KONSEP RADA’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARADAWI.

KONSEP RAD}A’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF
QARAD{AWI
SKRIPSI
OLEH:
CHOIRUL ANAM
NIM: C01211014

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah
Surabaya
2015

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Konsep rad}a’ah menurut Hanafiyah dan Yusuf
Qarad}awi ini adalah hasil penelitian studi pustaka (library research). Yang
bertujuan untuk menjawab: Bagaimana pandangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad}awi tentang konsep rad}a’ah ? Bagaimana persamaan dan perbedaan
pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi tentang konsep rad}a’ah ?
Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka. Selanjutnya data

tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif komparatif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: konsep rad}a’ah yang disampaikan
oleh Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi berbeda. Dalam permasalahan rad}a’ah
keduanya memiliki pemikiran yang tidak sama, bahwa rad{a’ah adalah
meneteknya seorang bayi yang berusia di bawah dua tahun kepada seorang
wanita yang bukan ibu kandungnya dan ASI tersebut sampai pada perut si bayi.
Untuk dikatakan sebagai rad{a’ah Hanafiyah tidak mengharuskan seorang bayi
menetek langsung pada puting wanita yang menyusui bisa menggunakan media
gelas atau sejenisnya asalkan air susu itu sampai pada perut si bayi. Namun
berbeda dengan Yusuf Qarad}awi yang mengharuskan proses rad{a’ah dengan cara
menetek langsung jika dengan cara selain itu maka tidak menyebabkan hukum
mah{ram dengan alasan jika tidak dengan cara menetek langsung maka tidak ada
bedanya dengan makanan lain yang tidak menyebabkan hukum mah{ram. Ada hal
lain yang juga menjadi perbedaan antara Hanafiyah Yusuf Qarad}awi yaitu dalam
hal alasan hukum rad{a’ah menyebabkan hukum mah{ram, Hanafiyah mengatakan
bahwa alasan hukum rad{a’ah adalah adanya ASI yang diberikan diserap oleh si
bayi dan menjadi daging dan menguatkan tulang si bayi, sedangkan Yusuf
Qarad}awi mengatakan bahwa alasan hukum rad{a’ah adalah sifat umumah yang
muncul dari seorang ibu susuan tatkala wanita itu meneteki bayi yang berusia di
bawah dua tahun tersebut sebagaimana sifat umumah yang biasa diberikan oleh

ibu kandung kepada anaknya sendiri.
Terkait konsep rad}a’ah yang disampaikan oleh Hanafiyah dan Yusuf
Qarad}awi, harapan penulis semoga dapat menambah ragam keilmuan terutama
dalam hal permasalahan rad}a’ah dan bisa menerapkanya dalam kehidupan nyata,
karena masih banyak yang belum memahami terkait rad}a’ah, terlebih dalam
permasalahan perbedaan para tokoh dalam masalah rad}a’ah.

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...........................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................

ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................

iii

PENGESAHAN ................................................................................................

iv

ABSTRAK ........................................................................................................

v

KATA PENGANTAR .......................................................................................

vi

DAFTAR ISI .....................................................................................................

viii


DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................

x

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...............................................

6

C. Rumusan Masalah .......................................................................

8


D. Kajian Pustaka ............................................................................

8

E. Tujuan Penelitian ........................................................................

10

F. Kegunaan Penelitian ..................................................................

10

G. Definisi Operasional ...................................................................

11

H. Metode Penelitian .......................................................................

12


I.

14

Sistimatika Pembahasan .............................................................

viii

BAB II

BAB III

BAB IV

RAD{A’AH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian rad}a’ah ......................................................................

16

B. Syarat dan Rukun rad}a’ah...........................................................


17

C. Orang-Orang yang haram dinikahi .............................................

24

D. ‘Illatul hukmi rad}a’ah .................................................................

26

RAD{A’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARAD{AWI
1.

Biografi Hanafiyah......................................................................

33

2.


Metode Istinbath Hukum Hanafiyah ..........................................

34

3.

Pemikiran Hanafiyah Tentang rad}a’ah .......................................

41

4.

Biografi Yusuf Qarad{awi ...........................................................

48

5.

Pemikiran Yusuf Qarad{awi tentang rad}a’ah ..............................


51

ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PEMIKIRAN HANAFIYAH
DAN YUSUF QARAD{AWI TENTANG KONSEP RAD{A’AH.
A. Analisis Terhadap pandangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi tentang Konsep rad}a’ah ............................................. 62
B. Analisis Terhadap Persamaan dan Perbedaan Pandangan
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi Tentang Konsep rad}a’ah ........

BAB V

64

PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................

69

B. Saran-Saran .................................................................................


70

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

71

LAMPIRAN ......................................................................................................

72

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang
lain, tidak mungkin dia hidup sendirian karena manusia dalam memenuhi
kebutuhanya selalu membutuhkan orang lain. Di samping itu masing-masing
memilki hak dan kewajiban sehingga untuk menjaga keseimbangan itu

dibutuhkan sebuah hukum untuk mengaturnya., agar tidak ada yang berbuat
semena mena antara satu dengan yang lain.
Islam adalah agama yang memiliki ajaran universal yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir yang menyempurnakan Nabi
sebelumnya, ajaran Islam sangatlah terperinci sekali dalam mengatur
kehidupan manusia. Salah satunya adalah rad{a’ah sebuah syariat yang
mengatur tentang hubungan mah{ram yang disebabkan karena susuan yang
memiliki konsekuensi hukum keharaman nikah, hal ini berdasarkan firman
Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 23:
        

        
            

          

             

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibuibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Rad}a’ah menurut bahasa adalah istilah yang menunjuk pada kegiatan
menghisap puting payudara dan meminumnya. Pengertian rad}a’ah secara
bahasa tersebut menegaskan bahwa persusuan terjadi secara langsung oleh
bayi pada puting. Namun pengertian rad}a’ah secara teknis menjadi
berkembang lebih luas, al-Suyuthi mendefinisikan rad}a’ah dengan:
sampainya air susu dari seorang perempuan atau dari benda yang dihasilkan
dari susu tersebut kedalam perut atau otak/sumsum anak-anak.
Definisi senada disampaikan oleh Abdurrahman al-Jaziri yang
menegaskan bahwa rad}a’ah adalah sampainya susu manusia kerongga anak
yang usianya tidak melewati dua tahun. Asal hukum menyusui anak adalah
sunah, namun hal ini terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu
dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada,
maka maka menyusui anak menjadi wajib.1

1

Ahamad Sawi al-maliki, Hasyiyah al-allamah as-sawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, 108-109.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Hukum ini senada dengan ketentuan Al-Qur’an yang menganjurkan
seorang ibu untuk menyusui anaknya, sebagaimana dicantumkan dalamAlQur’an surat al-baqarah ayat 233 yang berbunyi :
              
   

Artinya : dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama
dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…….2
Kata al-wa>lida>t dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan
ummahat yang merupakan bentuk jamak dari ummun. Kata ummaha>t
biasanya digunakan untuk mengungkapkan makna ibu kandung, sedangkan alwa>lida>t artinya adalah para ibu, bisa diartikan sebagai ibu kandung atau
bukan, oleh karena itu sejak dini al-Qur’an sudah menggariskan bahwa ASI
baik susu ibu kandung maupun bukan adalah konsumsi terbaik bagi bayi
sampai usia dua tahun. Karena anak merasa tenang dan tentram, sebab
menurut ilmuwan bayi ketika itu mendengar detak jantung ibunya dan sudah
mengenal sejak dalam kandungan.
Penyusuan dua tahun bukan merupakan hal yang wajib, karena bisa
dipahami dari potongan ayat Liman ara>da an yutimma ar-rad}a’ah (bagi
yang menginginkan kesempurnaan penyusuan). Akan tetapi anjuran ini sangat
ditekankan sekali, seolah olah merupakan perintah wajib. Apabila orang
tuanya menginginkan pengurangan masa tersebut tidak masalah. Tetapi

2

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya, 47.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

hendaknya jangan sampai lebih dari dua tahun, karena dua tahun sudah
dikatakan sempurna oleh Allah SWT.3
Terkait hal ini menurut jumhur ulama fiqh seorang ibu dianjurkan
menyusui anaknya, karena susu ibu lebih baik bagi anaknya dan kasih sayang
ibu dalam menyusukan anak lebih dalam. Selain itu menyusui anak
merupakan hak bagi ibu sebagaimana juga menjadi hak seorang anak. Oleh
karena itu sang ibu tidak boleh dipaksa untuk melakukan haknya, kecuali ada
alasan yang kuat yang dapat memakasa para ibu untuk untuk menyusui
anaknya.4
Batasan seseorang telah melakukan penyusuan adalah dengan menyedot
langsung dari puting susu kemudian bayi tersebut melepasnya tanpa larangan,
dengan demikian dia telah melakukan penyusuan satu kali, atau dengan cara
berpindah sendiri dari satu susu menuju susu lain, itupun dikatakan sebagai
satu kali susuan, jika dia kembali lagi brarti dia malakukan penyusuan yang
kedua kali. Meskipun tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang wanita
yang pantas untuk dijadikan ibu susuan, namun sebaiknya untuk mencari ibu
susuan yang berakhlakul karimah karena air susu itu juga akan memberikan
dampak dari sisi emosional, sehingga nantinya akan mempengaruhi
kepribadianya.
ASI merupakan makanan yang diberikan oleh Allah SWT kepada
seorang bayi melalui payudara ibunya selama dua tahun pada awal
kehidupanya. Menyusui sebaiknya dilakukan setelah kelahiran bayi dan setiap
3
4

M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol, I, 470-471.
Wahbah Zuhaily, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, Juz X, 7257.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

kali bayi menetek. Yang terpenting dan sering dilupakan dan bahkan dibuang
adalah air susu pertama kali yang keluar, di dalamnya terdapat kolostrum yang
memilki fungsi membentuk antibody dan juga mengandung zat-zat yang
bermanfaat untuk pertumbuhan sang bayi yang dalam bahasa arab disebut
liba’.5
Pembahasan yang akan disampiakan oleh penulis adalah tentang konsep
rad{a’ah menurut Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi, Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi memiliki beberapa pandangan yang berbeda dalam masalah
rad{a’ah, misalnya terkait syarat dan rukun susuan, dan perbedaan dalam
permasalahan alasan hukum adanya rad{a’ah bisa menjadikan mah}ram. Dua
pemikiran tokoh inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk membahasnya
lebih lanjut.
Menurut Hanafiyah Alasan rad{a’ah bisa menjadi mah{ram adalah
karena air susu itu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi terutama dalam hal
pembentukan tulang daging, umur dua tahun kebawah merupakan usia yang
sangat menentukan bagi seorang bayi, karena bayi sangat membutuhkan
nutrisi lebih untuk pertumbuhan tubuhnya, sehingga dari hal itu muncul
hubungan antara ibu susuan dan bayi yang menyusu yang diistilahkan dengan
mah}ram yang memiliki konsekuensi hukum si bayi diharamkan menikahi Ibu
yang menyusuinya maupun orang-orang yang ada kaitanya dengan ibu susuan.
Sedangkan pandangan Yusuf Qarad{awi tidak begitu, melainkan alasan
susuan bisa menjadikan nasab adalah karena disaat seorang ibu susuan
5

Liba’ adalah cairan kekuning kuningan yang keluar pertama kali disaat menyusui, yang
mengandung zat antibody dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh bayi.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

menyusui seorang anak maka disaat itu muncul sebuah sifat umuharah dengan si anak.
6. Kesaksian.
Adanya peristiwa penyusuan menyebabkan hubungan susuan dan
dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu.Untuk
memastikan telah terjadinya peristiwa penyusuan diperlukan adanya
kesaksian. Tentang berapa orang yang harus menyaksikan tedapat beda
pendapat dikalangan ulama. Segolongan ulama berpendapat bahwa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

kesaksian ini dapat dilakukan oleh empat orang perempuan karena tiap
dua orang perempuan menempati posisi satu laki-laki, inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Bila telah terpenuhi ketentuan
sebagaimana yang telah ditetapkan menurut perbedaan ulama diatas,
berlakulah hubungan mah{ram yang selanjutnya menyebabkan
keharaman nikah antara orang-orang yang memiliki hubungan
tersebut. Adapun perempuan yang haram dikawini untuk selama
lamanya karena hubungan susuan adalah ibu yang menyusukan dan
perempuan-perempuan yang menyusu kepada ibu itu, dan wanitawanita yang masuk dalam mah{ram karena nasab.
7. Ikrar
Menurut Madhab Hanafiyah ikrar dalam persusuan adalah
pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersamaan
atau salah satu dari mereka.Apabila ikrar itu dilakukan sebelum
menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka
menikah maka pernikahanya batal.Apabila ikrar itu dilakukan setelah
perkawinan maka mereka harus berpisah, ketika mereka memilih
enggan berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.
Menurut Malikiyah rad{a’ah dapat terjadinya dengan adanya
ikrar kedua pasangan suami istri secara bersama, atau pemberitahuan
salah satu dari orang tua mereka berdua, atau hanya dengan
pemberitahuan dari suami yang mukallaf meskipun dilakukan setelah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

akad nikah, atau pemberitahuan dari seorang istri yang sudah baligh
dan dilakukan sebelum akad.
Madhab Syafi’I menetapkan bahwa ikrar harus dilakukan oleh
dua orang laki-laki karena dianggap lebih ungul dalam ikrar.3

C. ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI
1. Ibu susuan. Termasuk dalam ibu susuan adalah ibu yang menyusukan,
yang menyusukan ibu susuan, yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya
garis lurus keatas.
2. Anak susuan. Termasuk didalamnya adalah anak yang disusukan istri;
anak yang disusukan anak perempuan; anak yang disusukan istri anak lakilaki, dan seterusnya dalam garis lurus kebawah.
3. Saudara sesusuan. Termasuk didalamnya adalah: anak ibu susuan, anak
yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan istri ayah susuan, anak yang
disusukan istri ayah susuan, yang disusuan ibu; yang disusukan istri dari
ayah.
4. Bibi susuan. Yang dimaksud disini adalah saudara dari ibu susuan, saudara
dari ibu dari ibu susuan.
5. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Meliputi anak dari
saudara sesusuan, dan seterusnya kebawah. Orang-orang yang disusukan
oleh

3

saudara

sesusuan,

yang

disusukan

anak

saudara

Wahbah Zuhayly, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz X, 7290-7293.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

sesusuan,yangdisusukan istri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus
kebawah dalam hubungan nasab dan susuan.
Hubungan susuan ini disamping berkembang pada hubungan nasab, juga
berkembang pada hubungan musa>{harah. Bila seorang ayah tidak boleh
menikahi istri dari ayah, maka keharaman ini juga menluas pada perempuan
yang disusukan oleh istri-istri dari ayah susuan.Bila seorang laki-laki tidak
boleh megawini anak dari istri, keharamann ini meluas pada perempuan yang
disusukan oleh istri.
Menurutmaz{hab empat terjadinya rad{a’ah tidak harus melalui
penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu menuju
lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka
berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam Malik dan
Hanafi harus melalui rongga mulut, sedangkan menurut Hanbali adalah
sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar.4
Menurut mayoritas ulama penyusuan yang dilakukan melalui mulut
karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung
karena adanya sifat memberi makan, karena otak memilki perut seperti
lambung, namun sifat memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang
atas, akan tetapi sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk
menimbulkan hukum mah{ram.

4

Ibid, 7283.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Dalam permasalahanrad{a’ahperbedaan yang paling mencolok antara
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi adalah ‘illatul hukmi sehingga dianggap
penting untuk memahami tentang ‘illat dan hal-hal yang berkaitan denganya.
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (al-ashl) yang sifat itu menjadi
dasar untuk menetapkan hukum ashal (al-ashl) serta untuk mengetahui
hukum pada fara’ (al-far’) yang belum hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu
adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi’) dan
adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafâsid).
Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari
pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. Hikmah hukum merupakan
pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh
manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan.
Sedang ‘Illat hukum merupakan suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada
suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.‘IlIat merupakan: “sifat dan
keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang
terjadi dan menjadi sebab hukum”, sedangkan hikmah adalah: “sebab positif
dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum”. Sebagai
contoh ialah: seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti
mengerjakan shalat z{uhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at
dansebagainya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

Hikmahnya

ialah untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan)

atau

kemadharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat
dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang
nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang
boleh mengqashar shalat.Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum, ada yang
tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut.
Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit.
Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum
ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal.
Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar
dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu ‘illat dan
sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab
seorang muslim wajib mengerjakan shalat Zhuhur, demikian pula
terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab
kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Tetapi
terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua
sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam
perjalanan) disamping ia merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab
hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum
dari ‘illat, dengan perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab,
tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan ‘illat.
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

1. Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera.
Hal ini diperlukan karena‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum pada fara’ (al-far’). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim,
terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada memakan
harta anak yatim (ashal (al-ashl)) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan
akal bahwa ‘illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara’ (al-far’)). Jika
sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak
dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal (alashl).
2. Sifat ‘illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan
bahwa ‘illat itu ada pada fara’ (al-far’), karena asas qiyas itu adalah adanya
persamaan illat antara ashal (al-ashl) dan fara’ (al-far’). Seperti pembunuhan
sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya
hakikatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap
orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum,
dengan arti bahwa keras dugaan bahwa ‘illat itu sesuai dengan hikmah
hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum
haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah
hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.
Pembunuhan d