Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi - Unika Repository
Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi
Penulis Prof. Dr. F. Ridwan Sanjaya, SE, S.Kom, MS.IEC
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sistem Informasi Pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 17 Juli 2017
Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi
Penulis Prof. Dr. F. Ridwan Sanjaya, SE, S.Kom, MS.IECHak Cipta ©2017 Universitas Katolik Soegijapranata Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Duwur Semarang 50234 Desain Sampul dan Perwajahan Isi: P. Anggara, PS Penerbit:
Universitas Katolik Soegijapranata Jl. Pawiyan Luhur IV/1 Bendan Duwur 50234 Telp. 024-8441555 ext. 1408, 1409 Fax. 024-8415429, 8445265 email : [email protected]
ISI DAFTAR
Daftar Isi
3 Pengantar
6 Konsep Disruptive Innovation
6 Massive Open Open Course
10 Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi
12 Inovasi Layanan dalam Pendidikan Tinggi
18 Penutup
20 Ucapan Terima Kasih
21 Daftar Pustaka
27 Riwayat Hidup
31
Orasi Ilmiah
Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi Yang terhormat Gubernur Jawa Tengah atau yang mewakili Walikota Semarang atau yang mewakili Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah Ketua dan Pengurus Yayasan Sandjojo Rektor dan para Wakil Rektor Para anggota Senat dan Guru Besar Ketua dan anggota Dewan Penyantun Para Dekan dan Wakil Dekan Para Ketua dan Sekretaris Lembaga Para Ketua dan Sekretaris Program Studi Para dosen, karyawan, dan mahasiswa Para kolega dari kalangan akademik, media massa, dunia usaha dan pemerintahan Para tamu undangan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, serta Ibunda dan handai taulan yang saya cintai
Pengantar
Ijinkan saya memulai pidato ini dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih dan karunia-Nya, saya dapat menapaki perjalanan akademik saya hingga sampai pada sejarah terpenting pada hari ini. Sekali lagi Tuhan membuktikan kasihnya yang luar biasa. Karena tanpa campur tangan-Nya, adalah hal yang mustahil saya bisa berada di mimbar ini dan mendapatkan kesempatan untuk melakukan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan Guru Besar.
Hadirin yang saya muliakan, Pidato pengukuhan yang akan saya sampaikan berikut ini, mengambil topik mengenai ”Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi”. Topik yang terkait dengan Disruptive Innovation ini sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini, bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di berbagai negara di dunia. Perubahan yang radikal melalui disruptive innovation, terutama yang terjadi dalam dunia bisnis, telah membuat banyak pemimpin bisnis gugup menghadapi perubahan peta persaingan. Beberapa perusahaan sukses menghadapi perubahan tersebut, namun banyak yang menghadapi kegagalan. Dunia pendidikan tinggi perlu bersikap dan bersiap sejak dini agar tidak terlambat dalam menghadapi perubahan akibat disruptive innovation
. Hadirin yang saya muliakan,
Konsep Disruptive Innovation
Dua tahun terakhir ini istilah Disruptive Innovation menjadi semakin populer sejak munculnya bisnis transportasi online, penginapan online, tiket online, dan sejenisnya. Meskipun istilah ini sudah mulai dikenalkan pada tahun 1995 dalam Harvard Business Review (Bower & Christensen, 1995) dan dipublikasikan dalam buku The Innovator’s Dilemma dua tahun kemudian (Christensen, 1997), pembahasan mengenai teori ini secara meluas baru muncul akhir-akhir ini. Dalam bukunya, Christensen menekankan bahwa produk dengan disruptive technology umumnya lebih murah, lebih sederhana, lebih kecil ukurannya, dan seringkali lebih nyaman untuk digunakan.
Christensen memberikan contoh sepeda motor yang dikeluarkan oleh Honda, Kawasaki, dan Yamaha merupakan disruptive innovation bagi Harley-Davidson dan BMW. Begitu juga dengan transistor dan tabung hampa (vacuum tube), komputer desktop dan mainframe, perangkat internet dan komputer, serta disk drive ukuran 3,5 inchi dan 5,25 inchi. Untuk membedakan dengan jenis inovasi lainnya, Christensen menekankan bahwa peningkatan performa secara berkelanjutan yang umumnya dilakukan oleh pemimpin pasar atas suatu produk disebut sebagai sustaining innovation
. Sedangkan inovasi yang dilakukan oleh produsen motor dari Jepang, transistor, komputer desktop, perangkat internet, dan disk drive merupakan perubahan yang mendasar, yaitu pada karakter produk. Namun produk-produk tersebut yang awalnya menyasar pada kelompok kecil pengguna ternyata justru menggantikan produk yang dikembangkan oleh pemimpin pasar. Contoh lain yang juga sering dibahas pada awal tahun dua ribuan adalah penjualan tiket pesawat AirAsia yang hanya menggunakan internet, tidak melalui agen penjualan tiket pada umumnya (Tarigan, Purbo, & Sanjaya, 2010). Pada awalnya banyak pihak yang meragukan cara penjualan tiket yang hanya menggunakan website. Namun justru karena keberadaan website sebagai satu-satunya media penjualan, AirAsia berhasil menerapkan konsep Low Cost Carrier yang efektif sekaligus menarik minat pembeli sejak satu tahun sebelumnya. Kemampuan untuk memangkas perantara telah berhasil menurunkan biaya secara signifikan. Harga tiket yang murah namun meningkat secara bertahap sesuai dengan ketersediaan kursi dan promosi yang dilangsungkan secara real time berhasil membuat penumpang dari berbagai negara rela berburu tiket setelah jam 12 malam dengan jadwal terbang satu tahun sesudahnya. Makanan di dalam pesawat yang semula menjadi beban bagi maskapai penerbangan, bisa menjadi pendapatan bagi perusahaan bahkan sejak penumpang belum masuk pesawat. Begitu pula dengan posisi kursi yang dapat dipilih dengan menambahkan biaya tertentu. Selain itu, penumpang juga diminta untuk melakukan check-in dan mencetak boarding pass secara mandiri. Dengan begitu, tenaga dan lama kerja petugas yang melayani check-in
, serta antrian penumpang dapat dikurangi. Dalam diskusi dengan General Manager kantor Garuda Indonesia di Bangkok ketika saya kuliah S2 pada tahun 2005-2006, Singgih Prawatyo menerangkan bahwa penggunaan tenaga dari maskapai penerbangan lain untuk melayani check-in terbukti lebih murah dibandingkan merekrut tenaga dari Indonesia atau merekrut tenaga lokal sebagai karyawan tetap yang melayani check-in. Namun panjangnya antrian dan lamanya mereka bekerja pada saat pelayanan check-in berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam setiap jamnya. Dengan mempersingkat waktu layanan melalui keterlibatan dan partisipasi konsumen secara mendiri melalui layanan self check-in, maskapai penerbangan dapat menekan biaya tenaga kerja yang harus dan meningkatkan efisiensi, terutama bagi low cost carrier (Buhalis, 2004). Bahkan saat ini sudah banyak maskapai penerbangan yang rela melakukan investasi pada kiosk untuk layanan check-in secara mandiri karena terbukti dapat menekan biaya, sekaligus membangun kesan handal dalam layanan elektronik (Chang & Yang, 2008).
Berbagai inovasi dalam teknologi ini juga memunculkan efek samping dalam bentuk perubahan peta pasar seperti yang terjadi di Singapura. Pada pertengahan tahun 2016 beberapa media melaporkan bahwa mulai tahun 2014 telah terlihat gejala bahwa Orchard Road Singapura tidak lagi menjadi surga belanja karena turunnya minat belanja seiring dengan perlambatan ekonomi dan diikuti dengan penutupan sebagian besar toko sehingga menjadikannya semakin sepi dan tidak menarik. Menariknya, perilaku konsumen dalam berbelanja di situs online justru meningkat (Pereira & Kitano, 2016; Singh, 2016; Smalani, 2016). Namun masyarakat Singapura sepertinya tidak membiarkan kematian surga belanja mereka dengan mendorong pemerintah untuk lebih banyak menyelenggarakan event, mendorong ruang komunitas (Boon, 2017; Chan, 2017), dan menggabungkan teknologi ke dalam penjualannya. Dalam acara Great Singapore Sale pada awal Juni 2017, turut diluncurkan aplikasi GoSpree mobile app (Tay, 2017) yang memungkinkan pembeli mengunduh eCoupon dalam bentuk QR Code dan menunjukkannya agar mendapatkan diskon ataupun hadiah.
Gambar 1. Iklan dan tampilan aplikasi GoSpree mobile app. Sumber: takashimaya.com.
sg, GoSpree Google Play Usaha-usaha tersebut dipandang positif karena tetap mengutamakan kemudahan, kenyamanan, dan keberpihakan pada konsumen. Hal ini tentunya berbanding terbalik jika meminta regulator untuk melakukan hambatan-hambatan dalam membendung inovasi atau bahkan melakukan kekerasan dalam menghadapi persaingan. Cepat atau lambat perubahan akan terjadi.
Hal-hal tersebut mengingatkan saya pada presentasi salah satu mata kuliah bisnis di tahun 2000. Pada saat itu, konsep bisnis e-commerce yang saya presentasikan menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat di antara teman-teman sekelas. Argumentasi bahwa pembeli tidak dapat memegang produk secara langsung, tidak dapat berbicara dengan penjual secara langsung, dan tidak dapat menawar harga merupakan hal yang tidak mungkin terjadi. Namun saat ini kita sama-sama menemukan bahwa semua hal tersebut menjadi tidak lagi menjadi syarat bagi generasi sekarang dalam melakukan transaksi secara online. Mereka melakukan pembelian berdasarkan gambar, perbandingan harga, merek, dan ulasan atau kepercayaan pembeli lainnya (Bilgihan, 2016). Dalam penelitian perilaku generasi millenial, ditemukan bahwa mereka umumnya membuat keputusan secara cepat berdasarkan ulasan yang tersedia (Taylor, 2012). Jika ternyata tidak memuaskan, maka mereka akan menuliskan pengalamannya di dalam kolom ulasan. Dalam waktu singkat, bisnis yang tidak dapat memberikan layanan dengan baik akan segera ditinggalkan oleh konsumennya.
Agar tidak tertelan oleh jaman, sudah banyak bisnis konvensional yang menambahkan penjualan online dalam kanal bisnis mereka. Hal ini bukan saja dilakukan oleh toko-toko retail saja, tetapi juga minimarket, supermarket, hipermarket, perusahaan pemilik merek, bisnis pesawat terbang, dan media massa. Bahkan dengan berkembangnya jasa transportasi berbasis online, pengiriman produk makanan telah mempercepat pertumbuhan bisnis online dan menghasilkan bisnis-bisnis baru baik oleh rumah makan atau rumahan. Adaptasi terhadap perubahan teknologi juga mulai dilakukan oleh taksi dengan bergabung ke dalam aplikasi transportasi online yang sudah ada dan membuat aplikasi sendiri. Dengan begitu, pelanggan menjadi lebih pasti dalam hal biaya dan dapat memantau kedatangan taksi. Tetapi dalam bisnis, keunggulan komparatif menjadi syarat dalam bersaing. Karena itu, solusi untuk mengatasi permasalahan bisnis taksi konvensional saat ini tidak hanya cukup dengan bergabung ke dalam aplikasi atau membuatnya menjadi online, tetapi juga dengan mengubah konsep bisnis agar lebih efisien dalam pembiayaan dan efektif dalam memberikan jasa pelayanan. Hadirin yang saya muliakan,
Massive Open Online Course
Menurut Christensen (1997), kegagalan yang dihadapi oleh sebuah organisasi seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan dalam membedakan sustaining technologies dan disruptive technologies. Organisasi harus dapat memilah mana yang termasuk ke dalam kedua jenis teknologi yang dimaksudkan. Dalam sustaining technologies
, peningkatan performa dari produk yang sudah ada menjadi fokus yang dituju. Biasanya dikembangkan oleh mereka yang menjadi pemimpin pasar, pemilik bisnis sukses, dan mempunyai ketergantungan pada mitra lain yang menguntungkan. Sehingga yang dikembangkan adalah hasil praktek bisnis yang baik dari mendengar keinginan konsumen. Sedangkan dalam disruptive technologies
, organisasi seringkali tidak menghasilkan performa yang baik dalam jangka pendek karena tidak memenuhi kebutuhan saat ini namun memenuhi kebutuhan lain dengan fitur yang spesifik. Meskipun karakteristik Perguruan Tinggi tidak sama dengan perusahaan bisnis, konsep disruptive innovation juga dapat diterapkan secara selektif di dalamnya. Dalam pendidikan tinggi, kursus secara online atau Massive Open Online Course (MOOC) sering disebut-sebut sebagai bentuk disruptive innovation yang dimaksudkan oleh Christensen. Selain itu, juga muncul istilah Small Private Online Course
(SPOC) dengan jumlah siswa yang lebih terbatas sehingga dapat dikelola oleh dosen yang menjadi fasilitator. Beberapa contoh MOOC yang sudah dikenal masyarakat antara lain edX (edx.org), Udacity (udacity.com), Udemy (udemy.com), dan Coursera (coursera.org). Berbeda dengan Udacity, Udemy, dan Coursera, edX menawarkan kelasnya secara gratis kepada siswanya. Di Indonesia, situs indonesiax. co.id yang didirikan pada tahun 2015 memiliki tujuan yang sama dengan edX.
Gambar 2. Situs Massive Open Online Course di edx.org Meskipun istilah MOOC mulai dikenalkan pada tahun 2008 oleh Dave Cormier dari University of Prince Edward Island di Canada (Kaplan & Haenlein, 2016) dan dideklarasikan oleh New York Times pada tahun 2012 sebagai tahunnya MOOC (Pappano, 2012), pembelajaran secara online (online learning) telah ada sejak lama dan diterapkan baik sebagai pengganti kelas, tambahan dalam kelas, maupun digabungkan dalam bentuk hybrid/blended learning (Garrison & Kanuka, 2004). Dalam prakteknya, bahkan YouTube dan situs-situs penyimpanan presentasi telah lama menjadi rujukan pengguna internet untuk mempelajari pengetahuan atau memenuhi keingintahuannya terhadap suatu hal. Anak-anak generasi millenial bahkan telah menggunakannya sejak usia dini (Sanjaya, 2016). Sedangkan awal tahun 1998, Brainbench.com yang sebelumnya bernama Tekmetrics.com telah lebih dulu memberikan layanan berupa ujian untuk sertifikasi online atas pengetahuan yang dikuasai di bidang Teknologi Informasi.
Terkait dengan pemanfaatannya di dunia pendidikan tinggi, Assumption University di Thailand mulai mendirikan pendidikan berbasis internet pada tahun 2002 dan menawarkannya ke masyarakat secara internasional pada tahun 2005 (Anaraki & Htun, 2015) melalui College of Internet Distance Education (CIDE) yang berganti nama pada tahun 2012 menjadi Graduate School of eLearning (GSeL). Sedangkan di Indonesia, pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi berupa Permendikbud RI No 109 Tahun 2013 untuk menggantikan Permendikbud No 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Dalam regulasi tersebut, pemerintah mensyaratkan adanya kampus-kampus satelit atau Unit Sumber Belajar Jarak Jauh (USBJJ) di beberapa kota yang digunakan untuk mempermudah mahasiswa dalam belajar beserta syarat kehadiran yang sama dengan kuliah tatap muka.
Dalam waktu-waktu mendatang, keberadaan kampus-kampus satelit akan menjadi tidak relevan seiring dengan peningkatan kecepatan internet dan jangkauan akses internet. Begitu pula dengan syarat kehadiran yang dapat dengan mudah digantikan dengan teknologi. Evolusi pembelajaran secara online saat ini belum usai dan sedang mencari bentuk yang sesuai, bahkan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di masing-masing negara. Namun pertanyaan yang mendasarnya adalah apakah MOOC merupakan satu-satunya disruptive innovation dalam pendidikan tinggi? Apa saja yang harus dipersiapkan agar tidak pendidikan tinggi saat ini dapat menyesuaikan dengan perubahan teknologi? Agar nantinya kita di dunia pendidikan tinggi tidak tergantikan secara tiba-tiba karena terlambat melakukan adaptasi. Apalagi menurut Garrison, adopsi teknologi informasi dalam proses pembelajaran merupakan hal yang tidak terhindarkan (Garrison & Kanuka, 2004). Hadirin yang saya muliakan,
Disruptive Innovation
dalam Pendidikan Tinggi Dalam konteks Kanada (Archer, Garrison, & Anderson, 2013), perguruan tinggi tidak mempunyai masalah yang sama dengan perusahaan bisnis karena hampir tidak ada kompetisi, pasar dengan pemasok terbatas (captive market), dampak dari komunikasi klien dengan dosen tidak berdampak serius asalkan memenuhi standar kinerja minimal, dan keuangan dosen tidak secara langsung terpengaruh dari aktivitas kinerja pengajarannya. Karena itu, disruptive innovation yang diusulkan lebih mengarah pada pembelajaran jarak jauh untuk kelas ekstensi atau continuing studies
, dengan karakteristik kemudahan, pasar yang tidak luas, dan belum tentu diminati oleh perguruan tinggi yang ada saat ini. Di Inggris (Flavin, 2012), perguruan tinggi melakukan investasi yang cukup signifikan untuk teknologi digital dalam pembelajaran dan pengajaran. Penyediaan Virtual Learning Environments (VLEs) saat ini merupakan hal yang umum di dunia pendidikan tinggi. Menurut Flavin, disruptive technologies harus bisa menawarkan teknologi yang mengganggu kebiasaan yang umum dilakukan saat ini. Penggunaan VLE telah mengganggu praktek pengajaran konvensional yang ada. Meskipun tujuannya untuk meningkatkan pengajaran, sedikit gangguan dalam praktek pengajaran telah terjadi. Penggunaan Wikipedia telah mengganggu bisnis ensiklopedia dalam menyajikan pengetahuan dan cara orang-orang mendapatkan informasi secara cepat. Apabila di masa mendatang jaminan dan prosedur penambahan konten di Wikipedia menjadi lebih baik, bukan tidak mungkin Wikipedia akan semakin bisa digunakan sebagai bahan rujukan. Dalam buku The Innovative University, Christensen & Eyring (2011) menekankan bahwa perguruan tinggi perlu memikirkan kembali keseluruhan model pendidikan tinggi melalui disruptive technology serta menawarkan cara-cara baru terkait dengan kurikulum, fakultas, pendaftaran, retensi mahasiswa, tingkat kelulusan, pemanfaatan fasilitas kampus, dan isu mendesak lainnya. Teknologi memungkinkan penyederhanaan terhadap masalah dan kebutuhan yang ada di dalam perguruan tinggi. Keberadaan teknologi dapat dimanfaatkan untuk personalisasi pembelajaran. Melalui bukunya Disrupting Class, Christensen, Johnson, & Horn (2017) menjelaskan bahwa disruptive innovation yang digambarkan oleh Christensen juga terkait dengan kustomisasi pembelajaran untuk setiap individu yang berbeda. Personalisasi pembelajaran elektronik yang dimaksudkan Christensen merupakan salah satu topik penelitian saya, Dr. Cecilia, dan Dr. Bernard dalam beberapa tahun ke depan.
Bagi Unika Soegijapranata, inovasi perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang asing. Sebagai Wakil Rektor dengan latar belakang pendidikan di bidang komputer, saya mendapatkan kepercayaan dari Prof Budi Widianarko selaku Rektor Unika Soegijapranata untuk menerapkan berbagai teknologi yang bermanfaat bagi kampus ini. Sebagai contoh, dalam menjawab kebutuhan mahasiswa, orangtua, dan dosen di lingkungan kampus akan berbagai informasi penting di universitas secara real time, pada akhir April 2015 Unika Soegijapranata meluncurkan aplikasi Unika Menyapa (Luhur, 2015a). Sebelumnya, akses informasi dilakukan secara konvensional melalui papan pengumuman, website, dan surat. Dengan adanya program berbasis Android tersebut, pengguna aplikasi secara otomatis akan menerima informasi terbaru mengenai jadwal penting universitas, kegiatan yang sudah terlaksana ataupun yang akan datang di tingkat universitas dan program studi, pengumuman-pengumuman, informasi peluang untuk mahasiswa, buku- buku terbaru perpustakaan, akses ke dalam sistem informasi akademik, dan pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) secara online. Dengan keberadaan aplikasi tersebut, pengguna tidak perlu mencari informasi di papan pengumuman, website, ataupun menunggu surat dari kampus, melainkan aplikasi yang mendatangi pengguna ketika ada informasi terbaru. Dengan semakin umumnya penggunaan ponsel cerdas saat ini, Unika Menyapa mengubah kebiasaan mahasiswa, orangtua, dan dosen dalam mendapatkan informasi secara cepat dan akurat.
Gambar 3. Tampilan Aplikasi Unika Menyapa Selain itu, Unika Soegijapranata menambahkan QR Code di dalam ijazah lulusan pada awal September 2015 untuk mempermudah perusahaan dalam melakukan verifikasi keasliannya (Luhur, 2015b). Jika semula perusahaan harus melakukan kontak ke universitas untuk memastikan keaslian ijazah, maka saat ini mereka dapat melakukannya sendiri dengan memindai (scan) QR Code yang ada di dalam ijazah dengan memanfaatkan aplikasi pembaca QR Code yang dapat dipasang di semua ponsel cerdas. Sistem Informasi di dalam Unika Soegijapranata selanjutnya akan menginformasikan nama dan informasi alumni yang terkait. Perusahaan dapat membandingkan informasi tersebut dengan ijazah yang ada di tangannya untuk mendapatkan kesimpulan akan keaslian ijazah tersebut. Usaha di atas sekaligus merupakan salah satu jawaban Unika Soegijapranata dalam menyikapi masalah pemalsuan ijazah yang muncul di Indonesia pada bulan September 2015.
Gambar 4. Tampilan hasil verifikasi ijazah
Terkait dengan semangat kepedulian terhadap lingkungan, Unika Soegijapranata mulai mengalihkan mekanisme pendaftaran dan ujian masuk mahasiswa barunya ke dalam format digital berbasis internet pada awal tahun 2016 (Wahyu, 2016). Dengan mekanisme tersebut, maka proses pendaftaran tidak lagi harus menggunakan media kertas atau menggunakan email. Data yang tersimpan ke dalam sistem informasi dapat langsung terkoneksi dengan semua berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam perguruan tinggi, mulai dari surat penerimaan, jalur pembayaran dengan virtual account, kartu mahasiswa sementara, dan semua layanan yang dibutuhkan selama kuliah. Pada saat wisuda, mahasiswa cukup memanfaatkan sistem informasi wisuda agar proses menjadi lebih singkat dan dalam satu atap saja. Sistem yang diperkenalkan pada Maret 2015 ini juga mengintegrasikan softcopy tugas akhir yang telah diperiksa dengan software antiplagiasi untuk kepentingan perpustakaan digital Unika Soegijapranata (Santoso, 2015). Dengan integrasi software antiplagiasi tersebut, mahasiswa dapat belajar mengenai teknik penulisan yang baik sekaligus terhindarkan dari potensi plagiasi yang dapat mengancam masa depannya (Putra, 2015; Sanjaya, 2014).
Gambar 5. Proses pendaftaran wisuda secara online
Revitalisasi dalam e-learning juga dilakukan oleh Unika Soegijapranata pada tahun 2013 dengan menambahkan berbagai fitur yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Keterlibatan perpustakaan dalam memasok pustaka yang dibutuhkan, mendorong praktek yang benar dalam menulis tugas maupun laporan yang bebas dari plagiasi, dan memfasilitasi komunikasi secara realtime berbasis multimedia, merupakan strategi dalam menciptakan kenyamanan dan kemudahan bagi dosen maupun mahasiswa. Penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi dalam mewujudkan kebutuhan tersebut menjadi langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan strategi tersebut. Alhasil, proses adopsi budaya anti plagiasi ke dalam proses tugas akhir bahkan pada beberapa tugas mata kuliah dapat diterima dengan cepat oleh dosen dan mahasiswa di kampus ini. Bahkan dalam acara Student of The Year (SoTY) 2017, salah satu mahasiswa dapat menjelaskan pemanfaatannya dengan runtut untuk aktivitas perkuliahannya. Saya menyampaikan apresiasi kepada Unit Perpustakaan yang selalu komitmen menjadi mitra dalam sosialisasi dan edukasi bagi mahasiswa dan dosen.
Gambar 6. Integrasi dengan software anti-plagiasi dalam dalam situs e-learning
Dalam penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang saya lakukan bersama Ibu Posmaria Sitohang dan Ibu Eva Maria Soekesi pada tahun 2014 dan 2015 dengan pembiayaan dari Kementrian Ristek dan Dikti yang berjudul “Pengembangan Model dan Implementasi Kewirausahaan Sekolah Melalui Pemberdayaan Industri Kreatif Game Berbasis Edukasi”, setiap pengajar mempunyai potensi untuk dihubungkan dengan peluang bisnis di bidang game edukasi melalui alat bantu pembuatan permainan yang mudah dipahami oleh semua orang. Kekayaan dosen berupa konten pembelajaran dapat menjadi modal dalam pengembangan bisnis game edukasi (Sanjaya, Soekesi, & Sitohang, 2015). Selain itu, metode pembelajaran berupa permainan digital yang dimainkan oleh siswa dapat meningkatkan ketertarikan dalam belajar. Selanjutnya, melalui penelitian Kerjasama Luar Negeri pada tahun 2016 dan 2017 yang saya lakukan bersama Dr. Cecilia Titiek Murniati dengan judul “The Integration of Educational Games for Collaborative Learning”, pembuatan game dapat menjadi metode dalam pembelajaran kolaboratif bagi siswa tanpa harus terkait dengan latar belakang pendidikan komputer sebelumnya. Hal ini memungkinkan partisipasi aktif dari setiap peserta pembelajaran untuk bekerjasama menghasilkan konten edukatif melalui aktivitas kreatif yang menarik bagi mereka (Christanti, Sanjaya, & Murniati, 2016). Mahasiswa dari Youngstown State University di Amerika Serikat, Unika Soegijapranata, dan beberapa kampus di Semarang mengekspresikan ketertarikan mereka dalam metode tersebut.
Gambar 7. Pembuatan game sebagai metode pembelajaran kolaboratif di Unika
Soegijaparanata dan Youngstown State University
Dalam waktu-waktu mendatang, kemudahan dan kenyamanan bagi mahasiswa, orang tua, dan dosen akan menjadi fokus dengan menitikberatkan pada peningkatan konektivitas berbagai layanan dalam satu genggaman sehingga semua kebutuhan pengguna yang terkait dengan universitas dapat dipenuhi dengan cepat dan fleksibel. Layanan akademik tidak harus diperoleh dengan kehadiran fisik tetapi kualitas layanan tidak boleh berkurang. Biaya yang timbul akibat kehadiran fisik maupun akibat biaya layanan dapat semakin diminimalkan atau bahkan ditiadakan. Dengan begitu, Unika Soegijapranata dapat menjembatani mahasiswa dan dosen untuk menghasilkan value added atau nilai tambah melalui ide dan talenta yang dihubungkan ke dalam peluang-peluang yang ada. Kemampuan mengumpulkan dan mengolah Big Data di dalam universitas akan menjadi salah satu kunci dari kemampuan menghasilkan peluang-peluang tersebut. Hadirin yang saya muliakan,
Inovasi Layanan dalam Pendidikan Tinggi
Bagi perguruan tinggi tradisional, mengembangkan layanan dalam bentuk digital bukanlah hal yang teramat sulit. Sebagai incumbent, perguruan tinggi yang ada saat ini harus dapat merespon dengan baik agar dapat bertahan dan bersaing dengan pemain-pemain baru (King & Baatartogtokh, 2015). Hal tersebut sama seperti bisnis taksi konvensional yang sebetulnya bisa menambahkan fitur aplikasi ke dalam layanan bisnisnya. Selain itu, perguruan tinggi juga dapat merangkul berbagai ahli di bidang-bidang ilmu tertentu untuk dapat berkontribusi dalam konten pendidikannya. Sama seperti bisnis taksi konvensional yang sebetulnya bisa menciptakan kanal bisnis yang baru dengan mengajak partisipasi dan keterlibatan dari anggotanya dalam penyediaan armada transportasi sehingga dapat membuat struktur tarif menjadi lebih murah. Namun jika melihat layanan dari bisnis taksi yang tidak berubah, yaitu mengantar penumpang sampai tujuan, tentunya ada bagian bisnis inti yang tetap dipertahankan. Bagi konsumen taksi online, pemanfaatan teknologi dimaksudkan untuk mempermudah konsumen dalam mencari kendaraan di dekatnya dan memastikan biaya perjalanan sebelum berangkat melalui fitur GPS, serta menjembatani pembayaran melalui dompet elektronik. Dari sisi perusahaan, teknologi informasi dapat digunakan untuk mengatur distribusi kendaraan dan menerapkan konsep reward and punishment agar penumpang dapat terlayani dengan baik serta meningkatkan loyalitasnya. Berkaca dari AirAsia yang tetap melayani bidang transportasi udara, atau AirBNB yang melayani penginapan bagi penggunanya, atau toko-toko online yang melayani kebutuhan barang bagi pembelinya, atau bahkan disk drive yang tetap melayani fungsi penyimpanan, maka pendidikan tinggi bisa saja tetap mempertahankan layanannya dalam menjadi fasilitator bagi siswa untuk mendapatkan kompetensinya. Hal ini karena karakteristik pendidikan tinggi yang cukup kompleks. Inovasi dalam pendidikan tinggi bisa dilakukan dari sisi layanan untuk mendapatkan rekap aktivitas mahasiswa secara real time, legalisir atau validasi transkrip maupun ijazah dengan mudah, koneksi dengan perusahaan pencari kerja menjadi lebih terbuka, ujian masuk perguruan tinggi maupun ujian dalam perkuliahan yang dapat dilakukan secara mandiri dan tidak terbatas pada ruang dan waktu, kartu mahasiswa berbasis digital yang dapat terkoneksi ke berbagai layanan di perguruan tinggi, pengiriman berkas fisik kepada mahasiswa atau alumni yang membutuhkan, penyediaan coworking space berbasis internet untuk penyaluran ide-ide, monetasi konten yang dihasilkan oleh sivitas akademika, atau bahkan crowdfunding untuk projek-projek mahasiswa. Dengan begitu, konektivitas dari sejak menjadi calon mahasiswa, menjadi mahasiswa, sampai dengan menjadi alumni tetap terjalin. Berbagai kesempatan juga dapat dimanfaatkan secara mudah oleh setiap orang yang bergabung di dalam perguruan tinggi.
Selain itu, konsep disruptive innovation tidak selalu harus menciptakan produk baru melainkan membuat konsumen mendapatkan layanan yang lebih murah, lebih sederhana, lebih kecil ukurannya, dan seringkali lebih nyaman untuk digunakan. Berbagai inovasi di atas menjadikan mahasiswa tidak harus mengeluarkan dana lebih untuk layanan-layanan konvensional yang dibutuhkan terutama pada saat jauh dari perguruan tinggi, kemudahan dalam menjalani proses belajar, memungkinkan untuk menghasilkan ide-ide yang bisa diwujudkan selama perkuliahan, mendekatkan pada kesempatan untuk ditemukan oleh lapangan kerja atau kesempatan kerja yang ada, serta memungkinkan bagi perguruan tinggi untuk memberikan analisa berdasarkan rekam jejak siswa yang tersimpan dalam Big Data.
Bagaimana dengan MOOC? Tentu saja, tidak dapat dihindari. Fasilitas e-learning yang umumnya merupakan bagian dari evolusi perguruan tinggi sebaiknya dapat tersedia dengan baik sebagai pengganti kelas, tambahan dalam kelas, maupun digabungkan dalam bentuk hybrid/blended learning. Bukan hanya diperuntukkan bagi mahasiswa saja, tetapi juga terbuka bagi masyarakat umum terutama bagi para alumni yang ingin meningkatkan kemampuannya untuk peningkatan karirnya. Namun tentu saja penyajiannya tidak bisa sama dengan yang telah diterapkan dalam fasilitas e-learning saat ini. Penyajian tidak hanya dilakukan dengan video atau presentasi yang disusun dalam 14 kali perkuliahan saja, tetapi juga dari perubahan konsep penyajian. Konsep gamifikasi dapat membuat pembelajaran semenarik saat siswa bermain. Pemanfaatan teknologi Virtual Reality dan Augmented Reality dalam penyajian materi perkuliahan juga dalam rangka meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran secara lebih aktif. Seperti yang disampaikan oleh Christensen dalam The Innovator’s Dilemma, keengganan untuk berubah dan melihat hal-hal yang baru karena telah terbiasa dan yakin dengan hal-hal lama yang dijalani selama ini hanya akan membawa organisasi dalam ketertinggalan, menjadi tidak kompetitif, dan kemudian lenyap ditelan oleh perubahan. Seringkali perubahan yang diciptakan mungkin gagal atau bahkan lebih buruk dari yang telah ada sebelumnya, namun sangat dimungkinkan akan menggantikan pasar di kemudian hari. Gejala ini mungkin sudah dapat mulai kita lihat dalam pasar mobil elektrik yang semula tidak dilirik karena industri otomotif yang relatif stabil, serta kecepatan dan kualitas produknya masih belum terkalahkan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mobil elektrik akan menggantikan produk pemenang dari industri otomotif saat ini.
Hal yang sama juga terjadi pada pembelajaran elektronik yang saat ini dinilai belum masuk dalam tahapan mampu menggantikan pembelajaran konvensional dengan kelebihannya akan interaksi antara dosen dan mahasiswa. Pembelajaran elektronik memerlukan waktu untuk menyesuaikan dan membuktikan perannya secara lebih maksimal. Belum tentu pembelajaran elektronik di masa yang akan datang sama seperti yang kita lihat saat ini. Berbagai penyempurnaan baik dari metode pembelajaran, pendekatan kepada siswa, maupun teknologi yang semakin mudah serta adanya kemungkinan perubahan kebutuhan dalam masyarakat, dapat menjadikan pembelajaran elektronik menjadi salah satu yang disukai oleh masyarakat.
Hadirin yang saya muliakan,
Penutup
Dalam salah satu proposal penelitian yang sedang saya ajukan tahun ini, pembelajaran elektronik yang dapat disesuaikan oleh masing-masing siswa secara kustom dimungkinkan dapat terjadi karena keberadaan Big Data, Semantic Web
, dan Internet of Things. Perilaku setiap siswa dalam pembelajaran, konten pembelajaran dalam setiap mata kuliah, dan pustaka yang terkait dari berbagai situs di internet akan menjadi kolaborasi proses pembelajaran yang menarik. Pustaka dengan kualitas yang baik dimungkinkan untuk hadir di masing-masing akun e-learning siswa secara otomatis dengan menyesuaikan perilaku siswa dan mata kuliah. Konektivitas informasi dari berbagai sumber di internet akan semakin memudahkan siswa dalam memperkaya dan memperdalam kualitas pembelajaran. Melalui perangkat elektronik yang cerdas, mendukung mobilitas penggunanya, dan memudahkan dalam mengakses konten pembelajaran yang disediakan oleh perguruan tinggi, siswa akan semakin fleksibel dalam belajar dan memperdalam suatu pengetahuan. Kolaborasi dan metode pembelajaran kolaboratif yang makin mudah diterapkan melalui perangkat cerdas, semakin memperkaya kualitas pembelajaran tanpa meninggalkan interaksi dengan sesama siswa. Untuk itu ke depannya, Perguruan Tinggi harus selalu bergerak menemukan berbagai hal yang baru agar dapat menjadi pemimpin dari disruptive innovation atau adaptif menjadi bagian dalam perubahan yang radikal agar tidak tertinggal dan tergantikan oleh yang baru. Transformasi perguruan tinggi yang lebih baik, lebih mudah (termasuk dari sisi finansial), lebih sederhana, dan lebih nyaman merupakan usaha terus-menerus yang tidak boleh berhenti. Dengan begitu, Perguruan Tinggi dapat menjadi lingkungan yang terus berkembang dan menginspirasi semua warga di dalamnya.
Hadirin yang saya muliakan,
Ucapan Terima Kasih
Rasanya masih kemarin saya masuk ke Unika Soegijapranata dan menjalani serangkaian wawancara seleksi untuk lowongan dosen, bertemu dengan Pak Yanto dan Bu Etty yang ditugaskan oleh universitas menjadi Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Komputer pada saat keluarnya SK pendirian program studi. Tanpa beliau berdua, saya rasa tidak mungkin saya bisa berdiri di sini menyambut Bapak Ibu hadirin semua. Pada waktu itu, beliau berdua mengambil keputusan untuk memilih saya sebagai dosen dari sekian banyak calon yang mendaftar pada saat itu. Pada kesempatan yang baik ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau berdua.
Pada saat wawancara, Bu Etty menanyakan apakah saya mempunyai cita-cita menjadi seorang professor? Tanpa pikir panjang saya jawab, pasti. Karena dalam benak saya pada saat itu, menjadi profesor adalah menjadi pengajar yang sungguh-sungguh sehingga diakui pada saat tua nanti sebagai professor. Ternyata, baru saya sadari beberapa tahun kemudian bahwa menjadi seorang profesor harus berurusan dengan penelitian dan publikasi selain semata-mata hal mengajar. Semua tersebut nantinya dinilai sebagai bentuk poin-poin untuk diajukan sebagai syarat dosen tetap dengan jabatan akademik pertama sebagai Asisten Ahli.
Untunglah pada saat itu, ada hobi menulis buku yang bisa diakui dan saya mulai tekuni semenjak lulus dari kuliah S1 karena provokasi dari pakar internet Dr. Onno W. Purbo. Jika saja pada waktu itu Pak Onno tidak berulang-ulang mengajak dan menanyakan kembali minat untuk menulis buku, kemungkinan besar menulis buku bukanlah bagian dari hidup saya. Provokasi yang tidak kenal lelah dan kerendahhatian beliau meskipun terkenal sebagai pakar di tingkat nasional, sangat menginspirasi hidup saya. Elex Media merupakan salah satu penerbit yang banyak mendorong dan menerima karya-karya saya sehingga menjadi buku-buku di tingkat nasional. Bapak Vincent Sugeng Hardojo dan Ibu Elizabeth Aribawa merupakan orang-orang yang saya kenal pertama kali pada saat memulai aktivitas menulis buku di Elex Media pada awal tahun 2001. Keduanya memberikan pengalaman luar biasa baik dalam hal penulisan buku, memahami pasar buku, dan kerjasama dengan pihak lain.
Perkenalan dengan Pak Onno, Elex Media, dan dunia buku, tidak lepas dari sejarah aktivitas organisasi bersama dosen pembimbing saya almarhum Bapak Edhi Nugroho dan teman baik saya Dwi Saputro, yang memutuskan untuk aktif mengembangkan teknologi internet dengan membentuk organisasi baru di kampus. Ide-ide baru dan passion almarhum Pak Edhi dalam mempelajari hal-hal baru membuat saya belajar banyak mengenai hasrat untuk terus menimba ilmu dan mendalami minat sampai dengan kualitas tertentu yang diharapkan. Semangat beliau dalam berbagi dengan mahasiswa menjadi salah satu inspirasi bagi saya ketika bekerja di kemudian hari. Teman baik saya Dwi Saputro, merupakan teman diskusi yang penuh antusias dan menjadi teman yang luar biasa dalam belajar hal-hal baru. Bersama Dwi, kami berlomba menulis ide-ide kami di surat kabar Jawa Tengah dan nasional. Salah satu kebiasaan kami ketika honor menulis sudah diterima adalah mentraktir teman-teman organisasi di warung bakso depan kampus. Aktivitas menulis ini terus berlanjut, terutama di Suara Merdeka karena adanya kesempatan dari Bapak Asep Bina Septriono yang mengelola halaman teknologi informasi. Kesempatan dan kepercayaan lain, yang diberikan oleh Prof. Dr. Budi Widianarko selaku Rektor pada tahun 2013 bagi saya untuk terlibat sebagai Wakil Rektor telah memberikan keleluasaan untuk dapat secara langsung menerapkan keilmuan saya di bidang sistem informasi agar dapat bermanfaat bagi kampus ini. Selain itu, bagai sumur yang tidak pernah kering, memberikan inspirasi dan wawasan baru dalam empat tahun terakhir ini bekerja bersama beliau. Adalah kesempatan yang luar biasa untuk dapat belajar secara langsung dan dari dekat dari sosok yang saya anggap sebagai mentor, kakak, sekaligus pimpinan. Menjadi Guru Besar merupakan salah satu inspirasi yang berdampak dari beliau. Karena pada saat saya bergabung sebagai dosen di kampus ini, beliau di usia 40 tahun juga dikukuhkan sebagai salah satu Guru Besar di Unika Soegijapranata.
Ketika menilik ke belakang, rasa-rasanya kedua orang tua saya, almarhum Bapak Gunadharma Halim dan Ibu Haryani Santoso telah meletakkan kebiasaan yang saat ini bermanfaat bagi hidup saya. Sehari-harinya saya melihat keduanya punya aktivitas membaca yang kuat. Paling tidak, lima surat kabar yang datang setiap hari untuk diantar kepada pelanggan merupakan bacaan yang wajib dibaca. Karena biasanya pelanggan akan menanyakan kabar terbaru apa yang dimuat pada hari itu. Tanpa kebiasaan membaca, sangat sulit untuk selalu siap menjawab pertanyaan- pertanyaan itu. Meskipun pada saat saya kecil merasakan mengantar koran ke semua pelanggan sebelum sekolah merupakan aktivitas yang berat, namun saya mendapatkan kesempatan untuk belajar banyak hal, termasuk mengelola bisnis sejak dini. Kebiasaan membaca akhirnya berkembang menjadi penulis dan editor karena almarhum ayah saya seringkali meminta bantuan untuk mengetikkan materi buku yang dipakainya dalam mengajar di salah satu sekolah nasional di Semarang. Coretan-coretan akibat pembetulan kata depan dan kata sambung, serta kalimat yang benar menurut bahasa Indonesia, sangat membekas dalam kebiasaan saya menulis buku dan mengoreksi skripsi mahasiswa.
Kakak saya, Indra Sanjaya, merupakan orang pertama yang menginspirasi dalam hal ilmu komputer. Setiap kali ia pulang dari kursus pemrograman, buku yang diletakkan di sebelah komputer menimbulkan rasa ingin tahu untuk mencoba. Kadangkala komputer dikunci karena kejahilan saya, namun akhirnya dibuka karena (mungkin) saya sudah mulai cukup umur atau kerusakan lebih besar yang ditimbulkan jika saya terus mencoba membuka kunci tersebut. Adik saya, Aryanto Sanjaya merupakan teman diskusi serumah saat kami berdua sama-sama studi di Semarang. Cerita tentang komunitasnya yang jauh berbeda dengan komunitas saya, menambah wawasan baru dalam hidup saya. Kata terima kasih mungkin tidak cukup untuk menggambarkan rasa syukur saya kepada istri saya Lucia Sianny Octavia, S.Kom, anak-anak saya Kezia Patricia Sanjaya dan Michael Giovanni Sanjaya. Mereka selalu menjadi motivasi saya untuk menghasilkan karya-karya terbaik dalam profesi yang saya tekuni. Ketiganya selalu mendukung saya meskipun hari-hari bersama dan liburan seringkali tersita dan berlalu begitu saja karena berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan. Terima kasih juga kepada Ayah dan Ibu mertua yang kadangkala menjadi tempat penitipan dan antar-jemput anak-anak kami ketika saya sedang tugas keluar kota. Hadirin yang saya muliakan, Perkenankanlah kini saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberi semangat, membantu dalam proses, serta mendukung dalam proses pencapaian gelar Guru Besar ini.
1. Prof. Dr. DYP Sugiharto selaku koordinator Kopertis VI Jawa Tengah dan jajarannya yang selalu membantu dalam informasi dan komunikasi selama proses pengurusan jabatan akademik saya,
2. Seluruh pengurus Yayasan Sandjojo di bawah pimpinan Dr. Agus Suryono,
3. Para Wakil Rektor, Bu Augustina Sulastri, Bu Inneke Hantoro, Bu Lita Widyo Hastuti, dan Bu Marcella Elwina Simandjuntak yang telah menjadi rekan serius dalam berdiskusi, bercanda, maupun memecahkan masalah secara bersama- sama,
4. Seluruh anggota Senat Unika Soegijapranata yang telah menyetujui pengajuan jabatan guru besar saya.
5. Seluruh anggota Dewan Penyantun Unika Soegijapranata,
6. Rekan-rekan dosen dan tenaga kependidikan di Fakultas Ilmu Komputer (Pak Yanto, Pak Berdi, Pak Erdhi, Pak Yoga, Bu Brenda, Pak Hendra, Pak Yuli, Pak Marlon, Bu Rosita, Bu Shinta, Bu Annisa, Pak Rizky, Pak Agus, Bu Puji, dan Pak Khundori),
7. Rekan-rekan dosen Magister Manajemen (Bu Ferijani, Bu Lucky, Bu Bertha, Bu Untari, Bu Enny, dan Pak Wisnu),
8. Magister Lingkungan dan Perkotaan (Pak Tjahjono, Pak Benny, Pak Donny, Pak Wiyanto dan Bu Oely) atas perhatian dan dukungannya,
9. Seluruh staf sekretariat Rektorat (Pak Dadut, Bu Vera, Bu Devi, dan Bu Alam) dan LPSDM (Pak Valentinus Suroto, Pak Nowo, dan Bu Sisca) yang telah bekerja keras dalam memperlancar proses pengajuan jabatan akademik dan mendukung berbagai berkas yang dibutuhkan dalam pengajuan guru besar saya.
10. Para mahasiswa Sistem Informasi, Magister Manajemen (konsentrasi Technopreneurship), dan PMLP yang menjadi alasan bagi saya untuk terus menekuni profesi ini.
11. Semua pimpinan dan staf lembaga, biro dan unit kerja di lingkungan Unika Soegijapranata atas dukungan dan kerjasamanya.
12. Secara khusus saya ucapkan terimakasih kepada Pak Yoga (MSI), Bu Lenny (SSCC), Pak Anggara (Penerbitan) Pak Agus (Humas), Pak Ernanto (Webmaster), Bu Eka (International Office), Bu Kris (PPT), dan Pak Pandit (CLT), atas dukungannya kepada saya dalam menjalankan fungsi Wakil Rektor bidang Kerjasama dan Pengembangan,
13. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Pak Alvon (BAA) dan Bu Ratih (Perpustakaan), yang selalu menjadi teman diskusi dalam menghasilkan berbagai layanan akademik yang inovatif bagi kampus ini,
14. Pak Susilo Toto Rahardjo yang telah memberikan kesempatan bagi saya bergabung di Unit Pengembangan Komputer Fakultas Ekonomi (UPKFE) UNDIP untuk mengasah kemampuan dalam mengajar, menciptakan produk kursus internet, sekaligus mendapatkan uang saku yang cukup besar bagi ukuran mahasiswa pada waktu itu,
15. Romo Sastra, yang telah mengirim saya, dengan caranya yang khas dan mengejutkan, untuk studi S2 ke Assumption University di Bangkok pada tahun 2005,
16. Saudariku Henny Putri dan suami, atas persahabatannya yang indah dan dukungannya kepada saya dan istri pada saat studi di Bangkok tahun 2005 bahkan sampai sekarang,
17. Dr. Saranphong Pramsane dan Dr. Chanintorn J. Nukkon (Assumption University) yang menjadi pembimbing pada saat studi lanjut saat S2 sampai dengan S3, dan menjadi bagian penting dalam mengawali aktivitas penulisan ilmiah yang saya lakukan,
18. Dr. AB Susanto, Dr. I Made Wiryana, Prof Fauzy, Dr. Musa Yosep, Dr. Retno Sunu, dan seluruh tim pengelola Program Pengembangan Doktor (P2D) Beasiswa Unggulan Kemendikbud,
19. Prof Rolly Intan (UK Petra) dan Prof Eko Sediono (UKSW) yang telah menjadi reviewer bagi karya ilmiah saya dalam usulan jabatan akademik,
20. Prof Andreas Lako (Unika Soegijapranata) dan Prof Ferdy Rondonuwu (UKSW) yang telah mereview orasi ilmiah ini,
21. Panitia Upacara Pengukuhan yang telah bekerja keras untuk mewujudkan acara ini, dan
22. Semua warga Unika Soegijapranata yang saya cintai.
Daftar Pustaka
Anaraki, F. B., & Htun, M. H. (2015). E-Learning at Assumption University. International Journal of the Computer, the Internet and Management , 23(1), 6–11. Retrieved from http://www.ijcim.th.org/past_editions/2015V23N1/3Page6. pdf
Archer, W., Garrison, R., & Anderson, T. (2013). Adopting Disruptive Technologies in Traditional Universities: Continuing Education as an Incubator for Innovation. Canadian Journal of University Continuing Education, 25(1), 13–30. http://doi.org/10.21225/D5Z015
Bilgihan, A. (2016). Gen Y Customer Loyalty in Online Shopping: An Integrated Model of Trust, User experience and Branding. Computers in Human Behavior, 61, 103–113. http://doi.org/10.1016/j.chb.2016.03.014
Boon, R. (2017, May 31). Orchard Road “should not sleep”: Metro’s retail chief David Tang. The Straits Times. Retrieved from http://www.straitstimes.com/ business/companies-markets/orchard-road-should-not-sleep
Bower, J. L., & Christensen, C. M. (1995). Disruptive Technologies: Catching the Wave.
Harvard Business Review , 43–53. Retrieved from https://hbr.org/1995/01/ disruptive-technologies-catching-the-wave
Buhalis, D. (2004). eAirlines: Strategic and tactical use of ICTs in the airline industry.
Information and Management , 41(7), 805–825. http://doi.org/10.1016/j. im.2003.08.015
Chan, F. (2017, May 1). Change the shops, not the street, to save Orchard Road. The Straits Times2
. Retrieved from http://www.straitstimes.com/singapore/ change-the-shops-not-the-street-to-save-orchard-road Chang, H. L., & Yang, C. H. (2008). Do airline self-service check-in kiosks meet the needs of passengers? Tourism Management, 29(5), 980–993. http://doi. org/10.1016/j.tourman.2007.12.002 Christanti, A. R., Sanjaya, R., & Murniati, C. T. (2016). Developing Educational Game for Collaborative Learning. In Proceedings of International Seminar on Application for Technology of Information and Communication Science and Technology for a Better Future
. Semarang, Indonesia: Dian Nuswantoro University. Christensen, C. M. (1997). The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause
Great Firms to Fail . Business. Boston, Massachusetts, USA: Harvard Business
School Press. http://doi.org/10.1515/9783110215519.82 Christensen, C. M., & Eyring, H. J. (2011). The Innovative University: Changing the DNA of Higher Education from the Inside Out
. San Francisco, CA, USA: Jossey-Bass. Christensen, C. M., Johnson, C. W., & Horn, M. B. (2017). Disrupting Class, Expanded
Edition: How Disruptive Innovation Will Change the Way the World Learns (Expanded E). New York, NY, USA: McGraw-Hill Education. Flavin, M. (2012). Disruptive technologies in higher education. In Research in
Learning Technology (Vol. 20, pp. 102–111). http://doi.org/10.3402/rlt. v20i0.19184
Garrison, D. R., & Kanuka, H. (2004). Blended learning: Uncovering its transformative potential in higher education. Internet and Higher Education, 7(2), 95–105. http://doi.org/10.1016/j.iheduc.2004.02.001
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2016). Higher education and the digital revolution: About MOOCs, SPOCs, social media, and the Cookie Monster. Business Horizons