalam KUHPidana. Berbagai undang-undang tersebut seperti KUHPidana berlaku pada setiap orang bukan secara khusus terhadap pers. Tetapi dapat diperkirakan, pers karena tugasnya akan paling intens bersentukan dengan berbagai ancaman pidana yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut.53

Berdasarkan ketiga penjelasan diatas, wajar apabila kalangan pers yang paling mencemasi dari berbagai ancaman pidana yang lebih keras dibandingkan dengan KUHPidana yang senantiasa disebut sebagai produk kolonial, bahkan secara spesifik disebutkan, sejumlah ketentuan dalam KUHPidana seperti dibuat demi kepentingan kolonial.

53

Manan, Bagir, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Dewan Pers, Jakarta, 2010. Hlm 102


(49)

Dengan demikian, pengertian kriminalisasi pers bukan dimaksudkan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, melainkan dalam arti ancaman pidana yang makin keras. Kriminalisasi atau criminalization sebenarnya merupakan dominan legislatif untuk menentukan apakah suatu perbauatn yang sebelumnya dinyatakan bukan sebagai tindak pidana menjadi suatu pidana. Apabila suatu perbuatan telah dinyatakan menjadi suatu tindak pidana maka konsekuensi logis tentunya oleh undang-undang dapat dikenakan sanksi pidana (the rendering of an act criminal

and hence punishable by government in proceeding in its name)54

Dijelaskan dalam KUHPidana Pasal 1 Ayat (1) yaitu tidak ada perbuatan yang dapat pidana tanpa perbuatan itu sebelumnya ditetapkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang. Pandangan Van Bemmelen merupakan kutipan dari pendapat Von Feuerbach yang menyatakan:

1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege)

2. Penggunaan hukum pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine

crimine)

3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali)55

D. Kemerdekaan Pers

Kemerdekaan pers adalah kebebasan pers menjalankan tugas atau aktivitas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapat berita, kebebasan menahan berita, kebebasan mengolah berita, kebebasan menyusun berita, kebebasan menyiarkan berita. Setiap bentuk pembatasan baik pembatasan preventif atau represif yang

54

Effendy, Marwan, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, 2012, hlm 83

55


(50)

dilakukan tanpa mengikuti prinsif-prinsif atau tatanan demokrasi dan negara hukum adalah pembatasan yang sewenang-wenang dan karena itu dilarang.56

Pers adalah salah satu media tempat mewujudkan kebebasan berkomunikasi, tempat mewujudkan kebebasan berpendapat, tempat mewujudkan kebebasan berfikir, tempat mewujudkan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi yang akan mengantarkan manusia mengembangkan saling pengertian dan kemajuan serta perubahan atau dinamika yang merupakan salah satu kebutuhan dasar (kebutuhan asasi) manusia atau individu maupun masyarakat pada umumnya.57

Ada dua prinsip yang mendasar menurut filsafat jurnalistik, yaitu publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu memang dibutuhkan oleh publik. Oleh karna itu, jurnalistik memerlukan jaminan kebebasan. Ketika jurnalistik memperoleh jaminan kebebasan terbukalah jalan yang lapang untuk melaksanakan sejumlah tugasnya.58 Tugas pertama jurnalistik (pers) adalah untuk menerima keterangan-keterangan yang sifatnya paling lekas dan yang paling tepat tentang kejadian-kejadian pada waktu tertentu, dan kemudian dengan segera pula memberitakannya guna menjadikan peristiwa-peristiwa itu sebagai milik bangsa di mana pers itu berada.

Pers juga harus bersifat akurat. Upaya untuk bertindak akurat dan adil adalah tolak ukur untuk memahami watak jurnalistik yang baik. Kewajiban selanjutnya

56

Manan, Bagir, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Dewan Pers, Jakarta, 2010. Hlm 104

57

Ibid. Hlm 104 58


(51)

adalah pers harus berkata benar. Watak yang baik tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan. Jurnalistik adalah sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami perubahan dalam berhubungan dengan publik. Mudahnya terjadi pergeseran demikian adalah masalah yang menuntut keputusan yang cepat dari jurnalistik. Seterusnya, pers harus bertanggung jawab kepada public, sebab pers adalah lembaga publik. Pers harus memikul kewajiban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan yang juga mendukung keberadaannya. Pers harus mengindahkan kesopanan. Tidak hanya sopan mengenai bahasa dan gambar yang digunakan karena hukum menghendaki demikian, melainkan juga cara memperoleh berita. Wartawan yang lebih baik ialah yang mengenakan ketentuan pada tugasnya seperti juga mengenakan pada diri sendiri sensor untuk mempertahankan cita rasa yang baik dengan publiknya.59

Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketidaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidak benaran dalam sajian pers.

59


(52)

Hal terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat pemerintah adalah sebagai berikut:60

a. Interaksi harus dikembangkan sekreatif mungkin b. Negara-negara demokrasi libral Barat

c. Harus dikembangkan hubungan funsional d. Membangkitkan semangat patriotisme e. Mengembangkan kultur politik

f. Pola evolusi, reformasi,dan revolusi g. Pelaksanaannya bertahap dan selektif

h. Adanya kekurangan merupakan gejala yang harus kita terima bersama i. Hubungan kekerabatan dan fungsional

j. Otonomi masing-masing lembaga sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila k. Pers memang lahir ditengah-tengah masyarakat

l. Menurut Wilbur Schramm, pers bagi masyarakat adalah watcher, forum

and teacher (pengamat,forum,dan guru)

Membatasi atau membelenggu kebebasan pers berarti meniadakan atau menutup kesempatan pertukaran kebenaran dan meniadakan kesempatan menemukan ukuran yang benar dan tidak benar, yang baik dan tidak baik. Salah satu pilar kebebasan atau kemerdekaan demokrasi adalah freedom of opinion yang akan sangat terjamin kalau ada kemerdekaan pers. Tanpa kemerdekaan pers tidak ada

60

http://luvitaoby.blogspot.com/2012/06/contoh-makalah-pkn-tentang-peranan-pers.html diakses tanggal 19 September 2013, pukul 16:28 Wib


(53)

demokrasi atau kalaupun disebut-sebut ada demokrasi, hal itu tidak lebih dari demokrasi semu.61

Beberapa negara demokrasi menunjukan adanya persesuaian antara demokrasi dan kebebasan. Demokrasi mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebesan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi. Garis persinggungan antara demokrasi dan kebebasan pers merupakan rantai kehidupan manusia dalam dimensi politisnya yang saling interdependentif antara nilai-nilai dan kepentingan. Kebebasan pers berputar pada perdebatan dan kontroversi antara pola kepentingan dua arah, kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat.

Baik kemanusiaan maupun demokrasi adalah bagian dari sendi negara, ditambah dengan jaminan hak asasi manusia dijamun Undang-Undang Dasar, seperti kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan berkomunikasi yang menunjukan kemerdekaan pers merupakan suatu yang imperatif dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara.62 Tujuan utama pers adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri atau agar kedaulatan publik terwujud. Untuk sampai pada tujuan semacam itu, pekerjaan jurnalistik telah dikerangaki dengan suatu Professional Journalistic Work Standard, yang antara lain berisi :

1. Dasar-dasar seleksi berita, berlaku prinsif :

a. News value

b. Proximity

61

Manan, Bagir. Op.cit. Hlm 104

62


(1)

53

Kemudian diinterpretasikan secara sistematis dengan persoalan yang ada, terutama yang mengatur tentang penal mediasi dalam menunjang penyelesaian perkara pidana yang dilakukan dalam keadaan apa pun, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan. Metode yang digunakan dalam penarikan kesimpulan adalah metode induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat diberikan saran


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Dampak kriminalisasi pers terhadap kemerdekaan pers yang bertanggung jawab adalah dengan adanya kriminalisasi pers maka dapat mengendurkan upaya pers untuk mengungkap dan memberitakan penyimpangan yang dilakukan oleh pengusaha dan pihak-pihak tertentu yang telah merugikan negara dan masyarakat. Pers tidak lagi dapat kritis, dan akan berpikir seribu kali untuk menginvestigasi atau membongkar praktek kejahatan, padahal harus diakui bahwa pers memiliki peran yang sangat penting dalam upaya membongkar praktek kejahatan dan penyimpangan di negara tertentu. jika kriminalisasi ini terus berlangsung, akan terjadi pemasungan kebebasan pers. Nilai-nilai demokrasi akan ternafikan dan berpotensi merampas hak informasi publik. Jika hak informasi publik sudah terampas, maka pastilah akan terjadi tirani informasi dan monopoli kebenaran.

2. Kriminalisasi hanyalah istilah yang digunakan pers, sebenarnya kriminalisasi Pers tersebut tidak ada karena semua perbuatan yang dilakukan pers sudah ada wadahnya yang mengatur seperti hak jawab dan


(3)

93

hak koreksi karena dari kode etik jurnalistik sebelum berita dimuat harus berkoordinasi dengan sumber. Jika tidak berkoordinasi dahulu berarti sudah termasuk tindak pidana umum. Jika insan jurnalistik masih beranggapan tentang kriminalisasi pers berarti semua perbuatan pers masuk dalam tindak pidana. Jadi istilah kriminalisasi pers tersebut tidak tepat untuk digunakan. Dari sisi jurnalistik, disini kriminalisasi pers dimaksudkan sebagai kehadiran berbagai undang-undang baru yang disertai ancaman pidanan yang lebih berat dan lebih keras, yang dapat dikenakan kepada pers. Kriminalisasi pers dapat menjadi sarana membelenggu kemerdekaan pers.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Setiap komplain yang terjadi antara pihak juranlistik dan publik harus segera ditanggapi dengan serius

2. Perlu ditawarkan hak jawab, hak koreksi, klarifikasi, jasa ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan Pers jika terjadi konflik antara pers dan publik 3. Perlunya mencantumkan dalam Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999

tentang Pers yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis

4. Perlunya kerjasama yang baik antara pers dan publik agar terciptanya pemberitaan yang selaras sesuai dengan tujuan dari pemberitaan tersebut


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdullah, Ahmed An-Naim. Dekonstruksi Syari’ah. LkiS dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1990

Andrisman, Tri. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum UNILA. Bandar Lampung. 2007 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana. Ghalia Indonesia,

Jakarta. 1990

Atmasasmita, Ramli. Perbandingan Hukum Pidana. Fikahati Aneska. Bandung, 1996

Dirjdjosiswori, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1986 ---, Synopsis Kriminologi Indonesia. Mandar Maju, Bandung, 1994 Effendy, Marwan, Kapita Selekta Hukum Pidana. Referensi, Jakarta, 2012

Hamzah, Ali, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Refika Aditama, Bandung, 2006

Harapan, Krisna, Pasang Surut Kemerdekaan Pers Di Indonesia. Grafitri, Bandung, 2003

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktek, Remaja Rosda karya, Bandung, 2005

J.E. Sahetapy (Ed.), Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1996

Koentjaraningrat, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi” dalam BPHN, Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta, Jakarta, tanpa tahun

Manan, Bagir, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Dewan Pers, Jakarta, 2010


(5)

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Cipta, Jakarta,1985

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.2004

Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996

Muis, A, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa. PT.Dharu Anuttama, Jakarta, 1999

Peter W. Low, dkk., Criminal Law: Cases and Materials. The Foundation Press,. Inc., New York, 1986

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Yudhistira. Yogyakarta. 1985 Prakoso, Djoko. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Liberty Offset.

Yogyakarta. 1988

Rusli, Effendi dkk, “Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka

Pembaruan Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium Pembaruan

Hukum Pidana Nasional Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1986

Roeslan, Saleh,bAsas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Aksara Baru, Jakarta, 1981

Seno adji, Oemar, Mass Media dan Hukum. Erlangga, Jakarta, 1973

Sadono, Bambang. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Sinar Harapan. Jakarta. 1993

Soebjakto, R. Delik Pers (Suatu Pengantar). INDHILL CO. Jakarta. 1990 Soekanto, Soerjono, Kriminologi: Suatu Pengantar. Cetakan Pertama, Ghalia

Indonesia, Jakarta: 1981

---, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta, 1986 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1986

Susanto, Edy, dkk, Hukum Pers di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta, 2010 Universitas Lampung. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung,

Bandar Lampung, 2007.

Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1990


(6)

B.UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1970 tentang Dewan Pers

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 37/Pid.B/2003/PN.Jak.Sel.

C.SUMBER LAINNYA

Koran Rakyat Merdeka, Edisi 8 Januari 2002 dan Edisi 10 Januari 2002 http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011/11.pdf diakses tanggal 16 Agustus 2013 pukul 11.50 Wib

http://luvitaoby.blogspot.com/2012/06/contoh-makalah-pkn-tentang-peranan-pers.html diakses tanggal 19 September 2013, pukul 16:28 Wib

http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=46095 di akses pada Selasa, 13 Agustus 2013, pukul 21.05 Wib

http://www.antikorupsi.org/id/content/ancaman-bagi-kebebasan-pers, di akses tanggal 23 September 2013 pukul 11.38 Wib