Hilda Febrianti Renasari BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan

  etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014). Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 2.1

Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1.

   Kerusakan ginjal ( renal damage ) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

  Kelainan patologis

  • Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
  • atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ( imaging tests)
  • 2 2. selama 3 bulan,

       Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m dengan atau tanpa kerusakan ginjal

      Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG

      2

      sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m , tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014).

      14

    2. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

      Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor

      β (TFG – β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progesifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibriosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2014). Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve) , pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan atau pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi salutran kemih, infeksi saluran napas, infeksi saluran cerna, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal

      

    replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada

      keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2014).

    3. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

      Penyebab CKD diberbagai Negara hampir sama, akan tetapi akan berbeda dalam perbandingan persentasenya. CKD pada umumnya dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Fauci, 2009. Hlm 794-798):

    Tabel 2.2. Penyebab umum CKD

    • Diabetik nefropati
    • Hipertensi nefrosklerosis
    • Glomerulonefritis - Renovakular disesase (iskemik nefropati)
    • Penyakit polikistik ginjal
    • Refluk nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
    • Intersisial nefritis, termasuk nefropati analgesic
    • Nefropati uang berhubungan dengan HIV
    • Transplant allograft failure (“chronic rejection”)

      Sumber: Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition, International Edition 4.

       Penatalaksanaan

      Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Bare, 2008). Menurut Ketut Suwitra (2014) penatalaksanaan PGK meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana PGK sesuai derajatnya dijelaskan pada Tabel 2.3.

    Tabel 2.3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

      2 DERAJAT LFG (ml/mn/1,73m ) RENCANA TATALAKSANA 1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukkan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular

      2

      60 Menghambat pemburukan (progression) fungsi

    • – 89 ginjal

      3

      

    30 Evaluasi dan terapi komplikasi

    • – 59

      4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

      5 Terapi pengganti ginjal ˂ 15

      Sumber : Suwitra (2014) B.

       Hemodialisis 1. Definisi

      Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas,2003). Hemodialisis juga didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan komposisi salut darah oleh larutan lain ( cairan dialisat ) melalui membran semipermiabel ( membran dialisis ). Saat ini terdapat berbagai definisi hemodialisis, tetapi pada prinsipnya hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Suhardjono, 2014).

    2. Prinsip Hemodialisis

      Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi. Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit, dan untuk penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu larutan (meningkatkan gerakan molekul secara acak) dan berbanding terbalik dengan viskositas dan ukuran molekul yang dibuang (molekul besar akan terdifusi dengan lambat). Dengan meningkatkan aliran darah yang melalui dialiser, akan meningkatkan klirens dari zat terlarut dengan berat molekul rendah (seperti urea, kreatinin, elektrolit) dengan tetap mempertahankan gradien konsentrasi yang tinggi.

      Zat terlarut yang terikat protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena protein yang terikat tidak dapat melalui membran. Hanya zat terlarut yang tidak terikat protein yang dapat melalui membran atau terdialisis (Suhardjono, 2014).

      Ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Air dan zat terlarut dengan berat molekul kecil dapat dengan mudah melalui membran semipermeabel, sedangkan zat terlarut dengan berat molekul besar tidak akan melalui membran membran semipermeabel. Ultrafiltrasi terjadi sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif pada kompartemen darah dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembran pressure (TMP). Nilai ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan / gradien tekanan persatuan waktu. Karakteristik membran menentukan tingkat filtrasi, membran high flux mempunyai permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori

    • – pori
    yang besar sehingga mempunyai tahanan yang rendah untuk filtrasi. Permeabilitas membran diukur dengan koefisien ultrafiltrasi dengan satuan mL/ mmHg/ jam dengan kisaran antara 2

    • – 50 mL/ mmHg / jam (Suhardjono, 2014).

      Selain kemampuan difusi dan filtrasi, membran dialisis yang sintetik mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi protein seperti sitokin, interleukin, dan lain – lain. Sehingga dapat mengurangi konsentrasi interleukin dan protein lain yang terlibat dalam proses inflamasi atau sindrom uremia. Hal ini tentu sangat bermanfaat pada pasien dengan inflamasi.

      3. Tujuan

      Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil mengambil zat – zat nitrogen yang toksik dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam

    • – basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009).

      Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun demikian tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal.

      4. Indikasi dan Kontraindikasi Kidney Desease Outcome Quality (KDOQI) tahun 2015

      merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30 mL/menit/1.73m2

      (Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit Ginjal Kronik dan pilihan terapi dialisis mulai diberikan kepada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 4, termasuk pasien yang memiliki kebutuhan segera untuk dialisis. Keputusan untuk memulai perawatan dialisis pada pasien harus didasarkan pada penilaian tanda atau gejala uremia pada pasien, tanda kekurangan energi-protein, bukan pada pasien dengan stadium tertentu tanpa adanya tanda - tanda atau gejala tersebut (Rocco et al., 2015).

      Pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 5 inisiasi HD dimulai dengan indikasi sebagai berikut : a. Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan dan/ hipertensi.

      b. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi farmakologis.

      c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.

      d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat.

      e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi.

      f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa sebab yang jelas.

      g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis. h. Adanya gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.

      Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses vascular. Sedangkan untuk kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukannya kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati (Suhardjono, 2014).

    5. Quick Blood (Blood flow)

      Quick blood / Qb adalah jumlah darah yang dapat dialirkan dalam

      satuan menit (ml/menit). Daugirdas, Black & Ing (2007) mengatakan bahwa Qb merupakan salah faktor yang dapat mempengaruhi bersihan ureum. Jika Qb dinaikkan maka dialiser dapat mengeluarkan ureum dalam jumlah yang lebih banyak ke kompartemen dialisat sehingga bersihan dapat dicapai dengan optimal. Quick blood Adalah besarnya aliran darah yang dialirkan ke dalam dialiser yang besarnya antara 200-600 ml/menit dengan cara mengaturnya pada mesin dialisis. Pengaturan Qb 200 ml/menit akan memperoleh bersihan ureum 150 ml/menit, dan peningkatan Qb sampai 400 ml/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit. Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien, ditingkatkan secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam (Septiwi, 2010). Konsesus Dialisis Pernefri (2008) menyampaikan bahwa nilai Quick

      blood minimal adalah 200 – 300 ml/menit.

    C. Komplikasi Intradialisis

      Meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien yang menjalani hemodialisis akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi serta adanya berbagai perubahan pada bentuk dan fungsi sistem dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008; Knap, 2005). Menurut Daugirdas et al, (2007) Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik.

      1) Komplikasi akut

      Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daugirdas et al., 2007). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat hemodialisis atau hipertensi intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daugirdas et al., 2007).

      2) Komplikasi kronik

      Komplikasi kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi yaitu (Bieber dan Himmelfarb, 2013) : Penyakit janutng, malnutrisi, hipertensi (karena kelebihan cairan), anemia,

      

    renal osteodystrophy , neuropati, disfungsi reproduksi, komplikasi pada

      akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney

      

    disease . Daugirdas et al (2007) menyebutkan juga bahwa komplikasi

      intradialisis yang biasa dialami pasien hemodialisis kronik adalah aritmia, hemolisis, dan emboli udara.

      Berikut ini akan diuraikan tentang hipotensi, kram, pusing, nyeri dada, demam, hipertensi, aritmia, hemolisis dan emboli udara.

      a. Hipotensi Intradialisis Hipotensi intradialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik ˃

      30% atau penurunan tekanan diastolik sampai dibawah 60 mmHg yang terjadi saat pasien mengalami hemodialisis, disebabkan oleh karena penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti hipertensi (Shahgholian et al, 2008).

      Penyebab dari Hipotensi intradialisis (IDH) adalah multifaktoral. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis; Umum, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat

    • – obat anti hipertensi. Pada sisi lain, faktor – faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari
    membran dan lain

    • – lain (Shahgholian et al, 2008). Penelitian yang dilakukan Lai,dkk (2011) menyebutkan bahwa IDWG absolut dengan IDWG% berkorelasi secara signifikan terhadap hipotensi intradialisis. Walaupun hasil menunjukkan bahwa IDWG absolut lebih dominan dalam mempengaruhi kejadian hipotensi intradialisis.

      b. Kram otot Kram otot terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume ekstraseluler, Intradialytic muscle craping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah (Holley et al, 2007).

      c. Pusing (headache) frekuensi sakit kepala saat dialisis adalah 5% dari keseluruhan prosedur hemodialisis. Penelitian menunjukkan bahwa migren akibat gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang dialami oleh pasien saat hemodialisis (Teta, 2007).

      d. Nyeri dada Daugirdas, et al (2007) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis frekuensinya adalah 1- 4%. Nyeri dada saat hemodialisis terjadi akibat penurunan hemotokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan.

      e. Demam Demam selama hemodialisis adalah terjadinya peningkatan suhu tubuh selama hemodialisis lebih dari 0,5% atau suhu rectal atau aksila o

      selama dialisis lebih dari 38

      C. Mayoritas (70%) reaksi febris berhubungan dengan infeksi akses vaskuler, perkemihan dan pernafasan.

      Demam selama hemodialisis juga berhubungan dengan jenis dalisat yang digunakan dan reaksi hipersensitifitas (FMNCA, 2007).

      f. Hipertensi Intradialisis Terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat peningkatan tahanan perifer. Penelitian oleh Landry, et al (2007) menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami hipertensi terjadi peningkatan tahanan perifer vaskuler Resitence (PVR) yang signifikan.

      Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis juga akan meningkatkan resistensi vaskuler. Akibatnya curah jantung meningkat, menyebabkan peningkatan tekanan darah selama dialisis.

      g. Aritmia Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: adanya hipertensi, penyakit jantung, penarikan kalium yang berlebihan dan terapi digoxin (FMNCA, 2007).

      h. Hemolisis Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium intraseluler. Penyebabnya adalah peningkatan tekanan vena akibat adanya sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan tekanan negative yang berlebihan karena penggunaan jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi (Kallenbach et al, 2005). i. Emboli udara

      Emboli udara terjadi ketika udara atau sejumlah busa (mikrobuble) memasuki sistem peredaran darah pasien melalui selang darah yang rusak (Kallenbach et al, 2005).

      D.

      

    Penambahan Berat Badan Antara Dua Waktu Dialisis (Interdialytic

    Weight Gain) 1.

       Definisi

      Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis (Interdialytic

      Weight Gain ) adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan

      dengan peningkatan berat badan, sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2008). Penambahan berat badan di antara dua waktu dialisis (Interdialityc Weight Gain) dihitung berdasarkan berat badan kering (dry weight). Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk antara perawatan dialisis atau berat badan terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Thomas, 2003). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis, Stabler & Welch, 2000) atau tidak lebih dari 3 % dari berat badan kering (Smeltzer & Bare, 2001).

      2. Klasifikasi

      Menurut Neumann (2013) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 3% dari berat badan kering. Menurut Yetti (2001 dalam Istanti, 2009) IDWG dapat diklasifikasikan berdasarkan persentase kenaikan berat badan pasien, dimana IDWG dikatakan ringan bila penambahan berat badan <4%, IDWG sedang bila penambahan berat badan 4-6%, dan IDWG berat jika penambahan berat badan >6%. Sedangkan, Kozier (2004) mengklasifikasikan penambahan berat badan menjadi 3 kelompok, yaitu ringan 2 %, sedang 5 %, dan berat 8 %.

      Tabel 2.4 Klasifikasi Kenaikkan Berat Badan

      

    Rentang Prosentase Kenaikan Rentang Kenaikan Dalan Penelitian

    2% 0% ˂ 4% – > 6 % 5%

      4 – 6% 8% ˃ 6% (Kozier,2004) (Yetti,2001)

      3. Pengukuran Berat Badan antara Dua Waktu Dialisis (Interdialityc Weight Gain)

      IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005).

      Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Rumus :

      IDWG = (BB pre dialisis (HD II)

    • – BB post dialisis (HD I) x 100 % BB pre dialisis (HD II)

      Keterangan :  BB post dialisis (HD I) = BB pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I).

       BB pre dialisis (HD II) = BB pasien sebelum (pre) HD pada periode hemodialisis kedua (pengukuran II).

      Contoh : BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 − 54) : 58 x 100% = 6,8 % . Manifestasi dari hasil tersebut yaitu terjadi penambahan IDWG dalam kategori berat (Istanti, 2009).

    4. Komplikasi

      Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis yang ditandai dengan kelebihan cairan yang berlebihan sangat erat kaitannya dengan morbiditas dan mortalitas (Liberg, et al, 2009). Penambahan berat badan yang berlebihan diantara waktu dialisis dapat menimbulkan komplikasi dan masalah bagi pasien diantaranya yaitu : hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis, meningkatnya resiko dilatasi, hipertropy ventrikuler dan gagal jantung ( Smeltzer & Bare, 2002; Corwin, 2007; Saran et al, 2003 dalam perkin et al, 2006).

      Menurut Pace (2007), IDWG melebihi 4.8% akan meningkatkan mortalitas meskipun tidak dinyatakan besarannya. Sedangkan Gomez menyatakan bahwa IDWG yang tinggi erat kaitannya dengan cairan berlebih dan merupakan prekursor tingginya tekanan darah pre-dialisis (Gomez, 2005). Penambahan nilai IDWG yang terlalu tinggi akan dapat menimbulkan efek negatif terhadap keadaan pasien, diantaranya hipotensi, kram otot, hipertensi, sesak nafas, mual dan muntah, dan lainnya (Brunner and Suddarth, 2005). Pace (2007), mengungkapkan komplikasi overload cairan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) adalah hipertensi, edema perifer dan ascites. Suharto (2004) menyatakan bahwa penambahan berat badan karena cairan (overfluid) menjadi salah satu prognosis gagal ginjal yang mempengaruhi waktu survival. Artinya, semakin besar penambahan berat badan maka semakin rendah tingkat keselamatan.

    E. Kerangka Teori

      Gagal Ginjal Kronik (GGK)

      Interdialytic Weight

      Tindakan Hemodialisis Kejadian Komplikasi (IDWG)

      Gain

      Intradialisis

      1. Hipotensi

      2. Kram otot

       IDWG ringan < 4%

      3. Pusing

       IDWG sedang 4 - 6%

      4. Nyeri dada

       IDWG berat > 6%

      5. Sesak nafas

      6. Mual dan muntah

      7. Demam

      8. Hipertensi

    Gambar 2.1 Kerangka Teori

      Sumber : Suwitra (2014), Suhardjono (2014), Yetti (2001), (Smeltzer & Bare, 2005; Daugirdas 2007)

    F. Kerangka Konsep

      

    Variabel Bebas Variabel Terikat

    Pe

    Gambar 2.2 Kerangka Konsep G.

       Hipotesis

      Menurut Arikunto (2010) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

      a. H : Tidak ada hubungan antara interdialytic weight gain (IDWG) dengan kejadian komplikasi intradialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD PROF. dr. Margono Soekarjo.

      b. Ha : Ada hubungan antara interdialytic weight gain (IDWG) dengan kejadian komplikasi intradialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD PROF. dr. Margono Soekarjo. Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis (

      Interdialytic Weight Gain )

      Kejadian komplikasi intradialisis