Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)

BAB 2 PROSES TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO 12 TAHUN 2012 Makna dan tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan, membudayakan dan

  memanusiakan manusia termasuk didalamnya proses sosialisasi nilai-nilai dan kultural yang diharapkan dapat membantu manusia menjadi manusia (on the process of becoming

  

human ). Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia

yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun laki-laki.

  Implikasinya adalah seorang manusia terdidik akan berusaha untuk memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam pengetahuannya untuk diterapkan dalam kehidupan

   bermasyarakat dan bernegara.

  Pendidikan di Indonesia akan berhasil jika setiap proses dan pelaksanaan sistem pendidikannya dilaksanakan sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945. Terutama dalam menangani permasalahan alokasi pembiayaan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diperlukan komitmen dalam merealisasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan serta inovasi yang brilian untuk mengelola dana pendidikan agar dapat bermanfaat untuk pembiayaan sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan menjadi fokus utama untuk kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa baik maka kemajuan bangsa tersebut akan baik.

  Jika melihat negara-negara maju yang mengalokasikan dana pendidikan secara memadai seperti Swedia (8.3 %), Swiss (7.3%), Kanada (7,0%), Australia (5.6%), Inggris (5.4%) terbukti kinerja pendidikan nasionalnya memadai. Sekolah-sekolah dinegara tersebut, apalagi perguruan tinggi banyak diminati siswa dan mahasiswa dari manca

  

  negara. Apabila negara-negara maju rata-rata sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 5.1 % dari GNP maka angka untuk negara-negara berkembang hanya 3.8%. Rendahnya GNP pada negara-negara berkembang masih harus didistribusikan dalam banyak prioritas. Banyaknya prioritas pembangunan sudah menjadi ciri khusus negara- negara berkembang. Alhasil, dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan

   33 menjadi problem utama karena alokasinya sangat terbatas. 34 Mochtar Buchori. Spektrum Problema Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiarawacana. hal. 33. 35 Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 421.

  Ibid., hal. 422.

  Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya.

   Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar (5,2%) dan Thailand sebesar (4,1%).

  Pada bab ini, penulis akan memaparkan proses terbentuknya undang-undang pendidikan tinggi serta alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sebagai upaya menganalisis permasalahan-permasalahan pendidikan sehingga kemudian memudahkan analisis kebijakan khususnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012.

2.1 Transformasi Kebijakan Pendidikan pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi

  Berselimutkan otonomi pendidikan tinggi, pemerintah memberi kesempatan leluasa kepada beberapa pendidikan tinggi untuk mengatur dan mencari dana sendiri didalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal itu disebabkan karena pemerintah kekurangan dana untuk pendidikan sehingga memberikan kesempatan kepada universitas- universitas yang telah maju untuk mencari dana tambahan selain dana yang diberikan oleh

  

  pemerintah. Kita mengetahui betapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain ialah naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Dengan demikian ilmu pengetahuan telah menjadi komoditas. Hal itu memang dapat dimaklumi, tetapi pengaruh selanjutnya adalah akses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut terbatas bagi masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh golongan atas.

  Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka

  

  “privatisasi” lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat 36 non-profit meski berstatus badan usaha. 37 Ibid., hal. 427. 38 H.A.R Tilaar. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas. hal 266.

  

Privatisasi dalam literatur ekonomi, artinya adalah pengalihan kepemilikan pemerintah atas suatu perusahaan kepada

swasta. Hanya pengelolaannya didelegasikan oleh Pemerintah kepada suatu board of trustees yang mewakili Pemerintah

dan masyarakat.

  Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan secara selektif kepada perguruan tinggi negeri yang dinilai sudah memiliki kemampuan pengelolaan yang mencukupi untuk dapat memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dapat berperan sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis dan mampu bersaing secara global. Perguruan Tinggi Negeri berstatus BHMN tetap menjadi aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa.

  Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, keberadaan Perguruan Tinggi Negeri sebagai BHMN adalah sebagai upaya menentukan badan hukum dapat didirikan atau diakui oleh Pemerintah. Tidak ada suatu ketentuan yang mengharuskan pendirian suatu badan hukum dengan undang-undang. Pendirian suatu badan hukum dapat dilakukan dengan undang- undang, peraturan pemerintah, bahkan dengan keputusan presiden sekalipun, atau dengan

  

  konstruksi hukum Ada 3 alasan mengapa pendirian Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum

   Milik Negara dilakukan dengan peraturan pemerintah, yaitu: 1.

  Pemisahan kekayaan negara harus dilakukan dengan peraturan pemerintah sehingga peraturan pemerintah bagi penetapan perguruan tinggi negeri sebagai BHMN merupakan landasan hukum bagi pemisahan kekayaan negara dan penempatannya sebagai kekayaan awal BHMN.

  2. Kekayaan awal perguruan tinggi negeri BHMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, dimana sebagian kekayaan negara yang merupakan harta kekayaan tidak bergerak berupa tanah, tidak dapat dipindahtangankan oleh perguruan Tinggi Negeri BHMN kepada pihak ketiga, hubungan kepemilikan kekayaan awal tetap berada pada negara.

  3. Karena penetapan perguruan tinggi negeri BHMN dilakukan dengan suatu ketentuan publik, yaitu peraturan pemerintah, eksistentsi perguruan tinggi negeri BHMN tidak lagi memerlukan pengesahan lagi dari Departemen Hukum dan HAM RI yang merupakan bagian integral dari organisasi kekuasaan umum atau pemerintah.

  39 Arifin P. Soeria Atmaja. 2005. Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta : Badan 40 Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. hal 131.

  Ibid, hal 131-132.

  Perguruan tinggi negeri yang berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara merupakan bentuk perguruan tinggi yang memiliki lima prinsip utama dalam penyelenggaraannya, yaitu otonomi, akuntabilitas, akreditasi, kualitas dan evaluasi. Kelima prinsip tersebut akhirnya menjadi paradigma baru bagi pendidikan tinggi di Indonesia.

  Terutama dari segi akuntabilitas, dimana Badan Hukum Milik Negara harus memberikan laporan tahunan berupa:

  1. Laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan arus kas dan laporan perubahan aktiva bersih.

  2. Laporan akademik berupa penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang meliputi keadaan, kinerja, serta hasil-hasil yang telah dicapai universitas.

  3. Laporan ketenagakerjaan universitas yang meliputi keadaan, kinerja, dan kemajuan yang telah dicapai.

  Perguruan Tinggi BHMN memiliki otonomi dalam pengelolaan kekayaan (sumber dana), yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Pada PTN biasa, pengelolaan dana diatur secara sentralistik melalui rambu- rambu, yang ditetapkan melalui suprastruktur pusat serta penetapan sumber-sumber dana secara kaku otonomi pada PTN biasa ini terbatas pada kewenangan menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal dari masyarakat.

  Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di

   dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.

  Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadapi di dalam penerapan suatu sistem. Selain itu, setiap perubahan sistem biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap penerapan

   41 prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar.

  

Hasbullah. 2010. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan

42 Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal 129.

  Ibid, hal 129.

  Sebagai akibat kebijakan sentralistis dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat ambivalen, afirmatif, arogan dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya

   sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri.

  Dengan demikian, pengelolaan dana perguruan tinggi BHMN memerlukan model pengelolaan yang lebih tepat, akurat dan informatif, agar dapat mengelola dana yang jumlahnya terbatas menjadi lebih efektif dan efisien serta senantiasa mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan. Suatu model pengelolaan dana yang dapat meningkatkan kinerja pengelolaan, khususnya pada aspek-aspek penting seperti pengalokasian atau pembebanan, sehingga dapat mewujudkan tuntutan masyarakat tentang pengelolaan dana secara efektif dan efisien dalam mewujudukan akuntabilitas pengelolaan dana di lingkungan perguruan tinggi.

  Keberhasilan gerakan reformasi tahun 1998 dengan cepat mengubah tatanan kehidupan sosial, politik dan pemerintah di Indonesia. Gagasan tentang demokratisasi politik dan desentralisasi pemerintahan dengan cepat diaplikasikan melalui berbagai undang-undang. Menyikapi desentralisasi atau otonomi pemerintahan daerah dan tuntutan dan tantangan global serta tuntutan-tuntutan lainnya maka, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memandang bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus segera diperbaharui atau direformasi, dengan membentuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru menggantikan Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun

  1989, yang tidak sesuai dengan semangat tuntutan reformasi. Langkah tersebut dimulai pada awal 2001 dengan membentuk tim, melakukan pengkajian, dengar pendapat dan sebagainya hingga diperoleh kesepakatan lahirnya RUU Sisdiknas tanggal 28 Maret 2003 yang kemudian disempurnakan dengan penjelasan dan lain-lain menjadi naskah pada 25 April 2004. Kemudian naskah itu disempurnakan lagi pada 19 Mei 2003 dan terakhir pada

  10 Juni 2003 dan akhirnya disahkan pada 11 Juni 2003 menjadi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)

  Undang-Undang tentang Sisdiknas merupakan proses politik yang memadukan aspek-aspek filosofi, akademis, sosiologis, kultural, keuangan, hukum, politik dan pemerintahan. Reformasi dibidang pendidikan yang ditandai dengan demokratisasi pemerintahan yang sebelumnya menganut pemerintahan sentralistis. Hal ini dapat 43 ditanggap dalam dua segi yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah 44 Ibid, hal 142.

  Anwar Arifin. 2005. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. hal. 33. daerah (otonomi daerah). Hal ini menunjukkan peranan pemerintah akan dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dan sekaligus memperbesar partisipasi masyarakat. Peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis selama 32 tahun lebih akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah yang kemudian dikenal dengan desentralisasi. Kedua hal tersebut harus berjalan dengan simultan dan merupakan paradigma baru yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

  Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003) dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa, “Pendidikan

  

diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan

menjunjung hak asasi manusia” . Karena pendidikan diselenggarakan sebagai sebuah

  proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat serta memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

  Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan namun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada ditangan menteri yang diberi tugas oleh presiden yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal itu pemerintah menentukan kebijakan pendidikan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga pendidik, penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota.

  Kelahiran Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respon terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: ”Bahwa sistem

  

pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,

peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi

tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global

sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan

berkesinambuingan” . Undang-undang ini memberi peluang bagi peran serta pemerintah daerah dan masyarakat secara lebih optimal, kesetaraan, dan layanan bagi kaum lemah. 45 Dengan demikian, melalui Undang-undang Sisdiknas ini diharapkan terwujudnya satu Anwar Arifin, op.cit., hal 34. sistem pendidikan nasional yang lebih adaptif dengan aspirasi, semangat, dan komitmen yang berkembang di masa kini. Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, mengandung sejumlah paradigma baru

   yang menjadi

  landasan perwujudan pendidikan nasional yaitu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional secara demokratis, sistemik, pembudidayaan dan pemberdayaan, keteladanan, budaya belajar, pemberdayaan masyarakat, pengendalian mutu layanan

   pendidikan.

  Nuansa upaya mengurangi derajat tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun

  

  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisidiknas). Hal ini memungkinkan penurunan derajat kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat dalam

  pasal 9 UU sisdiknas yang menyatakan bahwa “masyarakat berkewajiban memberi

  

dukungan sumber daya dalam penyelenggaraaan pendidikan” dan pasal 12 Ayat 2 (b)

  yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang ada.

  Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat dalam pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Lengkapnya dinyatakan dalam ayat (1), “Pemerintah dan

  

pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa diskriminasi.” ,

  dan juga Ayat (2), “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dan

  

guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun”.

  Padahal, dalam undang-undang Sisdiknas pasal 1, Bab 1 tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselanggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara Indonesia. Berikut ini bunyi ayatnya, “Wajib belajar adalah program pendidikan

  

minimal yang harus diikuti warganegara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan

46 pemerintah daerah”. 47 Anwar Arifin, op.cit., hal 130.

  H.A.R Tilaar. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 147.

  Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen dinyatakan dengan tegas pada pasal 31 Ayat (2), “Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

  

pemerintah wajib membiayainya”. Hal tersebut dipertegas dalam Ayat (4), “Negara

memprioritaskan anggaran pendapatan sekurang kurangnya 20% dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan”. Kemudian diperjelas dalam

  rancangan peraturan pemerintah penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), “Setiap

  

warganegara usia wajib belajar berhak mendapat pelayanan program wajib belajar yang

bermutu tanpa dipungut biaya”.

  Kembali pada penerapan undang-undang dibawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah

  

  sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan pemerintah belum mampu memberikan pendidikan dasar secara gratis (RPJMN, halaman IV.26-4).

  

2.2 Format Baru Kebijakan Pendidikan Nasional UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjabarkan lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan nasional yang digariskan dalam UUD 1945. Pasal 3 undang-undang tersebut dengan tegas mengatakan bahwa :

  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi akademik peserta didik agar menjadi mahasiswa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

  

  bertanggung jawab” Fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional sudah jelas menunjukkan mengenai 48 apa sebenarnya yang akan kita capai dengan sistem pendidikan nasional itu. Dalam 49 Anwar Arifin, op.cit., hal 131.

  Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 rumusan tersebut sama sekali tidak dikatakan bahwa pendidikan nasional dikembangkan di

  

  Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan keharusan penyelenggaraan satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan yang diletakkan dalam bagian kedua Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan.

  Satuan pendidikan di Indonesia harus mempunyai eksis, bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, seperti wujud masyarakat industri, masyarakat informasi, dan masyarakat demokratis yang memerlukan pengelolaan yang lebih rasional, profesional, transparan dan akuntabel. Sudah selayaknya jajaran pendidikan tidak bersifat konserfatif falam menghadapi perubahan sosial dan seharusnya bersifat reformis, progresif dan demokratis serta terbuka terhadap tuntutan perubahan. Setiap zaman memerlukan cara tersendiri untuk menjawab semua tantangan dan peluang yang timbul dan dunia pendidikan akan selalu dijuluki pelopor perubahan (agent of change). Itulah sebabnya ketika reformasi bertiup kencang pada 1998, maka masyarakat pendidikan juga mendorong perlunya reformasi dan paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional. Hal itu kemudian diimplementasikan oleh DPR-RI bersama pemerintah dengan membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Salah satu substansi penting yang dicantumkan dalam pasal 53 ayat (1) yaitu:

  

“Penyelenggaraa dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau

masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

  Salah satu latar belakang lahirnya gagasan dan bahkan desakan perlunya badan hukum pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas berawal dari masalah yang dihadapi sejumlah perguruan tinggi negeri yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah. Itulah sebabnya kehadiran BHMN dianggap tidak memiliki payung hukum yang kuat, karena tidak memiliki rujukan pada UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Sehingga perguruan tinggi yang berstatus BHMN mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan yang hendak dilakukan secara mandiri seperti SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) dari mahasiswa dan sumber-sumber dana lainnya dari masyarakat.

  Pembentukan status BHMN bagi perguruan tinggi negeri (UI, UGM,ITB dan IPB) 50 pada 1999, merupakan awal dari upaya pemerintah melakukan reformasi pendidikan tinggi H.A.R. Tilaar. Kaleidoskop Pendidikan Nasional, op.cit. hal 307. untuk menjawab tuntutan demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi perguruan tinggi dan menjawab tantangan global. Hal ini dimaksudkan agar perguruan tinggi yang berstatus BHMN memberikan pelayanan yang baik kepada peserta didik untuk meningkatkan mutu dan relevansi lulusan dan pada saatnya mampu bersaing dengan perguruan tinggi di negara lain dalam era globalisasi.

  Pada tataran praktis, bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu sisi dan kemitraan dengan bangsa lain di sisi lain. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan daya saing dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era global, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan darma pendidikan yaitu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas, kreatif, berbudaya, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh.

  Globalisasi menimbulkan sejumlah tantangan. Pertama, menguatnya globalisasi berdampak pada memudarnya batas geografis dan geopolitik diiringi dengan meningkatnya mobilitas dan migrasi antarwarga. Kecenderungan yang terjadi di berbagai belahan dunia, sejumlah negara terus membuka arus perdagangan gobal terhadap produk, barang, dan jasa.

  Kedua, globalisai juga ditandai dengan meningkatnya ragam kompetisi. Kapasitas kompetisi dan nilai daya saing menjadi penentu bagi keunggulan masing-masing bangsa. Ketiga, persaingan dalam memperebutkan tingkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat di berbagai belahan dunia semakin ditentukan oleh penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keunggulan seni dan budaya. Keempat, perkembangan peradaban global

   juga semakin bergerak ke arah masyarakat ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan.

  Berdasarkan hal tersebut, maka DPR-RI bersama pemerintah menetapkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan yang ditetapkan dalam undang-undang. Bentuk yayasan atau bentuk perseroan terbatas atau koperasi atau perkumpulan yang selama ini dipakai para penyelenggara pendidikan, dipandang sudah tidak sesusi lagi dengan semangat zaman baru.

  Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membawa paradigma baru pendidikan nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam 51 mengelola lembaganya, dan perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri

  

Gelombang globalisasi menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menciptakan pendidikan dengan kualitas tinggi

yang dapat dilakukan dengan cara otonomi pendidikan tinggi. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi yang

dianggap mampu bersaing memang menunjukkan prestasi yang gemilang dalam rengking dunia dilain sisi akses mendapat pendidikan dalam perguruan tinggi tersebut sangat mahal. lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian masyarakat, sehingga perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

  Prinsip otonomi dalam pengelolaan saruan pendidikan tinggi dapat diartikan sebagai demokratisasi penyelenggaraan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, Yayasan, PT, Koperasi, atau Perkumpulan). Dengan kata lain perguruan tinggi harus lebih mandiri dan

   otonom dalam pengelolaan lembaganya untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi.

  Untuk itu, perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan dan penyelenggara masuk sebagai pendiri “BHP” dengan tetap memiliki kewenangan dan hak suara secara proporsional dalam pengelolaan satuan pendidikan yang didalam BHMN disebut wali amanah (dewan pembina). Inilah bentuk reformasi pendidikan yang lahir dari tuntutan perubahan yang mengusung paradigma baru untuk memberikan pelayanan prima kepada peserta didik dalam memenuhi tantangan global.

  Berikut ini adalah awal lahirnya badan hukum pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain: 1.

Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

  2. Dalam Pasal 12 Ayat 2 (b) memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku.

  3. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa: Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

  1. Badan hukum pendidikan dalam Ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

  2. Badan hukum pendidikan dalam Ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Berdasarkan pasal 53 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

  Pendidikan Nasional secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Undang-Undang Sisdiknas secara tegas menyatakan bahwa

52 H.A.R Tilaar. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas. hal 122.

  peran serta partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan terutama dalam pemenuhan atas pembiayaan pendidikan.

2.3 Lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

  Badan Hukum Pendidikan merupakan suatu wacana dalam masyarakat maupun dalam dunia akademis. Sejak RUU BHP diperkenalkan di DPR, telah timbul pro-kontra didalam masyarakat mengenai fungsi dan peranan BHP dalam manajemen pendidikan nasional. Telah banyak sorotan dari masyarakat maupun dari dunia akademik mengenai Badan Hukum Pendidikan dilihat dari segi hukum, perundang-undangan, politik, demokrasi maupun tinjauan historis dari yayasan-yayasan penyelenggara pendidikan yang menganggap BHP telah merampas hak yayasan pendidikan.

  Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi Badan Hukum Pendidikan, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama, sesuai dengan tujuan Badan Hukum Pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa, di dalam Badan Hukum Pendidikan tersebut terdapat juga unit-unit pelaksana seperti yayasan pendidikan yang menjalankan fungsi Badan Hukum Pendidikan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan formal, baik itu pemimpin organ pengelola pendidikan maupun pimpinan organ pengelola.

  Kelahiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merupakan perintah/amanat dari Pasal 53 ayat (1) dan (4) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyebutkan bahwa :

  1. Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

  2. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

  Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba

  

  dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 53 UU Sisdiknas juga diperintahkan bahwa BHP harus diatur dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diundangkan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang mengatur tentang BHP dalam bentuk undang-undang.

  Pasal 1 ayat 1 UU BHP menyebutkan Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 diberikan batasan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

  Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 5 UU BHP, maka BHP terdiri dari ada 2 (dua) jenis, yaitu:

  1. BHP Penyelenggara BHP Penyelenggara adalah Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.

  2. BHP Satuan Pendidikan.

  BHP Satuan Pendidikan merupakan jenis badan hukum pada satuan pendidikan formal. Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP, ada 3 (tiga) bentuk BHP Satuan Pendidikan yaitu: 1.

  Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan Pemerintah dengan peraturan Pemerintah atas usul Menteri.

  2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

  3. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan masyarakat dengan Akta Notaris yang disahkan oleh Menteri. Ketiga bentuk BHP tersebut di atas hanya mengelola 1 (satu) satuan pendidikan formal (Pasal 6 ayat (2)). Dengan demikian UU BHP menegaskan bahwa pendiri badan 53 hukum pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Di mana Anwar Arifin, op.cit., hal 134. pendiri dapat orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum seperti Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis. Sehingga setelah berlakunya UU BHP tidak ada lagi penyelenggara pendidikan selain dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP).

  Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan eksekusi terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang mengamanatkan otonomisasi perguruan tinggi. Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa: 1.

  Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.

  2. Badan Hukum Pendidikan pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

  3. Badan Hukum Pendidikan pada ayat (1) berprinsip Nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

  4. Ketentuan Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. Lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Sehingga beberapa kelompok masyarakat mengajukan

  

judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan

Hukum Pendidikan karena telah terlanggar hak konstitusionalnya.

  Dengan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 permohonan Aep Saepudin menyampaikan kepada Mahkamah Konstitusi maka muncul dampak negatif yang

  

  berpotensi menciptakan pendidikan yang tidak ilmiah antara lain : 1.

  Negara melepas tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merata bagi masyarakat.

  2. Masyarakat menanggung dan akan menanggung beban sebagai penanggung jawab keberlangsungan pendidikan.

  3. Masyarakat diharuskan mengeluarkan biaya pendidikan dan menjadi sumber pendanaan pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan.

  4. Kerugian bagi setiap orang yang telah melebihi usia 15 tahun tidak dapat mengenyam pendidikan dasar karena adanya pembatasan usia dan pendidikan dasar dibatasi hingga 9 tahun.

  5. Menurunkan kualitas pengelolaan institusi pendidikan oleh karena adanya kegiatan 54 diluar peningkatan keilmuan.

  Putusan Perkara nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 15.

  6. Nasionalisme akan terkikis oleh karena pendidikan dilepas ke pasar, dimana negara hanya menjadi pemegang saham dalam Badan Hukum Pendidikan.

  7. Berpotensi terjadi disintegrasi bangsa karena adanya diskriminasi sosial dalam kebijakan pendidikan nasional.

  Hak Uji Materiil Atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-

   Undang Badan Hukum Pendidikan antara lain adalah : 1.

  Filosofi pendidikan dalam cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terpenuhi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama berhubungan dengan tanggung jawab penuh negara atas pendidikan.

  2. Tanggung jawab pendidikan sepenuhnya berada pada pemerintah sehingga setiap warga negara akan mengikuti jenjang pendidikan dengan sungguhsungguh tanpa ada beban.

  3. Pengawasan kualitas, pembiayaan dan pendanaan pendidikan sepenuhnya berada dan bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah.

  4. Hilangnya diskriminasi kelas sosial dalam sistem pendidikan nasional.

  5. Institusi pendidikan akan senantiasa fokus dalam pengelolaan pendidikan di bidang peningkatan ilmu pengetahuan bukan kegatan usaha lainnya.

  6. Penyelarasan seluruh peraturan dibawah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

  Sistem Pendidikan Nasional yang didasarkan pada Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan paradigma pendidikan menurut Undang- Undang Dasar yang dapat menyebabkan komersialisasi, melepaskan tanggung jawab negara dan berpotensi adanya diskriminasi sosial di bidang pendidikan.

  Akhirnya pada 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah Konstitusi juga membatalkan beberapa isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Putusan

   Mahkamah Konstitusi tersebut antara lain menyatakan bahwa: 1.

  Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tetang sistem pendidikan nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4301) 55 sepanjang frasa,”... bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang 56 Putusan Perkara nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 15-16.

  Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.

  dimaknai”...ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut selengkapnya menjadi ” Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.

  2. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sepanjang frasa,”....yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi,”Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”.

  3. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) Konstitusional sepanjang frasa ”Badan Hukum Pendidikan” di maknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan bentuk badan hukum tertentu.

  4. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  5. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang frasa ”...bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat kecuali dimaknai ”....ikut bertanggung jawab”.

  6. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Noor 20 Tahun 003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301 ), sepanjang frasa,”...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  7. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun

  2003, nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  8. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

  9. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  Putusan Mahkamah Kostitusi dengan jelas menyatakan bahwa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan produk hukum yang inkonstitusional sehingga perlu di batalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi yang ada di Indonesia. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi menutup eksistensi atau riwayat segala hal mengenai badan hukum pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan yang dikonstruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal.

  Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan, solusi untuk mengusulkan undang- undang baru sebagai pengganti undang-undang Badan Hukum Pendidikan bisa saja dilakukan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat undang-undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan.

  Sebagai akibat kebijakan sentralistis dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat ambivalen, afirmatif, arogan dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya

   sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri.

  Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka privatisasi lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat nonprofit meski berstatus sebagai 57 badan usaha. Penetapan sebuah Universitas menjadi berstatus BHMN ditetapkan melalui

  

Hasbullah. 2010. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan

Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal 129.

58 Peraturan Pemerintah. Ada 7 (tujuh) Universitas yang berstatus BHMN yaitu:

  Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga (UNAIR).

  Dalam perjalanannya, kehadiran PT BHMN tidak terlepas dari pro dan kontra berbagai kalangan. Mulai mahasiswa, dosen, maupun masyarakat luas, acap kali melakukan kritik tajam terhadap pelaksanaan BHMN. Utamanya menyangkut penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang mengeruk dana sampai ratusan juta rupiah. Selain itu, aset-aset PT BHMN dikomersialisasikan untuk menutup kebutuhannya.

  Peristiwa itu terjadi bahkan jauh setelah terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada akhir September 2010. Bisa dibayangkan persoalan operasional lain seperti status hukum para dosen maupun tenaga kependidikan dan tata cara pengelolaan keuangan di PT BHMN masih belum jelas.

  Dengan terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 paling tidak memberikan sedikit ruang kejelasan status hukum kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan eks Perguruan Tinggi BHMN. Berdasarkan Pasal 220A ayat (3), pemerintah mengatur adanya pengalihan status dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai BHMN menurut peraturan perundang-undangan

  Pada penjelasan Pasal 220B ayat (3) PP No. 66 Tahun 2010 disebutkan bahwa Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (UNAIR) memenuhi kewajiban sebagai institusi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

  Prosedur pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi BHMN yaitu semua penerimaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disimpan atau disetorkan ke kas Negara (KPPN), sedangkan penerimaan yang bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi dan APBD Pemerintah Kabupaten/Kota, Dana Masyarakat (bersumber dari SPP mahasiswa dan lain-lain), serta usaha/penjualan jasa universitas dan 58 lain-lain disetorkan ke Rekening Universitas, dan dimanfaatkan menurut keperluannya Deddi Nordiawan. 2011. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Selemba Empat. hal 13. dengan mengacu kepada anggaran yang telah disahkan. Pimpinan Universitas menetapkan alokasi, batas alokasi anggaran misalnya bagian pembiayaan honorarium, kegiatan administrasi pemeliharaan, pengembangan staf dan lain-lain.

  Dengan demikian perguruan tinggi memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain, diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung.

2.4 Otonomi Pendidikan Tinggi dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

  Lahirnya RUU PT yang mengusung semangat otonomisasi dan internasionalisasi perguruan tinggi dalam melakukan pengeloaan perguruan tinggi memang dapat dipandang sebagai suatu angin segar dalam memperbaiki sistem dan kualitas pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia namun, tidak dapat di tepis justru otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi ini bernuasa individualistik dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia sebab, dengan adanya RUU PT ini kita akan dihadapkan dengan drama “kelinci dan kura- kura” yaitu sebuah gambaran bagaimana universitas yang memiliki kapasitas yang mumpuni akan dapat maju pesat layaknya seekor kelinci yang mampu berlari kencang di sirkuit perlombaan, mungkin hal ini memang baik tapi, disisi lain universitas-universitas negeri dan swasta yang belum digdaya dalam melakukan pengelolaan perguruan tinggi akan ketinggalan dalam mutu dan kualitas pendidikan layaknya seekor kura-kura yang berjalan lamban dalam sirkuit perlombaan.

  Setelah pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus dengan segera memberi kepastian hukum yang jelas kepada perguruan tinggi yang ada di Indonesia. DPR RI kemudian menyusun sebuah rancangan peundang-undangan yang akan dijadikan sumber hukum kepada perguruan tinggi. Rancangan tersebut diberi nama Draft 20 Maret 2011 yang terdiri dari XII bab dan 102 pasal.